CULTURAL
Babi dalam Tradisi, Pasar dan Negara
Published
6 years agoon
By
philipsmarx27 Januari 2019
Oleh: Denni Pinontoan
Bagi orang-orang Minahasa babi bagian dari tradisi, dalam praktek ekonomi dan politik ia adalah komoditi
MOTOLING AWAL tahun 1990-an. Salah satu pekerjaan saya pada hari-hari tertentu adalah pergi ke kebun menggali ubi talas. Buahnya untuk dimakan, bagian yang orang-orang di sini bilang wongkai untuk dimasak jadi makanan ternak babi.
Di masa itu kandang babi dibuat di bagian belakang rumah. Jenis babi yang diternak adalah babi lokal. Ketika semakin umum babi import yang didatangkan pemerintah, ia kemudian disebut ‘babi biasa’. Jadi, kemudian ada ‘babi biasa’ dan ada ‘babi budo’ untuk menyebut babi import itu.
Ubi talas, terutama yang disebut ‘wongkai’ – semacam batang tempat buah dan akar menempel – adalah makanan pokok babi di masa itu. Sesekali ditambah dengan jagung atau milu, konga (sisa dari gilingan padi) serta tai minya (bungkil). Waktu itu, pakan ternak babi tergolong murah dan mudah didapat.
Wongkai yang diambil dari kebun dibawa pulang ke rumah. Di rumah ia mesti dicincang terlebih dahulu. Ketika dimasak sering ditambah bagian tangkai daun yang dipotong-potong. Tempat masaknya kuali atau wadah yang terbuat dari drum bekas. Dimasak sampai matang, didinginkan lalu siap dilahap oleh babi-babi yang tak pernah kenyang.
Sebelum era kandang, babi-babi dibiarkan berkeliaran seperti ayam. Lainnya diikat di batang pohon lalu si babi tidur-tiduran beralas lumpur. Tapi pada suatu masa, ini bikin resah masyarakat. Kotoran babi di mana-mana. Tanaman di pekarangan rusak. Tak jarang babi masuk dapur cari makan. Belanga nasi jadi sasarannya. Orang-orang merasa tak aman dan nyaman.
Pemerintah desa: hukum tua, pala dan meweteng lalu bikin penertiban. Para hansip jadi tukang razia. Babi-babi yang berkeliaran ditangkap. Solusinya adalah bikin kandang. Babi-babi wajib masuk kandang.
Babi di Minahasa punya cerita. Ia tidak hanya berhubungan dengan tradisi kuliner. Babi terkait dengan banyak hal tentang kehidupan. Pesta-pesta sering sekali diadakan. Jumlah babi yang disembelih jadi gengsi. Ia ada hubungan dengan jumlah tamu yang akan diudang. Pada pesta nikah misalnya, persiapan keluarga yang berpesta makan waktu satu minggu lebih. Sekitar 3 sampai 4 hari sebelum hari ‘H’, keramaian sudah tampak di rumah keluarga yang berpesta. Lalu, pasca hari ‘H’, juga sekitar 3 sampai 4 hari.
Persiapan sebelum hari ‘H’ adalah membuat bangsal. Lalu muda-mudi teman dari pria atau si gadis yang mau menikah bantu-bantu pinjam piring di keluarga-keluarga sekitar pesta. Ibu-ibu dan bapak-bapak yang lain mulai siapkan semua rempah yang akan dipakai untuk masak. Sehari sebelum hari ‘H’ kesibukan meningkat. Ini waktunya acara ‘potong babi’. Di sini terlihat berapa banyak ekor babi yang akan disembelih.
Hari ‘H’ acara pernikahan, yang paling ditunggu-tunggu tentu adalah resepsi. Setelah acara pemberkatan di gedung gereja, sore hingga malamnya keramaian di bangsal. Sampai tahun 1990-an ini, makanan yang akan disantap para undangan digelar di meja panjang. Orang-orang duduk berhadap-hadapan. Menu tinoransak, pangi, brenebon, RW, babi kecap, loba, dan lainnya digelar di meja panjang itu. Kebanyakan menu gunakan daging babi.
Terkait dengan babi, sebelum acara makan-makan itu, ada cerita lain bagaimana masyarakat di Minahasa memahami kesiapan seorang pemuda untuk berumah tangga. Ini rupanya bagian dari warisan masa lalu. Sering terdengar orang-orang berkata, “Oh, so ja basiap tu tuama itu mo kaweng,” (Oh, pemuda itu sedang bersiap untuk menikah).
Apa tandanya? Tandanya adalah ketika seorang pemuda mulai beternak babi beberapa ekor. Lainnya tampak dari keikutsertaannya pada sebuah kelompok mapalus, atau mulai giat bekerja lebih dari biasanya, misalnya menjadi tukang untuk memperoleh uang lebih. Bagi masyarakat, terutama orang tua dari si calon istri ini indikasi bahwa si pemuda itu layak untuk berumah tangga. Pada masa yang lebih lampau, penilaian bukan hanya bagi si pemuda, melainkan juga termasuk terhadap si pemudi.
Datang pada waktu tertentu ketika si pemuda menyampaikan niatnya untuk menikah, ayah atau ibunya akan bertanya terlebih dahulu: “So tahu kerja so? So berapa ekor babi da piara? So ada doi mo bli cincin?”
Pesta, dan tentu ia tidak terpisah dengan makan-makan adalah bagian dari kultur masyarakat di sini. Kehidupan yang dipenuhi pesta, sebetulnya adalah kelanjutan dari kehidupan zaman leluhur yang juga dipenuhi dengan ritual. Pada setiap ritual, babi mesti selalu tersedia, baik untuk dipersembahkan maupun untuk jamuan makan bersama. Bersama dengan babi, adalah anjing atau RW. Setiap ritual dan pesta dalam masyarakat Minahasa adalah tanda keberadaan diri.
Babi dalam Kurungan Modal dan Negara
Manado, Jumat, 3 Maret 2017. Ratusan orang berkumpul di lapangan KONI Sario. Dari situ menuju ke kantor DPRD Provinsi Sulawesi Utara. Mereka adalah para peternak babi.
“Ayo, kita lawan kapitalisasi pemodal daging babi, dan sejahterahkan peternak babi lokal. Kita lawan monopoli ternak di Sulut. Lawan atau tunduk tertindas. Jangan kita hanya jadi jongos di tanah sendiri,” teriak Donny Rumagit seperti dikutip dari Fajarmanado.com. Ini aksi demonstrasi. Rumagit adalah pimpinan Forum Peternak Babi Sulut. Hari itu ia jadi koordinator lapangan aksi.
Aksi ini dibuat karena mereka, para peternak sedang hadapi masalah harga pakan yang mahal. Mereka minta pemerintah lakukan proteksi harga. Beberapa waktu terakhir para peternak merasa rugi. Disinyalir sedang terjadi monopoli produksi daging babi. Dalam orasi pada aksi itu terungkap siapa yang mereka sasar. Sebuah perusahaan pakan besar, katanya juga adalah peternak babi.
Soal lain yang mereka singgung adalah tentang Surat Keputusan Menteri Pertanian nomor 888/Kpts/Tn.560/9/1997. SK tertanggal 9 September 1997 ini tentang pernyataan berjangkitnya Wabah Penyakit Sampar Babi (Hog Cholera atau Classical Swine Fever) pada beberapa propinsi di seluruh Indonesia.
Dalam sebuah laporan tentang pemberatasan penyakit Hog Cholera disebutkan bahwa SK ini terbit karena dilatari temuan kasus Hog Cholera di peternakan babi di Muara Kasang, Kota Padang, Sumatera Utara pada Agustus 1995. Dari sana ia kemudian menyebar ke beberapa daerah. Tahun 1997, terbitlah SK itu.
Perusahaan pakan yang juga peternak babi itu adalah PT Karya Prospek Satwa (KPS) yang berpoperasi di Tara-tara, Kota Tomohon. Ketika lakukan aksi di Kota Tomohon pada 21 Maret 2017, Forum Peternak Babi Sulut tuntut pemerintah kota hentikan operasi PT. KPS. Pada tanggal 8 Maret 2017 sebelumnya, Forum Peternak Babi Sulut lakukan hearing dengan komisi 1 DRPD Porvinsi Sulut. Di sini terungkap, bahwa perusahaan tersebut telah beroperasi sejak tahun 2008. Selama hampir 9 tahun itu perusahaan tidak kantongi ijin.
”PT Karya Prospek Satwa (KPS) sudah menipu Warga Sulut, ditambah lagi sudah membodohi Pemerintah Sulut dimana mereka tidak mengantongi ijin usaha. Harus ditutup,” ungkap Anggota Komisi I DPRD Provinsi Sulawesi Utara, James Tuuk dihadapan Forum Peternak Babi Sulut, Pihak PT. KPS, Komisi II DPRD Sulut, serta Dinas Pertanian Tomohon dan Minahasa, seperti dikutip dari Seputarsulut.com.
Tuuk lalu menyimpulkan, berdasarkan pertimbangan tersebut, maka dapat dikatakan, selama ini PT KPS sudah merugikan Pemerintah Provinsi Sulut dan peternak babi lokal.
“Hal ini sangat menghina warga Sulut dan juga menipu parlemen. Untuk itu sangatlah tidak elok jika pemerintah dan parlemen memberikan ruang kepada mereka, sementara peternak babi lokal harus terkebelakang,” lantangnya.
Populasi ternak babi terbanyak di Minahasa. Data Badan Pusat Statistik (BPS) Sulut menyebutkan, populasi babi pada tahun 2017 se-Sulut sebanyak 411 792. Tahun 2018 sebanyak 414 653. Jumlah terbesar terdapat di kabupaten Minahasa, masing-masing tahun 2017 sebanyak 124 087 dan tahun 2018 sejumlah 126 157. Untuk ukuran kota, terbanyak adalah Kota Tomohon: tahun 2017 sebanyak 65 100; tahun 2018 sebanyak 51.000.
Peternakan babi bagi pemerintah tentulah penting. Ia jadi sumber PAD. Olehnya jeritan para peternak babi skala rumah tangga, mestinya didengar.
“Kalau untuk ternak babi, termasuk sumber PAD yang tinggi jadi kami jual bibit babi untuk PAD,” kata Kepala UPTD Balai Bibit Ternak dan Benih Pertanian, Leonard Liwoso, Maret 2018 seperti dikutip dari Kabarpost.com.
Namun kepada saya, Rumagit, Ketua Forum Peternak Babi Sulut mengatakan, soal harga pakan babi, pasarlah yang menentukan. Negara tidak memproteksi harga. Dia menilai dalam hal ini terjadi diskriminasi bagi peternak babi.
“Pasar yang menentukan harga. Tapi sistemnya tertutup dan justru ada diskriminasi dari negara untuk pakan babi tidak ada subsidi sama sekali beda dengan ayam ada campur tangan dari negara,“ katanya menjelaskan.
Kini, babi, sapi dan ayam, sebagai ternak dan ia sebagai daging untuk dikonsumsi punya rantai yang panjang sampai dihindangkan di meja makan. Menurut Dewan Pembina Gabungan Pengusaha Makanan Ternak (GPMT), Sudirman, sekitar 35% bahan baku pakan ternak masih diimpor.
“Jadi selain bungkil kedelai kita mengimpor tepung daging dan tulang. Itu komponen impornya bisa mencapai 75% dari cost,” katanya seperti dikutip dari detikfinance.
Kelima negara tersebut adalah: Australia, Brasil, hingga Amerika Serikat (AS). Rinciannya, bungkil kedelai diimpor dari Brasil, Argentina dan AS. Sedangkan tepung daging dari AS, Australia dan Selandia Baru. Sudirman menjelaskan harga bahan baku pakan ternak tersebut naik seiring menguatnya nilai tukar dolar AS terhadap rupiah.
Politik ‘Babi’ Warisan Orde Baru
Mari kita mundur sedikit ke belakang. Sejak awal tahun2000-an, orang-orang di kampung semakin sedikit yang beternak babi lokal. Babi import, entah dari Belanda, Jerman atau Austalia yang berbulu terang dan keseluruhan tubuhnya menampakkan warna albino, mulai umum di kampung-kampung. Orang-orang tidak menyebut nama varietasnya. Kebanyakan, yang disebut untuk babi jenis ini adalah babi ‘banpres’. Babi bantuan presiden.
‘Babi banpres’ adalah jejak orde baru di Minahasa dan daerah lain yang penduduknya penyuka daging babi. Ceritanya tidak lepas dari hobi Presiden Soeharto membangun. Pembangunan di bidang pertanian dalam rangka swasembada dan stabilitas ekonomi, kebijakanya antara lain adalah pemberitan bantuan ternak untuk rakyat. Macam-macam ternak, sapi, babi, ayam, itik, dan lain sebagainya. Babi bantuan presiden, jadi terkenal dengan nama ‘babi banpres’.
Ketika meresmikan sejumlah proyek di Sulawesi Utara, salah satunya Pusat Pengembangan Ternak di Tampusu, 19 Juli 1988, Presiden Soeharto dalam sambutannya mengatakan, peresmian proyek-proyek di Sulut ini pada dasarnya untuk meningkatkan perekonomian di daerah agar kesejahteraan rakyat lebih membaik.
“Ini merupakan tujuan pembangunan nasional,” kata Soeharto seperti terdokumentasi dalam buku Jejak Langkah Pak Harto 21 Maret 1988 – 11 Maret 1993, terbit tahun 2003.
Bagi Soeharto, pembangunan infrastruktur dan fasilitas lainnya, adalah untuk “untuk meningkatkan kekuatan-kekuatan ekonomi yang ada di daerah-daerah ini.”
Ekonomi orde baru, kata para ahli, adalah kapitalistik. Dengan begitu, ternak babi misalnya mesti dimasukan dalam pasar bebas. Tapi, pengalaman yang dialami oleh para peternak babi di Minahasa, yang berlaku dalam jaringan pasar bebas itu hanyalah impor pakan, bukan daging hasil beternak. Peternak babi merasakan diskriminasi, dan itu berlanjut hingga kini.
“Contohnya ketika harga milu naik sampai tembus 7000 justru pemerintah impor milu tapi itu khusus untuk peternak ayam. Tapi babi tidak diperhatikan,” kata Rumagit.
‘Babi banpres’ tidak makan ‘ubi bete’ (ubi talas). Makanannya mesti dibeli di toko-toko pakan ternak. Tapi ia dapat cepat dipanen. Beda dengan babi biasa yang mesti diternak bertahun-tahun, babi banpres cuma butuh berapa bulan. Ini cocok dengan musim-musim pesta besar, seperti Natal, Tahun Baru, dan Pangucapan Syukur. Kebutuhan per minggu yang juga tinggi, tentu semua itu membuat beternak babi banpres memberi harapan. Namun, harapan itu berhadapan dengan tantangan monopoli dan ketidakberdayaan mereka menghadapi harga yang ditentukan oleh pasar.
Dalam hal ini, sepertinya para peternak babi di Minahasa masih harus menanggung warisan pola pembangunan ala orde baru. Dengan begitu, beternak babi bukan lagi semata bagian dari tradisi tapi mau tidak mau harus menerima kenyataan ia adalah bisnis yang mesti selalu siap berhadapan dengan ganasnya pasar.
Babi dalam Praktik Kuliner
Untung saja, pasar untuk distribusi daging di sini masih terbuka. Orang-orang Minahasa penyuka masakan dari babi. Pesta-pesta dilaksanakan setiap minggu. Warisan dari tradisi ritual dan pesta-pesta dari masa lampau, daging babi, pun babi banpres terus digemari.
Dari BPS menyebutkan, konsumsi daging babi di Sulawesi Utara tahun 2016 sebanyak 21.905.833 kg. Tahun 2017 meninggkat menjadi 23.534.899 kg. Daging babi adalah tertinggi di banding jenis daging yang lain.
Pertama-tama sebetulnya bukan karena di Sulut mayoritas penduduknya beragama Kristen ajaranya bolehkan umatnya makan daging babi, melainkan di sini ada tradisi itu. Tradisi makan babi.
Cuma saja, lebih mudah orang-orang, termasuk peneliti kaitkan antara kegemaran mengkonsumsi daging babi dengan sentimen agama.
“Makanan adalah penanda primer identitas Minahasa dan dengan begitu memisahkan mereka dari Yang Lain, yang tidak memiliki tradisi yang sama, seperti misalnya umat Muslim,” kata Gabriele Weichart dalam laporan penelitiannya berjudul Identitas Minahasa: Sebuah Praktik Kuliner.
Orang-orang Minahasa masih bisa makan menu yang berbahan dasar sapi, yang secara sembarangan sering kali diidentikkan sebagai makanan Muslim. Ada pula yang makan sate kambing. Mie bakso digemari seperti orang-orang Minahasa menggemari tinutuan atau miedal. Soto Makassar juga.
Satu hal yang sering dilewatkan ketika bicara kuliner Minahasa adalah sifatnya yang terbuka tapi tetap khas. Coba lihat, dari menu berbahan dasar babi dan anjing, aslinya Tinoransak dan RW sebagai masakan khas kegemaran orang-orang Minahasa itu, muncul banyak varian menu lainnya. Sebut misalnya, ayam tinoransak, sapi tinoransak, bebek tinoransak, ayam bumbu RW, bebek bumbu RW, Kambing Tinoransak, bahkan sapi bumbu RW.
Ini masakan-masakan yang dapat dinikmati oleh semua orang penyuka menu berbahan dasar daging. Ia menjadi inklusif. Tapi, asalnya tetap terbawa pada namanya.
Pada varian-varian masakan berlebel tinoransak dan RW ini, lagi-lagi kita dapati sebuah kreatifitas kebudayaan di bidang kuliner. Sebuah cara berbudaya yang melampaui hukum ‘haram’ dan ‘halal’ menurut agama. (*)
Editor: Andre Barahamin
You may like
-
Merajut Makna Sinarongsongan Wene Hingga Nimawanua Sarongsong
-
Ma’waluy Wo Ma’walun?
-
Makna Situs di Minahasa, Pemuda dan Sebuah Pesan Penting
-
Tradisi Pasiar Jalan: Ungkapan Syukur dan Cara Palamba Memelihara Kebersamaan
-
Patung Sam Ratulangi Dibongkar, Perupa Sulut Gugat Pemerintah
-
Melihat Gastronomi Tana’ Melalui Kacamata Biru