Connect with us

REVIEW

Balada Tanah Mama Papua

Published

on

2 Februari 2019


Oleh: Arif Koes Hernawan
(Jurnalis Majalah GATRA)


 

Judul Film: Tanah Mama
Sutradara: Asrida Elisabeth
Produser: Nia Dinata
Durasi: 62 menit
Produksi: Kalyana Shira Foundation, 2015

* * *

HARI SUDAH SIANG. Pasar beranjak sepi. Halosina Heselo menghitung laba. Ia sukses mengumpulkan uang 30 ribu rupiah. Jauh dari angka yang mesti dicapai: satu juta rupiah.

Uang 30 ribu didapat Halosina, perempuan 40-an tahun setelah menyusuri lembah dan menyeberangi sungai. Dengan kaki telanjang, sambil mengusung noken berisi sayur berkilo-kilo untuk dijual di pasar. Halosina memulai perjalanannya dari kampung kecil di pedalaman Huguma, Yahukimo. Pasar Wamena yang jadi tujuan, berjarak lima jam jalan kaki dan sekali menumpang angkutan umum.

Sepanjang perjalanan, Anen, anak laki-laki yang tak diakui bapaknya, sesekali bergelayut di dada Halosina untuk menyusu. Ingus beleleran dari hidung bungsu dari empat bersaudara itu. Anen kemudian demam ketika tiba di pasar. Halosina, singgah dan membeli obat di apotik dekat pasar. Pertolongan pertama yang seadanya.

Sayur yang dijual Halosina bukan dari kebun sendiri. Ia tinggal dan memanen sayur dari lahan milik kakaknya. Halosina terpaksa minggat dari rumah karena Hosea, suaminya, tak menyiapkan lahan untuk berkebun. Di Wamena, tugas suami adalah membuka lahan. Menanam, merawat hingga menjual hasil panen jadi tugas istri. Tak ada lahan, tak ada makan.

Halosina harus cari makan. Ia punya empat orang anak.

Hosea tak cuma beristri Halosina. Ia punya istri muda. Juga melahirkan empat anak lagi. Anak-anak istri muda Hosea dapat perlakuan istimewa: makan nasi. Nasi, adalah simbol kemewahan di Papua, selain sekolah.

Pendidikan? Anak-anak Halosina harus berebut makan ubi dan berbagi jatah dengan babi.

Lantaran anak-anaknya kelaparan, Halosina pergi menggali ubi tanpa permisi. Pemilik kebun, adik perempuan Hosea, keberatan dengan tindakan itu. Ia melaporkan Halosina. Kepala Kampung, memutuskan Halosina bersalah. Ia kena denda. Satu ekor babi atau uang tunai satu juta rupiah dan tengat waktu. Kalau tidak sanggup bayar, Halosina akan dilaporkan ke polisi.

Orang Papua takut berurusan dengan polisi.

Hidup Halosina: pedih dan keras. Halosina, perempuan Papua. Hidupnya, hidup Papua: pedih dan keras.

“Tanah Mama”, cerita soal pedih dan kerasnya hidup Halosina. Hidup perempuan-perempuan Papua. Melalui metode observasi, film dokumenter besutan Asrida Elizabeth masuk dalam keseharian seorang ibu, seorang perempuan, seorang Halosina, seorang Papua. Lengkap dengan konflik domestik rumah tangganya.

Adegan demi adegan “Tanah Mama”, menyusun narasi kompleksitas masalah perempuan Wamena, perempuan Papua. Satu-satu ia muncul, jadi wakil narasi besar di belakang gambar desa terpencil, jauh di gunung. Tanah Mama, cerita soal perempuan sederhana yang menyangga empat dunia.

Film ini cerita soal ketimpangan sosial dan gender, soal keadilan, kemiskinan, pengelolaan sumber daya alam, masalah pendidikan, infrastruktur, dan politik.

Dalam “Tanah Mama”, karakter utama Halosina mengenakan kaos partai. Kaos janji, kaos masa depan, kaos harapan, kaos omong kosong, kaos suara, kaos pemberian Indonesia yang lupa bahwa Halosina tak punya ubi untuk Anem dan kakak-kakaknya. Kaos itu, tak sanggup bantu Halosina untuk punya satu juta rupiah, satu ekor babi atau satu potong ubi. Itu cuma kaos partai.

Saya suka film ini. Dokumenter yang observatif, cantik dan getir. Ia punya klimaks yang pas. Drama menawan untuk yang mau berpura-pura film ini cuma fiksi. Tapi, teks penutup yang mengunci akhir kisah menghapus tafsir itu. Mengurangi adukan emosi.

Kalau Asrida itu saya, teks itu takkan ada.

Kepada saya, Asrida bercerita awal mula muncul ide dan bagaimana ia membuat “Tanah Mama”. Saat sedang menyusun sebuah tentang Papua, Asrida bertemu dengan Halosina Heselo. Asrida langsung jatuh cinta. Ia tertarik dengan perempuan itu, dengan kisah dan bagaimana hidup memperlakukan perempuan itu. Asrida lalu memutuskan untuk bikin film dokumenter dan Halosina jadi karakter utama.

Tapi Halosina minggat.

Asrida berpikir bahwa film profil tentang Halosina sudah gagal. Tamat. Tapi, hijrah Halosina justru berbalik jadi cerita. Bahkan jadi tulang punggung “Tanah Mama”.

Asrida mulai tinggal di Papua sejak 2011. Ia selesai studi statistik di Universitas Udayana, Bali. Perempuan kelahiran Manggarai, Flores, Nusa Tenggara Timur, 18 November 1987 ini memutuskan untuk ikut membantu aktivis kemanusiaan Papua, Pastor John Jonga. Keputusan itu membawa Asrida ke Papua, membawanya ke Wamena, membawanya bertemu Halosina.

* * *

Saya mewawancarai Asrida setelah ia melakukan pemutaran perdana “Tanah Mama”, pada 25 Januari 2015. Cuma pertanyaan-pertanyaan kecil.

Tanya: “Apa yang hendak disampaikan ‘Tanah Mama’ kepada penonton?

Jawab: Kebanyakan cerita Papua bukan orang Papua yang bercerita. Kita tidak pernah tahu masyarakat bawah Papua kalau mau cerita, bercerita tentang apa. Saya ingin menyoal pergumulan hidup perempuan Papua. Masalah dalam keluarga mungkin sama. Cuma di Papua, pergumulan perempuan jadi kompleks karena banyak hal. Pemerintah tidak hadir. Situasi kesehatan, pendidikan, ekonomi tidak terpenuhi.

Wamena dulu mandiri secara ekonomi. Hidup dari bertani dengan sistem tradisional. Sistem pertaniannya, laki-laki menyiapkan lahan, perempuan menanam dan merawat. Cuma, pembangunan top down pemerintah mengubah semua. Laki-laki jadi disibukkan banyak hal terutama politik hingga lepas dari kebiasaan baik. Dana otonomi khusus yang besar lebih mudah diakses laki-laki. Dulu laki-laki perempuan bekerjasama. Sekarang perempuan bertanggungjawab ekonomi sendiri.

 

T: Bagaimana penentuan karakter utama Mama Halosina?

Saya melihat pasar hanya diisi perempuan sepanjang hari. Lalu bagaimana kehidupan mereka di rumah? Saat warga berkumpul, laki-laki bicara, perempuan diam. Lalu kami pisah dalam kelompok berbeda. Jadi lebih hidup. Kelompok laki-laki bicara hal yang besar: politik, adat, agama, pemerintahan. Tapi perempua bercerita yang riil kehidupan sehari-hari: anak bisa makan atau tidak, mengeluhkan suami, jualan mereka, susah bayar sekolah.

Dari situ, saya mendengar mereka bercerita saling tolong saat melahirkan. Ada Mama Halosina yang sering menolong kelahiran ibu-ibu dengan bahan lokal. Termasuk istri kedua suaminya. Itu luar biasa. Tidak semua perempuan bisa seperti itu.

 

T: Bagaimana proses produksi dan apa kendalanya?

Setelah workshop Project Change!, Desember 2013, pra-produksi satu tahun. Saya riset sendiri selama tiga bulan. Selama 14 hari di sana, syuting 10 hari. Rekaman total sekitar 10 jam. Saya menjaga Mama supaya mau diikuti kamera. Sehingga dari sembilan orang kru, hanya saya, penerjemah, dan kamera yang mengikuti.

Kendalanya bahasa. Jadi setelah syuting, kita terjemahkan semua rekaman dalam Bahasa Wamena selama satu bulan oleh banyak orang. Editing satu bulan. Kendala lain lokasi yang berat dan koordinasi dengan aparat kampung.

 

T: Bagaimana respon para karakter setelah menyaksikan film ini?

Saya baru putar untuk Mama dan suaminya. Mereka sempat mau angkat lagi persoalan mereka. Marah lagi, tapi setelah saya tengahi, kembali lagi. Saya bilang ini bukan tentang Mama saja tapi kehidupan di sana. Ini memang Mama punya kisah tapi mau menyuarakan banyak perempuan. Dan mereka setuju. Saya beruntung karena sudah dekat dengan Mama dan suami. Mereka anggap saya anak sendiri.

* * *

“Tanah Mama” bagian dari Project Change!, ajang produksi film bertema perempuan dan keadilan sosial. Program ini digagas Kalyana Shira Foundation yang didirikan sineas Nia Dinata. Untuk tahun ini, selain Tanah Mama, ada film “Nyalon” dari Yogyakarta yang telah diputar di sejumlah festival. Tiga film lain dalam proses pasca-produksi.

Selama ini, nyaris semua film dokumenter Papua mengangkat pelanggaran hak asasi manusia oleh tentara. Cerita personal dengan sosok perempuan jarang diangkat.

“Aku langsung jatuh cintrong pada karakter Mama Halosina,” ujar Nia Dinata, produser Tanah Mama.

Nia, produser Tanah Mama juga adalah sutradara top di Indonesia.

“Tanah Mama” bukan kali pertama Nia jadi produser. “Janji Joni” garapan Joko Anwar, diproduseri Nia yang pernah belajar soal pembuatan film di New York University. Film garapannya seperti “Ca Bau Kan”, “Arisan” dan “Berbagi Suami”, semuanya dapat respon bagus dari pemirsa Indonesia. Arisan, yang dibintangi Tora Sudiro dan Surya Saputra, bahkan ditonton lebih dari 500.000 orang. Ini film Indonesia pertama dengan topik soal homoseksualitas. Kepada The Jakarta Post di tahun 2011, Nia mengaku bahwa Arisan diproduksi dengan anggaran kecil. Perempuan ini pula yang memproduseri film tentang bom Bali 2002 yang kemudian dilarang tayang di Bali.

Nia mengaku sebagai fans Woody Allen dan anti-sensor. Tahun 2007, ia pernah mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi terkait penyensoran. Nia memang bermasalah dengan hal ini sejak awal karirnya.

Jane Perlez saat menyambut “Berbagi Suami” di New York Times bilang Nia adalah filmmaker Indonesia paling berbakat yang “more art house than Hollywood”. Film ini, diinspirasi kisah hidup Nia yang memiliki ayah beristri dua. Tahun 2006, Hawai International Film Festival mengganjar “Berbagi Suami” sebagai “The Best Feature”.

Di Makassar, saat sedang melakukan promo film ini, Nia diprotes beberapa penanya pria soal Berbagi Suami. Mereka menuduh Nia tidak melakukan riset mendalam soal poligami dan terburu-buru mengambil kesimpulan. Menurut mereka, poligami itu sah dalam Islam dan Berbagi Suami tidak bicara soal fakta itu. Nia sendiri mengaku berkonsultasi soal poligami dengan Musdah Mulia, seorang feminis muslim terkemuka di Indonesia.

Perempuan kelahiran 4 Maret 1970 ini lalu mendirikan Kalyana Shira tahun 1999. Lembaga yang kemudian membantu Asrida untuk memfilmkan kisah mama Halosina.

Memenuhi batas minimal durasi 60 menit yang disyaratkan jaringan bioskop, Tanah Mama yang berdurasi 62 menit ini telah diputar di tujuh layar sinema XXI dan Blitzmegaplex di Jakarta, Bandung, dan Yogyakarta sejak 8 Januari 2015. Asrida menginformasikan bahwa Tanah Mama akan disertakan dalam Tribeca Film Festival di New York dan International Women’s Film Festval di Seoul. Film ini juga rencananya akan diputar di beberapa festival film di Australia.

Di Indonesia, Tanah Mama diputar di kampus dan komunitas. Yayasan Pantau bikin satu pemutaran untuk peserta Kursus Jurnalisme Sastrawi XXIII. Kebetulan, Asrida salah satu peserta kursus ini. Saya juga.

Beberapa teman berupaya mendapatkan kopian film ini, tapi Asrida menolak. Alasannya, ia harus menghormati kontrak pemutaran “Tanah Mama” dengan bioskop-bioskop komersil. Jika berniat bikin pemutaran film secara kolektif, kopian film dapat diperoleh cuma-cuma dengan menghubungi Kalyana Shira Foundation.

Film-film hasil arahan Nia, atau yang diproduksinya, selalu punya satu khas: cerita tentang orang kecil. Saya lalu teringat fragment Andreas Harsono yang sedang mengajar soal bagaimana menulis panjang, awal Januari 2015.(*)

 


Editor: Andre Barahamin

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *