Connect with us

CULTURAL

Asal Usul Sup Brenebon

Published

on

17 Maret 2019


Oleh: Denni Pinontoan


 Kisah sup brenebon hingga selalu tersedia pada setiap jamuan makan di Minahasa adalah kisah saling-saling budaya

SUP KACANG MERAH dengan daging atau bagian kaki babi, selalu tersedia dalam acara makan-makan di Minahasa. Orang-orang Minahasa menyebut jenis masakan ini dengan nama ‘sup brenebon’.

Sup brenebon memiliki tempat khusus di meja-meja makan dalam setiap jamuan pesta di Minahasa. Terasa ada yang tidak lengkap jika di meja tidak tampak sup brenebon. Ia melengkapi keistimewaan RW, Tinoransak, ayam rica-rica, woku daong woka atau beragam menu khas Minahasa lainnya.

Kacang merah sebagai bahan dasar sup brenebon pada suatu masa ia adalah pendatang di tanah ini. Masa kolonial dengan segala kisahnya telah menjadi ruang dan waktu perjumpaan beragam tradisi kuliner dari beragam budaya.

Sudarminto Setyo Yuwono, dosen pada Prodi Ilmu Pangan di Universitas Brawijaya, Malang, menulis, kacang merah (Latin: Phaseolus vulgaris) berasal dari Amerika. Penyebarluasan tanaman kacang merah dari Amerika ke Eropa dilakukan sejak abad 16. Daerah pusat penyebaran adalah Inggris. Pengembangan dimulai sejak tahun 1594 ke negara-negara Eropa dan Afrika hingga ke Indonesia.

Sumber lain menyebutkan, kacang merah diduga berasal dari Peru. Ia adalah bagian dari kacang pada umumnya yang kemungkinan sudah dibudidayakan sejak  8.000 tahun yang lalu. Lalu menyebar ke  seluruh Amerika Selatan dan Tengah akibat migrasi para pedagang. Kacang diperkenalkan ke Eropa pada abad ke-15 oleh penjelajah Spanyol yang kembali dari perjalanan mereka ke Dunia Baru.

Selanjutnya, pedagang Spanyol dan Portugis memperkenalkan kacang merah ke Afrika dan Asia. Karena kacang adalah sumber protein baik yang sangat murah. Begitulah sehingga ia menjadi populer di banyak budaya di seluruh dunia. Saat ini, produsen komersial umum biji kering adalah India, Cina, Indonesia, Brasil, dan Amerika Serikat.

Orang-orang di Indonesia biasa menyebut tanaman buncis tipe tegak atau kacang merah ini dengan nama “kacang jogo” atau kacang galing. Namanya di tempat lain, terutama di Belanda adalah rode boon atau bruine boon.

Masakan yang menggunakan bahan kacang merah terdapat di sejumlah negara. Di Jepang ada masakan Azuki (あずき atau 小豆) yang terbuat dari kacang merah, biasanya terasa manis. Beberapa menu khas di Arab atau India juga menggunakan kacang merah. Khusus di India, kari kacang merah disebut rajma.

Di Korea menu bernama Bungeoppang adalah cemilan khas musim dingin berbentuk ikan yang biasanya diisi dengan selai kacang merah, ubi manis, coklat dan chesnut.


Dari Belanda, Menjadi Minahasa

Saling pengaruh antara dua kebudayaan, yaitu tradisi kuliner Nusantara dan Belanda dikenal dengan istilah rijsttafel. ‘Rijst’ berarti ‘beras’, ‘taffel’, berarti ‘meja’. Rijsttafel berarti ‘hidangan nasi’.

Fadly Rahman dalam Rijsttafel: Budaya Kuliner di Indonesia Masa Kolonial 1870-1942 (Gramedia Pustaka Utama, 2016) menulis, “Yang dianggap spesial dari rijsttafel adalah perpaduan budaya makan Pribumi dan Belanda sebagaimana tampak dari pelayanan, tata cara makan, serta hidangannya.”

Theodora Hurustiati, seorang chef dan penulis, kelahiran Jakarta yang kini bermukim di Italia dalam artikelnya berjudul “Feeding The Nation, Indo-Dutch Food’ termuat di colours-indonesia.com menulis, kehadiran Belanda di nusantara selama berabad-abad telah memberi banyak pengaruh terhadap kuliner pada masyarakat di sini.

Kata Hurustiati, para misionaris yang datang punya peran penting memperkenalkan pengaruh kuliner Belanda ke Indonesia.

“Tentu saja, pejabat Belanda – bersama keluarga mereka – juga memainkan peran penting,” kata Hurustiati.

Dapatlah dikatakan, pengaruh itu sudah dimulai sejak zaman kehadiran VOC pada 1600-an.

Lalu di masa Hindia Belanda, ketika sekolah-sekolah misi atau pemerintah didirikan di banyak tempat, keluarga-keluarga dari kelas atas yang memiliki akses pendidikan yang lebih baik menjalin kontak dengan orang-orang Eropa.

“Betapapun konflikasinya hubungan ketika dua budaya berbaur, mau tidak mau kedua belah pihak cenderung saling mempengaruhi dalam banyak aspek kehidupan mereka, dari bahasa hingga makanan,” ungkap Hurustiati.

Nenek Hurustiati berasal dari pulau Bangka, sebuah pulau di bagian timur Sumatera. Di masa muda, tuturnya, neneknya itu bekerja di dapur pada sebuah biara Belanda di pulau itu. Sambil membantu memasak, ia mempelajari resep para biarawati Belanda di situ.

Kelak resep-resep yang dipelajarinya itu menjadi bagian dalam keluarganya. Sejak awal bulan Desember, kata Hurustiati, nenek membuat kue untuk Natal.

“Saya bisa makan sebagian besar speculaasnya yang dibumbui biskuit dan kue lapis legit yang kaya, atau spekkoek dalam bahasa Belanda yang secara harfiah ‘kue lemak’,” kata Hurustiati.

Kisah Hurustiati ini mirip dengan apa yang masih hidup dalam ingatan dan bahkan laku hidup kebanyakan orang Minahasa. Setiap memasuki bulan Desember warisan kuliner Belanda muncul dalam resep beragam varian kue. Beragam jenis kukis Natal berbahan tepung terigu, mentega, susu dan coklat akan segera hadir di lemari atau meja kecil di ruang tamu.

Lalu, di hari raya, macam-macam masakan hadir di meja makan keluarga-keluarga di Minahasa. Sup brenebon salah satunya. Ia dan bermacam-macam jenis masakan lainnya adalah bukti warisan Belanda di masa kolonial yang hingga kini seolah telah dipribumisasi, menjadi misalnya ‘sup brenebon kaki babi’, ‘asli’ Minahasa.

“Ada sup yang menghangatkan hati, makanan yang menenangkan bagi banyak keluarga Indonesia, seperti sop buntut (oxtail soup), sop sosis (sausage soup) dan brenebon atau sup kacang merah (red bean soup) – semuanya dibuat dengan menggunakan teknik memasak Barat,” kata Hurustiati.

Sup Brenebon salah satu masakan yang menjadi bukti pengaruh saling-silang budaya di masa kolonial. Semangkuk Sup Brenebon berisi rempah-rempah dari berbagai kebudayaan, seperti Timur Tengah, India, Cina, dan Eropa.

“Masakan Minahasa memliki cita rasa pedas dari cabai dan rempah-rempah. Sementara sup kacang merah alias sup bruine bonen dijerang bersama bumbu pala dan cengkih,” tulis National Geographic Indonesia, Senin, 25 September 2017.

Nama di negeri asalnya adalah bruine bonen, di sini disebut brenebon. Umum di nusantara disebut sup kacang merah. Dengan hanya menyebut ‘sup brenebon’, orang-orang Minahasa segera tahu, bahwa yang dimaksud adalah sup yang kaya rempah-rempah dengan bahan kacang merah, dan sudah pasti ada daging babi atau kaki babi yang dimasak bersama.

Di beberapa tempat di nusantara ini, daging atau kaki babi diganti dengan iga sapi, misalnya. Tentu ini terkait dengan agama. Tapi di Minahasa di keluarga-keluarga tertentu yang mengundang tamu beragama Islam atau punya anggota keluarga dari denominasi gereja Advent, sup brenebon menggunakan tulang atau iga sapi, juga  ayam.

Ada juga es yang berbahan kacang merah. Di sini ia disebut dengan nama ‘es brenebon’ yang diolah menggunakan gula dan susu. Varian lain masakan dari kacang merah, yang juga menggunakan nama brenebon adalah mie brenebon. Sederhananya, ini adalah sup brenebon ditambah dengan mie.

Namun, sup brenebon selalu istimewa bila disajikan semeja dengan nasi, RW, Tinoransak, Ayam Rica-rica, Cakalang Bakar, dlsb. Sup brenebon disajikan pada wadah tempat sup yang lebih besar dari mangkuk. Mencicipi nasi bersama sup brenebon, bagi banyak orang justru untuk menambah selera makan. Selalu sup brenebon disantap sepiring bersama lauk, seperti RW atau tinoransak. Agaknya tidak biasa bagi orang-orang Minahasa menyantap hanya sup brenebon saja. Kecuali mie brenebon.

Di rumah-rumah makan di Minahasa, ketika orang memesan ‘nasi campur’ – nama untuk menu berisi nasi, lauk-pauk – biasanya yang menyertainya adalah semangkuk sup brenebon. Sudah pasti, dabu-dabu, atau sambal khas Minahasa, mesti selalu ada bersama.

Demikianlah, meja-meja makan di Minahasa, pada pesta, jamuan makan Natal, Tahun Baru, dan Pangucapan Syukur, sup brenebon menjadi masakan yang khas. Ia hadir bersama menu khas Minahasa lainnya yang berbahan daging diolah dengan macam-macam rempah dan sudah tentu dengan cabai yang pedas. Maka jadilah meja makan yang kaya dengan kisah perjumpaan budaya.

Kata Hurustiati, perpaduan budaya melalui makanan bukanlah hal baru. Ini adalah proses yang telah berlangsung lama, sejak umat manusia melakukan perjalanan dan bertemu dengan orang-orang dari kebudayaan lain. Di Indonesia, katanya, warisan budaya Belanda dikaitkan dengan beberapa perayaan.

Kebanyakan pesta atau perayaan-perayaan rutin ini, dulunya adalah ritual pada zaman leluhur. Ia lalu berjumpa dengan kebudayaan lain, entah Eropa dengan agama Kristennya, Arab dengan agama Islamnya atau Cina. Perjumpaan tradisi kuliner, akhirnya menjadi bahasa universal. Sup brenebon, juga demikian. Ia membawa kisah dari zaman lampau, dan kini ia terus ‘berbicara’ di meja-meja makan tentang kisah yang panjang itu.

“Makanan, bagaimanapun, adalah bahasa yang tidak membutuhkan terjemahan,” kata Hutustiati. (*)


Editor: Daniel Kaligis


Komitmen dan misi kami adalah menghadirkan media dengan mutu jurnalisme yang baik. Menurut pendapat kami, salah satu syarat penting untuk mencapai hal itu adalah indepedensi.
Sejak awal, kami telah menetapkan bahwa KELUNG adalah media independen. Sebagai media independen, KELUNG hadir untuk melayani pembaca dengan laporan, artikel atau tulisan yang disajikan secara naratif, mendalam, lengkap dengan konteks. Kami mengajak anda untuk memasuki setiap gejala dan isu untuk menemukan informasi, inspirasi, makna dan pengetahuan.
KELUNG independen oleh karena kami sendiri yang menentukan tema atau isu untuk disajikan. KELUNG bebas dari intervensi penguasa atau pemilik modal. KELUNG independen dari intervensi ideologi agama atau ideologi apapun.
KELUNG independen, karena bebas berpihak kepada kelompok minoritas, kelompok marginal dan lemah secara akses suara ke publik. KELUNG juga akan terus berupaya mengembangkan diri, meningkatkan mutu isi dan penyajian.
Pembaca adalah kunci dari harapan kami ini. Dukungan pembaca berupa donasi, sangat berarti bagi kami dalam upaya pengembangan dan peningkatan mutu jurnalisme yang independen. Kami mengundang pembaca untuk bersama-sama untuk mencapai komitmen dan misi kami ini.
Mari bantu KELUNG dengan cara berdonasi…. selengkapnya

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *