Published
6 years agoon
By
philipsmarx14 Februari 2019
Oleh: Andre Barahamin
kelung.com – Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) pada Kamis (14/2) melakukan audiensi ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI terkait jaminan ruang partisipasi bagi masyarakat adat penyandang tuna aksara pada Pemilu 2019. Audiensi tersebut dilakukan untuk menyampaikan langsung temuan AMAN, mengenai hambatan yang akan dihadapi oleh anggota komunitas masyarakat adat dalam menggunakan hak pilih-nya karena tidak bisa baca-tulis.
Temuan sementara AMAN, di provinsi Kalimantan Selatan misalnya, sebanyak 1.400 pemilih di 28 Balai (unit komunitas) tidak bisa baca-tulis. Sebagian dari jumlah tersebut juga terancam tidak bisa memilih karena belum terdaftar sebagai pemilih.
“AMAN menemukan masih banyak potensi terhambatnya masyarakat adat dalam menggunakan hak pilihnya di Pemilu 2019 nanti. Salah satu contohnya terjadi di Komunitas Adat Dayak Meratus, Kecamatan Alai Batang Timur, Kabupaten Hulu Sungai Tengah. Memang, tingkat tuna aksara di kalangan masyarakat adat seluruh Kalimantan Selatan mencapai 50 persen,” kata Direktur Direktorat Perluasan Partisipasi Politik Masyarakat Adat pada AMAN, Abdi Akbar.
Selain itu, Abdi juga menyampaikan bahwa beberapa pemilih tuna aksara pada Masyarakat Adat Dayak Meratus mengeluhkan desain surat suara Pemilihan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI dan DPR Daerah (DPRD) 2019 yang tidak menampilkan foto calon. Ketiadaan foto calon menghambat pemilih tuna aksara untuk mengenali calon yang hendak dipilih.
Peneliti Perludem, Fadli Ramadhanil menerangkan bahwa pemilih tuna aksara tak bisa disamakan dengan pemilih disabilitas fisik dan disabilitas netra. Oleh karena itu, pemilih tuna aksara tak dapat diperlakukan sesuai dengan Pasal 356 ayat (1) Undang-Undang (UU) No.7/2017 tentang Pemilu yang mengizinkan pemilih disabilitas netra, disabilitas fisik, dan yang mempunyai halangan fisik lainnya untuk dibantu oleh orang lain atas permintaan pemilih pada saat memberikan suaranya di Tempat Pemungutan Suara (TPS).
“Tuna aksara bukan disabilitas netra ataupun fisik. Tuna aksara merupakan ketidakmampuan seseorang untuk membaca dan menulis atau disebut juga dengan buta huruf. Jadi, mereka tidak bisa disamakan dengan disabilitas netra ataupun fisik,” ujar Fadli.
Untuk menjamin partisipasi masyarakat adat tuna aksara, AMAN dan Perludem merekomendasikan agar KPU menambahkan frasa “pemilih tuna aksara” dalam rancangan Peraturan KPU (PKPU) tentang Pemungutan dan Penghitungan Suara yang saat ini masih dalam proses penyusunan. KPU dapat mendefinisikan penyandang tuna aksara sebagai orang yang tidak memiliki kemampuan membaca dan menulis.
Selain itu, AMAN juga meminta agar KPU membuatkan norma bahwa pemilih tuna aksara dapat didampingi oleh keluarga dari garis keturunan langsung ke atas atau ke bawah pada saat pemungutan suara. Apabila keluarga dari garis keturunan ke atas atau ke bawah juga menyandang tuna aksara, maka pemilih tuna aksara didampingi oleh keluarga dari garis keturunan ke samping. Sosialisasi tata cara menggunakan hak pilih juga dinilai mesti dilakukan oleh KPU.
“Kami merekomendasikan beberapa hal untuk menjamin penyelenggaraan Pemilu yang inklusif dan aksesibel terhadap seluruh elemen masyarakat. Untuk itu, kami mengusulkan penambahan pasal di ketentuan umum dan menambahkan ayat untuk mengakomodir pemilih tuna aksara,” ucap Abdi.
Merespon hal tersebut, KPU mengakui bahwa peraturan mengenai pemilu memang masih banyak kekurangan. Sehingga kritik dan masukan dari gerakan masyarakat sipil menjadi penting agar perbaikan dan penyempurnaan dapat terus dilakukan. Arief Budiman, Ketua KPU yang menerima kunjungan AMAN dan Perludem berjanji untuk menindaklanjuti laporan mengenai penyandang tuna aksara tersebut. Budiman mengatakan bahwa KPU akan melakukan upaya maksimal untuk memastikan agar supaya para pemilih yang tidak bisa baca tulis dapat tetap mempergunakan hak-nya di Pemilu nanti.
“Kami mengapresiasi masukan dan kritik dari organisasi masyarakat sipil terkait penyelenggaraan Pemilu 2019 nanti. Hal ini penting agar ke depan kita dapat bersama-sama melakukan penyempurnaan sistem dan regulasi mengenai pemilu. Utamanya, agar setiap warga negara dapat menggunakan hak-nya tanpa hambatan,” kata Budiman.
Pada audiensi tersebut, pengajar Ilmu Hukum Universitas Andalas, Charles Simabura, juga ikut mendampingi AMAN dan Perludem.
Editor: Gratia Karundeng
Film Mariara: Pertarungan Interpretasi Iman dan Ancaman Penghayat Kepercayaan
Menjadi Penjaga Tradisi di Era Disrupsi, Refleksi Syukur Pinaesaan ne Kawasaran
Rezim Jokowi Berakhir, Masyarakat Adat Kembali Nyatakan Sikap
Melahirkan Kader Marhaenis di Wale Mapantik
Mahzani, Bahasa Tombulu dan Festival Wanua Woloan
Manuk A’pak: Menyegarkan Kebaikan Alam untuk Manusia di Mamasa