Published
6 years agoon
By
philipsmarx25 Maret 2019
Oleh: Antonius Made Supriatma
Anda pernah dengar Canggu? Ini adalah salah satu nama desa di Kuta Utara, Badung, Bali. Wilayah ini adalah salah satu rumah tua saya dari pihak ibu. Rumah tua yang lain dari pihak bapak ada di Denpasar.
Saya masih mengalami bagaimana sulitnya mencari desa ibu saya. Kalau dari utara, kami naik bis hingga Sempidi dan kemudian berjalan kaki melewati beberapa desa.
Kalau anda datang dari arah selatan, angkutan terakhir berhenti di Dusun Aseman. Kemudian, sama seperti jika datang dari utara, disambung dengan jalan kaki. Ini terjadi pada awal tahun 1970-an.
Saat itu masih terjadi paceklik. Orang makan “nasi oran,” nasi bercampur jagung atau ketela. Dengan perbandingan campuran jagung atau ketela yang makin banyak seiring dengan panjangnya paceklik.
Itu kalau tidak parah. Di beberapa dusun yang parah, orang makan bonggol pisang.
Saya juga mengalami permulaan dari Revolusi Hijau. Ketika itu, petani tidak boleh menanam padi varietas lokal. Babinsa akan datang mencabuti tanaman padi, jika tidak menanam varietas yang ditentukan pemerintah.
Kemudian terjadi hama wereng. Panen gagal. Padi kuning bahkan sebelum ia bunting. Layu, kemerah-merahan, dan mati.
Pemerintah Orba mengatasinya dengen penyemprotan massal. Pesawat-pesawat kecil memuntahkan obat-obatan. Hasilnya? Ikan-ikan mengapung di kali. Belut keluar dari liangnya. Belalang berserak. Mati.
Tentu, kami dengan riang gembira memanen apa yang bisa dipanen. Kami memakannya. Dengan senang.
Kemudian ada pemakaian pestisida besar-besaran. Disanalah kami kenal istilah ‘endrin.’ Bahan kimia ini, selain dipakai memerangi hama, juga diminum untuk bunuh diri. Walaupun kita tahu, tanpa bunuh diri pun, obat-obatan kimia ini membunuh penggunanya.
Tentu, para petani, saudara-saudara saya itu, tidak tahu apa akibatnya. Endrin pun bila disemprotkan akan memabukkan ikan, belut, dan mungkin juga keong (mana kita tahu keong mabuk?). Setiap penyemprotan pestisida, kami panen ikan.
Banyak studi sudah dilakukan tentang pestisida. Namun informasi itu sengaja ditutup dari para petani kita. Saya tidak tahu berapa banyak dari mereka yang meninggal karena kanker atau penyakit sampingan lain akibat pestisida.
Canggu yang waktu kecil saya kenal angker, kemudian berubah. Saya terlalu lama meninggalkannya. Satu dekade setelah Orde Baru tumbang, saya mampir kesana. Tidak saya kenali lagi wilayah itu.
Turis sudah menduduki wilayah ini. Sekolah elit yang berdenominasi dollar ada disini. Banyak orang-orang kulit putih tinggal di desa-desa yang dulu hanyalah desa agraris.
Sungguh wiayah ini sudah berubah sama sekali. Seperti wilayah Bali lainnya, turisme menjadi sumber ekonomi.
Jika dulu orang menanam padi, kini mereka menanam jasa. Tanah-tanah dijual. Villa-villa didirikan. Tentu, semua villa punya kolam renang.
Tidak ada lagi pestisida. Namun, kali ini ikan-ikan pun kadang mabuk di sungai-sungai. Mereka mabuk klorin yang dibuang dari kolam renang.
Sebuah artikel muncul di harian The Guardian tentang Canggu. Ternyata, diam-diam Canggu sudah menjadi internasional. Tidak ada lagi leak — mahluk jejadian — yang membuat saya takut kencing keluar waktu kecil. Yang ada hanyalah neon. Juga, orang-orang setengah mabuk usai pesta pora di bar A atau bar C.
Semua cerita dari The Guardian ini, menurut saya, terlalu biasa. Kita semua sudah tahu. Bahwa 80% dari ekonomi Bali bergantung dari turisme.
Namun satu hal yang menarik perhatian saya adalah bahwa 60% air di Bali dipakai untuk turisme. Orang-orang lokal harus mencukupkan diri dengan 40% air yang tersedia di pulau kecil ini.
Mungkin tidak terlalu penting juga bagi yang tidak tahu dan tidak peduli. Tapi Bali menjadi Bali karena air. Agama Hindu, yang dipeluk oleh sebagian besar orang Bali adalah “Agama Tirta,” agama air.
Air memegang peranan sangat sentral dalam kebudayaan agraris Bali. Sistem sosial — sistem irigasi itu disusun oleh air. Apalah artinya Bali tanpa air? Air adalah bagian paling eksistensial dari masyarakat Bali.
Pertanyaan saya, berapa lama Bali akan bisa bertahan dengan kondisi ini? Belum lagi, rencana untuk membikin 800 hektar pulau buatan.
Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono di saat-saat akhirnya mengeluarkan Perpres No. 51/2014 yang akan mereklamasi Teluk Benoa di selatan Bali. Administrasi pemerintahan Jokowi hingga saat ini tidak mencabut Perpres ini. Entah apa sebabnya. Semuanya tidak pernah dilakukan secara transparan.
Sebagian lautan di wilayah ini sudah direklamasi oleh BUMN, Pelindo. Ini pun dilakukan dengan rahasia, secara diam-diam. Tidak ada yang mampu menghalangi.
Di mana jiwa Pulau Tirta ini tanpa tirta atau air?(*)
Editor: Andre Barahamin
Krisis Air se-Dunia: Gereja Terpanggil Merefleksikan Air dalam Minggu-minggu Sengsara
Kisah Sang Jurnalis
Membongkar Praktek Pencurian Air dan Kekejaman Privatisasi Air Bersih di Bandung
Periode Penjara
Pembunuh Jurnalis di Bali, Dapat Grasi Presiden
Pengrusakan Simbol Salib di Nisan TPU Kembali Terjadi