FEATURE
Aliaa Magda Elmahdy, Protes dengan Tubuh
Published
5 years agoon
By
philipsmarx7 April 2019
Oleh: Denni Pinontoan
Ketika seolah tidak ada cara lain menggugat pemenjaraan tubuh perempuan dengan doktrin dan politik patriarkhi, Allia Magda Elmahdy pilih protes dengan cara bugil
ALIAA MAGDA ELMAHDY adalah seorang blogger dan aktivis perempuan yang berani dari Mesir. Ia bikin blog yang berisi foto-foto bugilnya dan pesan-pesan protes terhadap ketidakbebasan dan diskriminasi terhadap perempuan di Mesir. Pada Desember 2012 bersama sejumlah temannya, Aliaa lalukan aksi dengan tidak sehelai pun benang menempel di tubuh di depan Kedutaan Besar Mesir di Stockholm. “Sharia is not a Constitution,” begitu tulisan di tubuhnya yang bugil saat demo tersebut.
Aliaa mendefinisikan dirinya sebagai “sekuler, liberal, feminis, vegetarian, individualis Mesir”. Aliaa masih belia. Ia lahir pada tahun 1991. Jalan yang dipilihnya adalah menjadi aktivis memperjuangkan hal-hak perempuan di Mesir. Ia perempuan radikal. Berani, secara terbuka menantang struktur sosial Mesir. Foto-foto telajang di blognya, ia sebut sebagai “jeritan masyarakat terhadap kekerasan, rasisme, seksisme, pelecehan seksual dan kemunafikan”.
Aliaa adalah seorang bekas mahasiswi American University of Cairo. Ia sering mendapat ancaman dibunuh oleh kelompok-kelompok yang tidak senang dengan cara-caranya. Pada 2013 , Aliaa mencari suaka politik di Swedia karena tak mau dipenjara, setelah ancaman diculik dan dibunuh. Ia juga melarikan diri dari upaya perkosaan.
Mengapa Aliaa protes dengan cara tampilkan foto-foto telanjang? Ketika diwawancarai CNN akhir 2011, Aliaa mengatakan, dia melakukan itu karena tidak malu menjadi seorang wanita dalam masyarakat di mana perempuan hanyalah obyek seks.”
“Foto adalah ekspresi diri saya dan saya melihat tubuh manusia sebagai yang terbaik merepresentasi artistik itu,” kata Aliaa lagi.
Dalam wawancara itu, Aliaa juga mengatakan, dia adalah orang yang suka tampil berbeda. Dia mencintai hidup, seni, fotografi dan mengungkapkan pikirannya melalui tulisan lebih dari apapun.
“Itu sebabnya saya belajar media dan berharap dapat membawanya lebih jauh ke dunia TV, jadi saya bisa mengungkap kebenaran di balik kebohongan kita bertahan sehari-hari di dunia ini. Saya tidak percaya bahwa kita harus memiliki anak hanya melalui perkawinan. Ini semua tentang cinta.”
Menariknya, meski menerima praktek seks tanpa hubungan pernikahan, Aliaa mengaku menentang praktek aborsi.
Aliaa tinggal di sebuah negara yang sejak tahun 1981 dipimpin oleh hanya satu Presiden, Mohamed Hosni Mubarak. Awal 2011 terjadi perubahan besar di Mesir. Pada akhir Januari 2011 rakyat Mesir menuntut Mubarak turun dari jabatannya. Terjadi demonstrasi besar-besaran selama kurang lebih 18 hari. Akhirnya11 Februari 2011 Hosni Mubarak resmi mengundurkan diri. Peristiwa pengunduran diri Mubarak menjadi tahap baru bagi negara yang dari 74 juta penduduknya 90% diantaranya beragama Islam sisanya beragama Kristen (Coptic).
Presiden yang menggantikan Mubarak adalah Mohammed Morsi dari Ikhwanul Muslimin. Ia resmi menjadi Presiden Mesir pada bulan Juli 2012. Namun, Morsi tidak bertahan lama. Ia terus mendapat tantangan dari kelompok oposisi dan sekuler. Penolakan terhadap rezim Morsi antara lain tentang upayanya memformalisasi syariah dalam konstitusi Mesir.
Pertengahan Februari 2013 lalu sejumlah perempuan di Mesir melakukan demo tolak kekerasan terhadap kaumnya yang semakin massif pasca revolusi 2011. Sejak akhir tahun 2012, para feminis di Mesir khawatir konstitusi baru Mesir dapat makin mengecilkan hak-hak kaum perempuan.
Nihad Abu El Konsam feminis Mesir cemas, bahwa kaum Islamis menggunakan konsititusi baru untuk menjadikan Mesir kembali mundur. Nihad Abu El Konsam adalah juga Pengacara sekaligus direktur Pusat Hak Perempuan Mesir. “Ini bencana. Pada kenyataannya, tak satupun pasal dalam naskah konstitusi itu yang mengedepankan hak perempuan,“ papar Nihad Abu El Konsam seperti diirilis Deutsche Welle.
Dia juga mengatakan, pasal dalam konstitusi, yang menyatakan semua warga negara setara, dinyatakan sejak tahun 1971. Namun, ujar Abu El Konsam, “…sejak saat itu, sudah 40 tahun, perempuan merasakan diskriminasi di segala bidang. Hingga kini tidak ada hakim perempuan yang mempunyai posisi sama dengan laki-laki. Demikian pula di dunia industri, terjadi diskriminasi dalam soal pembayaran upah dan kesempatan pelatihan. Tingkat pengangguran perempuan empat kali lebih tinggi dibanding laki-laki. Kami tak punya undang-undang kekerasan domestik.Kalaupun kasusnya dibawa ke pengadilan, pelakunya dibebaskan.“
Aliaa Magda Elmahdy hadir dalam konteks revolusi dan masa transisi Mesir. Tapi, ia mengaku, sebagaimana ia sering berbicara kepada media, memilih tidak menjadi bagian dari arak-arakan demonstran revolusioner di jalanan. Ia memilih caranya sendiri sebagai perempuan. Tubuhnya adalah alat protes, memprotes kontrol kuasa atas tubuh perempuan.
Kritik Aliaa terhadap Kewajiban Berhijab
Pada Maret 2016 Aliaa melakukan protes seorang diri di depan tempat kegiatan bertema “Hijab som politiskt motstånd” (hijab sebagai perlawanan politik). Kegiatan ini dilaksanakan di Mångkulturellt centrum (pusat multi-budaya) di Fittja, Swedia pada 6 Maret, dua hari sebelum Hari Perempuan Internasional.
Dengan tubuh telajang di bagian atas, membiarkan payudaranya terbuka tanpa ditutup sehelai benang pun, dalam aksi itu Aliaa poster bertuliskan “Hijab is Sexism Not Anti-Racism”.
Di blognya, Aliaa menulis tentang aksi itu dan pandanganya tentang hijab. Menurut dia, kewajiban menggunakan hijab telah memosisikan perempuan seperti properti.
“Wanita adalah orang bukan benda,” kata Aliaa.
“Ketika saya berbicara tentang jilbab, saya tidak berbicara tentang selembar kain, tetapi tentang seperangkat aturan lengkap tentang bagaimana wanita harus berperilaku, bersembunyi dan menarik diri,” tulisnya.
Bagi dia, seorang wanita yang berkerudung misalnya tidak memiliki kebebasan bergerak atau kebebasan seksual. Karena perempuan dipandang sebagai properti bagi kehormatan laki-laki. keluarga perempuan, kerabat, suami dan keluarga suami ikut campur dalam cara berpakaian perempuan.
“Wanita bahkan diperlakukan sebagai properti publik, jadi jika keluarga langsung wanita gagal mengendalikannya, orang asing akan masuk untuk memperbaiki penampilan dan perilakunya dengan kekerasan seksual,” ungkap Aliaa.
Aliaa mengaku telah bertemu dengan banyak wanita yang dipaksa atau ditekan untuk mengenakan hijab. Para perempuan itu ingin melepaskan hijab mereka, tetapi takut akan dipenjara, dipikul atau menerima penolakan sosial.
“Sahabat saya dikunci dan disiksa di rumah sakit jiwa setelah ia melepas hijab yang terpaksa ia kenakan sebagai seorang anak, dan hanya dianggap cukup waras untuk dilepaskan ketika ia mengenakannya lagi di luar kehendaknya. Saya juga mengenal seorang wanita yang dikurung di rumah orang tuanya dan melompat dari lantai dua untuk melarikan diri dari ancaman dibunuh oleh keluarganya setelah dia melepas hijab dan banyak wanita lain yang dikurung, dipukuli, menjalani tes keperawanan, rambut mereka dipotong dan buku-buku milik mereka dihancurkan karena menolak kewajiban untuk berhijab,” tutur Aliaa.
Orang-orang boleh saja tidak setuju dengan cara Aliaa. Tapi adalah fakta, setiap penindasan selalu menjadi konteks lahirnya perlawanan, dengan cara yang paling halus sampai yang paling radikal. Dari berteriak-teriak di jalanan, menulis dengan keras, membakar tubuh, sampai seperti Aliaa, protes dengan telanjang tubuh.(*)
Editor: Daniel Kaligis