Connect with us

BERITA

ASN Bermain Politik, Sulut Terparah, Penindakan Lemah

Published

on

21 Maret 2019


Oleh: Rikson Karundeng


 

kelung.com – 17 April 2019, hari “H” pencoblosan, di depan mata. Tambur pesta demokrasi Pemilihan Umum (Pemilu) pun kian kencang bergema. Para petarung makin gesit bermanuver demi mendulang suara. Di antara geliat itu, tertangkap radar pengawas pemilu, ada gerakan “haram”. Aparatur pemerintah yang dilarang berpihak pada calon presiden (capres), calon legislator, partai politik (parpol) tertentu, justru jadi pemain inti di garis depan medan pertempuran.

Tak lagi sembunyi-sembunyi. Aparatur Sipil Negara (ASN) bermain liar di depan publik. Berkampanye, mengajak orang untuk memilih capres atau calon legislatif (Caleg) jagoannya.

Terkuak fakta, ada ASN yang terseret pusaran politik praktis karena kepentingan keluarga. Ada yang terlibat demi menyenangkan “bosnya” yang duduk di rantai atas kursi birokrasi. Apalagi tindakan itu akan masuk dalam poin penilaian, “loyalitas” terhadap atasan. Tapi ada juga yang terpaksa melanggar aturan karena ditekan. Mau atau tidak tetap harus mau.

“Kalau di daerah saya, banyak Lurah dan Pala’ (Kepala Lingkungan) yang mulai mengeluh. Karena mereka harus memenuhi target. Pala’ 20 suara, Lurah harus minimal 40 suara. Kalau Camat dan pejabat lain, tanya saja langsung ke mereka kalau targetnya berapa,” ungkap salah seorang peserta ketika menghadiri kegiatan Konsolidasi Stakeholder Pemilu 2019 di Provinsi Sulawesi Utara, yang digelar Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Republik Indonesia (RI) di Manado, Rabu 20 Maret 2019.

“Mereka terpaksa melakukan itu karena jabatan mereka terancam. Atasan mereka sudah sampaikan, kalau tidak tercapai target itu, jabatan yang sedang diduduki akan diambil dari mereka. Kasihan, para Pala’ dan Lurah banyak yang mengeluh,” sambungnya.

Fakta itu ikut dibenarkan Karel Najoan. Akademisi Universitas Negeri Manado (UNIMA) yang hadir sebagai narasumber dalam kegiatan tersebut. Najoan membeberkan sederet modus yang dilakukan sejumlah pejabat daerah di berbagai kabupaten dan kota di Sulut untuk menggerakkan ASN dalam memenangkan Caleg tertentu. Praktek itu diakui Najoan terjadi dan merupakan warisan praktek Pemilu atau Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) dari masa lalu hingga hari ini.

 

Bawaslu Sulut Tangani Puluhan Kasus

Angka keterlibatan ASN dalam Pemilu 2019 ini tergolong tinggi. Data itu tersaji di seluruh Indonesia. Tak terkecuali di Sulut. Hal tersebut terlihat jelas dari kasus yang berhasil dijaring Badan Pengawas Pemilu Sulawesi Utara (Bawaslu Sulut). Jumlah tertinggi ada di Kabupaten Kepulauan Siau, Tagulandang dan Biaro (Sitaro).

Di tiga bulan pertama tahun 2019, perangkat pemerintah yang terlibat skandal ini mencapai puluhan kasus. Berdasarkan rekapitulasi data Divisi Penindakan Pelanggaran Bawaslu Sulut terkait penanganan pelanggaran Pemilu 2019, sejak medio Januari hingga 14 Maret 2019, khusus pelanggaran terkait netralitas ASN menyentuh 40 kasus.

Rinciannya, di Kabupaten Kepulauan Sitaro ada 25 kasus, menyusul Kota Kotamobagu yang mencapai 8 kasus. Untuk wilayah Kota Tomohon, Kabupaten Kepulauan Sangihe, Kota Manado, Kota Bitung, Kabupaten Minahasa Tenggara (Mitra), Kabupaten Bolaang Mongondow Selatan (Bolsel), dan Kabupaten Bolaang Mongondow Utara (Bolmut), masing-masing terdapat satu kasus.

Untuk sementara, Kabupaten Kepulauan Talaud, Kabupaten Minahasa, Kabupaten Minahasa Selatan (Minsel), Kabupaten Minahasa Utara (Minut), Kabupaten Bolaang Mongondow (Bolmong), dan Kabupaten Bolaang Mongoondow Timur, sejauh ini belum ada laporan yang masuk terkait ASN yang tidak netral.

“Dalam data kami di Bawaslu, kasus ASN berkampanye dimasukkan bersama pada kategori pelanggaran undang-undang lainnya. Seperti perdata atau Pengadilan Tata Usaha Negara. Hanya saja selama penanganan ini belum ada yang lain. Semuanya menyangkut kasus netralitas ASN,” jelas Koordinator Divisi Pelanggaran Bawaslu Sulut, Mustarin Humagi, seperti dilansir oleh Media Sulut, Kamis, 21 Maret 2019.

Data tersebut merupakan kombinasi temuan Bawaslu dan laporan masyarakat. Data ini belum termasuk sejumlah kasus yang muncul belakangan. Misalnya, kasus yang menyeret oknum Camat di Kabupaten Minsel. Temuan awal dalam kasus yang kini ditangani Bawaslu Sulut, tersebut berasal dari media sosial seperti Facebook atau Whatsapp.

“Karena jelas-jelas dalam gambar itu (oknum Camat terlibat, red). Meski perlu juga dibuktikan, apakah keaslian gambar itu benar atau tidak. Namun Bawaslu Minsel dengan Gakkumdu (Sentara Penegakan Hukum Terpadu, red) Minsel, dari informasi yang kami dapatkan, sudah melakukan penanganan kasus ini,” tutur Humagi.

Mustarin Humagi memastikan, nama-nama ASN yang diduga terlibat kampanye, tetap direkomendasikan ke Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN). Tidak ada satupun yang tidak direkomendasikan dalam hal keputusan hasil kajian.

“Semuanya masuk KASN. Terlepas dari adanya unsur tindak pidana Pemilu. ASN adalah subjek hukum kami yang kami awasi. Sehingga kajian yang sifatnya administratif terkait netralitas ASN langsung kami limpahkan ke KASN,” tandasnya.

Ia juga memastikan, Bawaslu Sulut akan mengecek secepatnya rekomendasi-rekomendasi yang sudah digulir ke KASN.

“Beberapa rekomendasi kami sudah diputus oleh KASN. Ini bukti juga keseriusan KASN dan bukti komitmen kami dalam MoU (nota kesepahaman, red), antara Bawaslu, KASN dan Kemendagri (Kementerian Dalam Negeri, red). Termasuk Dewan Pers. Ini gugus tugas. Penanganan terkait dengan netralitas,” urai Humagi.

 

Wakil Rakyat Sulut Bereaksi

Maraknya ASN terseret tindak pelanggaran Pemilu, memantik reaksi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Sulut. DPRD Sulut meminta agar para Pegawai Negeri Sipil (PNS) tidak melakukan gerakan memihak pada peserta pemilu. Wakil Ketua Komisi I DPRD Sulut, Kristovorus Deky Palinggi menyampaikan, ASN memang tidak bisa terlibat dalam praktik-praktik kampanye sesuai aturan.

“Karena memang sesuai aturan, ASN tidak bisa berkampanye,” ucap Palinggi seperti dilansir dari Media Sulut.

Hanya saja menuru Palinggi, ada instruksi Menteri Dalam Negeri (Mendagri) yang menyebutkan bahwa ASN bisa hadir di kegiatan kampanye dalam syarat-syarat tertentu. Di antaranya tidak menggunakan atribut dari peserta pemilu atau seragam dinas. Mereka bisa datang dalam kapasitas untuk mendengarkan visi dan misi peserta pemilu.

“Mereka bisa datang di kampanye mendengarkan program, visi dan misi tapi ASN yang pakai atribut tidak bisa. Karena ASN juga kan harus memilih. Mereka punya suara dalam pesta demokrasi itu,” ujar politisi Partai Golongan Karya (Golkar) ini.

Begitu pula bagi ASN yang punya jabatan dalam forum-forum tertentu, menurut Palinggi mereka bisa berbicara menyangkut pemilu. Namun sebatas untuk menghimbau masyarakat seperti menyalurkan hak pilihnya. Kalau sudah mulai mengarah pada ajakan memilih salah satu calon maka itu adalah pelanggaran.

“Kalau itu mengajak masyarakat untuk jangan lupa datang ke TPS (Tempat Pemungutan Suara, red) supaya lakukan pencoblosan, ini merupakan hal yang wajar. Jangan mengarahkan untuk memilih sesorang,” pungkas Palinggi.

 

ASN Lahan Empuk Mendulang Suara

ASN punya pesona yang luar biasa. Apalagi di mata politisi. Bukan karena seragam mereka tapi karena posisi ASN dinilai strategis dalam menggerakkan sebuah jaringan massa. Terutama mereka yang duduk di posisi-posisi “kepala” dalam struktur pemerintahan.

Dalam perhelatan Pemilu 2019, para ASN dinilai berpotensi menjadi lahan empuk mendapatkan suara. Apalagi kepala daerah yang memiliki kepentingan memenangkan parpolnya, akan memanfaatkan bawahannya sebagai pundi-pundi suara.

Akademisi di Universitas Sam Ratulangi (Unsrat) Manado, Ferry Liando, memastikan pelibatan ASN dalam arena politik 2019 pasti terjadi. Menurut Liando, hal itu disebabkan oleh kepentingan kedua pihak yang sama-sama saling menguntungkan.

“Modus keterlibatan ASN dalam pemilu itu ada banyak. Pertama, ikut membantu pengadaan baliho Caleg tertentu. Kedua, membantu Caleg dalam pemetaan kekuatan. Ketiga, mempublikasikan simbol caleg tertentu baik dalam bahasa tubuh maupun identitas Caleg. Keempat, mencantumkan simbol-simbol Caleg dalam kegiatan-kegiatan pemerintahan. Seperti pada publikasi atau dalam penyerahan bantuan sosial. Kelima, memobilisasi anak buah sebagai mesin politik pengumpul suara. Keenam, mengancam akan menarik fasilitas pelayanan publik jika tidak memilih caleg tertentu,” tegas Liando.

Liando juga menegaskan, ada tiga motif mengapa ASN tidak netral dalam pemilu. Pertama, cara mempertahankan jabatan. Jika tidak berpihak maka terjadi kekhawatiran jabatannya akan hilang. Kemudian, ingin mendapatkan jabatan baru. Di beberapa kabupaten dan kota banyak pengangkatan pejabat tidak melalui proses sistem merit. Hal itu disebabkan karena posisi pejabat menjadi jatah atau diberikan kepada ASN yang pernah menjadi tim sukses.

“Terakhir, jarang ada sanksi sampai pada pemecatan jika ada ASN terlibat politik,” ungkap Liando.

 

Data Bawaslu, Sulut Terparah di Indonesia

Nama Sulawesi Utara disorot Bawaslu RI, terkait pelanggaran netralitas ASN. Di provinsi ini paling banyak ditemukan pelanggaran pemilu terkait tidak netralnya ASN. Ferry Liando menjelaskan bahwa, berdasarkan data dari Bawaslu RI, Sulut berada di peringkat pertama angka pelanggaran menyangkut netralitas ASN dengan skor 18 kasus. Lalu, diikuti Sulawesi Barat (16 kasus), Jawa Tengah (10 kasus), Sulawesi Tenggara (8 kasus) dan Kalimantan Selatan (7 kasus).

“Aturan ASN untuk tidak membuat kebijakan yang menguntungkan atau merugikan peserta Pemilu, tertuang di Pasal 282 dan Pasal 283 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Pejabat negara, pejabat struktural dan pejabat fungsional dalam jabatan negeri serta aparatur sipil negara lainnya, dilarang mengadakan kegiatan yang mengarah kepada keberpihakan terhadap peserta Pemilu sebelum, selama dan sesudah masa kampanye,” papar Liando.

Menurut Liando, Bawaslu harus tegas. Perlu ada peristiwa yang bisa membuktikan bahwa Bawaslu tidak pandang bulu. “Jika banyak kejadian lalu tidak pernah dieksekusi sampai pada vonis, maka tidak akan pernah ada efek jera,” tandasnya.

Adanya kesulitan mencegah ASN untuk tidak terlibat dalam kampanye dinilai Liando ikut disebabkan karena Bawaslu hanya sebatas merekomendasikan pelanggaran kepada KASN. Dari KASN, kasus tersebut diteruskan kepada Kepala Daerah sebagai Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) untuk pemberian sanksi.

“Masalahnya pihak yang paling sering melibatkan ASN dalam Pemilu adalah Kepala daerah yang memiliki kerabat sebagai Caleg. Tidak mungkin Kepala Daerah akan memberikan sanksi kepada aparatnya, jika ASN itu membantu kepentingan kepala daerah,” pungkas Liando.(*)

 


Editor: Daniel Kaligis


 

Komitmen dan misi kami adalah menghadirkan media dengan mutu jurnalisme yang baik. Menurut pendapat kami, salah satu syarat penting untuk mencapai hal itu adalah indepedensi.
Sejak awal, kami telah menetapkan bahwa KELUNG adalah media independen. Sebagai media independen, KELUNG hadir untuk melayani pembaca dengan laporan, artikel atau tulisan yang disajikan secara naratif, mendalam, lengkap dengan konteks. Kami mengajak anda untuk memasuki setiap gejala dan isu untuk menemukan informasi, inspirasi, makna dan pengetahuan.
KELUNG independen oleh karena kami sendiri yang menentukan tema atau isu untuk disajikan. KELUNG bebas dari intervensi penguasa atau pemilik modal. KELUNG independen dari intervensi ideologi agama atau ideologi apapun.
KELUNG independen, karena bebas berpihak kepada kelompok minoritas, kelompok marginal dan lemah secara akses suara ke publik. KELUNG juga akan terus berupaya mengembangkan diri, meningkatkan mutu isi dan penyajian.
Pembaca adalah kunci dari harapan kami ini. Dukungan pembaca berupa donasi, sangat berarti bagi kami dalam upaya pengembangan dan peningkatan mutu jurnalisme yang independen. Kami mengundang pembaca untuk bersama-sama mencapai komitmen dan misi kami ini.
Mari bantu KELUNG dengan cara berdonasi…. selengkapnya

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *