Published
5 years agoon
By
philipsmarx7 November 2019
Oleh: Febriani Sumual
kelung.com – Sebuah serangan mematikan terjadi Selasa malam (5 November) di Yala, Thailand dan menewaskan 15 orang. Serangan yang diduga dilakukan oleh gerilyawan separatis tersebut merupakan salah satu serangan terburuk dalam tahun-tahun konflik berkepanjangan yang telah menewaskan ribuan orang. Provinsi Yala yang terletak di bagian selatan Thailand, adalah satu dari tiga provinsi yang didominasi oleh Muslim Melayu yang telah selama bertahun-tahun merupakan wilayah kampanye penuh kekerasan dari berbagai kelompok separatis dalam upayanya untuk memisahkan diri dari Kerajaan.
Serangan tersebut menyasar salah satu pos pemeriksaan keamanan menewaskan seorang perwira polisi serta belasan tenaga keamanan sukarelawan. Para sukarelawan ini adalah rekrutan otoritas keamanan Thailand dari penduduk-penduduk desa yang dianggap loyal kepada Bangkok dan Kerajaan. Namun sejauh ini, belum ada klaim pertanggungjawaban dari kelompok separatis manapun seperti biasa jika terjadi serangan sejenis di masa lalu.
Kepada REUTERS, Juru Bicara Keamanan Region, Kolonel Pramote Prom-in, menduga kuat bahwa serangan tersebut dilakukan oleh kelompok separatis bersenjata. “Ini sepertinya pekerjaan para pemberontak,” meski sejauh ini belum ada bukti yang menguatkan dugaan tersebut. Kolonel Pramote Prom-in mengatakan bahwa proses pengejaran terhadap para pelaku penyerangan tersebut mengalami hambatan karena mereka juga menggunakan bahan peledak dan paku yang disebar di jalan. “Ini adalah salah satu serangan terbesar dalam beberapa waktu terakhir,” kata Prom-in.
Pemberontakan separatis untuk menuntut kemerdekaan telah berlangsung lebih dari satu setengah dekade di bagian selatan negeri tersebut, dengan intensitas paling tinggi terdapat di provinsi Yala, Pattani, dan Narathiwat – tiga region yang mayoritas didiami oleh Melayu Muslim, berkebalikan dengan Thailand yang mayoritas penduduknya beragama Buddha. Menurut Deep South Watch, rentetan kampanye kekerasan tersebut telah menewaskan hampir 7.000 orang sejak 2004.
Ketiga provinsi di bagian selatan Thailand tersebut, dahulu merupakan wilayah Kesultanan Patani. Mereka dianeksasi dan menjadi bagian dari Thailand pada awal abad ke-20. Konflik ini muncul di permukaan sejak sejak 1902, tahun ketika Kerajaan Siam memulai kampanye untuk mencaplok Kesultanan Patani.
Walau ditaklukkan pada 1909, hingga kini populasi Yala, Pattani, dan Narathiwat tetap dominan. Lebih dari 80% penduduk di wilayah ini adalah Melayu beragama Islam. “[Muslim Melayu] berbeda dari kebanyakan orang di seluruh Thailand, baik secara budaya, etnis atau agama,” kata Rungrawee Chalermsripinyorat, seorang analis independen yang berbasis di Australia, kepada BBC News. Muslim Melayu ini berperang “melawan asimilasi budaya, [tetapi justru direspon] dengan represi tanpa ampun oleh pihak Kerajaan”, kata Chalermsripinyorat.
Perjuangan menuntut kemerdekaan ini sendiri tidak dilakukan oleh satu kelompok tunggal yang menandai periode-periode kekerasan di wilayah ini. Kelompok separatis pertama muncul pada awal 1940-an. Puncak dari aktivitas mereka terutama di tahun 1960-an dan 1970-an dan spiral kekerasan tidak surut sampai pertengahan 1980-an.
Namun, sejak 2004 konflik telah memasuki fase eskalasi baru, dengan aksi-aksi kekerasan yang terkonsentrasi di Pattani, Narathiwat, dan Yala. Eskalasi kekerasan tersebut memicu penambahan tenaga keamanan Kerajaan Thailand sebagai satu-satunya bentuk pendekatan yang membuat tiga provinsi tersebut menjadi serupa zona perang.
Sejak tahun 1993 – tahun paling awal dimana pengumpulan data oleh Deep South Watch dimulai – hingga tahun 2000, terdapat total 468 insiden kekerasan, di atas semua kekerasan terhadap fasilitas publik dan pasukan keamanan. Antara Januari 2001 dan April 2007, angka tersebut telah melonjak menjadi 6.965 insiden.
Untuk periode Januari 2004 hingga Desember 2007, Deep South Watch melaporkan bahwa serangan pemberontak dan tindakan kontra-pemberontakan oleh pasukan keamanan telah menyebabkan lebih dari 7.000 orang terluka atau mati. Sementara jumlah korban dalam sembilan bulan pertama tahun 2008 telah menurun, kebrutalan serangan terhadap penduduk sipil telah meningkat. Selain itu, ketegangan antara umat Buddha dan Muslim juga makin meningkat di tingkat lokal.
Terdapat tiga kelompok utama yang masing-masing menjalankan strategi yang hampir serupa: kampanye kekerasan yang terutama ditujukan kepada aparat keamanan Kerajaan Thailand.
Pada Agustus lalu, otoritas keamanan Thailand menangkap sejumlah orang yang dituduh bertanggungjawab atas serangkaian bom kecil yang diledakkan di Bangkok. Salah satu kelompok separatis terkemuka di wilayah ini, Barisan Revolusi Nasional (BRN), membantah bertanggung jawab atas pemboman Bangkok, yang melukai empat orang. BRN mengklaim telah mengadakan pertemuan tertutup dengan perwakilan Kerajaan Thailand pada akhir Agustus lalu, namun tidak ada kesepakatan yang berhasil dicapai. Buntunya perundingan tersebut terutama disebabkan oleh keengganan Perdana Menteri Thailand, Prayuth Chan-ocha untuk membebaskan para tahanan politik sesuai tuntutan BRN. (*)
Editor: Andre Barahamin
Foto: Reuters