CULTURAL
Tradisi Pertunjukan Lawak Minahasa: Mengorek Ingatan Poke’ke’ dan Ongkor
Published
8 months agoon
8 February 2024
Penampilan pemeran yang berperilaku seperti “orang cacat” sebenarnya bentuk pendidikan untuk mengajarkan bahwa “perilaku cacat” tidak boleh dilakukan oleh manusia. Sementara perilaku binatang untuk menyindir kelakuan manusia yang seperti hewan. Manusia, ya berperilakulah selayaknya manusia.
Penulis: Rikson Karundeng
GELAK tawa sekelompok masyarakat membelah kesunyian senja. Tepi telaga kecil di Seper Watu, Tuutu, Tondano, jadi pilihan mereka untuk bercengkrama menjemput malam. Sepertinya ada topik mengocok perut yang tengah dibahas. Si pencerita terdengar menggunakan bahasa tana’, bahasa Tondano kental.
Waktu itu, penghujung Desember 2014. Opa Buang Politton yang berusia 70-an tahun, ternyata tengah mengisahkan cerita-cerita yang biasa diceritakan “Si Ongkor”. Sosok pencerita yang sangat terkenal dalam berbagai hajatan, baik suka maupun duka di Tondano, Minahasa.
“Ongkor ini sangat terkenal di seluruh Tondano. Di mana ada acara duka maupun suka, dia pasti ada di situ untuk menghibur orang dengar cerita. Ia bagai artis yang selalu dinantikan masyarakat di atas pentas,” kata Politton.
Seni pertunjukan lawak memang hidup di dalam masyarakat Minahasa. Jessy Wenas dalam bukunya Sejarah dan Kebudayaan Minahasa (2007), menulis jika dalam bahasa Minahasa Tontemboan, seni melawak ini disebut Poke’ke’. Para pelawak terdiri dari satu sampai tiga orang. Bila berjumlah tiga orang, orang pertama disebut Towo yang artinya dusta, orang kedua disebut Wo’ko atau bungkuk dan orang ketiga disebut Kerisen, yang artinya kudisan dan selalu menggaruk badan. Bila pelawak hanya dua orang, orang pertama disebut Towo dan orang kedua disebut Totol. Mereka melawak sebagai hiburan di acara pesta pernikahan. Wenas juga menulis, di Tondano dikenal pelawak tunggal yang tokohnya disebut Ongkor.
Cerita tentang Ongkor ada dalam ingatan Glaudy Langi. Kisah-kisah itu ia dapat dari Omanya, Martha Kumontoy, di Ranowangko, “Tondano Pante”. Sesuai cerita turun-temurun, Oma Martha meyakini tradisi melucu orang Minahasa itu pernah berlangsung di masa 1800-an. Glaudy mengisahkan itu Rabu, 24 Januari 2024.
“Menurut Oma, di zamannya, tradisi itu kemudian hilang. Oma punya informasi, di tahun 1850-an, tradisi ini hidup di masyarakat Minahasa,” kata Glaudy yang kini berusia 50 tahun.
Dahulu, pada waktu orang Minahasa akan menggelar berbagai perayaan seperti pesta pernikahan, sudah pasti akan diselipkan dengan acara hiburan. Acara hiburan itu dikenal dengan “Poke’ke’”. Di pesta itu akan dilakukan adegan lucu oleh mereka yang mementaskan. Biasanya ada satu objek sentral yang disebut Ongkor. Ia menjadi subjek, ia akan tampil menjadi narator, sosok yang memberikan arahan kepada para pemeran, seperti Kubud (pendek), Tabuleleng (pende gode’/pendek gemuk), dan Tiboru’ur (bongko/bongkok).
Dalam melakukan adegan-adegan lucu seperti parodi misalnya, biasanya mereka akan menyasar tokoh-tokoh, para pejabat yang sering melakukan penyimpangan atau kesalahan. Perilaku tak baik para pejabat itu akan di-aju dan menjadi bahan tertawaan mereka yang menonton. Makanya, adegan-adegan yang dipentaskan sering diwarnai adegan yang menyindir.
Dalam Poke’ke’, mereka juga akan memerankan perilaku dari hewan-hewan. Misalnya, kura-kura. “Pola tingkah hewan kan sering dianggap lucu. Tingkah hewan itu akan diperagakan para pemeran dalam Poke’ke’,” kata Langi.
Pegiat budaya ini mencontohkan, misalnya Ongkor memberikan perintah untuk melakukan gerakan-gerakan yang lucu. Misalnya, dia memerintahkan untuk memperagakan cara berjalan dari monyet. Dia akan meminta Si Tabuleleng untuk melakukan gaya berjalan seperti monyet. Begitu juga ia akan meminta Tabuleleng yang bertubuh pendek dan bulat untuk memperagakan cara berjalan kura-kura.
Pementasan ini dilakukan dengan menggunakan bahasa Tondano. “Contoh, Ongkor memerintahkan Kubud. ‘Kubud, ko mengelang tanu mokan wo we’u!’. Dia minta Kubud berjalan seperti kura-kura. Itu pertunjukan yang memperagakan perilaku hewan. Anak-anak sangat senang menyaksikan tingkah lucu itu,” ujarnya.
Cerita-cerita Poke’ke’ terkait dengan Ongkor, banyak didengar Glaudy dari omanya. Ia sangat senang mendengar cerita-cerita itu dalam bahasa Tondano. Terdengar sangat lucu, walau tak didengar langsung dari Ongkor.
“Contoh lagi, Ongkor memerintahkan kepada Kubud. ‘Kubud, ko mengompo’ pe’la tanu mo se pekak!’. Kubud kemudian bertingkah seperti katak yang melompat. ‘Tabuleleng, ko mengawok tanu mo kemekeles!’ Jadi, dia menirukan tikus yang sedang memanjat. ‘Tabuleleng, karikis pe’la nuakmu!’ Dia kemudian menggaruk badannya seperti bakado’ (kudisan). ‘Tiboru’ur, ko mengelang tanu mokan se wolay!’. Dia kemudian bergaya seperti monyet.”
Pentas Poke’ke’ yang menyindir pola tingkah laku para pejabat yang dianggap menyimpang dan sering membuat kesalahan, biasanya ada adegan-adegan yang sedikit vulgar. Glaudy membayangkan apa yang dipertontonkan Marquis de Sade, tokoh kontroversial Perancis yang hidup di tahun 1740-1814, yang menyindir perilaku seorang raja atau para bangsawan. Dia sering membuat parodi-parodi tentang kesalahan-kesalahan pejabat. Misalnya yang berbuat asusila atau cemooh, itu diperagakan. Seperti yang tergambar dalam karyanya yang ditulis 1785, Les 120 Journées de Sodome ou l’école du Libertinage.
”Seperti itu dalam Poke’ke’, Ongkor akan memberi perintah dan para pemeran akan memperagakan perintah itu. Jadi pertunjukkan seperti ini dilakukan mereka saat ada permasalah-permasalahan yang menghebohkan dan menyita perhatian publik. Misalnya ada pejabat seperti Controleur atau Hukum Mayor yang melakukan pelanggaran hingga membuat masyarakat gempar, akan mereka jadikan lelucon dalam sebuah pentas untuk menghibur masyarakat,” jelasnya.
Ada yang agak ekstrem, untuk menyindir pejabat yang melakukan kesalahan terhadap masyarakat. Misalnya, si pejabat kemudian dikisahkan matanya skel (juling). Jadi bukan soal mata yang skel, tapi cara pandangnya yang digambarkan sudah tidak benar.
“Ongkor perintah pa Pekos (kento’/pincang), ‘Pekos, mengelang pe’la tanu mo se cenge’. Macenge’ pe’la ko!’ Dia kemudian berjalan cengek. Ini untuk menyindir pejabat yang dianggap ‘pincang’. Contoh lain, ‘Kubud, kumano pe’la ko tanu mo se kalobang!’ Kubud diminta untuk memperagakan cara makan yang rakus. Salah satu genre Ongkor, itu yang memperagakan perilaku binatang. Tujuannya juga untuk menyindir manusia yang berperilaku seperti binatang, membuat kesalahan-kesalahan yang dianggap tidak baik dalam masyarakat,” tandas Langi.
Nama-nama seperti Kubud, Tabuleleng, Tiboru’ur, itu sebenarnya ada dalam adegan Poke’ke’, di mana Ongkor jadi tokoh sentral. Sekarang, jika orang melihat bentuk anatomi seseorang seperti pendek dan gode’, langsung dipanggil Tabuleleng. Kata itu kini menunjuk ke orang disabilitas, dipakai untuk mengejek orang.
“Dahulu itu, misalnya Kubud, tidak bermakna negatif. Hari ini jadi negatif, bahkan diskriminatif. Sebab dulu bukan dalam rangka menghina orang dengan tubuh itu, tapi terutama untuk menyindir pejabat yang tubuhnya agak pendek namun rakus, hingga terlihat aneh ketika gemuk. Dong bilang, otak so dekat deng panta, makanya otak banyak kotor. Kubud itu juga digambarkan pejabat yang suka makan,” kata Langi.
Penyelenggaraan tradisi Poke’ke’ itu jadi hot pasca Perang Tondano, tahun 1809. Karena pada waktu itu orang-orang Tondano masih memiliki dendam tersembunyi terhadap orang-orang Belanda. Tradisi Poke’ke’ ketika itu banyak menyerempet ke orang-orang Belanda yang rata-rata pejabat di Tondano. Jadi pasca Perang Tondano, tradisi itu makin sering dijumpai di masyarakat. Setiap ada Poke’ke’, pasti ada adegan yang menyindir pemerintahan Belanda pada waktu itu, termasuk perilaku para pemimpinnya.
“Setiap ada Poke’ke’, objek sindiran mereka adalah orang-orang Belanda seperti pejabat Controleur, Residen, Gubernur yang memimpin sebuah Gubernemen. Setiap ada perilaku menyimpang, pasti akan diperagakan dalam sebuah adegan di Poke’ke’,” jelas Langi.
Ongkor selalu menjadi daya tarik khusus bagi orang-orang yang hendak menghadiri sebuah hajatan. Bahkan, banyak dari mereka yang justru antusias untuk menghadiri sebuah acara pesta karena ingin menyaksikan aksi kocak Si Ongkor.
“Kisah Ongkor di Tondano, saya dengar secara turun-temurun. Tokoh itu sangat ditunggu-tunggu oleh masyarakat. Karena biasanya sebelum acara digelar, sudah didengung-dengungkan bahwa Ongkor akan tampil. Bahkan masyarakat sangat antusias untuk mengikuti acara itu. Ongkor jelas merupakan daya tarik tersendiri dalam sebuah acara,” sebut Langi.
Pentas Pokeke’ biasanya dilaksanakan di penghujung hajatan. Misalnya, di ujung pesta pernikahan, ketika pengunjung sudah mulai merasa bosan dengan acara, maka akan diselingi dengan Poke’ke’, agar para tamu tidak cepat-cepat pulang. Istilahnya, makawale atau tuan dan nyonya rumah akan memberikan hiburan tambahan untuk para tamu.
Selain hadir dalam pesta-pesta syukur masyarakat, Pokeke’ juga sering digelar para anggota militer yang bertugas di masa itu. Misalnya, kalau ada hajatan dalam rangka hari ulang tahun Ratu Wilhelmina, akan ada perayaan besar-besaran. Pasti di lingkungan militer akan dirayakan dengan pentas Pokeke’ untuk menghibur seluruh yang hadir dalam acara perayaan.
Glaudy Langi yang merupakan kolektor karya-karya litografi terkait Minahasa masa lampau berpendapat, pentas dengan gaya Ongkor adalah tradisi yang belum terlalu lama di Minahasa. Poke’ke’ atau tradisi melucu di Minahasa jauh lebih tua dari itu, sebab gaya pentas Pokeke’ baru hidup di era Belanda. Ketika orang Belanda mulai berasimilasi dengan budaya Minahasa, maka ditambahkanlah tokoh Ongkor itu.
“Di zaman Belanda, dihadirkan tokoh Ongkor ini. Jadi ini tradisi Minahasa yang kemudian bercampur dengan tradisi pertunjukan Belanda. Saya melihat, itu tradisi dari Prancis yang kemudian sampai ke Belanda. Ketika orang-orang Belanda datang ke wilayah Nusantara, ke Minahasa, tradisi itu ikut dibawa,” nilai Langi.
Terdokumentasi dalam Karya-Karya Masa Lampau
Berbagai macam seni tradisi yang hidup di masyarakat Minahasa masa lampau, seperti seni musik, tari, menganyam, menenun, memahat, melukis bahkan menato, hingga seni pertunjukan, sebenarnya didokumentasikan oleh orang-orang Eropa, secara khusus Belanda. Baik dalam bentuk tulisan, karya foto, maupun rekaman suara dan video. Data itu dikuak pegiat budaya Minahasa, Romy Toar Nonutu.
Kamis, 25 Januari 2024, Nonutu, arsiparis yang tinggal Kiniar, Tondano, menegaskan beragam seni yang hidup di Minahasa sajak dulu, banyak terdokumentasi pada sumber-sumber masa Belanda yang masih terpercaya. Hanya saja, hal yang mereka lakukan di sisi lain adalah ikut menghilangkan berbagai seni tradisi di tanah Minahasa. Peran gereja penting untuk dicatat. Tak bisa dipungkiri, gereja berperan penting dalam proses pendokumentasian, tapi juga ikut berperan menghilangkan tradisi-tradisi itu.
“Harus diakui, gereja ikut berperan menghilangkan tradisi, budaya, dan tentu nilai-nilai yang tersimpan dalam tradisi yang diwariskan leluhur kita. Ada banyak data dan informasi yang menggambarkan dengan jelas tentang hal itu,” kata Nonutu.
“Itu fakta historis yang tak bisa kita hindari, tapi tak perlu kita tangisi. Kita syukuri apa yang tersisa, yang masih ada, dan kita coba kembangkan itu.”
Nada tegas itu dilayangkan Nonutu, mengawali penjelasannya tentang tradisi Poke’ke’ dan Ongkor yang hidup sampai sekarang dalam ingatan orang Minahasa, secara khusus orang-orang Tondano yang mendiami seluruh wilayah sekitar Danau Tondano hingga pesisir Pantai Timur Minahasa.
Ongkor adalah tokoh yang oleh orang Tondano disebut pangasar-ngasaren. Pangasar-ngasaren adalah sosok yang sering mengulang-ngulang cerita yang diwariskan sejak lampau. Dia adalah sosok yang punya kemampuan bercerita, berbahasa Tondano yang baik, punya pengaruh, originalitas tampilan, gaya yang memikat. Di kemudian hari, ceritanya, gaya bercerita dan tampilannya diulang-ulang.
“Ongkor adalah bahasa yang menunjuk ke orang yang suka bercerita. Jadi Ongkor, bukan nama seseorang atau milik satu orang, karena semua kampung punya Ongkor dan di setiap masa, setiap generasi ada Ongkor,” terang Nonutu.
Istilah Ongkor ada yang dilekatkan ke seseorang, sehingga menjadi nama panggilannya. Ada juga yang hanya dalam konteks dia menjadi seorang pencerita kemudian dia menjadi Ongkor. Orang yang cerewet pun kemudian disebut Ongkor.
Dalam budaya Minahasa, sosok Ongkor sesungguhnya adalah orang berpengetahuan yang mendokumentasikan banyak hal. “Saya punya teman yang memiliki kemampuan itu, tapi tidak semua orang memiliki kemampuan seperti Ongkor,” tegasnya.
“Tahun 1980-an, ada teman saya bernama Romy Tumatar, orang Rerewokan, Tondano. Dia torang ja pangge Ongkor. Itu karena dia ada bakat sama deng depe papa yang dijuluki Ongkor. Pedagang daging mar jago bacerita.”
Nonutu memastikan, Si Ongkor akan lebih nyaman ketika dia ba ongkor menggunakan bahasa daerah. “Bahasa kami orang Tondano itu memang dirancang untuk percakapan non-formal, pake baku sedu. Kita boleh bilang ko (kamu) pa kita pe papa kalu dengan bahasa Tondano. Tapi kalau sehari-hari jangan bilang ngana (kamu dalam bahasa Melayu Manado). Itu dianggap kasar dan tidak beretika,” jelasnya.
Bahasa Tondano memang melampaui soal strata dalam masyarakat. Orang tua, tonaas (orang berpengetahuan yang dihormati) pun bisa disapa ko. Karena memang bahasa Tondano demikian, tidak ada strata dalam pergaulan, dalam komunikasi sehari-hari di masyarakat.
“Ngana punya jabatan, Kuntua (Hukum Tua atau kepala Desa), tapi suatu hari tidak lagi memegang jabatan itu. Torang bisa pangge nama pa Kuntua, tidak masalah. Sebab bagi kita orang Tondano, penghormatan itu tidak dihargai lewat bentuk panggilan, sapaan, tapi dalam tindakan. Di Minahasa memang tak ada pembedaan, sebab manusia dihargai karena kualitasnya. Intinya, budaya kita di sini lebih demokratis, lebih terbuka,” tutur Nonutu.
Ongkor biasanya bercerita tentang hal-hal sehari-hari yang dialami masyarakat, termasuk aktivitas di kebun. Biasa juga terkait dengan hal-hal untuk “mengerjai” orang. Sesuatu yang tidak ada, dibilang ada oleh Ongkor.
Mayor Lumanauw atau Efraim Jan Son Lumanauw, tokoh penting yang menurut sejumlah catatan meninggal di Tondano 18 Juni 1948, pernah menjabat Hukum Kedua Sonder tahun 1915, kemudian menjadi Kepala Distrik Tonsea, Maumbi, Toulour, dan menjadi Majoor tahun 1929 saja biasa masyarakat baku sedu akang. Menurut orang-orang tua di Tondano, Mayor Lumanauw matanya skel (juling). Cerita-cerita terkait dengannya dikisahkan para Hukum Tua zaman dulu yang umurnya panjang.
“Kuntua Makalonsow juga skel. Suatu ketika ada yang datang dan memberitahukan ke Kuntua Makalonsow, jika dia dipanggil Mayor Lumanauw karena ada urusan. Padahal warga hanya ingin mereka berdua bertemu karena sama-sama skel. Sedekat itulah masyarakat dengan pemimpinnya di Minahasa,” kata Nonutu.
Cerita-cerita lucu yang terkait peristiwa di masa lampau, memang gemar diceritakan ulang oleh masyarakat, termasuk Ongkor. Seperti cerita di masa Permesta yang dikisahkan dalam bahasa Tondano sebagai sebuah kisah lucu.
“Batalion T kan suka mengambil anjing, ayam dari orang-orang. Suatu ketika mereka hendak mengambil ayam dari seorang bapak. Padahal dia pe ayam laka’ (jantan) sisa satu vor mo pake sebabibit. Om bilang pa tentara Batalion T, tu ayam kurang satu mo pake babibit. Kemudian tentara Batalion T katakan, ‘Sa tuana, Om, pelengnola. Si Om ka si koko’?’ (Om atau ayam yang lebih berharga),” tutur Nonutu.
Itu kisah yang dianggap lucu tapi tragis. Kisah yang diceritakan berulang-ulang hingga kini, yang sebenarnya mau menggambarkan bahwa di masa itu manusia sudah sama harganya dengan binatang.
“Kadang ada kisah seperti itu, walau mungkin susah diterima oleh orang tertentu. Tapi ini fakta yang dikisahkan berulang oleh orang-orang yang pernah mengalami dan menyaksikan peristiwa itu di era Permesta,” ucapnya.
Si Ongkor, Pelawak Berkarakter yang Tetap Abadi
Informasi lain menyebutkan, tradisi Poke’ke’ dengan Ongkor sebagai tokoh sentral masih disaksikan hingga era sebelum kemerdekaan Indonesia. Seperti yang dikisahkan budayawan dan sejarawan Minahasa, Fendy Parengkuan.
“Penampilan Ongkor itu masih dinikmati oleh ayah saya ketika ia berusia muda. Dia lahir tahun 1915 dan menikah 1936. Menurut ayah saya, di saat ia kecil, ia biasa menyaksikan Ongkor beraksi dalam sejumlah hajatan,” kata Parengkuan, Kamis, 25 Januari 2024.
Di masyarakat Minahasa, sejak dahulu hingga kini, Ongkor dijadikan nama panggilan untuk orang yang biasa membual. “Melihat orang membual, mereka katakan, ‘Ko maongkor. Sumiwo tanu si ongkor. Mengua-nguak tanu si ongkor’. Jadi ketika ada yang mulai membual, yang lain mengatakan ‘Meimo si ongkor’ dengan nada geli sambil tertawa,” ujar Parengkuan.
Di Wewelen, Tondano, istilah Ongkor ternyata dikenakan secara khusus untuk laki-laki yang suka membual, tapi ada sebutan lain untuk perempuan. “Kalu untuk perempuan disebut Daso’. Makanya ketika ada perempuan yang mulai membual, orang akan katakan, ‘Ko medaso’ mo kasi’ ei … Ungkapan itu biasa muncul di masyarakat Tondano, Wewelen,” ujar Parengkuan.
Dahulu ada sosok Ongkor yang sangat terkenal di Tondano. Para orang tua hingga generasi kini yang berusia 40 sampai 50-an, masih sering mengisahkan tentang sosok Ongkor yang sangat terkenal dan digandrungi di seantero Tondano. Menurut Parengkuan, Ongkor itu tinggal di simpang empat, batas Wewelen dan Watulambot.
“Dia tinggal di Watulambot, rumahnya menghadap Wewelen. Ia sangat terkenal di tahun 1920-an sampai tahun 1930-an. Ayah saya juga sering menyebut sosok Ongkor itu. Karena Kakek saya sering memanggil Ongkor itu untuk mencangkul di kebun,” terangnya.
Di setiap hajatan, Ongkor selalu ada dan jadi pusat perhatian masyarakat. Ia sering hadir di rumah duka, saat ada yang meninggal dunia. Ia datang untuk menghibur keluarga yang berduka.
“Sepertinya ia kemudian sadar bahwa ia memiliki kelebihan dibanding orang lain dalam membuat cerita-cerita lucu. Jadi dia gunakan itu sampai di acara pernikahan, perayaan hari ulang tahun, dan acara naik rumah baru. Tapi Ongkor dari Watulambot itu, ia memulai di rumah duka, saat ada orang meninggal dunia. Dia menghibur keluarga agar tidak terus larut dalam dukacita, tapi juga menghibur orang-orang yang datang melayat,” jelas Parengkuan.
Walau demikian, di Tondano, Ongkor tidak melucu di depan jenazah. “Menangis itu semacam adat di Minahasa. Di Tondano, semacam kewajiban moral bagi keluarga yang berduka untuk menangis, sebab tanpa tangisan artinya tidak ada penyesalan terhadap kepergian sosok yang meninggal dunia. Makanya, Ongkor itu biasanya bercerita di luar atau di depan rumah, bukan di hadapan jenazah,” kata Parengkuan.
Ongkor terkenal dengan cerita lucu apa saja. Bahkan celetukan dan tingkahnya akan menjadi kisah yang menggelikan bagi masyarakat dan sering diceritakan berulang-ulang.
Cerita Si Ongkor’ yang pernah didengar oleh kakeknya, diceritakan ayah Fendy Parengkuan ke dirinya. Salah satu cerita yang pernah ia dengar dari ayahnya, adalah “Sangarakek Wowole” atau “Setinggi dengan Dayung”.
“Suatu kali Opa pulang kebun sekitar setengah 6 sore. Dia (Ongkor) sudah selesai bekerja jam 5 sore, sesudah itu dia pulang. Rupanya dayung digunakan orang zaman dulu untuk mengukur tinggi matahari, apakah sudah bisa pulang, sudah bisa berhenti bekerja atau belum. Itu biasa dilakukan oleh nelayan-nelayan danau di Danau Tondano,” kisah Parengkuan.
Biasanya, ketika hari sudah sore, dayung akan diangkat oleh para nelayan, ditaruh berdiri di samping perahu, untuk memastikan bahwa sudah waktunya mereka harus pulang.
“Nah, itu semacam peribahasa ‘So boleh pulang’. Tapi khusus untuk orang-orang yang kurang rajin atau malas. ‘Melogo’ te si edo’, artinya hanya mengira-ngira waktu, apakah sudah bisa pulang atau belum. ‘Adoh, masih lama lei kote’. Nda lama mereka berhenti isap roko, lia lagi matahari,” tutur Parengkuan diiringi tawa.
Ketika jam menunjukan pukul 5 sore, Ongkor pulang dari kebun. Pukul 6 lewat 30 menit, Opa dari Fendy lewat dan memanggil Si Ongkor. “Mari jo nae bendi (dokar khas Minahasa)!”
“Ongkor lalu menjawab, ‘Oh, ku mererior’. Dia kata mo bacepat. Kalau mau naik bendi, harus berhenti dulu. Jadi langkahnya akan terhenti kalau dia naik bendi dan itu akan mengurangi waktunya kalau dia berjalan terus. Jadi dia mo talama. Padahal kalau naik bendi, kan dia hanya berhenti sejenak dan naik ke bendi,” ujarnya.
Kalau mendengar ungkapan seperti yang diucapkan Ongkor itu, dalam bahasa Tondano dianggap lucu. Orang kemudian akan mengatakan, “Oh, si ongkor tu’u” sambil melepas tawa.
Jawaban spontan Ongkor akan membuat orang berpikir dan tertawa. Tapi kalau ungkapan itu sudah dalam bentuk bahasa Melayu Manado, sudah tidak akan begitu lucu.
“Gimik, ekspresi, gestur si Ongkor saat mengungkapkannya dalam bahasa Tondano, akan terdengar sangat lucu. Ketika mendengar Ongkor katakan ‘Oh, ku mererior’, Opa meresponsnya, ‘Sei si repet, ti bendi ka apa niko?”. Siapa yang lebih cepat, bendi atau dia (Ongkor). Dia langsung menjawab, ‘Ta’an ta mena’ toh?’. Ongkor memang tidak ada duanya!” kata Parengkuan.
Sebuah Tradisi Penting
Tradisi Poke’ke sangat akrab bagi masyarakat Minahasa. Sebuah tradisi pertunjukan yang telah ada sejak lampau. Pertunjukannya ada yang seperti parodi, ada yang menggunakan narator seperti Ongkor kemudian ada tokoh-tokoh yang memerankan apa yang dinarasikan Si Ongkor. Ada juga Ongkor yang tampil sendiri di atas pentas dan berkisah tentang berbagai macam cerita lucu, dengan cara yang “hampir sama” seperti para komika di zaman kini.
Di Poke’ke’, tokoh-tokoh yang ditampilkan sebagai orang yang cacat tubuh sebenarnya gambaran tentang sifat manusia yang memiliki kekurangan, lebih ke perilaku.
“Tapi dari hasil cerita-cerita yang saya dapat dari para tua-tua, saya menyimpulkan tokoh-tokoh itu sengaja dihilangkan ketika Kekristenan masuk. Karena dianggap bentuk penghinaan terhadap mereka yang difabel. Atau mereka membatasi ekspresi sindiran ke orang-orang ‘cacat’, karena Kekristenan mengajarkan kita harus saling mengasihi, tidak boleh menjadikan orang cacat sebagai lelucon. Padahal di situ salah satu kekuatan tradisi pertunjukkan Poke’ke’. Dari situ, tradisi ini mulai hilang. Itu analisa saya,” kata Glaudy Langi.
Tradisi pertunjukan Minahasa seperti Poke’ke’ sesungguhnya sangat penting. Sebuah cara untuk mengedukasi masyarakat, untuk mengingatkan orang-orang agar tidak berperilaku buruk seperti hewan. Itu juga menjadi ruang penting untuk mengingatkan para pejabat tentang kelakuan buruk mereka.
“Bagi saya, tradisi tua tanah Minahasa ini sudah sewajarnya untuk diangkat, dijaga dan dilestarikan kembali. Bisa diwariskan untuk dinikmati, bahkan ditampilkan kembali oleh anak-cucu kita.
Generasi Minahasa hari ini dan mendatang, penting untuk melestarikan Poke’ke dan sebagai sebuah seni pertunjukkan maupun sebagai tradisi yang menjadi sarana penyampaian pesan, nilai-nilai moral khas masyarakat Minahasa.
“Sebab di cerita-cerita itu selalu ada pesan moral,” tegas Langi.
Penampilan pemeran yang berperilaku seperti “orang cacat” sebenarnya bentuk pendidikan untuk mengajarkan bahwa “perilaku cacat” manusia tidak boleh dilakukan. Sementara perilaku binatang untuk menyindir kelakuan manusia yang seperti hewan. Manusia, ya berperilakulah selayaknya manusia.
“Demikian juga sindiran kelakuan para pejabat, dijadikan bahan tertawaan untuk memberikan pesan kepada masyarakat umum bahwa perilaku demikian tidak baik dan tidak boleh dicontoh, karena akan memberi dampak tidak baik bagi banyak orang dan akan menjadi bahan olok-olok masyarakat,” kunci Langi. (*)
You may like
-
Arnold Baramuli dan Bumi Beringin
-
Memulung Hikmat di Kobong Om Tani Langowan
-
Aroma Pelanggaran HAM Menyeruak Bersama Bau Busuk di Tanjung Merah
-
Mahzani, Bahasa Tombulu dan Festival Wanua Woloan
-
Gelisah Jurnalis di Sekolah Menulis Mapatik
-
Manuk A’pak: Menyegarkan Kebaikan Alam untuk Manusia di Mamasa