ESTORIE
Baraney Dari Selatan di Perang Utara
Published
6 years agoon
By
philipsmarx27 Februari 2019
Oleh: Hendra Mokorowu
Jurnalis, Pegiat Mawale Movement
Usai Perang Tateli, diadakan musyawarah di Watu Pinawetengan. Inilah awal mula nama mahassa yang kemudian menjadi Minahasa.
PADA SUATU MASA keturunan Toar dan Lumimuut makin banyak dan memenuhi tanah Malesung, yang merupakan tanah adat tou (orang) Minahasa, Sulawesi Utara. Mereka terbagi dalam beberapa kelompok yang dikenal sebagai Si Makarua Siou, Si Makatelu Pitu, Si Pasiouan Telu. Kehidupan mereka awal mulanya berada pada suasana yang damai. Tapi seiring waktu, suasana yang damai ini mulai berubah menjadi penuh ketegangan dan akhirnya berpuncak pada peperangan. Ketika itu, sebelum masuknya kaum tasikela (orang asing yang datang melalui pantai) di tanah Minahasa, sering terjadi perselisihan dan perang saudara yang dikenal dengan zaman mawetik (perpecahan).
Situasi yang penuh kekacauan ini dilatarbelakangi oleh adanya keinginan dari segelintir orang dari kaum Makarua Siou yang ingin menjadikan kaum Pasiouan Telu sebagai hambanya. Adapula faktor yang paling sering menyebabkan pecahnya peperangan adalah usaha saling merebut wilayah perburuan dan pertanian antar rumpun keluarga yang mendiami sebuah wanua atau roong (kampung).
Tou Tonsawang yang mendiami wilayah Tombatu, Minahasa Tenggara kini, menyimpan banyak kisah tentang perang saudara itu. Kisah-kisah tersebut selalu terkait dengan leluhur yang sangat dikenal dan dikenang tou Tonsawang. Salah satunya kisah nawo’ (leluhur)
Sela dan nawo’ Selet. Dua baraney (ksatria) kakak beradik dari Tonsawang yang banyak terlibat dalam berbagai pertempuran.
Terlibat Dalam Perang Utara
Selet adalah nama leluhur tou Tonsawang yang berarti sisip, selip atau berada di antara. Sementara Sela berarti besar. Orang Tonsawang menyebutnya demikian karena leluhur yang bernama Sela ini memiliki tubuh yang sangat besar.
Menurut Julius Tiow, budayawan Tonsawang, pada masa itu terjadi kekacauan di daerah utara yang disebabkan sekelompok orang Bantik. Ksatria-ksatria mereka mulai merajalela hingga membuat rakyat di utara Malesung mengeluh karena tidak ada lagi yang mampu mengalahkannya. Karena itu, orang dari utara datang ke selatan demi mencari dan mengundang apakah ada seseorang yang bisa mengalahkan penjahat yang sedang berkuasa di daerah yang sekarang disebut Manado.
Kabar ini diketahui oleh para baraney, termasuk nawo’ Sela dan nawo’ Selet. Keduanya langsung berangkat ke utara bersama sejumlah baraney lain dari Tonsawang. Sebelum ke utara, nawo’ Selet sempat membantu pasukan Malesung ketika melawan musuh dari daerah Mongondow yang menyerang Malesung melalui wilayah Tareran. Bersama para kstria Malesung, mereka juga berhasil mengalahkan musuh-musuh.
Di kemudian hari, nawo’ Selet akhirnya tinggal lama dan menikah dengan penduduk di Tareran. Di daerah ini, Selet mempunyai keturunan bernama Slat. Keturunannyalah yang sekarang menjadi marga Slat di Tareran.
Menurut orang-orang Tonsawang, rombongan para baraney yang berangkat ke utara ketika itu dipimpin oleh leluhur mereka yang dikenal dengan nawo’ Batubuaya. Di Utara, mereka berhasil mengusir musuh. Nawo’ Batubuaya akhir mengambil putri dari kepala Bantik dan memperistrinya.
“Setelah menikah, si putri kagum dengan kekuatan dari Batubuaya sehingga dia selalu membujuk suaminya itu agar memberitahukan kelemahannya. Rayuan dan bujukan dari istrinya berhasil sehingga dia membuka rahasia kelemahannya yaitu, i wowu’os im balek’ (dikepung anjing-anjing menggonggong).
“Jika saya dikepung gerombolan anjing yang menggonggong maka kekuatanku akan hilang. Begitu kata nawo’ Batubuaya,” jelas Julius Tiow.
Rahasia ini bocor sampai ke orang-orang Bantik. Mereka kemudian menyerang dan membunuh Batubuaya. Pada saat mereka memotong badannya, sebagian menjadi batu. Batu ini sekarang dikenal dengan nama Watubuaya dan menjadi situs budaya di Manado.
Menurut Tiow, gugurnya nawo’ Batubuaya tidak membuat para baraney dari Tonsawang gentar. Nawo’ Sela dan kawan-kawan bahkan semakin berani. Ia sendiri akhirnya mampu membunuh pemimpin dari orang Bantik.
Sebelumnya, Kepala Walak Kakaskasen, pemimpin masyarakat Tombulu yang berpusat di Lotta, sempat membuat perjanjian dengan nawo’ Sela.
“Pemimpin kampung itu menyampaikan ke nawo’ Sela, jika kau bisa mengalahkan penjahat itu maka saya akan menikahkan kau dengan putri saya. Itu sebagai bentuk penghormatan terhadap nawo’ Sela,” ungkap Tiow yang biasa dipanggil Om Ulu.
Noldy Dotulong, tokoh adat Tonsawang menambahkan, nawo’ Sela dahulu tinggal di pinggiran danau (sili i luah) besar yaitu Doong Koyangan Silian (kampung tua wanua Silian). Dikisahkan, ketika itu ada kurir dari utara datang mengabarkan kepada nawo’ Sela bahwa di utara ada orang paling jago tapi sombong sekali. Kemudian Sela menyuruh kurir tersebut untuk segera bergegas dan mengabarkan bahwa dia akan menuju ke sana.
Di utara, belum juga si kurir tiba, nawo’ Sela sudah mengalahkan lawannya. Berjalan sambil menjinjing kepala lawannya yang telah dipenggal. Sesudah peristiwa tersebut, orang-orang di utara memperlakukan nawo’ Sela bak seorang raja dan mereka memberikan hadiah atas kemenangannya yaitu sebuah danau kecil beserta bukit kecil di samping danau.
“Tempat itu yang sekarang berada di depan Seminari Pineleng. Keturunan nawo’ Sela yang ada di Tombatu yaitu Tangel dan Selaindoong,” terang Dotulong.
Ksatria dari selatan ini juga dikenal mempunyai kesaktian luar biasa yaitu, “kekuatan angin”. Sem Pangemanan, salah satu tetua adat Tonsawang menceritakan, nawo’ Sela inilah yang menguasai pengetahuan mapoli’gai (bersatu dengan angin).
“Sa sia lumakad, mahasa na lumakad siou dungusan” kata Pangemanan. Artinya, jika dia melangkah, satu kali melangkah sembilan gunung terlampaui.
Dikisahkan Pangemanan, sewaktu terjadi pertikaian di wilayah utara, nawo’ Sela sudah mengetahui hal tersebut. Ia juga mengetahui ada seseorang yang sakti dan sulit dikalahkan. Walaupun demikian nawo’ Sela tidak serta merta langsung pergi membantu tanpa ada yang meminta.
“Itu karena sifatnya yang tidak mau mencampuri urusan orang lain,” terang Pengemanan.
Hingga akhirnya, datanglah ke selatan salah satu dotu dari utara menemui nawo’ Sela. Dotu tersebut meminta bantuan karena mereka sudah tidak mampu melawan kasehe (musuh). Dalam pertemuan itu, dotu dari utara dan nawo’ Sela bersepakat mengadakan perjanjian. Perjanjian itu menyebutkan bahwa jika Sela berhasil mengalahkan kasehe, maka putri Kepala Walak akan dinikahkan kepadanya.
Setibanya di medan perang, berhadapan langsung dengan kasehe sakti, nawo’ Sela menyampaikan alasan dan tujuannya datang ke utara.
“Nawo’ Sela berkata, siahu mahi ahu be hou nde moho tiniangen latahula minjo mahiwate i hou nde tado’o pinaua’-ua’ngu. Saya datang karena diundang oleh mereka untuk mengambil kepala dan membunuhmu karena banyak kejahatan yang telah kau lakukan,” kata Pangemanan.
“Kasehe kemudian berkata, baiklah jika kau bisa mengalahkanku maka wilayah kekuasaanku jadi milikmu. Sebaliknya jika kau yang kalah, maka wilayahmu di selatan jadi milikku,” sambung Pangemanan.
Bilangan perkataan yang terucap ini adalah perjanjian antara ksatria yang harus dipenuhi. Percakapan itu dilanjutkan dengan melakukan tradisi menga’ngan (makan pinang dan menghisap rokok sebagai tanda saling menghormati) sebelum duel.
Pertempuran ini akhirnya dimenangkan oleh nawo’ Sela. Ia berhasil memenggal kepala kasehe dan menyerahkannya kepada Kepala Walak Kakaskasen di Lotta. Hal ini sebagai bukti bahwa ia telah berhasil mengalahkan orang yang selama ini telah merajalela melakukan kejahatan di daerah Kepala Walak tersebut. Dengan diserahkannya kepala kasehe, berarti sudah selayaknya nawo’ Sela mengambil dua bagian yang telah dijanjikan kepadanya. Pertama, putri Kepala Walak Kakaskasen dan yang kedua adalah wilayah yang sempat dikuasai oleh kasehe yaitu sebuah bukit kecil dan danau kecil.
“Sesudah peperangan itu selesai, dia masih sering mapanuah (batifar atau menyadap nira) di Lotta. Saguer yang dari Lotta dibawanya ke Tombatu (waktu itu masih danau besar) untuk diminum pada saat makan siang,” tutur Pangemanan.
Ksatria Tonsawang Dalam Ingatan Orang Tombulu
Kehadiran para ksatria dari Selatan dalam perang-perang di daerah utara Malesung, ada dalam ingatan tou Tombulu. Tonaas Rinto Taroreh menguraikan, dalam catatan orang Tombulu, perang saudara antara orang-orang Bantik dan orang-orang Lotta waktu itu terjadi di masa Mawewerisen (saling menculik) atau perang dingin. Menurut Taroreh, Perang Mawewerisen terjadi sekitar awal abad 17. Peristiwa ini dilatarbelakangi oleh dendam lama sejak terjadinya Peristiwa Winereyan sampai Perang Tana’ Randang (tanah merah).
“Timbulnya dendam karena pada perang sebelumnya banyak dari pihak orang-orang Bantik yang tewas. Mereka melampiaskan dendamnya dengan cara menculik orang-orang Lotta. Sebenarnya perang ini terjadi antara Bantik dan Tou Se Tou Pakinilouwen, yakni orang-orang Lotta, Ares, Wenang dan Tateli. Data sejarah menyebutkan, perang di masa itu dinamakan Perang Tateli. Pusat walak berada di Lotta dan orang-orang di Tateli adalah orang-orang yang berasal dari Lotta,” papar Taroreh.
Menurut Taroreh, Peristiwa Mawewerisen terjadi sesudah Perang Tasikela, yang disusul oleh Perang Randang atau perang tanah merah. Bersama bala bantuan dari luar, orang-orang Lotta bersatu dan menyerang orang-orang Bantik. Tapi bukan untuk menghabisi orang-orang Bantik melainkan untuk mengakhiri Peristiwa Mawewerisen ini.
“Penduduk Lotta waktu itu sudah bertambah banyak dan banyak masyarakat yang setiap harinya pergi ke kebun untuk bertani. Otomatis penduduk yang tersisa di pemukiman Lotta tidak banyak. Untuk menambah jumlah kekuatan di Lotta demi menjaga dan mengimbangi jumlah orang-orang Bantik di wilayah ini, mereka mencari bantuan dari luar. Itu memang sebuah tradisi ketika itu. Pemimpin di Lotta mengutus orang-orang untuk mencari bantuan di semua tempat yang bisa disinggahi. Bantuan datang dari para waraney di wilayah-wilayah yang sempat disinggahi oleh utusan, termasuk waraney dari Tonsawang. Pada saat inilah, setelah terkumpul bala bantuan, langsung satu kali mereka menyerang hingga membuat orang-orang Bantik tidak brani lagi melawan dan melakukan penculikan,” tutur Taroreh.
Penggerak Komunitas Waraney Wuaya ini menjelaskan, orang-orang Lotta mengenal nawo’ Sela karena perawakan tubuhnya yang besar. Hanya saja ia sedikit pendiam. Saat datang ke Lotta, nawo’ Sela masih muda tapi sudah berpikiran tenang dan mampu menguasai emosinya. Sikap yang tidak dimiliki semua orang.
“Dia ini juga hebat dalam berstrategi. Sesudah perang itu, untuk sementara para kstria dari selatan tidak langsung kembali pulang ke tempat asal. Mereka masih ikut mengamankan wilayah Lotta dari serangan orang-orang Bantik. Apalagi Lotta Amian saat itu sering mendapat serangan dari Bantik. Sebabnya, Lotta Amian berbatasan langsung dengan pemukiman orang-orang Bantik. Jadi para waraney tinggal untuk sementara waktu menjaga tempat di seputaran Lotta Amian. Orang-orang luar yang tidak pulang dan menetap di Lotta di antaranya adalah orang-orang Tonsawang,” jelas Taroreh.
Menurut Taroreh, situasi dan kondisi berangsur-angsur aman sejak berakhirnya Perang Mawewerisen. Perang itu membuat orang-orang Bantik tidak berani lagi masuk ke wilayah orang-orang Lotta. Namun hanya selang beberapa waktu, pecah Perang Tateli. Perang ini disebabkan oleh aksi penyerangan orang-orang Bantik terhadap orang-orang Tateli.
“Nah, sesudah Perang Tateli, beberapa tahun kemudian para tetua Malesung mengadakan musyawarah di Watu Pinawetengan dan dari sinilah awal mula nama mahassa yang kemudian menjadi Minahasa digaungkan,” jelas Taroreh.
Bert Supit dalam buku Minahasa: Dari Amanat Watu Pinawetengan Sampai Gelora Minawanua (1986) menuliskan, bagaimana pertama kali kata “Minahasa” digunakan sebagai penanda geografis sebuah wilayah adat. Musyawarah di Watu Pinawetengan dilaksanakan karena terjadinya bentrok antar sub etnis dan sejumlah walak di sekitaran tahun 1789.
Rinto Taroreh menjelaskan, saat ini masih ada bukti kehadiran nawo’ Sela dan para waraney lain dari selatan Malesung di tana Tombulu. Di antaranya, waruga nawo’ Sela dan keturunannya. Waruga ini baru ditemukan kembali pada 4 Januari 2013 oleh Komunitas Waraney Wuaya. Waruga tersebut berada di sebuah bukit depan Seminari Pineleng. Saat ditemukan, kondisi waruga tidak lagi utuh. Diduga waruga tersebut menjadi korban penjarahan.(*)
Editor: Andre Barahamin
Komitmen dan misi kami adalah menghadirkan media dengan mutu jurnalisme yang baik. Menurut pendapat kami, salah satu syarat penting untuk mencapai hal itu adalah indepedensi.
Sejak awal, kami telah menetapkan bahwa KELUNG adalah media independen. Sebagai media independen, KELUNG hadir untuk melayani pembaca dengan laporan, artikel atau tulisan yang disajikan secara naratif, mendalam, lengkap dengan konteks. Kami mengajak anda untuk memasuki setiap gejala dan isu untuk menemukan informasi, inspirasi, makna dan pengetahuan.
KELUNG independen oleh karena kami sendiri yang menentukan tema atau isu untuk disajikan. KELUNG bebas dari intervensi penguasa atau pemilik modal. KELUNG independen dari intervensi ideologi agama atau ideologi apapun. KELUNG independen, karena bebas berpihak kepada kelompok minoritas, kelompok marginal dan lemah secara akses suara ke publik. KELUNG juga akan terus berupaya mengembangkan diri, meningkatkan mutu isi dan penyajian.
Pembaca adalah kunci dari harapan kami ini. Dukungan pembaca berupa donasi, sangat berarti bagi kami dalam upaya pengembangan dan peningkatan mutu jurnalisme yang independen. Kami mengundang pembaca untuk bersama-sama untuk mencapai komitmen dan misi kami ini.
Mari bantu KELUNG dengan cara berdonasi…. selengkapnya
You may like
-
Merajut Makna Sinarongsongan Wene Hingga Nimawanua Sarongsong
-
Ma’waluy Wo Ma’walun?
-
Makna Situs di Minahasa, Pemuda dan Sebuah Pesan Penting
-
Tradisi Pasiar Jalan: Ungkapan Syukur dan Cara Palamba Memelihara Kebersamaan
-
Patung Sam Ratulangi Dibongkar, Perupa Sulut Gugat Pemerintah
-
Melihat Gastronomi Tana’ Melalui Kacamata Biru