Connect with us

ESTORIE

Banjir di Manado Tahun 1936: Bencana di Tengah Mimpi Indah Kolonialisme

Published

on

2 Februari 2019


Oleh: Denni Pinontoan


Banjir hebat di Manado dan longsor di banyak tempat di pegunungan Minahasa pada 17 Maret 1936 menghancurkan pembangunan yang telah dicapai oleh kolonialisme   

 

MINGGU, 15 MARET 1936. Hujan lebat turun sejak pagi di daerah pegunungan Minahasa dan dataran rendah Manado. Orang-orang di Manado beraktivitas seperti biasa.

Di beberapa tempat di dataran tinggi Minahasa longsor sudah terjadi. Beberapa kampung rusak berat.

Hujan lebat terus mengguyur bumi. Perlahan air di sungai-sungai mulai meninggi.

Hingga Senin, 16 Maret, hujan belum juga berhenti. Tapi, di Manado belum ada orang yang berpikir akan terjadi bencana besar.

Selasa, 17 sore, sungai Tondano mengirim banyak batang pohon, kayu terapung dan batu dengan kecepatan tinggi ke dataran rendah Manado. Sungai Sario mulai meluap.

Bencana dahsyat sedang datang. Banjir bandang mendekati dan akhirnya menggulung Manado. Air berwarna coklat dipenuhi material datang dengan kecepatan tinggi. Segera bencana terjadi di  Manado .

Pemerintah kota menjadi cemas. Petugas disuruh mengawasi pipa yang memasok air bersih dari sebuah tangki penampung di Teling. Pukul empat, arus dan volume air tak dapat ditahan lagi. Pipa yang menyalurkan air bersih hancur. Segera, pasokan air terhenti.

Di beberapa tempat, arus air banjir semakin kuat. Memasuki rumah-rumah, pekarangan, jalanan, gudang, kantor, dan semua yang dapat dialiri. Sejumlah rumah di Kanaka tergenang air. Dengan cepat air menghamtam semua yang dilaluinya.

“Orang-orang dari daerah itu telah melarikan diri ke daerah-daerah dataran tinggi, sehingga tidak terjadi kecelakaan dan korban jiwa,” tulis koresponden Soerabaijasch Handelsblad , 28 Maret 1936.

Banjir semakin mengganas. Sungai-sungai membawa banyak material. Banjir bandang dengan kekuatan penuh yang membawa batang pohon dan material lainnya menerjang beberapa jembatan. Jembatan di Singkil putus.

“Di sini sebuah bendungan besar terbentuk,” tulis koran itu menggambarkan dahsyatnya banjir.

Tikala, sebuah kawasan pemukiman modern benar-benar telah kosong. Orang-orang telah meninggalkan kawasan itu mencari tempat aman. Di situ air mencapai 80 cm. Di beberapa tempat kawasan itu tinggi air lebih dari satu meter.

“Di semua rumah, air lumpur coklat tergenang, menyebabkan kerusakan besar pada pakaian dan perabotan.”

Di kampung China, banjir menghamtam lebih hebat. Arus air mengalir deras, menembus seluruh rumah, menyeret segalanya. Kerusakan hebat terjadi pada bangunan dan perabotan. Timbunan kopra dan bahan-bahan jualan di gudang-gudang lenyap di bawah arus. Jalan rusak parah. Bahkan ada badan jalan yang amblas membentuk lubang menganga. Badan jalan hilang sama sekali.

Jembatan Singkil ambruk. Banjir bandang yang berkekuatan tinggi menabrak jembatan itu. Selama 5 jam tak henti-hentinya air yang membawa macam-macam material menerjang kaki jembatan. Badan, kaki dan perut jembatan pun hilang ditelan banjir yang sedang mengamuk.

Setelah air banjir surut, kota Manado berubah menjadi coklat. Lumpur tebal yang dibawa air banjir mengubah pemandangan di kampung Arab, China, dan tempat lainnya.

Di masa itu Manado berstatus Staatsgemeente atau Kota Madya melalui dikeluarkannya besluit Gubernur Jenderal Hindia Belanda tanggal 1 Juli 1919. Perbaikan dari kerusakan dampak banjir  menjadi kewajiban pemerintah kota yang dipimpin oleh seorang Burgemeester.

Banjir dahsyat 17 Maret itu menimbulkan kerugian yang besar. Pemerintah kota Manado memperkirakan, jembatan Singkil yang rusak bernilai ƒ 50.000. Kerusakan jalan-jalan senilai ƒ 8000. Sebanyak 70 rumah yang hanyut bernilai sekitar ƒ  3000.

Di daerah Minahasa, kerusakan jalan penghubung Menado-Tomohon, Kema-Girian diperkirakan bernilai ƒ 5000. Jalan Aermadidi-Tondano bernilai ƒ 13.000. Soekoer-Likoepang senilai ƒ 1000. Jembatan besar di Kema juga hancur, nilanya ƒ 6000. Sejumlah jembatan antara Menado dan Kema yang rusak dihitung nilainya mencapai ƒ 6000. Jembatan yang runtuh penghubung Kolongan-Koewil bernilai ƒ 3500.

Banjir ini menyebabkan ribuan orang mengungsi. Gedung-gedung rumah sakit, seperti gedung RS Bukit Wenang yang baru selesai dibangun jadi pengungsian. Pemerintah menggerakkan tenaga medis untuk merawat para pengungsi.

“Orang-orang merasakan kesengsaraan. Semua terendam lumpur.  Hujan telah mengamuk tanpa rasa takut. Melalui jalan-jalan air banjir menerjang dengan kejam,” tulis Soerabaijasch Handelsblad. 

***

Banjir ini bukan yang pertama terjadi Manado dan Minahasa pada umumnya. Tahun 1882, 52 tahun sebelumnya, banjir dahsyat juga terjadi.

Sumatra-courant edisi Februari 1883 melaporkan, pada tanggal 29 Desember 1882, sekitar jam 19.00, air tiba-tiba mulai naik dari semua sisi dan membuat pemukiman tergenang. Hujan lebat yang terus-menerus selama beberapa hari telah menyebabkan banjir. Empat orang tewas karena longsor. Air banjir di beberapa kampung mencapai 2 meter. Longsor terjadi di banyak tempat di daerah pegunungan Minahasa.

Kerusakan jalan-jalan dan jembatan akibat banjir adalah pukulan berat bagi pemerintah kolonial. Jalan-jalan dibuka, jembatan-jembatan dibangun untuk menghubungkan negeri-negeri. Ini untuk membuat lalu lintas pengangkutan hasil pertanian penduduk, seperti kopi, kopra dan lain sebagainya menjadi makin lancar. Dengan begitu, semakin meningkat pula pemasukan bagi pemerintah dan keuntungan besar bagi pengusaha. Manado sebagai kota pelabuhan menjadi muara dari semua hasil bumi itu.

Nicolaus Graafland dalam De Minahasa, terbit 1869 menulis apa yang dia saksikan ketika sedang berada di Tomohon masa itu. “Segala sesuatu yang datang dari Tondano, Remboken, Kakas, Langowan, Tompaso, Kawangkoan, Sonder dan Saronsong menuju ke Manado haruslah bertemu bersatu di Tomohon bagaikan suatu titik pertemuan sinar. Semua gerobak dimuati kopi, yang terkumpul di gudang kopi distrik itu, harus diangkut melalui tempat ini.”

Graafland menggambarkan kesibukan warga Minahasa pegunungan mengangkut kopi yang sedang dibudiyakan secara massal dalam sistem tanam paksa. Budidaya kopi butuh tanah luas, yang sebelumnya adalah hutan di lereng-lereng pegunungan. Insfrastruktur jalan memotong gunung-gunung, meratakan buki-bukit. Pembangunan ini butuh pengorbanan alam.

Jaringan jalan di Minahasa sudah mulai dibangun pada masa pemerintahan residen Jansen (1853-1859). Pengawasan pembuatan jalan diserahkan kepada F.W. Paepke Bulow. Dialah yang mengajarkan para kepala di Minahasa untuk membuat jalan. Pada tahun 1878 pemerintah mendatangkan tenaga-tenaga untuk memperbaiki jalan-jalan. Lapisan jalan terdiri dari batu berat dan ringan. Leput-leput atau parit saluran air dibuat dipinggirannya agar supaya air tidak mengalir di badan jalan.

“Djalan-djalan masih dikerdjakan setjara rodi, hal mana nanti dihapuskan mutlak pada tahun 1919 dengan adanya Dewan2 setempat,” tulis F.S. Watuseke dalam Sedjarah Minahasa, terbit 1968.

Pembangunan yang diadakan pemerintah kolonial semakin massif sejak ditetapkannya Keresidenan Manado pada tahun 1824. Kota Manado menjadi pusat keresidenan. Maka, Manado semakin dikukuhkan menjadi, selain pusat pemerintahan tapi juga pusat perdagangan.

Dengan dibuatnya jaringan jalan, maka pengangkutan kopi makin lancar. Sebelumnya, kopi diangkut oleh kuda yang disebut pikulan. Sejak tahun 1850, kopi dari negeri-negeri dibawa ke gudang-gudang di setiap distrik, lalu diangkut ke Manado dengan pedati yang memakan waktu berhari-hari.

Jembatan di Singkil yang rusak oleh banjir tahun 1936, sepertinya sudah dibangun sejak sebelum pertengahan abad 19. Tentu dengan beberapa kali revonasi. Graafland, mengambarkan Manado di masa itu dengan menyebut adanya sebuah jembatan besar menuju Kampung Islam, Singkil, Sindulang, dan sekitar. Graafland menyebut, sungai yang melewati jembatan itu bernama Sungai Manado, yang sebenarnya yang betul sesuai nama aslinya adalah ‘Sungai Tondano’.

Tentang jembatan itu, Graafland berkomentar begini, “Merupakan suatu karya seni tersendiri – jika dipertimbangkan sarana yang tersedia bagi para ahli bangunan di sini.”

Manado sekira 70-an tahun dari banjir dahsyat Maret 1936, atau sekira 20- tahun dari bencana banjir tahun 1882, adalah sebuah kota yang sedang berkembang, baik secara infrastruktur maupun perluasan dan pemadatan pemukiman.

Alfred Russel Walace, naturalis asal Inggris yang datang ke Manado dan berkeliling di pegunungan Minahasa Juni hingga September tahun 1859 melihat sebuah kota kecil yang indah di masa itu.

“Kota kecil Manado adalah salah satu kota yang terindah di Timur. Kota ini memiliki sebuah taman besar yang berisi deretan villa pedesaan dengan jalan-jalan yang luas dan membentuk jalan umum masing-masing-masing di sudut kanan dengan jalan lainnya,” tulis Wallace dalam The Malay Archipelago, terbit 1869.

Di pegunungan Minahasa, hutan-hutan dirombak menjadi perkebunan kopi. Watuseke menyebutkan, untuk pertama kali kopi ditanam di Minahasa pada tahun 1796. Tepatnya di Remboken atas usaha Bastian Enok. Tahun 1822, kopi mulai dibudiyakan secara luas.

Tahun 1877 pemerintah Belanda menerapkan domein-verklaring atas tanah-tanah dan hutan-hutan di Minahasa.

“Pernjataan itu dijalankan oleh Pemerintah dan hal itu berarti, bahwa seluruh tanah jang tidak dinjatakan oleh orang lain akan hak milik, adalah terhisab pada domein (= milik) negara,” jelas Watuseke.

Kopi ditanam di wilayah-wilayah dataran tinggi Minahasa. Awal abad ke-19 jumlah kopi yang dihasilkan sebanyak 200 pikul.  Tahun 1818 hingga 600 pikul; tahun 1822, menanjak 16.000 pikul di tahun 1853. Kopi Minahasa lebih ditanam dibandig Jawa dan Sumatera untuk Tanam Paksa. Ukuran satu pikul sama dengan kira-kira 60 kg.

Perkebunan kopi di dataran tinggi dibangun oleh pemerintah. Pada banjir tahun 1936, media waktu itu melaporkan longsor dan kerusakan pemukiman dan kebun akibat meluapnya air dari sungai. Kopi sangat cocok ditanam di wilayah dataran tinggi, bahkan misalnya kopi dari gunung Masarang yang sangat terkenal itu menunjukkan hasrat pemerintah kolonial mengejar keuntungan ekonomis. Pada lain pihak, tanam paksa kopi telah menimbulkan penderitaan. Namun di sini sebelanya, jalan-jalan, jembatan dan gedung-gedung yang dibangun sedang menawarkan kemegahan dan kebanggaan bagi orang-orang Minahasa, terutama melalui para kepalanya.

Suatu berkah bagi orang-orang Minahasa adalah tanah yang subur, gunung-gunung, air yang melimpah, yang mengalir ke laut melalui ratusan sungai kecil. Jembatan dibangun untuk melancarkan pengangkutan sebab sungai-sungai kecil itu tidak dapat dilayari seperti misalnya di Kalimantan.

Kembali ke Manado. Di berapa tempat, pemukimannya padat penduduk. Rumah-rumah yang dibangun di dekat sungai-sungai besar, seperti sungai Tondano rawan banjir. Pada banjir tahun 1936, terparah adalah di kawasan Kampung China, Kampung Arab, Singkil, dan Tikala.

Graafland menggambarkan secara detil bendar Manado masa itu. Ia tidak jauh dari Benteng Amsterdam, pelabuhan, dan kantor keresidenan. Di situlah kira-kira tempat berdiri Graafland ketika mengambil sudut pandang melukis dengan kata-kata bendar Manado dan kawasan sekitarnya.

“Kita lihat di sebelah kanan jalan itu, lalu tiba pada suatu jalan yang agak sempit, – yang kontras sekali dengan jalan yang rapi, yang telah kita lalui sampai di sini, – masuk ke kampung China,” Graafland melukiskan bendar itu.

Itu kampung China yang tak pernah pindah ke tempat lain sampai terjadi banjir pada tahun 1936. Graafland lalu melanjutkan lukisan teksnya. Ia menyebut apa yang dia lihat sebagai ‘suatu pemandangan yang luar biasa’. Sekumpulan anak yang gemuk, montok dan kotor, berguling-guling. Lalu mereka berteriak dan berkelahi.

Tampak rumah-rumah yang berdempetan, Graafland mengandaikannya seperti di kota besar Eropa. Cirinya agak gelap, tidak segar, kotor dengan perhiasan huruf-huruf China.

“Setelah masuk ke dalam gedung yang disebut pertama-tama maka Anda merasakan udara yang panas tak segar dan pengap, dan pengotoran, yang menyebabkan Anda takut duduk,” jelas Graafland.

Di seberangnya – jika ke situ mesti melewati sebuah jembatan karena di bawahnya terdapat sungai Tondano – tampak pemukiman padat lainnya. Negeri-negeri di sini adalah Singkil, Kampung Islam, Sindulang, Wawonasa, Kampung Ternate, dll.

Pada banjir tahun 1936, kawasan di sekitar bendar yaitu Kampung China dan Kampung Arab rusak parah karena banjir. Di seberangnya, Singkil, Wawonasa, hampir tenggelam. Penghubung keduanya, sebuah jembatan besar sebagai karya seni pemerintah kolonial patah, putus dan tenggelam.

Semua diterjang air yang tak dapat lagi ditampung oleh sungai yang berasal dari dataran tinggi Minahasa itu. Sungai yang melewati lereng-lereng gunung yang telah banyak berubah menjadi kebun-kebun kopi.

***

Selain banjir hebat tahun 1936, banjir lain sebelumnya terjadi tahun 1906. Tapi kerusakannya tidak terlalu parah. Koran Bataviaasch Nieuwsblad edisi 25 Maret 1927 melaporkan pula banjir yang terjadi di Tomohon. Kerusakan besar terjadi di kota kecil kaki gunung Lokon ini. Kekuatan banjir merusak mesin pembangkit listrik di sekolah anak perempuan. Di Manado banjir merusak rumah-rumah dan kantor-kantor pemerintah.

Koran  Het Nieuws pada 19 November 1934 melaporkan bencana banjir di Menado dan di pegunungan Minahasa. Akibat banjir, sebuah bangunan dan mesin penggilingan padi hanyut dibawa air. Enam orang tenggelam.

Setelah tahun 1936 itu, entah berapa kali lagi banjir terjadi di Manado dan longsor di daerah pegunungaan Minahasa. Entah berapa banyak korban jiwa berjatuhan. Tak terhitung dengan angka kerugian material. Tapi satu yang pasti, banjir telah menjadi bagian dari sejarah Kota Manado.

Lalu, pembangunan terus dilancarkan. Manusia mendapat banyak berkah darinya. Tapi, pernahkah kita bertanya kepada alam berkah apa yang ia peroleh? (*)

 


Editor: Andre Barahamin

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *