FEATURE
Bangsa Pemabuk
Published
6 years agoon
By
philipsmarx29 Desember 2018
Oleh: Andre Barahamin
Kapten James Cook, seorang pengelana ambisius yang memuji tradisi minuman memabukkan di Nusantara
17 SEPTEMBER 1770. Awak kapal Endeavour girang sumringah. Di ujung pandangan menyembul sosok pulau kecil permai. Sudah lama mereka menanam harap bersua pulau semacam Tahiti, daratan indah dan subur yang mereka tinggalkan setahun sebelumnya.
Letnan Satu James Cook, sang kapten, jauh lebih girang. Tak tercantum Pulau Sawu dalam peta pelayaran kapal Endeavour. Kalau benar itu pulau baru, akan menambah panjang daftar daratan temuan Cook. Sejak mengangkat sauh dari Pantai Britania 27 Mei 1768, mereka telah menemukan Tahiti serta Selandia Baru. Temuan terbesarnya adalah Australia pada April 1770.
Raja George III yang mengirim Endeavour. Misinya sampai di Tahiti sebelum bulan Juni 1769 untuk meneliti fenomena astronomi Transit of Venus. Mencari ukuran tata surya adalah kepingan puzzle yang paling membuat penasaran dunia pengetahuan abad ke-18. Ketika itu baru diketahui ada enam planet yang mengitari matahari -Uranus, Neptunus dan Pluto belum ditemukan.
Ekspedisi Cook seolah misi luar angkasa. Tak hanya itu. Di kapal itu membonceng sejumlah orang sipil yang dipimpin Joseph Banks. Pria 25 tahun ini kaya raya, kegemarannya menyelidiki alam. Dengan antusiasme Abad Pencerahan, Banks dan anak buahnya mengumpulkan dan mendokumentasi temuan tumbuhan baru serta binatang selama pelayaran. Mereka juga mencatat situasi antropologis dan budaya yang mereka temui.
Setelah mengitari Australia, Endeavour melanjutkan perjalanan ke arah barat. Di bulan Juni, Endeavour sempat mengurangi 50 ton muatan untuk menambal bocor lambung kapal yang mencium karang. Papua Nugini sudah mereka singgahi, tapi mereka belum mendapat cadangan makanan baru.
Awak kapal mulai terserang penyakit. Tubuh manusia hanya mampu menyimpan kebutuhan vitamin C selama enam minggu. Awak Endeavour menjadi kelinci percobaan Angkatan Laut Inggris dalam melawan momok hidup lama di laut: kudis, sariawan dan pendarahan – yang membuat kapal-kapal di abad ke-18 kehilangan separuh awaknya. Cook membawa sejumlah makanan percobaan seperti acar kubis dan rendaman kecambah gandum. Bila ada awak kapal yang menolak, dicambuk.
Selama empat bulan di laut, awak Endeavour merindu makanan segar. Savu, begitu Cook menyebut gugusan di Nusa Tenggara Timur itu terlihat dipenuhi pohon lontar dan kelapa. Endeavour melempar sauh di pantai utara Pulau Sawu. Tak lama kapal itu disergap perahu berisi sekitar 20 lelaki bersenjata parang. Cook diajak menghadap Ama Doko Lomi Djara, penguasa Seba, salah satu dari lima kerajaan di Sawu.
Bukan perlakuan kasar yang mereka terima di daratan. Cook dan sejumlah awak penting Endeavour justru dijamu makan Ama Doko. Sajiannya daging kambing bakar dan minuman keras berasa manis yang mengalir tiada henti. Minuman itu dideres dari pohon jangkung yang memenuhi daratan Sawu. Cook mulai doyan rasa tuak lontar.
“Air itu manis, segar dan rasanya aneh,” tulis Cook dalam catatan perjalanannya.
Ternyata kerajaan di Sawu sudah mengikat perdagangan dengan VOC. Ada Christian Joseph Lange, wakil perdagangan VOC yang sudah tinggal di Sawu sejak tahun 1756. Keberadaan Lange akan menghambat usaha Cook untuk membeli kebutuhan kapalnya di Sawu.
Cook seorang petualang sekaligus diplomat ulung. Dia paham membalas penyambutan yang meriah itu dengan elegan, sekaligus mengurangi intervensi Lange dalam urusan jual beli dengan orang Sawu. Cook menghadiahkan Raja Ama seekor biri-biri Inggris, satu-satunya sisa cadangan hewan potong di Endeavour. Awak Endeavour pun bisa membeli sejumlah kambing, babi, kerbau dan unggas dari penduduk. Cook memimpin pembelian ini dengan gaya diplomat dan amat mengesankan penduduk setempat.
Dimana-mana, awak Endavour mendapat suguhan tuak. Minuman nikmat yang mudah diambil dari alam Pulau Sawu.
“Dengan memotong ujung dahan berbunga, lalu menempatkan wadah daun lontar kecil untuk menampung tetesan yang akan dikumpulkan oleh pemanjat setiap pagi dan sore,” tulis Cook tentang cara orang Sawu mengambil tuak.
Hari berikutnya lagi-lagi Cook dijamu masyarakat Sawu. Rombongan duduk bersila di atas tikar, menghadap 36 sajian lezat yang sampai-sampai tak sanggup mereka habiskan. Selama tiga hari berinteraksi, Cook menyadari peran penting pohon lontar dalam kehidupan masyarakat Sawu.
Sydney Parkinson merasakan hal sama. Dia pelukis yang mendokumentasikan muhibah Cook dari tahun 1768-1771. Selama di Sawu, Parkinson menggoreskan sketsa sebuah rumah kepala desa. Di belakang rumah, seorang pria bertelanjang dada memanjat pohon lontar, menyandang dua wadah bundar untuk menampung hasil deresan nira.
Di bawah sketsanya, Parkinson menulis: “A chief house in Savu, near Timor”.
Diplomasi yang diwarnai nikmatnya menenggak tuak membuat Cook berhasil membeli bahan pangan dan ternak yang dibutuhkannya. Meski tidak bisa mengklaim diri sebagai penemu pulau Sawu, Endeavour sukses bermuhibah ke arah barat, menepi di Batavia pada 11 Oktober. Untung saja di Sawu, Cook mampir minum.
Hampir dua setengah abad sejak persinggahan Cook, tuak masih menjadi bagian penting dalam hidup sebagian penghuni Nusantara. Tak jauh dari pulau Sawu, masyarakat Lombok, Nusa Tenggara Barat, punya tradisi cepung, seni membaca syair pantun yang didahului dengan minum tuak.
Dr. Tilman Saebas dalam buku The Music of Lombok menyebut cepung sebagai bentuk seni yang kompleks. Menyerupai ansamble musik atau nyanyian. Cepung diperkirakan sublimasi dari upacara magis masyarakat Lombok sebelum masuknya unsur kebudayaan Islam seperti India, Arab dan Persia.
Ada dugaan, cepung berakar dari Wayang Gemblung di Jawa Tengah yang telah menyesuaikan diri dengan situasi setempat. Akulturasi terhadap cepung sama seperti yang dialami tari Kecak dan Janger di Bali.
Cepung dimainkan enam orang. Ada pemakaian instrumen pengiring. Tapi terbatas seperti redep (rebab) dan suling. Pemain menggunakan mulut untuk menirutkan bunyi gong, gendang, kenceng dan rencik.
Pemain juga bertindak sebagai pembawa syair secara bersahutan yang terdiri dari tiga orang. Dua orang memainkan alat musik, dan seorang lagi melafalkan cerita monyen. Pemain musik vokal juga membaca syair yang tidak terdapat dalam cerita monyen dengan gaya kocak dan mengundang tawa penonton.
Monyen adalah cerita klasik berisi filsafat Islam, dikarang oleh Jero Mehram pada 1859. Melalui cerita, Jero merasa ajaran Islam lebih mudah merasuk ke hati masyarakat. Cepung dianggap sebagai perkembangan dari Pepaosan, pembacaan cerita lontar Monyen tapi hanya dengan tembang.
Cepung pernah berkembang begitu pesat, tapi kini tidak banyak desa yang masih menjalankan tradisi cepung. Pelaku setia cepung di antaranya orang Desa Jagaraga, Kecamatan Kediri, Lombok Barat. Sebagian besar pendukung seni cepung adalah mereka yang menganut paham waktu telu. Paham ini berseberangan dengan golongan Islam yang bertekad mendirikan perintah Islam yang murni yakni sholat lima waktu. Paham waktu telu diperkirakan muncul sebagai bentuk kompromi para pembawa Islam awal ke Lombok dengan budaya asli.
Kini gencar usaha melestarikan cepung tanpa mengaitkan seni itu dengan minuman tuak. Argumentasinya, tuak tidak selalu menimbulkan inspirasi atau perangsang penampilan seni karena seni bisa dibangun dengan keterampilan teknis individu. Tanpa minum tuak pelaku tetap bisa menampilkan cepung. Meskipun kini unsur minum tuak sudah berkurang, tapi citra lama cepung sulit dihapuskan.
Putri si boru Sorbajati gundah gulana. Orang tuanya bersikeras mengawinkan dia dengan dengan seorang lelaki cacat yang tidak dia sukai. Sia-sia usaha si boru Sorbajati menolak. Dia meminta agar dibunyikan gendang di mana dia menari dan akan menentukan sikap.
Sewaktu menari di rumah, tiba-tiba dia melompat ke halaman sehingga terbenam ke dalam tanah. Si boru Sorbajati menjelma tumbuh sebagai pohon bagot atau pohon aren. Mitologi itu yang menjelaskan tuak dalam bahasa Batak Toba disebut aek (air) Sorbajati.
Bunuh diri dianggap sebagai perbuatan terlarang, maka tuak tidak dimasukkan pada sajian untuk Dewata. Tuak hanya menjadi sajian untuk roh-roh nenek moyang atau orang yang sudah meninggal. Pada masyarakat Batak Toba, tuak menjadi minuman adat pada upacara manuan ompu dan manulangi.
Ketika orang yang sudah bercucu meninggal, ditanam beberapa jenis tumbuhan di atas tambak atau kuburan. Menurut aturan adat, air dan tuak harus dituangkan pada tanaman di atas tambak. Inilah upacara Manuan Ompu. Kebiasaan ini sudah tidak terlalu dijalankan saat ini. Kini yang dituangkan ke tambak hanya air.
Dalam upacara Manulangi, para cucu memberikan makanan kepada neneknya. Para penerus meminta restu, nasehat dan petunjuk pembagian harta, disaksikan oleh pengetua adat. Makanan disajikan dengan air minum serta tuak.
Tuak yang digunakan untuk adat adalah tuak manis atau tangkasan. Dalam bahasa Batak Toba disebut Tuak na Tonggi. Dibandingkan dengan penggunaan dalam adat, tuak lebih banyak menjadi minuman sehari-hari kaum pria di pakter atau lapo tuak. Di Tanah Toba, biasanya kaum pria mendatangi pakter selepas bekerja di ladang. Sambil menikmati tuak mereka membaca koran, bermain catur atau menyanyi.
Tuak di pakter biasanya sudah dibenamkan raru, sejenis kulit kayu yang mengakibatkan peragian. Raru akan meningkatkan kadar alkohol dan mengurangi rasa manis tuak.
Penderes tuak disebut paragat yang berasal dari kata agat, pisau khusus untuk menyadap tuak. Resep membuat tuak berbeda-beda pada setiap paragat, dan bisa dikatakan ‘rahasia perusahaan’ yang diwariskan dari orang tua. Maka tidak siapa sembarang bisa menjadi paragat.
Di Indonesia, tanaman aren (Arenga pinnata) dapat berproduksi baik di daerah yang tanahnya subur pada ketinggian 500-800 meter di atas permukaan laut. Pada daerah yang ketinggiannya kurang dari 500 m dan lebih dari 800 m, tanaman aren tetap dapat tumbuh namun produksi buahnya kurang memuaskan.
Dengan karakter itu, sangat wajar tuak menjadi minuman sehari-hari orang dataran tinggi, seperti di tanah Minahasa. Mereka menyebut hasil sadapan pohon enau sebagai saguer. Sigar Mandey, seorang petani di desa Tinoor, Kecamatan Pineleng, Kabupaten Tomohon sejak remaja hidup dari pohon saguer. Kini usianya 54 tahun. Sigar menjual saguer di warung istrinya di pinggir jalan raya Pineleng. Warung-warung makan Minahasa pada umumnya menjual saguer. Banyak yang percaya minum saguer sebelum makan, dapat mendongkrak selera.
Tapi di Minahasa, lima persen kandungan alkohol pada saguer tidak cukup. Cairan ini disuling lagi menjadi Cap Tikus. Sejak lima tahun lalu Sigar mengolah saguer menjadi Cap Tikus.
Petani di Minahasa biasa meminum satu seloki Cap Tikus sebelum berangkat ke ladang untuk memompa semangat kerja. Bertambahnya seloki Cap Tikus yang ditenggak berarti bertambahnya tanda bahaya. Mereka tidak bercanda. Kadar alkohol Cap Tikus berkisar 40 sampai 75 persen. Makin bagus sistem penyulingannya, serta semakin lama disimpan, kadar alkohol Cap Tikus semakin tinggi.
“Cap Tikus yang bagus kalau dibakar (nyala) apinya biru,” kata Sigar.
Sigar membuat Cap Tikus di sebuah kebun aren milik kerabatnya. Kebun itu di sebuah lembah terjal, karakter kontur tanah yang mendukung pertumbuhan pohon aren. Sigar juga punya beberapa pohon aren di kebunnya. Tapi dia harus mencari pohon lain untuk dideres. Karena pohon aren tidak mengeluarkan saguer sepanjang tahun, tapi hanya yang sedang membuahkan mayang muda.
Untuk menderes saguer, Sigar memanjat pohon enau dengan bantuan tangga. Secara hati hati dia kupas seludang pembungkus tongkol mayang. Bagian tongkol itu selanjutnya dia pukul-pukul dan elus dengan penuh perasaan.
“Pohon ini harus disayang, kalau tidak saguer tidak lancar keluar,” kata Sigar.
Ketika buah mayang mulai matang dalam proses penyadapan, ujung tongkol bagian bawah ditakik atau dilubangi sedikit dengan pisau dan kemudian dibungkus daun. Bila setelah 3-4 hari kemudian terlihat rembesan cairan putih dari takikan tersebut, berarti proses penyadapan berhasil. Sebaliknya, berarti gagal kalau lubang takikan terus mengering.
Saguer sejak keluar dari mayang pohon enau sudah mengandung alkohol. Kadar alkohol yang dikandung saguer tergantung pada cara menuai dan penggunaan penampung saguer saat menetes keluar dari mayang pohon enau. Semakin asam saguer, kata dia, berarti kadar alkoholnya makin tinggi. Di sejumlah daerah di Minahasa, petani tidak hanya mengambil saguer yang asam, tapi juga yang manis untuk dimasak menjadi gula aren.
Setiap hari dua kali Sigar memanjat pohon aren yang sama. Di pagi hari antara pukul 08.00 hingga 10.00, dia memanjat untuk mengambil nira yang tertampung. Panjatan di sore hari untuk melubangi tongkol mayang agar nira tetap menetes.
Sebelum melakukan penyulingan, Sigar menyaring saguer yang berwarna putih seperti susu hingga benar-benar bersih. Saguer dia masukkan ke tong yang diletakkan ke di atas lubang kayu api. Sepotong bambu sepanjang empat meter dipasang tegak lurus, ujungnya dimasukkan ke lubang di tengah tong. Ujung atas bambu berdiameter 10 centimeter ini dihubungkan dengan bambu lain yang mengarah menjauhi tong. Panjangnya sekitar 8 meter. Ujung bambu kedua pun disambung lagi dengan bambu lain yang mengarah mendekati tong.
Total, Sigar menggunakan 25 meter bambu untuk membentuk pipa penyulingan yang membentuk segitiga. Ujung bambu terakhir didekatkan dengan jerigen, sebagai muara uap hasil penyulingan.
“Kenapa sangat panjang bambu yang dipakai?” tanya saya.
“Makin panjang bambunya, alkohol makin tinggi. Lima meter saja sudah bisa, tapi alkholnya bisa hanya 35 persen,” kata Sigar.
Untuk memasak saguer, 50 liter akan menghasilkan 15 liter Cap Tikus. Sigar membutuhkan waktu tiga jam.
“Kayu harus terus terbakar,” kata dia.
Sigar menjual Cap Tikus Rp 50.000 per satu setengah liter. Sementara saguer hanya Rp 15.000 per liter. Selain untuk langsung dikonsumsi, Cap Tikus menjadi bahan baku untuk produk minuman kemasan dalam botol yang banyak beredar di Minahasa. Merek yang terkenal adalah Anggur Kesegaran.
Diperkirakan produksi Cap Tikus Minahasa per bulan mencapai sekitar 800.000 liter. Sudah lama ada usulan agar pemerintah daerah menarik retribusi dari Cap Tikus. Ini usulan dilematis. Sebab mengundang-undangkan retribusi produksi ataupun pemasaran Cap Tikus berarti melegalisasi produksinya. Sementara itu, aparat kepolisian kerap menuding Cap Tikus menyumbang tingginya angka kriminalitas di Minahasa.
Di Minahasa saguer dan Cap Tikus digunakan dalam upacara Kampetan atau memanggil ruh nenek moyang. Upacara ini biasanya digelar saat bulan baru atau bulan purnama. Lokasinya di tempat khusus yang dihormati penduduk desa karena biasa dipakai generasi silam untuk berdoa atau bersemadi.
Kampetan digelar untuk mencari tahu adanya ketidakwajaran di sebuah desa.
Tempat menggelar upacara kampetan sepintas terlihat seperti kompleks pemakaman, berpagar, dan dari luar terlihat dapat menampung orang cukup banyak.
Untuk upacara kampetan disiapkan sejumlah sesaji, yakni nasi beserta lauk pauk 9 bungkus, telur ayam 9 butir dan satu mentah, pinang 9 biji dibelah, tabaku (rokok linting), sirih tiga lembar, dan Cap Tikus atau saguer.
Pemimpin upacara harus seorang Tonaas, gelar yang diemban seseorang sebagai penunjukan arwah nenek moyang. Seorang Tonaas tidak harus sepuh, bisa juga berusia muda, asalkan dia dianggap berbakat. Ketika semerbak bau dupa menyergap udara, doa-doa dipanjatkan. Dotu akan datang merasuk ke tubuh salah satu peserta upacara. Selama singgah di tubuh orang lain, arwah dotu menyantap sajian yang telah disiapkan. Kampetan juga bisa digelar untuk tujuan khusus, atas permintaan orang yang ingin kepentingan bisnisnya dilindungi atau ingin mendapat perlindungan supranatural sebelum ke tempat berbahaya.
Selain Minahasa, orang Bali juga dekat hidupnya dengan arak. Namun penghasil arak sudah tak banyak di Pulau Dewata. Tak banyak desa di Bali seperti Merita, yang mata pencaharian utama masyarakatnya menyuling arak. Arak Bali nomor satu biasanya berasal dari desa di Kecamatan Budakeling, Kabupaten Karangasem ini.
Hanya sekitar 50 dari total 350 kepala keluarga di Merita yang tidak memproduksi arak. Tidak hanya kaum pria, banyak ibu di Merita lihai membuat arak. Ni Made Catri salah satunya. Catri belajar menyuling arak dari ayahnya, semasa dia masih remaja. Dia tidak tahu berapa usia persisnya. Dia hanya ingat ketika Gunung Agung meletus untuk kedua kalinya di tahun 1963, usianya sekitar 8 tahun.
Catri menyuling arak di dapur yang terpisah dengan banguna utama rumahnya, seperti rumah desa di Bali umumnya. Catri hanya memakai tiga peralatan sederhana, kaleng bekas minyak goreng untuk memasak tuak yang disebut belek, jerigen penampung uap arak, dan pengantang yakni bamboo sepanjang 1,5 meter untuk menyalurkan uap arak.
Biasanya satu kali penyulingan, Catri memasak sekitar 10 liter tuak dalam belek.
Pada jerigen penampung uap, Catri memberi tanda batas untuk hasil penyulingan terbaik. Volume arak yang mencapai batas itu hanya sekitar 1,5 botol bir atau sekitar 1,5 liter.
Kalau 1,5 liter pertama tercapai, Catri membuang isi belek dan mengisinya kembali dengan tuak baru untuk disuling lagi. Kalau musim sedang baik, dalam sehari Catri bisa membuat 5 botol arak nomor satu dan 10 botol arak nomor dua. Di musim penghujan hasil semakin sedikit karena kualitas air nira kurang baik. Kalau musim tuak sedang baik, menyuling arak bisa dilakukan 24 jam. Di rumah desa di Bali, lumrah ada anggota keluarga yang menunggui dapur, tidur dan makan di sana.
Dengan metode tradisional, tentu saja kapasitas produksi arak Desa Merita sangat kecil. Karena itu sejak lima tahun terakhir marak peredaran arak methanol asal daerah Sediman yang pembuatannya dengan bahan kimia dan alkohol. Bila dikonsumsi sedikit berlebih, arak methanol bisa mengakibatkan kebutaan. Karena itu aparat keamanan kerap merazia perdagangan arak methanol.
Meski terkadang takut-takut berdagang arak, orang Merita masih menggantungkan hidupnya pada produksi arak. Pasalnya orang Bali tetap akan membutuhkan arak sebagai elemen penting dalam acara pesta minum atau genjek.
Genjek hampir serupa cepung, dimainkan enam lelaki duduk yang duduk melingkar. Sebagian melantuknkan tembang, sbagian lagi menirukan bebunyian alat musik. Dan yang pasti selama genjek, aliran arak tak boleh berhenti. Genjek biasanya menjadi bagian dalam upacara adat seperti pernikahan, kelahiran anak, dan pelebon atau ngaben.
Masyarakat Bali dilingkupi banyak ritual dalam menjalani keseharian hidup. Pembuat arak juga melakoni ritual untuk menyeimbangkan kosmologi setelah mengambil sesuatu dari alam. Pada hari tertentu dalam sebulan, mereka harus membuat sesaji tipat kelan. Dalam satu kelan ada enam ketupat sebutir telur rebus. Hari untuk menyampaikan sesaji ditentukan dalam anggar kasih, penanggalan hari-hari baik ritual agama.
Meski melakoni sederet proses menyuling arak, Catri merasa dirinya tidak punya kuasa membuat arak yang bagus. Orang Merita percaya dalam proses menyuling yang bekerja adalah Ida Batara Arak Api, dewa pembuat arak. Sebagai manusia mereka hanya medium. Kalau Batara Arak Api berkenan, kata Catri, bikin arak sebotol saja pasti akan bagus hasilnya. (*)
Editor: Daniel Kaligis