ESTORIE
Agama dan Negara dalam Pidato Soekarno 1 Juni 1945
Published
5 years agoon
By
Admin31 Mei 2020
Oleh Denni Pinontoan
“Segenap rakyat hendaknya ber-Tuhan secara kebudayaan, yakni dengan tiada ‘egoisme-agama’” (Soekarno, 1 Juni 1945)
TANGGAL 1 Juni 1945. Di dalam gedung Chuo Sangi In (Badan Pertimbangan Pusat) buatan Jepang (di zaman Belanda, gedung itu adalah Volksraad), puluhan anggota Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) sedang bersidang. Ini hari keempat. Hari pertama dimulai tanggal 29 Mei.
Hari itu giliran Ir. Soekarno menyampaikan pidatonya tentang dasar negara. Setelah menyampaikan arti ‘kemerdekaaan’, dalam pidatonya pada tanggal 1 Juni 1945 itu, di hadapan peserta Sidang BPUPK, Soekarno kemudian melanjutkan dengan gagasan-gagasannya mengenai dasar negara.
Sidang BPUPK digelar sebanyak dua kali. Pertama berlangsung dari tanggal 29 Mei hingga 1 Juni 1945. Kedua berlangsung dari tanggal 10 Juli hingga 17 Juli 1945. Pada sidang pertama yang dibahas adalah dasar negara Indonesia merdeka. Pada sidang-sidang ini terjadi pembahasan alot mengenai dasar negara, apakah kebangsaan atau agama.
“Kita hendak mendirikan negara Indonesia merdeka di atas ‘Weltanschauung’ apa? Nasional-sosialisme-kah, Marxisme-kah, San Min Chu I-kah, atau ‘Weltanschauung’ apakah?” kata Soekarno menggebu-gebu dalam pidatonya itu.
“Pertama-tama, saudara-saudara, saya bertanya: Apakah kita hendak mendirikan Indonesia merdeka untuk sesuatu orang, untuk sesuatu golongan? Mendirikan negara Indonesia merdeka yang namanya saja Indonesia Merdeka, tetapi sebenarnya hanya untuk mengagungkan satu orang, untuk memberi kekuasaan kepada satu golongan yang kaya, untuk memberi kekuasaan pada satu golongan bangsawan?” kata Soekarno lagi.
Lalu Soekarno menyebut nama seorang tokoh Islam: Ki Bagoes Hadikoesoemo.
“Saya minta saudara Ki Bagoes Hadikoesoemo dan saudara-saudara Islam lain: maafkanlah saya memakai perkataan ‘kebangsaan’ ini! Sayapun orang Islam. Tetapi saya minta kepada saudara- saudara, janganlah saudara-saudara salah faham jikalau saya katakan bahwa dasar pertama buat Indonesia ialah dasar kebangsaan,” kata Soekarno.
Siapa Ki Bagoes Hadikosoemo? Mengapa ia disebut Soekarno? Pada tanggal 31 Mei, sehari sebelumnya, Ki Bagoes Hadikosoemo menyampaikan pidatonya.
“Bagaimanakah dan dengan pedoman apakah para nabi itu mengajar dan memimpin umatnya menyusun negara dan masyarakat yang baik? Baiklah saya terangkan dengan tegas dan jelas, ialah dengan bersendi ajaran agama,” demikian tegas Ki Bagoes Hadikosoemo dalam pidatonya itu.
Ki Bagoes Hadikosoemo dalam pidatonya itu memang menginginkan dasar negara Indonesia merdeka adalah Islam. Bukannya cuma dia, beberapa tokoh yang lain, yang disebut kelompok Islam, memiliki pandangan yang sama. Mereka antara lain adalah: Ahmad Sanoesi, Mas Mansoer, Abdoel Kahar Muzakkir, Wachid Hasjim, Masjkoer, Soekiman Wirjosandjojo, Abikoesno Tjokrosoejoso, Agoes Salim dan Abdoel Halim.
Di masa sidang-sidang BPUPK tersebut, Ki Bagoes Hadikosoemo sendiri sementara menjabat sebagai Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah. Ia lahir di Yogyakarta pada 24 November 1890. Ayahnya adalah seorang abdi dalem bidang keagamaan di kesultanan Yogyakarta. Di masa mengembangkan pengetahuan keagamaan, ia antara lain belajar pada KH. Ahmad Dahlan, tokoh pendiri Muhammadiyah.
Soekarno sendiri, dan beberapa tokoh lainnya menginginkan bahwa dasar negara Indonesia merdeka adalah kebangsaan. Itu jelas dalam pidatonya.
“Kita hendak mendirikan suatu negara ‘semua buat semua’. Bukan buat satu orang, bukan buat satu golongan, baik golongan bangsawan, maupun golongan yang kaya, – tetapi ‘semua buat semua’. …Dasar pertama, yang baik dijadikan dasar buat negara Indonesia, ialah dasar kebangsaan,” tegas Soekarno.
Di dalam permusyawaratanlah, menurut Soekarno segala perbedaan-perbedaan diselesaikan. Masing-masing agama menjadikan permusyawaratan untuk membela agamanya, menyampaikan aspirasinya dalam mufakat. Soekarno menunjuk pada lembaga permusyawaratan, yaitu Badan Perwakilan Rakyat
“Dalam perwakilan nanti ada perjoangan sehebat-hebatnya. Tidak ada satu staat yang hidup betul-betul hidup, jikalau di dalam badan-perwakilannya tidak seakan-akan bergolak mendidih kawah Candradimuka, kalau tidak ada perjoangan faham di dalamnya. Baik di dalam staat Islam, maupun di dalam staat Kristen, perjoangan selamanya ada,” jelas Soekarno.
Di dalam perwakilan rakyat itu, menurut Soekarno kalangan Islam dan Kristen ‘bekerjalah sehebat- hebatnya’.
“Kalau misalnya orang Kristen ingin bahwa tiap-tiap letter di dalam peraturan-peraturan negara Indonesia harus menurut Injil, bekerjalah mati matian, agar suapaya sebagian besar dari pada utusan-utusan yang masuk badan perwakilan Indonesia ialah orang kristen, itu adil, – fair play! Tidak ada satu negara boleh dikatakan negara hidup, kalau tidak ada perjoangan di dalamnya,” tegas Soekarno.
Setelah mengemukakan empat prinsip dalam dasar negara, yaitu Kebangsaan Indonesia, Internasionalisme atau peri-kemanusiaan, Mufakat atau demokrasi dan Kesejahteraan sosial, giliran berikutnya Soekarno menyampaikan prinsip kelimat, yaitu ‘Ketuhanan’.
“Prinsip Ketuhanan! Bukan saja bangsa Indonesia bertuhan, tetapi masing-masing orang Indonesia hendaknya bertuhan Tuhannya sendiri. Yang Kristen menyembah Tuhan menurut petunjuk Isa al Masih, yang Islam bertuhan menurut petunjuk Nabi Muhammad s.a.w., orang Buddha menjalankan ibadatnya menurut kitab-kitab yang ada padanya,” urai Soekarno.
Konsep ‘Ketuhanan Soekarno’ rupanya tidak secara teologis atau doktrinal-normatif, melainkan secara kebudayaan. “Segenap rakyat hendaknya ber-Tuhan secara kebudayaan, yakni dengan tiada ‘egoisme-agama’,” katanya.
Di dalam prinsip inilah, Soekarno menegaskan maksudnya apa agama itu. Yaitu menjalankan agama dengan cara yang berkeadaban. “Apakah cara yang berkeadaban itu? Ialah hormat- menghormati satu sama lain,” kata Soekarno.
Mendengar uraian Soekarno itu, hadirin peserta sidang bertepuk tangan.
Pada prinsip inilah Soekarno mengemukakan pemikirannya mengenai seharusnya hubungan antara agama-agama dengan negara.
“Disinilah, dalam pangkuan azas yang kelima inilah, saudara- saudara, segenap agama yang ada di Indonesia sekarang ini, akan mendapat tempat yang sebaik-baiknya. Dan Negara kita akan bertuhan pula!”
Pemikiran Soekarno yang moderat ini sebetulnya sudah muncul sejak jauh-jauh hari sebelum tahun 1945. Di dalam tulisannya berjudul “Apa Sebab Turki Memisah Agama dari Negara” dalam Panji Islam tahun 1940, Soekarno menyari apa yang dipelajarinya dari tindakan Kamal Ataturk, tokoh Turki modern itu, dengan berkata, “Saya merdekakan Islam dari negara, agar Islam bisa kuat, dan saya merdekakan negara dari agama, agar negara bisa kuat.”
Dari pidatonya itu, tulisan-tulisannya yang moderat sebelum tahun 1945, menunjukkan pengetahuan dan prinsip-prinsip Soekarno yang mungkin, pun di zaman ini masih banyak orang yang sulit mengerti. Pemikiran-pemikiran yang melampaui zaman itu hanya dapat muncul dari seorang yang memiliki kesadaran tinggi pada kemanusiaan, religiusitas yang melampaui orthodoksi keagamaan, dan tentu keberanian untuk melintas batas. Pun pada sidang-sidang BPUPK itu, gagasan-gagasan luar biasa Soekarno tentang agama dan negara tidak langsung dimengerti oleh banyak orang. (*)