ESTORIE
Arnold Baramuli dan Bumi Beringin
Published
3 weeks agoon
By
Admin15 September 2024
“Soekarno tertarik dengan ide gubernur baru ini. Kawasan perumahan itu nantinya akan dibangun di bagian bawah bukit Teling, Kota Manado. Cuma namanya belum terpikir. Baramuli lalu bertanya kepada Soekarno.”
Penulis: Denni Pinontoan
TAHUN 1960, di saat Sulawesi Utara sedang bergolak lantaran perang saudara. Seorang yang baru saja menjabat Gubernur Provinsi Sulawesi Utara dan Tengah, Arnold Baramuli menemui Presiden Soekarno. Ia bermaksud hendak menyampaikan ide membangun perumahan dinas pemerintahan. Dia melakukan itu karena anggaran belanja daerah belum ada.
Soekarno tertarik dengan ide gubernur baru ini. Kawasan perumahan itu nantinya akan dibangun di bagian bawah bukit Teling, Kota Manado. Cuma namanya belum terpikir. Baramuli lalu bertanya kepada Soekarno.
“Beri nama Bumi Beringin karena tanda pangkatmu menggambarkan beringin,” kata Soekarno kepada Baramuli seperti tertulis dalam Bachtiar Adnan Kusuma, 70 Baramuli, Pantang Menyerah.
Nama sudah ada, namun Baramuli ingin idenya segera terwujud selagi dia masih menjabat sebagai gubernur. Baramuli mendesak Soekarno. “Tapi, kapan Bapak akan meresmikannya?” Bung Karno segera menengok ke samping. Demikian tulis Julius Pour dalam Baramuli Menggugat Politik Zaman.
Baramuli memang dekat dengan Soekarno. Ia diangkat oleh Soekarno sebagai presiden di usia yang masih sangat muda, 29 tahun. Tahun 1960, Baramuli menjadi gubernur di daerah yang sedang bergolak karena perang saudara. Soekarno tentu punya maksud.
Baramuli lahir di Pinrang, Sulawesi Selatan pada 20 Juli 1930. Ia adalah cucu Raja Letta di Pinrang. Ibunya Puang Pole Larumpu, sementara ayahnya adalah Julius Baramuli dari Sangir Talaud yang mendapat tugas menjadi mantri di swapraja Sawitto. Julius adalah anak dari raja Sangihe-Talaud.
“Julius Baramuli, adalah cucu Raja Sangir Talaud yang mendapatkan tugas ke Pinrang sebagai mantri polisi swapraja Sawitto. Ia dikenal sebagai birokrat profesional pemerintah yang bertugas mendatangkan sapi-sapi dari Bali,” tulis Kusuma.
Pembangunan Bumi Beringin selesai tahun 1962. Rumah dinas gubernur, wakil dan jajarannya dibangun di sini. Tidak lama setelah itu, jabatan gubernur yang dipegang Baramuli diganti oleh Frits Johannes Tumbelaka. Ia kemudian ke pusat, menjadi penasihat menteri dalam negeri
Nama “Bumi Beringin” yang berasal dari ucapan Soekarno tampaknya tidak muncul begitu saja. Gambar pohon beringin sudah ada pada lambang Garuda Pancasila sejak resmi digunakan tahun 1950. Bahkan, jauh sebelum itu, pohon beringin adalah simbol sakral dalam kosmologi Jawa. Raja-raja Jawa menanam pohon beringin di setiap alun-alun kota.
“Beringin merupakan tanaman yang penting, sebagai simbol bangsawan (priyayi) dalam mengayomi masyarakatnya,” tulis Purnomo dalam Tanaman Kultural dalam Perspektif Adat Jawa, tahun 2013.
Politik Indonesia tahun 1950-an hingga tahun 1960-an dalam keadaan yang serba tidak menentu. Di beberapa daerah muncul pemberontakan. Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta) dideklarasikan di Makassar pada tanggal 2 Maret 1957. Waktu itu Baramuli adalah Jaksa Tinggi Tentara untuk Indonesia Timur di Makassar. Baramuli memilih jalan berbeda dengan sejumlah tokoh Indonesia Timur lainnya. Ia menolak Permesta.
“Baramuli tetap menolak dan tidak bersedia menandatangani deklarasi itu,” tulis Kusuma.
Pada 20 Oktober 1964, sejumlah tokoh ABRI dan tokoh sipil lainnya yang sedang khawatir dengan laju perkembangan Partai Komunis Indonesia (PKI) mendirikan Sekretariat Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar). Pada Pemilihan Umum (Pemilu) 1955, PKI menempati urutan keempat dengan perolehan suara sebanyak 6.179.914 suara atau 16,36% dari keseluruhan, dan dengan jumlah kursi yang diraih adalah 39.
Pemilu kedua dilaksanakan tahun 1971. Di dalam Sekber Golkar muncul desakan agar organisasi politik ini harus menjadi peserta Pemilu. Meski bukan partai, tapi Sekber Golkar menjadi salah satu peserta Pemilu tahun 1971 yang masih multi partai. Dalam rangka keikutsertaan pada Pemilu, maka didesainlah tanda gambar yang lebih sesuai.
“Dari beberapa rancangan gambar yang disiapkan, akhirnya pada 2 Mei 1970 pilihan jatuh pada tanda gambar Beringin dengan 8 (delapan) akar tunjang,” tulis Moerdopo pada artikelnya “Golkarku, Golkarmu, Golkar Kita” dalam Suara Karya edisi Oktober 1988.
Dalam tanda gambar ini, pohon beringin melambangkan pengayoman dan kebijaksanaan.
Pada lambang Sekber Golkar sebelumnya tidak ada unsur gambar beringin. Lambang sekber terdiri dari gambar inti ABRI, buruh, tani, cendekiawan yang disinari oleh bintang yang melambangkan tanda ke-Esaan, dan angka keramat 17 Agustus 1945 pada jumlah butir padi dan kapas serta tali simpul.
Dengan dukungan penuh dari pemerintahan Orde Baru, Golkar segera tampil sebagai pemenang Pemilu dengan peroleh suara sebanyak 34.339.708, dengan jumlah kursi 226 dari total 360 kursi yang diperebutkan. Pada Pemilu tahun 1977, Golkar kembali menang secara telak. Baramuli terpilih sebagai anggota MPR dari Golkar. Pada Pemilu tahun 1982, Golkar kembali menang dengan suara mayoritas. Pada Pemilu ini Baramuli menjadi anggota DPR RI utusan Golkar dari daerah pemilihan Dati II Kab. Pangkajene Kepulauan, Sulawesi Selatan.
Meski menjabat gubernur pada usia yang sangat muda, tapi Baramuli bukan orang baru di dunia politik dan bisnis. Ia berasal dari keluarga terpandang. Itulah yang membuat Baramuli memiliki kesempatan untuk bersekolah sampai pendidikan tinggi. Sesudah menamatkan sekolah dasar di Pinrang, Baramuli melanjutkan pendidikan Mulo, di Makassar tahun 1948, kemudian Bestuur School di Makassar, 1950. Ia kemudian melanjutkan pendidikan tinggi di Fakultas Hukum, Universitas Indonesia tahun 1955. Tahun 1957 ia mengikuti kursus intelijen di Singapura.
Baramuli menikah dengan teman kuliahnya di Fakultas Hukum UI, seorang perempuan asal Minahasa bernama Albertina Nomay Kaunang pada tahun 1954. Albertina lahir pada 30 September 1930. Ia adalah anak dari seorang kepala Pengadilan Tinggi di Minahasa, Sulawesi Utara. Albertina kemudian menjadi dosen, dan kelak menjadi guru besar tata negara di Fakultas Hukum UI.
Baramuli dan Albertina menikah secara Kristen. Tapi tahun 1988 Baramuli memilih masuk Islam, sementara Albertina tetap sebagai pemeluk Kristen. Sejak saat itu, nama lengkapnya adalah Arnold Achmad Baramuli.
Tahun 1958 berdiri PT. Poleko, milik keluarga Baramuli. Richard Robinson dalam Indonesia: The Rise of Capital, terbit tahun 1986 menuliskan, hingga akhir tahun 1960-an, kelompok Poleko masih sebagai pedagang kecil di luar pulau. Tetapi sejak awal tahun 1970-an perusahaan ini mengalami perkembangan pesat. Program rekapitalisasi besar-besaran dilakukan, termasuk penyuntikan Rp. 500 juta ke Poleko dan Rp. 2.108 juta ke PT. Poleko Sulinda, sebuah pabrik karung dan tas. Namun, perkembangan utamanya adalah masuknya Poleko ke dalam beberapa usaha patungan yang sangat besar dengan perusahaan-perusahaan Jepang.
Menurut Robinson, meskipun saham Poleko dimiliki oleh keluarga Baramuli, kelompok tersebut terkait erat dengan Departemen Dalam Negeri. Hubungan ini tampak dalam karier tokoh utama dalam kelompok tersebut, Jenderal Arnold Baramuli.
“Pengendalian atas perusahaan-perusahaan ini mengukuhkan reputasi Baramuli sebagai jenderal ‘keuangan’ Departemen tersebut — setara dengan jenderal-jenderal seperti Sofjar, Soerjo, dan Hoemardani,” tegas Robinson.
Kompleks perumahan pegawai dan pejabat pemerintahan Bumi Beringin mengalami perkembangan tahun 1970-an awal di masa pemerintahan H.V. Worang. Demi untuk menjamin kebutuhan perumahan bagi para pegawai pemerintahan maka pemerintah provinsi membangun 4 buah kompleks perumahan di lokasi Bumi Beringin, Kairagi, Karangria dan Winangun. Daya tampung mencapai 200 pegawai.
Pada masa itu ditetapkan kepengurusan kompleks perumahan dinas Bumi Beringin. Sebagai kepala Drs. P. Karambut, dan wakilnya J. Polii, BA. Penetapan kepengurusan juga berlaku di kompleks perumahan dinas Kairagi, Karangria dan Winangun.
Pada awal tahun 1970-an, Bumi Beringin kemudian menjadi nama salah satu kelurahan di Kecamatan Manado Selatan, Kotamadya Manado. Di bagian Selatan Minahasa, di masa yang hampir bersamaan, berdiri pula sebuah perkampungan yang dinamakan Beringin, kini salah satu desa di Kecamatan Ranoyapo, Kabupaten Minahasa Selatan. Sebuah desa yang terletak jauh ke dalam, yang tentu berbeda nasibnya dengan Kelurahan Bumi Beringin yang elit itu.
Keterangan Foto: Gubernuran Bumi Beringin tahun 1980.
You may like
-
Memulung Hikmat di Kobong Om Tani Langowan
-
Aroma Pelanggaran HAM Menyeruak Bersama Bau Busuk di Tanjung Merah
-
Mahzani, Bahasa Tombulu dan Festival Wanua Woloan
-
Gelisah Jurnalis di Sekolah Menulis Mapatik
-
Manuk A’pak: Menyegarkan Kebaikan Alam untuk Manusia di Mamasa
-
Waraney Wuaya di Watu Tiwa’: Menata Situs, Menjaga Pengetahuan