Published
4 years agoon
By
Admin08 Juni 2020
Oleh Denni Pinontoan
Nekat menjadi perawat, dari Sangihe Alpiah Makasebape ke Manado, Ujungpandang, dan ke Jakarta sekolah perawat lalu menjadi pengasuh Ade Irma Suryani Nasution hingga diterima sebagai bagian dari keluarga besar Jenderal A.H. Nasution
JAKARTA, 30 September 1965. Ibu kota dalam keadaan mencekam. Jaringan komunikasi telepon terputus. Sebuah aksi penculikan dan pembunuhan para jenderal sedang berlangsung.
Hari mendekati pagi tanggal 1 Oktober. Abdul Haris Nasution adalah salah satu target jenderal yang akan diculik. Penghuni rumah yang terletak di jalan Teuku Umar, No. 40, Menteng ini semua sedang terlelap dalam tidur. Sekelompok orang berseragam tentara mendatangi rumah itu.
Bunyi suara tembakan menggelegar. Orang-orang di rumah itu terbangun. Mereka seketika ketakutan. Panik. Seorang ajudan yang tidur di bagian belakang rumah terbangun. Dengan sigap ia lalu berlari menuju bagian depan rumah.
“Mana Nasution?!” tanya seseorang.
“Saya ajudan Nasution,” balas Piere Tendean.
Ajudan itu lalu ditangkap dan dimuat ke dalam mobil.
Alpiah Makasebape, perawat dan pengasuh di rumah itu mendengar dialog antara sekelompok orang berseragam tentara dengan Piere.
“Mereka salah mendengar. Mereka kira Piere menjawab, ‘saya Nasution’”, tutur Alpiah tentang suasana mencekam pada malam 30 September 1965 di rumah Jenderal Nasution dalam film dokumenter berjudul Pengasuh 65 yang diproduksi oleh Sangihe Documentary Film tahun 2019.
Meski sudah 50-an tahun berlalu, tapi kejadian itu masih membekas dalam ingatan Alpiah. Seorang gadis mungil yang diasuh dan sangat dekatnya, Irma Suryani Nasution menjadi korban penembakan pada malam tragis itu. Di dalam film dokumenter itu, sesekali Alpiah menarik nafas panjang dan menangis ketika menyebut nama Irma Suryani Nasution.
Pada kejadian malam itu, Jenderal Nasution lolos. Ia melompati tembok dan mendarat di halaman gedung Kedutaan Besar Irak. Tapi anaknya, Irma Suryani Nasution, tertembak di bagian punggung ketika sedang digendong oleh bibinya Mardiah. Tiga timah panas bersarang di tubuh gadis mungil itu. Ia sekarat. Dilarikan ke rumah sakit dalam keadaan tubuh berdarah.
Perawat yang Mengasuh Irma Suryani Nasution
Waktu kejadian itu usia Alpiah mendekati 29 tahun. Alpiah lahir di Hesang – Tamako, Tahuna pada 25 Desember 1936. Ketika remaja, Alpiah memiliki keinginan kuat menjadi perawat. Tapi, di tahun 1959, tidak ada sekolah perawat kesehatan yang menerima pendaftaran siswa baru, di Tahuna maupun di Manado sebagai ibu kota provinsi Sulawesi Utara. Di masa itu sedang terjadi pergolakan Perjuangan Semesta (1957-1962). Perang mulai terjadi tahun 1958.
Alpiah pun lalu nekat merantau keluar dari kampungnya, Tamako. “Mulai dari yang terdekat, Kota Tahuna, lanjut ke Manado, Ibukota Sulawesi Utara, lalu ke Ujung Pandang, Ibukota Sulawesi Selatan, dan berakhir di Ibukota Negara, Jakarta,” tulis Adolfs Basthian Kirimang, seorang kaskuser (istilah pengguna aktif situs komunitas maya Kaskus.or.id) dalam catatan hasil wawancaranya tahun 2017 yang berkisah tentang Alpiah.
Di Ujungpandang (kini Makassar) pun tidak ada sekolah kesehatan yang menerima mahasiswa baru. Untung di sana, ada tantenya yang memperkenalkan dia dengan Yayasan Dr. A. Tilaar. Yayasan ini antara lain menyelenggarakan pendidikan untuk calon perawat kesehatan di Jakarta.
Yayasan Dr. A. Tilaar berdiri tahun 1954. Pada tahun 1958, yayasan berpusat di Jalan Karet Belakang Jakarta. Nama awal yayasan diambil dari nama Dokter ahli paru-paru asal Minahasa, yaitu Adolf Tilaar. Ketika Queen Emma Sanatorium di Noongan, Langowan (kini RSUD Noongan) yang khusus merawat pasien penyakit paru-paru berdiri pada 16 Juli 1934, direkturnya adalah Dr. Adolf Tilaar. Maksud awal pendiriannya adalah sebagai ‘sanatorium’ atau fasilitas medis khusus untuk penyakit yang membutuhkan perawatan yang lama, seperti TBC.
Istri Dr. Adolf Tilaar adalah Dra Puck Ratulangi, atau lebih dikenal dengan nama Suster Konda. Pada waktu itu suster Konda adalah Zuster Kepala pada Rumah Sakit tersebut.
Pada tahun 1968, nama yayasan Tilaar berubah menjadi Yayasan Pendidikan Kesehatan dan Kesejahteraan (PKK) Kebon Nanas. Yayasan Tilaar antara lain memiliki program beasiswa untuk calon perawat yang disebut “beasiswa district nurse”.
Dari Makassar Alpiah lalu berangkat ke Jakarta untuk mengikuti pendidikan keperawatan yang diselenggarakan oleh yayasan Dr. A. Tilaar. Alpiah memperoleh ijasah dari lembaga pendidikan tersebut.
“Di Kebon Nanas inilah kami belajar keperawatan. Saya lulus dari situ mendapat ijasah sebagai perawat,” ujar Alpiah seperti terdokumentasi dalam film Pengasuh 65.
Tanggal 19 Februari 1960, istri Jenderal Nasution, Johanna Sunarti, melahirkan putrinya yang kedua, Irma Suryani Nasution di RS St. Carolus, di jalan Salemba. Dua minggu kemudian, sang ibu mencari perawat yang akan mengasuh bayi perempuannya itu. Pak Nas dan Ibu Nas lalu menghubungi Yayasan Tilaar, kebetulan beberapa pengurus yayasan itu adalah kolega mereka.
Alpiah masih mengingat hari kedatangan Ibu Johanna di sekolah mereka. Katanya, waktu itu direktrisnya adalah seorang perempuan asal Tondano bermarga Senduk. Dia memberi pengumuman kepada mereka bahwa Ibu Nasustion mencari perawat yang akan mengasuh anaknya yang baru lahir.
“Direktris pengumuman. Ibu Nasution mencari perawat,” kata Alpiah kepada Andy Gansalangi yang mewawancarainya pada tahun 2019 di kediamannya di Tahuna. Video wawancara ini dimuat Andy di situs Youtube.
“Alpiah, bersiap pergi bersama ibu Nas,” kata sang direktris.
Alpiah terkejut mendengar penunjukkan itu. Tapi ia tidak bisa menolak. Hingga kini, jika mengenang itu, Alpiah masih merasa heran.
“Di antara sekian banyak perawat, kenapa saya yang dipilih?” tulis Bastian mengutip ungkapan Alpiah.
Rencana awalnya, yang akan menjadi perawat di rumah keluarga jenderal Nasution itu akan bergilir dua minggu sekali dengan teman-teman perawat Alpiah lainnya.
Hari itu juga, Alpiah pergi ke rumah jenderal Nasution. Tugasnya adalah merawat dan mengasuh Irma. Di rumah itu, Alpiah hidup bersama dengan keluarga itu. Di rumah itu, selain Pak Nas dan Ibu Johanna, Alpiah bertemu dengan Hendrianti Sahara atau Yanti (lahir 24 Februari 1952) kakak Irma, ajudan Pak Nas, Piere A. Tendean, dan pekerja rumah tangga lainnya.
Keluarga jenderal Nasution sangat senang dengan Alpiah. Itulah sehingga dia tidak pernah diganti oleh perawat lain seperti rencana semula di Kebon Nanas. Irma sangat menyukai Alpiah, demikian juga dengan ayah, ibu, dan kakaknya.
“Ketika bekerja ibu Nas tidak mau oma diganti orang lain. Teman-teman lain lebih pinter dari oma. Oma bodoh, dari keluarga miskin, orang susah,” tutur Alpiah dalam film Pengasuh 65.
Alpiah bahkan telah diterima seperti keluarga sendiri oleh keluarga besar di rumah Jenderal Nasution.
“Saya sudah dianggap seperti anak sendiri karena begitu lama dengan mereka sampai Ade sudah besar. Saya bahkan tidak dianggap lagi sebagai perawat,” ujar Alpiah dalam film Pengasuh 65.
Alpiah merawat atau mengasuh Irma dengan penuh kasih sayang. Ade Irma bertumbuh bersama dia, dari bayi hingga menjadi gadis mungil yang cantik dan mengemaskan. Bahkan, nama ‘Ade’ yang kemudian melekat pada Irma Suryani Nasution dalam kenangan sejarah hingga kini, adalah pemberian Alpiah. Menurut Alpiah, nama ‘Ade’ sebenarnya adalah panggilan kesayangannya kepada Irma, seperti dalam tradisi orang-orang Sangihe.
Tanggal 6 Oktober 1965 Ade Irma Suryani Nasution meninggal di rumah sakit tidak beberapa hari setelah dioperasi atas luka tembakan di punggungnya. Alpiah adalah satu-satu orang yang berada dekat Ade Irma ketika menghembuskan nafasnya yang terakhir. Hingga kini, setiap mengenang peristiwa itu, Alpiah masih saja merasa sedih dan bahkan meneteskan air mata.
“Dia sayang pa kita, kita sayang pa dia,” ujar Alpiah mengenang Ade Irma.(*)