GURATAN
Agama dan Sains setelah Pandemi Covid-19
Published
5 years agoon
By
philipsmarx16 Mei 2020
Oleh Denni Pinontoan
PANDEMI coronavirus disease 2019 (Covid-19) memberi pelajaran kepada kita, bahwa agama itu bukanlah ‘pemadam kebakaran’.Berdoa dan membaca kitab suci tidak dapat membunuh virus. Tidak dapat membuat tubuh manusia memiliki imunitas ketika diserang virus. Tidak dapat menyembuhkan orang-orang yang sakit karena terpapar virus.
Tapi juga sains: ilmu pengetahuan, teknologi medis dan teknologi digital tidak dapat memberikan resep siap pakai bagaimana menghadapi ketakutan, kecemasan, dan penderitaan akibat pandemi serta perasaan sedih karena ditinggalkan oleh orang terkasih. Pada hal ini, orang-orang lebih percaya kepada agama. Tapi untuk kesembuhan tubuh dari paparan virus, orang-orang bergantung pada teknologi medis.
“…pada saat krisis di seluruh dunia, kita melihat bahwa kebanyakan orang lebih percaya sains daripada sumber lainnya,” ujar Yuval Noah Harari dalam wawancara dengan Deutsche Welle April lalu.
Sebelum Pandemi Covid-19, kelompok-kelompok tertentu dalam Kristen sering sekali menampilkan diri sebagai ‘pengganti medis’ melalui ‘KKR penyembuhan Ilahi’ yang mereka gelar. Praktek ini seolah mau memberi kepastian eksak, bahwa Tuhan itu ada dan memiliki kuasa atas penyakit. Pada kelompok keagamaan lain, doktrin dan cara hidup beragama dipahami dan diperjuangkan sebagai satu-satunya jalan untuk mengatasi kehidupan duniawi.
Pokoknya, sebelum masyarakat dunia hanya dapat percaya pada pekerja medis, ventilator, dan berharap pada vaksin untuk menghadapi pandemi covid-19, agama-agama, oleh kelompok-kelompok tertentu di dalamnya, telah berusaha menghadirkan Tuhan secara eksak, rasional dan mutlak untuk semua aspek kehidupan. Pada banyak hal, demi revolusi pemikiran dan fisik atas nama Tuhan, iman dipertentangkan dengan ilmu atau sains.
Harari mengatakan, “Dalam beberapa tahun terakhir, kita telah melihat banyak politisi populis menyerang sains, mengatakan bahwa para ilmuwan adalah segelintir elit terpencil yang terputus dari masyarakat, mengatakan bahwa hal-hal seperti perubahan iklim hanya bohong belaka.”
“Kita telah terbiasa berpikir bahwa agama harus menyediakan informasi bagi kita. Apakah Tuhan ada? Bagaimana dunia terbentuk? Tetapi, ini adalah penyimpangan modern,” tegas Karen Armstrong dalam epilog bukunya The Case for God: What Religion Really Means, terbit tahun 2009, (terjamahan dalam bahasa Indonesia diterbitkan oleh Mizan tahun 2011).
Modernitas telah mengarahkan orang-orang beragama untuk hanya percaya kepada Tuhan yang dapat dibuktikan ‘ada’. Iman mesti logis dalam pengertian ilmiah, bukan mistis yang mitologis yang mengarahkan orang-orang pada pencarian terdalam mengenai kebenaran. Rasionalisme mengajarkan tentang cara percaya hanya kepada yang dapat diindera.
Padahal, kata Armstrong, “Agama tidak pernah seharusnya menyediakan jawaban atas pertanyaan yang berada dalam jangkauan akal manusia.”
Akal bukan tidak berguna sebab dalam iman orang beragama, itu juga adalah karunia. Namun, akal dalam pengertian modernitas adalah kemampuan membuktikan atau menghadirkan bukti agar sesuatu dapat dipercaya. Pada banyak hal, optimalisasi akal yang menopang pengembangan ilmu pengetahun dan teknologi telah berjasa pada manusia untuk kehidupannya.
Tapi juga, agama-agama telah bersama-sama dengan manusia melewati kehidupan pasca bencana-benca besar, kehancuran karena revolusi berdarah, perang, dan krisis sosial, politik dan ekonomi. Itu dimungkinkan karena agama telah ditransformasi oleh perubahan besar karena bencana. Terutama dalam hal memberi harapan, kedamaian, dan nilai-nilai etis untuk makin mencintai kehidupan bersama.
Sains dan teknologi akan terus berkembang. Semakin banyak hal yang akan dapat dijawab dan dimudahkan olehnya bagi manusia menjalani kehidupannya. Ketika terjadi Black Death abad 14, ilmu pengetahun dan teknologi medis belum berkembang. Tapi segera itu, bencana besar ini mendorong manusia untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi medis. Penyebab kematian puluhan juta orang pada bencana Black Death itu tidak punah, tapi teknologi medis dapat menjinakkannya. Demikian, belajar dari pandemi Flu Spanyol tahun 1918, dan wabah-wabah lainnya, teknologi medis yang dipadukan dengan kebijakan politik, dan edukasi kepada masyarakat dapat menyelamatkan jutaan jiwa orang dari wabah-wabah yang lain.
Tapi, kematian karena wabah masih juga tetap terjadi. Dan, dengan demikian upaya untuk mengembangkan teknologi juga dilakukan. Hingga pandemi Covid-19 ini, para ilmuwan masih berusaha meneliti vaksin untuk mengatasi wabah ini.
Tapi masa di antara pandemi atau wabah dalam sejarah, agama-agama juga berusaha tampil sebagai penyelamat. Di era rasionalisme, agama berusaha membuktikan klaimnya sebagai yang dapat menjawab semuanya. Maka, pada satu pihak Tuhan berusaha dijelaskan mengikuti metode berpikir rasionalisme, dan pada pihak lain tafsir terhadap agama dibuat berusaha menjadi ideologi untuk menyaingi sains. Kaum kreasionis tampil untuk berbebat dengan kelompok evolusionis.
Maka, iman kepada Tuhan pada satu pihak menjadi positivistik, dan pada pihak lain menjadi ideologis. Sementara rasionalisme kemudian menjadi sangat ekstrim, yang antara lain berusaha menyingkirkan kesadaran mistis dan mitologis adanya Tuhan. Pada kedua kutub itu, sebetulnya tentang Tuhan itu adalah tafsiran mengikuti atau terperangkap pada logika “Tuhan itu ada nanti jika Dia dapat dibuktikan secara material.”
Maka sejak saat itulah agama bukan lagi ‘jalan spiritual’ yang mengantar orang-orang pada pencarian tentang kedalaman arti percaya kepada Tuhan, makna menjadi manusia yang hidup secara bersama, dan nilai serta tujuan dari kehidupan dalam kesadaran kemanusiaan yang mendalam. Kaum fundamentalis Kristen membuat agama menjadi lembaga hukum moral atau ideologi dengan kitab suci sebagai kumpulan hukum. Tapi, alih-alih menjadi ekslusif dalam arti menghindar dari rasionalisme atau sebaliknya menjadi anti magisme,kalangan konsertvatif justru berusaha menyatakan Tuhan itu ada dengan praktek-praktek penyembuhan Ilahi sebagai pertunjukkan.
Maka, agama buah modifikasi modernitas adalah pertunjukkan bukan penghayatan. Realitas bukan direfleksikan melainkan dieksploitasi. Bencana alam, wabah penyakit, perang, kemiskinan, krisis sosial, politik dan ekonomi dieksploitasi sebagai dosa. Maka, pertobatan dalam bentuk konversi adalah ‘jalam keselamatan’ dari semua dosa itu. Agama-agama berlomba-lomba menghitung angka jumlah pengikut. Hingga pada akhirnya, segala macam krisis membuat orang-orang kehilangan pegangan pada perdamaian, solidaritas, dan kemanusiaan.
Teknologi yang tak pernah berhenti itu, tiba pada satu masa mencapai tingkat yang cukup luar biasa. Realitas ada di genggaman tangan. Realitas hadir dalam representasi kode-kode digital. Inilah era digital.
Di saat belum ada kritik yang hebat atau refleksi yang mendalam agama-agama terhadap perkembangan itu – seperti debat antara kaum evolusionis dan kreasionis di abad lampau – eh tiba-tiba datang virus corona, pandemi Covid-19 yang mengharuskan orang-orang sedunia melakukan hampir semua hal dari rumah, termasuk beragama. Maka, teknologi digital, internet diterima dengan tanpa banyak protes. Beribadah, katanya berjumpa dengan Tuhan dari rumah menggunakan gadget yang terhubung internet.
Tanpa ada diskurus teologis yang mendalam dengan waktu yang panjang, pandemi covid-19 mendesak orang-orang beragama segera memasuki cara beragama yang sama sekali baru, setidaknya sejak agama menjadi lembaga terstruktur dan ketat dengan aturan. Kalau sebelumnya beribadah itu adalah berkumpul bersama di gedung sakral, kini di rumah sendiri dengan mimbarnya adalah layar smartphone atau laptop. Di layar datar itu, oleh orang-orang beragama tetap meyakini Tuhan ada dan hadir.
Agama dan sains sejenak berdamai. Sambil berdoa, orang-orang beragama berusaha mematuhi protokol bersama agar virus tidak makin menyebar. Para agamawan berperan meyakinkan umat pentingnya memakai masker, rajin mencuci tangan dan jaga jarak. Dalam doa-doa disebutkan keselamatan para pekerja medis, dan pula memohon kepada Tuhan agar vaksin segera ditemukan oleh para ilmuwan.
Meski tidak beribadah bersama di rumah ibadah dan mempraktekkan tata cara agama yang sebelumnya dipercaya sama ketatnya dengan percaya kepada Tuhan, namun orang-orang beragama tetap membutuhkan agama. Karena pada hal orang-orang tidak dapat melihat virus yang dirasa sedang mengejarnya, tapi solidaritas antar penganut adalah nyata dalam saling menghibur, membantu dan menguatkan.
Ketika semua tatacara beragama menjadi sangat terbatas untuk diekspresikan, orang-orang beragama tetap yakin bahwa Tuhan itu ada dalam doa-doanya. Dalam situasi identitas agama bukan untuk memberi kenyamanan atau kebanggaan politis, ajaran agama tentang pengharapan memberi kekuatan pada umat beragama. Ini semua adalah bentuk penghayatan atau beriman secara subjektif dan pribadi tapi ingatan-ingatan kolektif pengajaran agama membuat orang-orang beragama terhubung secara spiritual.
Slavoj Žižek, filsuf asal Slovenia yang sering disebut sebagai ‘ateis Kristen’ mengatakan, pandemi ini menghasilkan ‘semacam kemajuan etis’. Lalu, John Lennox, seorang matematikawan Oxford yang bekerja sambilan sebagai penginjil Kristen menyebut, pandemi ini membantu ‘pembentukan karakter’.
Zizek baru menerbitkan buku berjudul Pandemic! Covid-19 Shakes the World by Slavoj Žižek (diterbitkan OR Books), sementara Lennox buku barunya juga tentang pandemi berjudul Where Is God in a Coronavirus World? (diterbitkan Good Book Company). Ulasan pemikiran kedua tokoh itu dalam buku mereka masing-masing menjadi satu sajian artikel di The Guardian (www.guardian.com, edisi 3 Mei 2020). Sebuah dialog antara seorang filsuf dan penginjil Kristen.
Dengan dasar dan pendekatan yang berbeda, kedua tokoh ini sebetulnya sepakat, bahwa pandemi ini mengubah cara orang memikirkan tentang realitas, tentang apa yang ada di balik atau di atas realitas, pentingnya tranfsormasi nilai dan juga tujuan-tujuan hidup. Dalam sejarah, sejumlah bencana besar memang mendesak atau membantu orang untuk menata kembali cara memikirkan, merefleksikan dan mengimajinasikan kehidupan yang lebih baik.
Agama sebagai wadah, ruang atau bagian dari upaya memikirkan makna yang terdalam, religiusitas dan spiritualitas hidup, akan berubah pula. Sains, akan pula banyak mempertimbangkan aspek etis. Demikian, yang diharapkan bahwa pandemi ini akan membantu kita untuk melihat agama dan sains, bukan lagi sebagai putih dan hitam. Dialog yang lebih terbuka dan saling mengisi antara keduanya akan lebih berguna untuk masa depan manusia, ketimbang irasionalisme ekstrim beragama atau rasionalisme ekstrim sains, yang hanya menghasilkan brutalisme seperti yang sudah ditunjukkan oleh sejarah.
Sains masa depan mungkin akan mencapai tingkat yang tertinggi melalui pengembangan teknologi Artificial Intelligence (kecerdasan buatan) dengan melahirkan mesin, komputer dan robot yang akan makin menyerupai manusia. Agama-agama, agar tidak kehilangan posisi dan peran, mesti pula mengembangkan kualitas kehadirannya bagi manusia dan kehidupan bersama.
Pada suatu masa, ketika robot yang cerdas telah menjadi teman manusia di rumah, hilir mudik di jalan, justru manusia akan merindukkan narasi-narasi yang menghibur mentalnya, narasi tentang indahnya ‘taman Eden’ yang damai, kehidupan yang saling berbagi. Dalam agama-agama demikianlah manusia menjumpai Tuhan yang Maha Ada. Agama yang terstruktur, hirarki, ketat dengan aturan hukum moral, bukanlah pilihan untuk masa depan. (*)