Connect with us

KISAH

Ambarita ke-12 Menggali Keminahasaannya

Published

on

24 Juni 2023


“Saya tak mengenal secara langsung leluhur yang berada di waruga dan di watu-watu, situs-situs budaya Minahasa. Tapi itu adalah sebuah ingatan, yang bisa membangkitkan ingatan-ingatan terdalam dari diri manusia dan para pendahulu. Saya percaya ada keterhubungan rasa dan ingatan saat berziarah ke makam para leluhur.


Penulis: Leonard Wilar


CHRISONEIRO Sidabutar, lahir di Bekasi tahun 2000. Ia akrab disapa, Ucok. Dari nama dan marganya, masyarakat se-Nusantara pasti tahu ia berasal dari suku mana. Namun, suatu ketika ia tiba-tiba tercelik dan ingin menelusuri identitas ke-Minahasa-an yang mengalir dalam darahnya. Proses penggalian itu dimulai sejak tahun 2017.

Ucok lahir dari keturunan Papa Batak dan Mama Minahasa. Ibunya bermarga Pangalila, berasal dari Kinilow, Tomohon. Dalam silsilah Batak, ia mengaku keturunan Sidabutar Ambarita ke-12.

Dibesarkan dan ditanamkan budaya Batak dari Papanya, suatu saat timbul kesadaran bahwa dalam darahnya ada keturunan Minahasa.

“Karena begini, selama ini kita cuma dicekoki kita pe papa pe budaya, dibesarkan dari kita pe papa pe budaya,” kata Ucok.

Belajar silsilah keluarga, ia geluti sejarah dan budaya Batak sebagai bentuk kerinduannya pada orang tua dan para leluhur.

Tahun 2017, saat  duduk di bangku Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 2 Bitung, jiwa Minahasa-nya terpantik. Waktu itu, ada tarian Kawasaran di sekolahnya.

Sadar karena orang Batak, awalnya ia hanya melihat dan menikmati teman sebayanya berlatih Kawasaran. Sampai suatu saat ia mencoba apakah dirinya bisa berlatih seni tradisi Minahasa itu dengan teman-temannya.

“Kita ba tanya, ‘Tamang-Tamang, kita boleh iko pa ngoni ba menari Kawasaran?’ Kong dorang pange noh,” ucap Ucok.

Sempat redup semangatnya, namun tahun 2020 semangat itu naik lagi. Dari rasa penasaran soal silsilah dari Ibunya, Ucok kembali menggali keminahasaannya.

Menurutnya, penting untuk mencari identitas Minahasa-nya. Apalagi ia sudah makan dan tinggal di tanah Minahasa.

“Kita tinggal dan makan di Minahasa, harus tahu diri dong,” tegasnya.

Ucok mengumpamakan, dirinya tinggal di rumah orang dan tuan rumah memberinya makan. Baginya, layak untuk mengenal orang yang menghidupinya.

“Orang itu so kase makan, so kase tinggal, masa torang nintau ini orang sapa. Dalam hati bilang, musti cari tau ini orang sapa,” katanya.

Saat itu niatnya semakin besar menggali tentang Minahasa. Ia berguyon, keluarga Batak dari Papanya memarahinya ketika ia ingin mengganti marga Minahasa.

“Bahkan sekarang kita pe keluarga Batak, dorang so ba marah. Karna kita mangaku, kita orang Minahasa,” canda Ucok diiringi gelak tawa.

Diperkenalkan dari Kawasaran, dan menggali silsilah Ibunya. Ia mengaku identitas Minahasa-nya melekat pada dirinya.

Ucok melihat dirinya bagian dari alam semesta. Sejauh ini ia percaya dan melihat Minahasa secara holistik, bukan dari budaya saja. Menurutnya dari spiritual juga, karena orang Minahasa tinggal di alam semesta ini.

Ia juga mengatakan, ingin dekat dengan alam, hal itu ia temukan di Minahasa. Bahkan menurutnya, dari alam ia belajar tentang kerendahan hati.

Aktivitasnya, selalu sempatkan diri untuk lumales (ziarah) ke situs-situs peninggalan para leluhur. Ia mengibaratkan berziarah ke makam leluhur seperti ziarah ke makam Omanya dan orang tua yang lebih tua dari Omanya.

Baginya, ia tak mengenal secara langsung leluhur yang berada di waruga (makam tua Minahasa) dan di watu-watu, situs-situs yang punya ingatan keminahasaan. Menurutnya hal itu adalah sebuah ingatan, yang bisa membangkitkan ingatan-ingatan terdalam dari diri manusia dan para pendahulu. Ia percaya ada keterhubungan rasa dan ingatan saat ia berziarah ke makam para leluhur.

Mengaku merasakan keterhubungan antara leluhur dengannya, membuat Ucok tak henti untuk berziarah.

“Dan itu kita dapat, makanya kita nda pernah berhenti. Kita rasa, leluhur pe perjuangan dan cerita, bukang main dorang,” ungkap Ucok dengan nada kagum.

Perasaan itu yang dirasakannya saat lumales, seakan dirinya pulang ke rumahnya sendiri. Bahkan saat merasa mumet dalam kehidupannya, Ucok selalu pergi lumales.

Baginya, lumales seperti pergi ke makam Omanya, kemudian curhat. Segala keluh kesah selalu ia cerita saat ziarah.

“Dapa lia bodoh kita curhat ke barang mati, tapi itu bukan sekedar barang mati. Kalo sekedar barang mati, kita boleh juga curhat ke pohon bambu,” tandasnya.

Pohon bambu tidak memiliki nilai, tapi bagi Ucok, waruga dan situs watu memiliki nilai. Nilai baginya, adalah nilai kekeluargaan dan ingatan positif yang masih menghidupi dan tersimpan dalam tempat itu.

Berapi-api semangat keminahasaannya, ketika ia mengetahui silsilah Ibunya berasal dari Ukung (Pemimpin Negeri Minahasa di masa lampau) Pangalila. Hal itu Ucok dapati saat melakukan penelusuran dari cerita orang-orang sekitar.

“Silsilah dari Mama, kita sudah dapat, ternyata kita pe mama pe silsilah datang dari Ukung Pangalila. Oh Tuhan, kita pe leluhur Ukung (pelindung negeri), orang besar,” tegasnya.

Memahami Minahasa baginya bukan hanya secara spiritual saja, tapi harus mempunyai pengetahuan sehingga dapat dimengerti.

“Bagi kita Minahasa itu bukan hanya spiritual juga. Karena gini, ketika torang memahami Minahasa secara spiritual, tapi torang nda pake torang pe otak, itu kosong,” tutup Ucok.

Coba Belajar Dari Ucok

Berbagai kegiatan yang dilakukan Ucok dalam upaya pencaharian identitas keminahasaannya, menuai reaksi positif dari sejumlah sahabatnya di Fakultas Teologi, Universitas Kristen Indonesia Tomohon (UKIT). Salah satunya, Jericho Kawulur.

Jericho mengaku kagum dengan Ucok. “Aktivitasnya positif. Karena pertama, dia sadar di darahnya tidak hanya mengalir darah lain, tapi juga ada darah Minahasa. Ia luar biasa, secara sadar mau menggali identitasnya. Bukan hanya soal asal-usul keturunannya, tapi identitas keminahasaannya,” kata Jericho.

Ia belajar dari Ucok, bagaimana seni tradisi seperti Kawasaran, bisa juga menjadi pintu masuk untuk belajar banyak tentang Minahasa.

“Walaupun awalnya dia agak minder. Karena, awalnya sebelum mengenal Kawasaran, ia sadar dia orang Batak. Tapi lama-lama ia memberanikan diri untuk masuk dan menjadi bagian dari seni tradisi itu. Justru dari situ titik awal dia bisa menggali identitas keminahasaannya,” tutur Jericho.

Saya juga sebenarnya salah satu teman Ucok yang turut merasa kagum dengan apa yang dilakukannnya. Dia mahasiswa teologi. Tidak banyak mahasiswa teologi yang punya kesadaran seperti dirinya. Ada upaya untuk memahami siapa dia, dan tanah tepat berpijak.

Sesungguhnya apa yang dilakukan Ucok adalah sesuatu yang sangat penting bagi mahasiswa teologi, yang kemungkinan akan menjadi seorang pendeta. Dengan upaya itu, dia akan mudah untuk merefleksikan kehadiran Tuhan Sang Juruselamat dalam konteks Minahasa, tanah tempat ia berpijak. Dia akan mudah untuk merefleksikan firman yang akan dia baca dalam konteks Minahasa.

Apa yang diperagakan Ucok seharusnya jadi motivasi bagi mahasiswa lain yang berkuliah di fakultas teologi. Pertama, ia sosok yang memiliki kesadaran untuk menggali identitas keminahasaannya. Kedua, dari situ dia belajar banyak hal tentang nilai-nilai keminahasan yang sangat teologis.

Ucok kuliah di Fakultas Teologi, padahal ada banyak mahasiswa orang Minahasa yang kuliah di lembaga itu, tapi lupa dengan identitas yang seharusnya mereka kenali. Sangat kurang ajar dan berbahaya tentu jika kelak kita orang Minahasa yang justru nanti akan menjadi sosok yang suka menstigma, pelekatan secara negatif terhadap tradisi, budaya, dan nilai-nilai keminahasaan, nilai-nilai warisan leluhur kita sendiri.

Walau sedikit memalukan, sepertinya kita harus terima. Kita harus bisa belajar dari Ucok.

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *