ECONEWS
Aroma Pelanggaran HAM Menyeruak Bersama Bau Busuk di Tanjung Merah
Published
3 months agoon
26 Agustus 2024
“Aromanya busuk sekali. Kadang kami susah tidur, karena baunya tidak enak untuk dihirup. Sudah beberapa kali kami menyuarakan itu, tetapi tidak digubris.”
Penulis: Reinhard Loris
AROMA tak sedap menyerang Kelurahan Tanjung Merah, Kecamatan Matuari, Kota Bitung, Sulawesi Utara. Bau menyengat yang sangat mengusik itu terendus berasal dari limbah PT. Futai Sulawesi Utara. Kondisi itu dikeluhkan masyarakat di lingkar perusahaan.
Teriak keluh warga yang terdengar sejak beberapa bulan lalu itu, masih meletup kencang hingga kini. Aktivitas sehari-hari, istirahat malam, hingga proses belajar-mengajar para siswa di ruang kelas, sangat terganggu.
Senin, 12 Agustus 2024, warga Lingkungan Tiga, Kelurahan Tanjung Merah, Ruben Lengkong, mengatakan aroma busuk itu ada sejak PT. Futai Sulawesi Utara beroperasi. Terutama sekitar satu bulan lebih belakangan.
Mereka melihat dengan jelas limbah perusahaan dibuang ke arah pantai. Sempat ada keluhan dari warga yang tinggal di daerah pantai. Tanaman kangkung yang ditanam mengalami kerusakan. Keyakinan adanya ancaman serius menguat saat mereka menyaksikan ada iklan yang mati di sekitar pembuangan limbah.
“Di sini kami tinggal sangat dekat dengan dinding perusahaan. Di mana bak penampungannya hanya dekat dengan aliran air dan jaraknya tidak jauh dari rumah kami. Sempat saya bertanya ke adik saya yang kerja di Futai, kenapa bak penampungan itu tidak pernah ditutup. Dia menjawab, posisi bak itu harus terbuka, karena kalau tertutup dia akan meledak atau meletup. Itu isinya semacam gas semua,” ucap Lengkong.
Udara yang dihirup setiap saat diyakini benar-benar telah tercemar.
“Untuk kebersihan lingkungan di sini kami tetap jaga. Tapi dari segi udara, sudah tercemar. Kami menghirup aroma busuk itu. Tidak ada gunanya kita menjaga lingkungan bersih, kalau udaranya tidak sehat,” sambungnya.
Beberapa waktu lalu kelurahan mereka mendapat juara satu lomba kelurahan tingkat provinsi, tapi nyatanya udara di lingkungan tempat hidup mereka sudah tidak sehat.
Warga sempat beberapa kali melakukan protes di perusahaan mengenai limbah ini, tapi tidak direspons.
“Ini aromanya busuk sekali. Kadang kami susah tidur, karena baunya tidak enak untuk dihirup. Sudah beberapa kali kami menyuarakan itu, tetapi tidak digubris,” ungkap Lengkong.
Air dan laut adalah ciptaan Tuhan dan bukan tempat untuk membuang kotoran, termasuk limbah yang dialirkan ke arah laut. Sebab itu juga dapat merusak ekosistem di laut. Contohnya, ikan-ikan akan mati atau tidak akan datang lagi di wilayah sekitar tempat limbah itu dibuang.
“Saya juga nelayan, yang pasti saya tahu dampak apa yang akan dirasakan. Sangat disayangkan akan hal itu terjadi,” keluhnya.
Ia menegaskan, jika masih ada aroma tidak sedap seperti ini, seharusnya perusahaan berhenti dulu untuk beroperasi.
“Kalau mau pergi ke arah pantai, itu di pesisir pantai bisa dilihat limbahnya. Itu seperti kotoran binatang yang baunya busuk sekali. Sempat terpikir kalau boleh perusahaan bayar saja tanah ini, tapi teringat pesan dari orang tua, apapun yang terjadi kami harus tetap tinggal di Tanjung Merah,” tegasnya.
Ia berharap, pemerintah bisa mencari solusi soal jalur pembuangan limbah atau bagaimana agar penguapan itu bisa jadi lebih baik.
“Harapannya, semoga masalah ini cepat terselesaikan dengan baik. Kalau soal bunyi mesin, ini sudah tidak jadi masalah. Karena kami sudah terbiasa mendengar bisingnya, tapi aroma busuk itu yang jadi permasalahannya,” ujar Lengkong.
Senada disampaikan masyarakat kelurahan Tanjung Merah yang lain. Diakui, aroma dari perusahaan itu sangat tidak enak untuk dihirup. Masyarakat sekitar benar-benar sulit untuk bernafas lega.
“Minta ampun aromanya. Apalagi di sekitaran jam 2 dan 3 subuh, saat mereka membuang limbahnya. Meskipun sudah tutup hidung, aroma limbah itu tetap menusuk. Terasa seperti mau mati,” ucap seorang ibu yang masih enggan menyebutkan nama, karena khawatir mendapat tekanan dari pemerintah setempat.
Diungkapkan, aroma tidak sedap itu mulai tercium sejak 4 bulan lalu, di saat perusahaan mulai beroperasi. Namun kondisinya makin parah hampir dua bulan belakangan.
“Sudah terlalu menderita kami di sini, karena limbah ini,” keluhnya.
Warga sempat menegur pihak perusahaan yang bergerak di bidang produksi paper board/paper roll itu terkait limbah mereka. Karena tambak peliharaan ikan mereka tercemar dan sudah ada ikan yang mati. Tapi itu belum seberapa. Kondisi lebih parah di 2 bulan berjalan ini, aroma busuk itu baunya sangat mencekik.
Warga sempat mengeluhkan kondisi itu di media sosial melalui komentar di grup WA ‘RT Sepakat’, agar dapat direspons. Tapi hingga saat ini mereka tak tahu lagi kelanjutannya.
“Belum ada yang respons, makanya masih tetap tercium aromanya. Mungkin kalau pemerintah setempat sudah ada gerakan, pastinya aroma tidak enak ini sudah tidak ada lagi,” ujar sumber.
“Waktu lalu sempat ada pertemuan dari kecamatan. Lurah meminta agar diberikan waktu satu bulan untuk menyelesaikan masalah ini, tapi hingga kini sudah masuk dua bulan tetap masih sama kondisinya. Tidak ada perubahan,” bebernya.
Warga ingin perusahaan jangan dulu berproduksi. Selesaikan dulu masalah limbah. Perusahaan juga harus memberikan respons soal bagaimana dengan tindak lanjut mereka terkait masalah ini.
“Kalau ini hanya kami diamkan, mereka akan bikin ulah terus,” tegasnya.
“Maka dari itu, kami harus terus berusaha. Bersyukur ada kalian teman-teman media yang dapat membantu kami menyuarakan ke pihak perusahan, agar dapat mengerti dengan keluhan kami masyarakat sekitar sini. Supaya kami bisa hidup dengan tenang dan aman. Kami ini sudah masuk kategori usia lanjut, tidak mungkin kami harus menghirup aroma busuk seperti ini setiap hari. Belum waktunya untuk mati, tapi terasa seperti akan mati cepat,” keluh sumber kepada jurnalis yang mewawancarainya.
Pemerintah Sebut Ada Upaya Perusahaan
Warga Kelurahan Tanjung Merah terus merintih. Sekian lama bertahan dari serangan aroma busuk yang datang dari PT. Futai Sulawesi Utara, tapi tak kunjung mendapatkan solusi.
Keluhan masyarakat itu ditanggapi Marlin Lengkong, Lurah Tanjung Merah, Selasa, 13 Agustus 2024. Diakui, kasus itu sudah terjadi sejak lama.
“Berita ini sudah dari lama, semenjak Futai melakukan tes uji coba beroperasi. Sudah segala media angkat, setiap bulan pasti ada keluhan,” ucap Lengkong.
Ia menampik jika pemerintah seakan tidak bergerak merespons keluhan warga soal aktivitas perusahaan industri kertas daur ulang itu.
“Sebagai informasi saja, karena saya baca berita ini seakan-akan pihak pemerintah tidak bergerak. Saya juga pemerintah sekaligus masyarakat yang sama-sama terdampak,” jelas Lengkong.
Pemerintah sendiri sudah memberikan peringatan kepada pihak perusahaan yang dinilai menjadi biang kerok persoalan tersebut.
“Dengan Futai sendiri kami sudah melakukan beberapa kali pertemuan. Baik melibatkan masyarakat, hingga Dinas Lingkungan Hidup Kota Bitung. Minggu lalu sampai minggu ini, kami pemerintah setempat bersama Dinas Lingkungan Hidup dan tim percepatan Pak Wali Kota, selalu turun di semua perusahaan untuk berikan warning ke perusahaan terhadap limbah-limbah yang dihasilkan, agar boleh diperhatikan untuk tidak mencemari lingkungan,” ungkapnya.
Menurut Lengkong, PT Futai Sulawesi sampai saat ini terus berbenah. Sejak pertama adanya keluhan dari masyarakat terkait ikan yang mati, soal tanaman kangkung, rumah yang retak itu diberikan kompensasi.
Ia juga menjelaskan, pihak perusahaan sekarang dalam tahap proses pembiakan bakteri pada instalasi pengolahan air limbah (IPAL) untuk meminimalisir atau menghilangkan bau dan semua itu butuh waktu.
“Intinya semua keluhan setiap hari, kalau ada, kami pemerintah setempat selalu meneruskan ini kepada pimpinan, Dinas Lingkungan Hidup dan perusahan,” jelas Lengkong.
“Jadi bukan pembiaran dan dikonsumsi oleh masyarakat luar. Makasih,” tegasnya.
Kata Lengkong, untuk masalah bau yang menjadi keluhan sekarang ini, tinggal soal alam. Bau dibawa oleh angin. Kadang-kadang juga berbau macam-macam dan sumber bukan hanya dari Futai.
“Kalau dari asap berarti setiap hari, setiap waktu berbau, tapi ini tinggal di mana tiupan arah angin. Boleh cek juga masyarakat lain yang tinggal daerah Futai, rumah saya sendiri juga hanya dekat,” jelasnya.
“Masalah limbah tentunya lebih ke dinas terkait yang menjawab, karena kami pemerintah setempat lebih ke menyampaikan keluhan masyarakat. Dinas Lingkungan Hidup turun mengecek dan mengevaluasi perusahaan untuk bertanggung jawab atas keluhan-keluhan ini,” tandasnya.
Aktivis Desak Pemerintah Hentikan Aktivitas Perusahaan
Keluhan masyarakat Tanjung Merah ditanggapi pemerhati lingkungan, Billy Ladi. Menurutnya, pendapatnya pasti sama dengan kawan-kawan aktivis lingkungan lain. Negara berkewajiban memberikan jaminan kepada rakyat untuk mendapatkan lingkungan yang baik dan sehat.
“Ini perintah konstitusi dalam pasal 28 H ayat 1. Dalam kerangka konstitusi, pasal 28 UUD 1945 memuat tentang konteks hak asasi manusia. Artinya, persoalan lingkungan hidup adalah persoalan hak asasi manusia,” kata Ladi, Kamis, 15 Agustus 2024.
Bila keluhan warga yang sudah berhari-hari, bahkan lebih dari 30 hari dan belum ada langkah progres dari Pemerintah Kota Bitung, dalam hal ini Dinas Lingkungan Hidup (DLH). Maka Media juga wajib cek di DLH setempat sampai di mana proses pengaduan masyarakat Tanjung Merah.
“Proses operasi perusahaan dengan skala besar, wajib memiliki dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) sebagai dasar bahwa perusahaan wajib menghormati hak masyarakat atas lingkungan hidup yang bersih dan sehat,” ungkap Ladi.
“Amdal bertujuan untuk mengurangi bahkan mencegah potensi kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh perusahaan. Apabila kerusakan tetap terjadi, maka dokumen itu wajib dipertanyakan. Salinan dokumen Amdal pasti juga dimiliki DLH. Silahkan rekan-rekan media cross cek,” jelasnya.
Futai Sulawesi Utara salah satu perusahaan asing yang menanamkan modal di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Industri Kota Bitung. Artinya, lewat regulasi KEK yang tertuang di Undang-Undang Nomor 39 tahun 2009 dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 40 Tahun 2021. Ada beberapa keistimewaan yang didapat PT. Futai, seharusnya dengan beberapa fasilitas yang diberikan negara, Penanaman Modal Asing (PMA) tersebut wajib dijalankan dengan mematuhi seluruh regulasi yang berlaku.
Ladi menegaskan, persoalan lingkungan ini sudah masuk persoalan Hak Asasi Manusia (HAM).
“Persoalan lingkungan adalah persoalan hak asasi manusia, ini harus menjadi perhatian khusus Pemkot (Pemerintah Kota) Bitung. Apalagi belum lama ini Pemkot Bitung baru menggelar Festival HAM, sebuah event nasional yang membantu kita untuk mengingat lagi bahwa negara memiliki kewajiban untuk menghormati, memenuhi dan melindungi HAM setiap warganya,” tegasnya.
“Sekali lagi Ini tanggung jawab negara, untuk memastikan seluruh rakyatnya hidup dalam lingkungan yang bersih dan sehat,” ujarnya.
Sementara, Kifly Polapa, anggota Organisasi Pemerhati Lingkungan Himpasus (Himpunan Penjelajah Alam Terbuka Spizaetus), mengatakan pemerintah daerah perlu untuk turun lapangan, memberhentikan pengelola perusahan sampai masalah yang terjadi teratasi, mengevaluasi kembali tempat pengelolaan limbah PT. Futai, yang harus berjalan sesuai prosedur.
“Pihak Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Sulawesi Utara, perlu mengkaji kembali izin perusahan dan menganalisa kembali Amdal perusahaan,” ucap Polapa.
“Bahkan Dinas Kesehatan perlu untuk ambil andil, mengingat dengan aroma busuk dari perusahaan mengganggu kesehatan masyarakat setempat,” tandasnya.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kota Bitung, Marianti Dumbela sendiri sempat beberapa kali coba dimintai keterangan oleh para jurnalis terkait persoalan ini, namun hingga kini tetap bungkam dan tak kunjung memberi respons. (*)
You may like
-
Film Mariara: Pertarungan Interpretasi Iman dan Ancaman Penghayat Kepercayaan
-
Menjadi Penjaga Tradisi di Era Disrupsi, Refleksi Syukur Pinaesaan ne Kawasaran
-
Rezim Jokowi Berakhir, Masyarakat Adat Kembali Nyatakan Sikap
-
Melahirkan Kader Marhaenis di Wale Mapantik
-
Arnold Baramuli dan Bumi Beringin
-
Memulung Hikmat di Kobong Om Tani Langowan