INDEPTH
50.000 Tahun Relasi Anjing dan Manusia: Sahabat dan Hidangan
Published
6 years agoon
By
philipsmarx16 Maret 2019
Oleh: Greenhill Weol
Selama 50.000 tahun sejarah relasi anjing dan manusia, ini pula sejarah kuliner berbahan daging dalam peradaban manusia di bumi
KISAH INI BERMUASAL pada sebuah malam di era Paleolitik.
Salju tebal yang membungkus bumi terlihat berkilau di bawah sinar purnama. Malam lebih dingin dari titik beku. Angin masih berhembus membawa terbang titik-titik es. Bumi memang lagi dilanda masa glasial. Dingin dan kering. Sumber makanan tak mudah ditemukan.
Ada sekelebat mahluk berdiri di atas robohan pohon. Hampir tak nampak dirudungi dedaunan, warnanya sekelam malam dan sesilau salju. Sepasang matanya menyala dalam gelap. Tajam memandang dari kejauhan. Napasnya naik-turun perlahan, sesekali dengan endusan panjang. Makhluk ini sedang mengamati sesuatu yang nampak di kejauhan.
Jarak beberapa lemparan batu ke depan, ada lamat-lamat suara. Tenda-tenda dari kulit binatang. Gemeretak kobar lingkaran api. Aroma sisa-sisa makanan dan kehangatan.
Serigala itu mulai melangkah mendekat. Langkahnya tanpa suara. Bahkan salju hampir tak bersuara. Ia mulai mengunyah sisa-sisa hewan buruan manusia tadi siang yang dibuang di sekitaran perkemahan.
Tetapi kelompok manusia itu sempat menangkap bayangan yang menyelinap. Mereka lekas bangkit lantas meraih tombaknya. Serigala adalah pemangsa berbahaya, mereka tak berbeda jauh dengan manusia dalam berburu, bahkan keduanya berebut makanan yang sama dan keduanya telah lama saling memangsa.
Tombak menghujam.
Manusia-manusia itu ketambahan satu lagi kulit bulu untuk membantu mengusir dingin glasial. Tetapi kali ini, ada lagi yang dibawa si serigala. Anak-anak serigala kecil yang sedari tadi bersembunyi di balik batang pohon. Takut-takut mereka datang mendekat, mencari induknya. Bola mata kecil mereka menembus jiwa. Manusia-manusia itu tak kuasa mengangkat lagi tombaknya. Lantas, keturunan yang terbaik melanjutkan kehidupannya, makan dari tangan sang manusia, tetapi ada pula yang mengulangi nasib induknya.
Demikianlah kiranya, 50 ribu tahun silam, awal mula ketika seekor-dua serigala yang tertarik oleh ketersediaan sumber makanan dari sisa-sisa konsumsi manusia, kemudian kebutuhan manusia terhadap hewan yang dapat berguna dalam berbagai tugas di sekeliling tempat bermukimnya. Lalu, dimulailah proses panjang domestifikasi serigala yang pada akhirnya mencipta sebuah spesies baru: anjing.
Anjing domestik adalah anggota dari genus Canis yang merupakan karnivora terestrial yang paling banyak jumlahnya. Sebagai spesies pertama yang didomestifikasi, mahluk ini telah dibiakkan secara selektif selama ribuan tahun untuk berbagai perilaku, kemampuan sensorik, dan atribut fisik. Dengan kata lain, anjing adalah mahluk yang seutuhnya ‘diciptakan’ oleh manusia, yang dikembang biakkan seutuhnya untuk kebutuhan dan kesenangan manusia.
Hubungan panjang mereka dengan manusia telah menyebabkan anjing menjadi selaras secara unik dengan perilaku manusia. Kehidupan kedua spesies ini, anjing dan manusia, menjadi tak terpisahkan selama bermilenia sejarah peradaban yang berlangsung kemudian. Tetapi sebagaimana kisah keduanya dimulai, kisah yang sama terus pula terjadi di sepanjang masa: disamping menjadi sahabat, adalah fakta sejarah bahwa anjing adalah juga makanan bagi beragam peradaban manusia, dari zaman ke zaman, di segenap penjuru bumi.
Eropa
Banyak yang tidak akan menyangka jika dikatakan bahwa konsumsi daging anjing terjadi di benua Eropa. Orang-orang Eropa sering dianggap dan menganggap ‘tabu’ berbicara tentang konsumsi anjing. Menurut anggapan tradisional mereka tidak mengkonsumsi daging anjing. Tetapi fakta sejarah berkata sebaliknya, Eropa tak berbeda dengan belahan dunia lainnya.
Dr Patricia Martin bersama tim arkeolog Catalan Institute of Human Paleoecology and Social Evolution belum lama ini menemukan tulang-belulang anjing peliharaan, rubah, kucing liar, dan musang yang memiliki “tanda-tanda pemrosesan kuliner,” dan menurut Martin ini adalah bukti nyata bahwa pada masa itu anjing adalah juga makanan.
Tulang-tulang binatang ini ditemukan di sebuah gua di Pegunungan Atapuerca Spanyol, berasal dari 7.200 tahun hingga hanya 3.100 tahun lalu.
“Orang Eropa memakan apa saja, termasuk anjing”, tambahnya.
“Penelitian kami bahkan mengungkap bagaimana daging anjing dimasak Orang Eropa kala itu: dipotong-potong, dikuliti, kemudian dibuat makanan dengan cara direbus”.
Kucing liar dan musang juga direbus untuk dimakan. Berburu karnivora liar akan sulit sehingga hewan mungkin ditangkap secara tidak sengaja dan kemudian dikonsumsi.
“Konsumsi anjing bersifat sporadis tetapi terjadi berulang kali, sedangkan konsumsi hewan-hewan karnifora lain justru lebih terbatas waktunya. Dengan kata lain, anjing lebih banyak dikonsumsi ketimbang yang lain,” tutup Martin.
Bagian Eropa yang lain juga merekam konsumsi daging anjing. Di berbagai daerah di Yunani, tulang anjing yang berasal dari Zaman Perunggu dan Besi telah ditemukan dengan bekas luka-luka tanda potongan. Posisi luka-luka ini mengindikasikan bahwa mereka disebabkan oleh pemotongan untuk daging yang konsumsi. Teks-teks kuno Inggris dan Irlandia juga menunjukkan bahwa daging anjing dikonsumsi dalam konteks ritual pada kebudayaan Druidic. Tulang-belulang anjing yang dikorbankan sering ditemukan di situs-situs arkeologi di wilayah Inggris Raya.
Konsumsi daging anjing di Eropa tidak hanya terjadi pada masa yang telah lama berlalu, tetapi juga pada zaman modern ini. Daging anjing tercatat dikonsumsi secara luas di Jerman, terutama pada masa-masa dimana daging ternak lain sulit ditemui. Pada masa perang dunia, warga Prancis juga mengkonsumsi daging anjing, bahkan terdapat rumah potong khusus anjing di negara ini.
Terdapat juga laporan-laporan di media tentang tradisi konsumsi daging anjing di Swiss, Polandia, Belgia, Belanda, dan negara-negara lainnya di jazirah Eropa.
Amerika
Benua Amerika menyimpan pula banyak rekaman sejarah mengenai tradisi konsumsi daging anjing.
Dalam sebuah makalah yang diterbitkan pada tahun 2011 oleh American Journal of Physical Anthropology, sebuah tim yang dipimpin oleh ahli genetika Raul Tito dari University of Oklahoma melaporkan tentang penemuan sepotong tulang anjing dalam kotoran manusia yang terawetkan secara alami selama kurang-lebih 9000 tahun. Menurut Samuel Belknap III, seorang mahasiswa pascasarjana di Universitas Maine, selain ini adalah bukti paling awal yang tak terbantahkan dari eksistensi domestifikasi anjing di benua Amerika, ia juga menekankan bahwa, “Saya merasa cukup yakin bahwa itu adalah bukti langsung tertua dari konsumsi manusia terhadap anjing di dunia.”
Potongan tulang dalam fosil kotoran manusia ini digali dari lapisan bawah di tempat penampungan batu yang dikenal sebagai Gua Hinds di Texas. Belknap awalnya terkejut menemukan tulang mamalia yang lebih besar. Analisis lebih lanjut menunjukkan bahwa itu adalah bagian dari tengkorak anjing yang lewat penelitian lanjut di Harvard University Museum of Comparative Zoology menunjukkan bahwa itu sangat cocok dengan tulang dari anjing asli Amerika yang ditemukan di New Mexico.
Jennifer Leonard, seorang ahli genetika di University of Uppsala di Swedia mengomentari penemuan ini dengan positif, “Saya tidak terlalu terkejut bahwa manusia saat itu memandang anjing bukan hanya sebagai ‘sahabat’, lebih dari sekedar pendamping atau asisten berburu”.
Leonard paham betul bahwa walau hari ini kebanyakan orang Amerika tidak lagi melihat anjing sebagai makanan. “Tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa ada banyak catatan sejarah penduduk asli Amerika yang memang merekam konsumsi daging anjing,” imbuhnya.
Di bagian lain benua Amerika, anjing telah ribuan tahun dijadikan sumber protein. Orang Olmec, salah satu penghuni pertama di Mexico semenjak 3400 tahun yang lalu, memandang anjing sebagai sumber makanan utama. Petani memberi makan anjing jagung untuk menggemukkan mereka, lalu menawarkannya kepada pemimpin mereka sebagai pembayaran pajak. Daging anjing terus menjadi populer di daerah ini setelah berabad-abad berlalu, bahkan bangsa Aztec membiakkan seekor anjing tak berbulu yang disebut Xoloitzcuintle, yang mereka gunakan untuk makanan dan persahabatan.
Hernán Cortés, seorang Conquistador Spanyol dalam catatan perjalanannya menuliskan: “Saya lihat anjing-anjing kecil yang mereka ternakkan untuk makanan, dijual di pasar kota”.
Cortés melihat itu ketika dia tiba di Tenochtitlan, Aztec pada tahun 1519.
Sioux Dog Feast adalah judul sebuah lukisan terkenal dari George Catlin, seorang pelukis, penulis, dan traveler berkebangsaan Amerika. Ia berspesialisasi dalam lukisan potret penduduk asli Amerika, atau yang lebih dikenal dengan Indian. Catlin adalah orang kulit putih pertama yang melukis orang-orang Indian di wilayah asalnya. Lukisan Sioux Dog Feast karya Catlin ini menggambarkan upacara persahabatan Indian Sioux di mana makan daging anjing menjadi pusat perayaan tersebut.
Dia menjelaskan pentingnya perjamuan ini dalam jurnalnya: “Pesta ini tidak diragukan lagi diberikan kepada kita sebagai persahabatan mereka. Mengetahui maknanya yang tulus, kami tentu saja menerima upacara ini dengan hormat”.
Catlin tau persis bahwa upacara pesta memakan daging anjing adalah bagian dari religiusitas suku Sioux, “Ini adalah merupakan upacara keagamaan”, tulisnya.
“Orang Indian justru mengorbankan anjing yang adalah rekannya yang paling setia sebagai kesaksian tentang kesucian sumpah persahabatannya”.
Afrika
Konsumsi daging anjing di benua ini sangat terkait erat dengan adat dan kebudayaannya. Di Afrika, anjing dianggap sebagai representasi dari kekuatan-kekuatan tertentu yang sering nampak pada ciri-ciri fisiologis mahluk ini. Anjing melambangkan kekuatan, kelincahan, keberanian, serta kepahlawanan.
Nigeria ditenggarai adalah konsumen daging anjing terbesar di benua ini. Tidak heran, sebab tradisi memakan anjing memang berakar dalam di wilayah ini. Daging anjing sering dipasarkan sebagai obat malaria, dan sebagai penangkal sihir. Korban berupa anjing sering dipersembahkan sebuah festival untuk menghormati Ogun, seorang prajurit pemberani dalam mitologi lokal.
Di Namibia, Uganda, Kongo, komunitas-komunitas setempat diketahui telah mengkonsumsi anjing sejak nenek moyang mereka. Bahkan pada suku Frafra dan Dagaaba di Ghana ada sebuah permainan tradisional yang melibatkan konsumsi daging anjing. Pemenang permainan akan membawa pulang kepala anjing sebagai piala. Orang-orang suku Vame, Kamerun, diketahui pula mengkonsumsi anjing dalam ritual-ritual mereka.
Australia & Pasifik
Rekaman sejarah menulis tentang peristiwa-peristiwa dimana daging anjing ditemukan juga dikonsumsi di wilayah ini. Anjing secara historis dimakan di Tahiti dan pulau-pulau lain di Polinesia, termasuk Hawaii pada saat kontak pertama dengan para penjelajah bangsa Eropa. James Cook, ketika pertama kali mengunjungi Tahiti pada tahun 1769, mencatat dalam jurnalnya bahwa ia menyaksikan daging anjing dihidangkan di meja makan.
“Anjing dihidangkan bersampingan dengan daging domba”, begitu tulisnya.
Seorang penjelajah lain, Calwin Schwabe, melaporkan bahwa anjing banyak dimakan di Hawaii dan dianggap memiliki kualitas lebih tinggi daripada daging babi atau ayam. Ketika orang Hawaii pertama kali bertemu penjelajah Inggris dan Amerika, penduduk asli ini menjadi bingung dengan sikap para pendatang yang sepertinya kurang suka dengan daging anjing. Padahal, para penduduk asli Hawaii memang memelihara anjing dan babi sebagai hewan peliharaan dan makanan. Mereka tidak dapat memahami mengapa pengunjung Inggris dan Amerika hanya menyukai daging babi. Konsumsi daging anjing juga adalah sesuatu yang biasa di Kerajaan Tonga.
Asia
Secara regional, benua Asia sering dianggap sebagai wilayah dengan tingkat konsumsi daging anjing terbesar dunia. Ini tentunya bukan tanpa alasan historis.
Sejarah mencatat bahwa anjing telah didomestikasi di Tiongkok selama ribuan tahun. Bukti arkeologis menunjukkan bahwa nenek moyang awal Cina modern memelihara anjing selama periode Neolitikum, lebih dari 7.000 tahun yang lalu. Di wilayah ini anjing dibiakkan karena tiga alasan: perlindungan, perburuan, dan makanan. Anjing secara teratur digunakan sebagai korban ritual, dan daging mereka sering ditampilkan dalam hidangan utama di jamuan upacara. Chow Chow diyakini dibiakkan oleh orang-orang Cina untuk diambil dagingnya. Chow Chow adalah salah satu ras anjing tertua di dunia yang berasal dari Tiongkok.
Sekitar tahun 400 SM, terjadi ledakan populasi penduduk di Cina yang mengakibatkan jatuhnya rasio lahan yang tersedia untuk penggembalaan dan pemeliharaan ternak. Daging babi dan anjing dengan cepat menggantikan daging sapi dan kambing sebagai sumber utama daging, sebab kedua jenis daging ini membutuhkan lebih sedikit bahan makanan serta lebih sedikit ruang pemeliharaan dan karenanya menjadi lebih mudah dipelihara.
Cina utara dan selatan secara tradisional memakan daging anjing. Daging adalah komoditas langka di jaman Cina feodal, sehingga petani sering menyembelih anjing mereka untuk menambah makanan berupa beras, millet (serealia), dan sayuran.
Dalam kitab Guoyu (The Discourses of the States), sebuah teks yang diterbitkan pada abad ke-4 SM, tertulis bahwa Raja Goujian dari Yue, yang berharap dapat meningkatkan angka kelahiran dan merekrut lebih banyak tentara untuk pasukannya, memutuskan bahwa keluarga yang melahirkan anak laki-laki dihargai dengan dua guci anggur dan seekor anjing untuk dimakan oleh ibu anak itu untuk membantunya pulih setelah melahirkan.
Taiwan, Korea, Vietnam, Thailand, Filipina, India, dan Indonesia tentu tak ketinggalan. Semua memiliki komunitas-komunitas yang secara historis mengkonsumsi anjing sejak dahulu.
Benturan Etika
Benar bahwa perlulah diadakan perbaikan terhadap tata niaga daging anjing, berkenaan dengan faktor hygiene dan humane-nya, serta pemberantasan pencurian anjing milik pribadi yang memang meresahkan. Tetapi baru-baru ini menyeruak kabar di berbagai media tentang aktifitas beberapa organ yang mengaku berasal dari barisan pecinta hewan internasional. Mereka mendekati pemerintah lokal di Tomohon, Sulawesi Utara dan meminta pemerintah menghentikan konsumsi daging anjing. Ini menarik, kental tercium aroma orientalisme.
Kebanyakan protes terhadap konsumsi daging anjing dibungkus dengan slogan-slogan yang bermuatan imperialisme kultural, penjajahan budaya. Labal-label ‘barbar’, ‘kuno’, ‘kanibal’, ‘tidak beradab’ ramai dilekatkan pada masyarakat yang oleh latar budayanya mengkonsumsi anjing. Orang-orang yang yang memprotes sepertinya merasa berasal dari peradaban yang ‘lebih tinggi’. Tetapi, orang-orang ini adalah orang yang sama yang juga berlaku ‘tidak baik’ jika kita memandang dengan menggunakan kacamata berbeda.
Menentang orang untuk mengkonsumsi anjing ketika sebagian besar kita adalah penikmat daging binatang lain adalah tak kurang dari kemunafikan, sebab konsumsi daging anjing tidak berbeda dengan konsumsi babi, sapi, ayam, atau binatang lain. Domestikasi anjing memang berarti bahwa telah terjadi ikatan emosional manusia dengan anjing secara lebih mendalam, tetapi sejarah mengungkapkan bahwa hubungan ‘khusus’ ini bisa juga berarti bahwa anjing menjadi sumber makanan manusia, sumber kehidupan kita.
Mereka yang mengecam konsumsi anjing lebih buruk daripada konsumsi hewan ternak lainnya, mengklaim bahwa karena anjing adalah hewan sosial yang kompleks, mereka adalah hewan yang lebih penting dan karenanya tidak layak untuk dikonsumsi. Namun, bukti ilmiah membantah hal ini. Babi dan anjing serupa dalam hal kesetiaan dan kecerdasan. Banyak penelitian menunjukkan bahwa babi menunjukkan tingkat kecerdasan yang lebih tinggi daripada anjing. Bahkan ayam, yang dipandang sebagai makhluk berotak burung, memperlihatkan hubungan sosial yang kompleks dan hubungan kekeluargaan dengan ayam lain yang pantas mendapatkan dasar sebanyak dari konsumsi manusia seperti halnya anjing.
Di samping soal biologis, pemilik anjing berpendapat bahwa karena anjing adalah ‘sahabat’ dan “peliharaan” manusia yang istimewa. Tetapi logika bahwa nilai seekor hewan tergantung pada ‘dekat-tidaknya’ hubungannya dengan manusia pada dasarnya cacat. Apakah itu berarti karena manusia menganggap bahwa satu hewan lebih cocok untuk domestikasi daripada yang lain, maka kehidupannya secara otomatis bernilai lebih? Itu berarti nilai kehidupan satu spesies ditentukan oleh spesies lain, dan ini juga sepertinya keliru.
Kritik terhadap konsumsi daging anjing juga dapat menjadi tidak jujur dari sisi yang lain. Di Amerika, para pemilik anjing menghabiskan lebih dari 60 miliar dollar untuk hewan peliharaan mereka setiap tahun. Namun banyak yang mengabaikan sisi lain dari industri ini. American Society for the Prevention of Cruelty to Animals (ASPCA) mencatat bahwa tiap tahun ada 1,2 juta anjing di-eutanasia di Amerika Serikat. Itu baru di Amerika. Apakah membunuh anjing dengan eutanasia benar-benar lebih baik dari pada memakannya?
Mudah sekali, memang, untuk ikut ‘mengutuk’ mereka yang mengkonsumsi daging anjing. Selebriti dan orang-orang yang merasa peduli dari seluruh dunia, seolah berlomba telah mengutuk budaya konsumsi daging anjing. Tetapi sebelum Anda turut terjun dalam kumpulan ini, paling tidak pastikan bahwa anda telah mengatahui bahwa konsumsi anjing bukan hanya adalah bagian dari peradaban manusia sejak puluhan milenia lalu, tetapi juga kemungkinan besar adalah yang masih membuat kita masih bertahan hidup sampai pada hari ini.
Kita perlu pula mempertimbangkan perbedaan budaya dan etika yang beragam di seluruh dunia. Apakah hanya dengan mempraktikkan norma yang berbeda membuat praktik budaya yang berbeda itu lebih buruk? (*)
Editor: Denni Pinontoan