Connect with us

BERITA

Bahaya Merkuri Mengintai, Kajian Lingkungan Harus Independen

Published

on

24 Januari 2019


Oleh: Juan Y. Ratu


 

kelung.com – Dampak penggunaan merkuri pada pertambangan emas berbahaya bagi kesehatan manusia dan masyarakat serta lingkungan. Isu ini juga merupakan masalah serius pada Pertambangan Emas Skala Kecil (PESK) di Sulawesi Utara. Kajian lingkungan yang independen penting untuk wujudkan pertambangan emas ramah lingkungan.

Pokok pikiran tersebut terungkap dalam informal meeting yang dilaksanakan oleh Artisanal Gold Council (AGC) bersama Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Wilayah Sulawesi Utara (Sulut) di Hotel Quality Manado, Rabu (23/1). Tampil sebagai pembicara, Jull Takaliung, aktivis lingkungan hidup dari Yayasan Suara Nurani Minaesaan. Diskusi ini dipandu oleh Rikson Karundeng dari AMAN Sulut.

“Efek merkuri bagi manusia sangat berbahaya. Jadi, besar atau kecil jenis skala pertambangannya, kajian mengenai lingkungan harus tuntas dan independen,” ungkap Takaliuang.

Takaliung lalu mencontohkan kasus Teluk Buyat yang melibatkan PT. Newmont Minahasa Raya tahun 2004 silam. Sebagai aktivis lingkungan hidup, kata Takaliuang, ia sangat mengetahui resiko-resiko penggunaan merkuri bagi kegiatan pertambangan emas. Di tahun 2004, lanjut Takaliung, ia menyaksikan sendiri akibat dari pencemaran merkuri di sana.

Menurut Nadine Sulu, Dewan AMAN Nasional, sejak beberapa tahun terakhir ini, AMAN Sulut dan AGC giat melakukan edukasi bagi para penambang emas melalui Program Emas Rakyat Sejahtera (PERS). Antara lain tentang bahaya pencemaran merkuri, dan juga tentang kesejahteraan bagi mereka dan juga masalah perempuan.

AGC bersama AMAN Sulut telah memperkenalkan teknologi pengelolaan emas ramah lingkungan bagi kelompok-kelompok PESK dampinganya. Teknologi ini sudah diperkenalkan di Desa Tobongon, Kabupaten Bolaang Mongondow Timur dan di Tatelu, Kabupaten Minahasa Utara.

Deputy Project Manager AGC, Supriyanto dalam kegiatan sosialisasi mengenai program PERS yang dilaksanakan di ruang rapat Asisten 3 Sekretariat Daerah Bolaang Mongondow Timur, Kamis (10/1) lalu mengatakan, program ini dikhususkan untuk pemberdayaan PESK dalam rangka untuk mewujudkan pertambangan yang ramah lingkungan dan kesejahteraan bagi masyarakat.

“Salah satu aktivitas program ini adalah mengedukasi masyarakat untuk tidak menggunakan merkuri dalam proses pengolahan emas, karena merkuri pasti akan dilarang pemerintah indonesia,” katanya.

AGC menurut dia berupaya untuk memberikan alternatif bagi kegiatan pertambangan PESK dengan tidak menggunakan merkuri yang berbahaya bagi manusia dan lingkungan. “Pengganti merkuri pun ada beberapa metode namun masih ada juga yang menggunakan bahan kimia. AGC mencoba memberikan alternatif tidak menggunakan merkuri dan tidak juga menggunakan bahan kimia,” jelasnya.

Diskusi tentang dampak penggunaan merkuri dalam operasi pertambangan emas. (Foto: Kalfein Wuisan)


Respon Pemerintah

Bahaya pencemaran merkuri pada kegiatan pertambangan emas menjadi isu yang hangat dibicarakan di Sulut tahun 2004 lalu. PT. Newmont Minahasa Raya, perusahaan tambang emas asal Amerika itu digugat telah melakukan pencemaran di Teluk Buyat.

September tahun 2004, pemerintah menyimpulkan, perusahaan tambang emas PT Newmont Minahasa Raya benar telah mencemari lingkungan di Teluk Buyat. Tempo.co memberitakan, menurut Menteri Negara Lingkungan Hidup di masa itu, Nabiel Makarim, kesimpulan tersebut diambil berdasarkan rekomendasi tim khusus yang dibentuk pemerintah untuk melakukan penelitian.

“PT Newmont, yang kemarin resmi menutup operasi pertambangannya, dinyatakan telah melanggar standar baku mutu, terutama untuk kandungan arsen, air raksa, dan sianida,” tulis tempo.co, September 2004.

Sejumlah perusahaan tambang berskala besar sedang melakukan kegiatannya di Sulawesi Utara. Kelompok-kelompok PESK tersebar di beberapa daerah se-Sulut. Mongabay Indonesia pada September 2017 merilis data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral yang menyebutkan, se-Indonesia PESK terdapat di 850 titik tersebar di 197 kota dan kabupaten pada 32 provinsi. Jumlah penambang mencapai 250.000 orang.

Bahaya pencemaran merkuri membayangi masyarakat dan lingkungan hidup. Beberapa kasus yang sempat mencuat terkait dengan pencemaran merkuri dari kegiatan pertambangan emas, seperti di Teluk Buyat menjadi pelajaran penting bagi pemerintah. September 2017, DPR RI akhirnya menyetujui Rancangan Undang-undang Konvensi Minamata Mengenai Merkuri (Minamata Convention on Mercury) pada Sidang Paripurna V. Ini berarti Indonesia telah resmi meratifikasi Konvensi Minamata soal penggunaan merkuri yang berdampak bagi kesehatan dan lingkungan.

Mongabay.co.id menyebutkan, konvensi Minamata ini telah ditandatangani 128 negara di Jepang pada 10 Oktober 2013. Indonesia salah satu negara penandatangan.

Laporan Global Mercury Assesment yang dikeluarkan UNEP menyebutkan, PESK merupakan sumber emisi terbesar dari penggunaan merkuri disengaja. Data internasional 2010, tercatat emisi merkuri bersifat meracuni manusia sebanyak 37% bersumber dari PESK, 24% dari pembakaran bahan bakar fosil, 18% dari produk-produk metal, sisanya 5%-9% dari proses industri semen, insenerasi dan lain-lain.(*)

 


Editor: Denni Pinontoan

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *