ECONEWS
Bau Busuk di Bumi Nyiur Melambai

27 Februari 2025
“Masalah sampah yang tak kunjung habis ini karena hal yang seharusnya bisa dikerjakan bersama justru jadi bola ping-pong yang kian jadi bahan lempar antar masyarakat dan pemerintah. Pemerintah menyalahkan masyarakat dan masyarakat menyalahkan pemerintah serta pemangku kepentingan yang lain.”
Penulis: Hendro Karundeng
PENGHIJAUAN, kata yang kini sering terdengar di berbagai ruang diskusi kritis hingga percakapan masyarakat di pinggir jalan. Hal yang menjurus langsung pada permasalahan lingkungan, yang berakar pada habisnya tutupan hijau di permukaan bumi. Penebangan liar, penggerusan lahan, bahkan punahnya habitat keanekaragaman hayati.
Indonesia, negara kepulauan yang dikenal dengan ribuan pulau, membentang dari Sumatera hingga Papua. Ribuan bahkan jutaan habitat hidup di tanah subur ini. Seiring berjalannya waktu, sederet habitat mulai hilang, ratusan bahkan ribuan ras hewan perlahan punah. Hasrat manusia dengan berbagai ‘legitimasi manis’ jadi penyebab.
Hal ini disampaikan Denny Taroreh, aktivis lingkungan di Sulawesi Utara (Sulut). Saat hadir dalam diskusi fotografi bertajuk ‘Menulis Dengan Cahaya’ yang digelar Mawale Photography bersama Komunitas Penulis Mapatik, Jumat, 24 Januari 2025, Denny turut mengambil ruang untuk memberi edukasi tentang pentingnya menjaga lingkungan.
“Masalah lingkungan ini sebenarnya bukan hanya dalam lingkup Sulawesi Utara, tapi di keseluruhan di Indonesia mengalami hal yang sama atau yang mirip-mirip. Persoalan besar di Sulut mungkin secara umum ada beberapa. Salah satu (persoalan) yang penting adalah berkurangnya tutupan hijau itu sebenarnya adalah berkurangnya habitat,” ujar Taroreh.
Deforestasi, kata yang tepat untuk permasalahan lingkungan paling umum di dunia sekarang ini. Hal ini mencangkup kegiatan yang dilakukan untuk membuka lahan dalam rangka berbagai kegiatan, seperti pertanian, perkebunan, peternakan, dan permukiman.
“Nah, habitat berkurang itu ada beberapa penyebabnya. Pertama adalah deforestasi, menurunnya luasan hutan, dalam hal ini Sulut. Menurunnya itu karena beberapa hal. Pertama, eksploitasi hutan, pembalakan liar atau penebangan liar. Tapi ada juga yang seolah-olah untuk pembangunan. Itu hutan dibabat untuk tanaman sawit atau malah di Manado paling sering lahan-lahan digerus untuk pemukiman atau perumahan. Nah, ketika habitat berkurang, kan ada juga pasti keanekaragaman hayati yang berkurang. Seperti makhluk hidup, di dalamnya atau termasuk pohon-pohon,” jelas Taroreh yang akrab disapa Dentar.
Selain itu, Taroreh juga menyentil persoalan lingkungan yang diakibatkan oleh pertambangan. Contohnya, yang kini kian menghantui masyarakat Sangihe. Lahan hijau mereka kian habis, digerus perlahan oleh tambang emas.
“Persoalan yang lain tentu tambang. Menurut saya permasalahan tambang itu cukup rumit dan akan menyinggung banyak hal, sedikit eksplisit. Itu persoalan yang lain, di mana-mana ada pertambangan. Termasuk kalau kita mau bercerita soal Sulut. Di mana itu kan bukan ‘main land’, ada juga beberapa kepulauan,” ungkapnya.
“Belakangan ini yang paling heboh yaitu kekhawatiran pulau Sangihe itu akan habis karena PT. Tambang Emas Sangihe atau TMS. Tapi persoalan yang paling banyak diributkan juga oleh banyak orang dan itu terjadi di seluruh pelosok di Sulut adalah persoalan sampah,” sambungnya.
Sulut Darurat Sampah
Sampah, masalah yang belum teratasi hingga sekarang. Ratusan bahkan ribuan kilogram masih berserak di pekarangan rumah dan selokan. Hingga hanyut ke aliran sungai yang berujung menyebar di lautan lepas.
Hal kecil yang mungkin sering disepelekan ini, justru jadi krusial. Pencemaran udara dengan bau yang tak sedap, kerusakan lingkungan hingga mengakibatkan berkurangnya habitat hewan bahkan merusak ekosistem di dalam laut.
Tak sedikit video yang beredar di media sosial yang ‘mempertontonkan’ berbagai hewan laut yang mati terbawa ombak ke pantai karena sampah. Beberapa mamalia yang terjerat hingga mati oleh sampah.
Lantas bagaimana sebenarnya kita harus mengambil sikap? Bagaimana sebenarnya proses yang baik dalam pencegahan meningkatnya sampah? Tercatat, di Sulawesi Utara, khususnya kota Manado, setiap harinya menghasilkan sekitar 270 ton sampah.
Taroreh menjelaskan, kondisi ini murni kelalaian masing-masing pribadi di masyarakat akan kurangnya perhatian dalam pemilihan sampah hingga menjadi faktor darurat sampah.
“Kita di Sulut, mau pemerintah mengiakan atau tidak, masyarakat mengiakan atau tidak, kita sedang mengalami darurat sampah sebenarnya. Kondisi di mana kita tidak mampu mengolah sampah kita sendiri, di mana sampah itu sekarang seolah-olah menjadi tanggung jawab pemerintah dan mereka (pemerintah) oleh banyak hal mengatakan tidak mampu menanggulangi. Tapi persoalan sampah lagi-lagi bukan material sampahnya, tapi persoalannya adalah perilaku,” paparnya.
Menurut Taroreh, dorongan dalam pemilahan sampah itu datang dari pola pikir, bagaimana menyikapi tentang pengolahan itu sendiri.
“Ini cara pandang semua orang dalam mengolah sampah itu sendiri. Nah, cara pandang itu begini, dan ini semua orang sudah tahu sebenarnya. Mengolah sampah itu solusi utamanya adalah pemilahan. Kita ketika disuruh memilah, kita bisa bilang gampang. Tapi mungkin karena kita banyak yang tidak terbiasa, menganggap itu sulit. Padahal hanya memisahkan antara organik dan nonorganik atau kering dan basah,” ujarnya.
Ia menambahkan, di kota Manado sampah sudah disusun dalam Peraturan Daerah (Perda) yang mewajibkan masyarakat untuk memilah sampah menjadi 3 bagian.
“Nah, di Manado itu sudah disusun dalam Peraturan Daerah, di mana harus dipilah menjadi tiga bagian. Tapi mau di undang-undang ataupun Perda, semua belum mampu melakukan pemilahan. Padahal pemilahan sampah itu adalah langkah pertama yang harus kita buat,” tegasnya.
Masalah sampah yang tak kunjung habis ini menurut Taroreh, karena hal yang seharusnya bisa dikerjakan bersama justru jadi bola ping-pong yang kian jadi bahan lempar antar masyarakat dan pemerintah.
“Sekarang ketika ditanya siapa yang bertanggung jawab soal ini, pemerintah menyalahkan masyarakat, dan masyarakat menyalahkan pemerintah serta pemangku kepentingan yang lain. Padahal seharusnya bisa jika dilakukan secara bersama-sama,” ucapnya.
Dalam menanggapi masalah tersebut, inisiator dan penggerak ‘Sekolah Kuala’ itu beri beberapa solusi sebagai upaya pengolahan sampah, bahkan cara mempraktekannya.
“Prakteknya bagaimana? Kalau saya sendiri di Sekolah Kuala, dari tahun 2017, yang kita edukasi dan ajak ke masyarakat adalah mengolah sampahnya sendiri. Tapi walaupun sudah didampingi bertahun-tahun, masih ada juga yang belum mampu. Berarti edukasi itu harus dilakukan tidak hanya sekali, tapi harus berulang-ulang. Sampai masyarakat menjadikan itu sebagai suatu kebiasaan, menjadi habits, menjadi perilaku atau bahkan menjadi budaya,” paparnya lagi.
Menurut Dentar, semua elemen masyarakat seharusnya bisa berkaca dari pandemi yang baru saja dihadapi, di mana Covid-19 mampu mengajarkan waruga bumi untuk menjaga kesehatan dalam kurun waktu yang singkat.
“Kalau di forum-forum daerah, saya selalu bilang begini, kita seharusnya mampu belajar dari Covid-19. Cuma butuh dua tahun untuk mengajarkan kita cuci tangan dan pakai masker. Masa kita sudah bertahun-tahun tidak mampu memilah sampah?” ucapnya.
Tak lupa, Taroreh terus tekankan pentingnya repetisi dalam edukasi sampah.
“Jadi edukasi itu harus dilakukan secara terus-menerus, sehingga masyarakat yang berhasil melaksanakan bisa dijadikan contoh oleh masyarakat di sekitarnya. Mereka bisa menduplikasikan itu,” pungkasnya.
Usai kegiatan diskusi, Taroreh bagikan tas jinjing sebagai pengganti kantong belanja. Tujuannya untuk mengurangi penggunaan kantong plastik, serta bentuk kepedulian terhadap lingkungan.
Tumpukan Sampah Plastik di Jalan Trans Minahasa Selatan
Dalam diskusi Mawale Photography dan Komunitas Mapatik yang digelar di Wale Mapantik, Kaaten-Matani Satu, Tomohon Tengah itu, Hendra Mokorowu, Pemimpin Redaksi manadoxpress.com, turut membagikan hasil pantauannya tentang tumpukan sampah yang selalu mewarnai berbagai tempat di wilayah Sulawesi Utara. Salah satu yang menurutnya paling parah ada di kabupaten Minahasa Selatan. Di gerbang masuk wilayah kabupaten Minahasa Selatan, dari arah wilayah Kawangkoan, pemandangan tak mengenakkan itu sudah tersaji.
“Berbicara soal sampah, terutama di kabupaten Minahasa Selatan, itu sudah jadi pemandangan umum. Apalagi rute masuk dari kecamatan Tareran sampai ke Tumpaan. Itu di jalan banyak sekali sampah. Hal yang jadi perhatian justru sampah-sampah di wilayah tersebut terkesan dibiarkan saja. Padahal banyak pejabat pemerintah kecamatan atau kabupaten yang sering melewati jalur itu,” ungkapnya.
Ia berpendapat, hal seperti itu merupakan kelalaian pemerintah dalam pencegahan hingga penanggulangan. Beberapa tindakan baru diambil ketika menerima kritik dari salah satu lembaga.
“Terkesan juga pemerintah agak cuek. Yah, nanti kalau ada komplain-komplain dari pihak aktivis atau sampah sudah dimuat lewat pemberitaan media, pemerintah baru mau mulai bertindak. Ini juga harus jadi perhatian oleh pemerintah kabupaten Minahasa Selatan,” ujar Mokorowu.
Di kecamatan Tareran, salah pintu gerbang kabupaten Minahasa Selatan, ada titik yang disorot khusus. Kata Mokorowu, warga sering menyebut Puncak Temboan, atau akrab dikenal dengan ‘Pemancar’ oleh masyarakat sekitar. Salah satu spot indah yang menghias jalan penghubung desa Rumoong Atas dan Wuwuk itu bertahun-tahun jadi tempat pembuangan sampah.
“Ada lagi yang bukan tempat pembuangan sampah, tapi sudah jadi tempat pembuangan. Itu di kecamatan Tareran, di jalan sesudah desa Rumoong Atas Dua menuju desa Wuwuk. Di sana ada jurang yang terjal yang tadinya merupakan tempat singgah masyarakat untuk berfoto atau bersantai, tapi di bawah situ sudah jadi tempat pembuangan sampah. Parahnya lagi, sudah bertahun-tahun,” ujarnya.
Menurut Mokorowu, hal ini harus jadi perhatian khusus para tokoh masyarakat di wilayah tersebut.
“Entah dari mana sampah-sampah itu, tapi yang jelas jalur di situ akan mengarah ke kampung-kampung sekitar, terutama warga Rumoong Atas, Lansot hingga Wuwuk. Ini perlu menjadi perhatian serius bagi tokoh-tokoh masyarakat di tiga desa tersebut, atau di kecamatan Tareran secara umum,” ucapnya.
Tak hanya itu, Mokorowu juga tekankan, selain tokoh masyarakat dan pemerintah, hal ini juga harus jadi perhatian dari tokoh-tokoh agama.
“Tokoh agama pun harus ikut terlibat. Jangan hanya khotbah-khotbah di atas mimbar ibadah, tapi tidak ada tindakan nyata untuk penanganan sampah. Karena sampah juga bukan hanya tanggung jawab pemerintah. Semua masyarakat, kita juga bertanggung jawab,” tegasnya.
Sampah plastik juga sudah bukan hal asing di jalur Trans Sulawesi, khususnya di jalan desa Pinamorongan menuju kecamatan Tumpaan. Ratusan kantong sampah menghias bahu jalan, membawa aroma tak sedap selama perjalanan. Hal ini juga turut disampaikan Mokorowu, yang sering melewati jalur itu saat memenuhi tugas peliputan di lapangan.
“Saya kira permasalahan sampah untuk kabupaten Minahasa Selatan itu sudah jadi persoalan bersama. Berdasarkan pantauan, saya sering melewati jalur itu, sering tercium bau busuk, apalagi itu yang di jalur dari desa Pinamorongan sampai daerah Tumpaan. Di jalan lebar itu, di pinggirannya banyak sekali sampah. Kalau rumput dipotong, banyak sampah akan didapati, dan itu rata-rata sampah plastik yang dibuang di situ. Nah, ini siapa lagi kalau bukan warga yang membuang,” ungkap Mokorowu.
Pegiat budaya Minahasa ini juga berharap, hal itu terus jadi perhatian bagi masyarakat. Pemerintah juga harus menunjukkan peran nyata dalam mengedukasi serta melakukan tindakan nyata dalam pencegahan dan penanggulangan.
“Peran aktif dari pemerintah, tokoh agama, tokoh masyarakat, sangat dibutuhkan untuk memberi kesadaran pada masyarakat. Kemudian juga perlu tindakan. Bukan menindaki masyarakat yang membuang sampah, tapi lakukan pembersihan sampah, atau edukasi masyarakat soal bagaimana baiknya untuk mengolah sampah kita sendiri dengan benar,” harapnya.
Keresahan Pemuda Soal Dampak Negatif Sampah
Belarmino Lapong, pemuda asal Taratara, Tomohon, yang aktif dalam berbagai kegiatan lingkungan serta budaya juga turut beri tanggapan tentang darurat sampah yang kini meresahkan masyarakat Sulawesi Utara. Rasa prihatinnya diakui mewakili keresahan para pemuda. Menurunnya, ada beberapa persoalan yang ditemukan di Tomohon, kian meningkat karena disebabkan oleh sampah.
Permasalahan lingkungan yang berasal dari sampah merupakan isu yang sangat penting dan perlu perhatian serius dari berbagai pihak. Karena sampah merupakan ‘produk paten’ yang akan terus-menerus dihasilkan manusia sampai kapanpun. Jika tidak dikendalikan, akan banyak menimbulkan permasalahan. Seperti pencemaran, kerusakan ekosistem, bahkan yang terburuk adalah menjadi faktor penyebab perubahan iklim.
“Dampak yang kita hadapi sekarang menurut saya ada tiga. Yakni pencemaran, kerusakan ekosistem dan perubahan iklim. Paling umum, sampah pasti mencemari udara, air dan tanah. Tiga unsur kehidupan ini jika sudah tercemar akan bahaya pada keberlangsungan hidup manusia di sekitar objek yang tercemar,” sebut Lapong.
Sampah yang sudah tidak terkendali, bahkan terkesan diabaikan oleh pemerintah dan masyarakat, akan membawa pada kondisi tingkat pencemaran yang parah, pasti akan merusak ekosistem di sekitar itu. Lapong mencontohkan beberapa TPA yang ada di Indonesia, ekosistem awal yang sudah ada akan dikorbankan untuk pengadaan lahan TPA. Selanjutnya dengan keberadaan TPA, kehidupan yang seimbang, yang terbangun di ekosistem awal tersebut pasti akan terganggu. Apalagi jika sampah banyak dibuang di sungai, laut.
“Sampah sebagai penyebab perubahan iklim merupakan sebuah isu yang tidak tabu lagi. Sistem pengelolaan sampah yang ada di Indonesia kebanyakan open dumping. Tumpukan bahkan gunungan sampah menjadi penghasil gas metana dan CO². Dua unsur ilmiah ini adalah salah satu penyebab utama kerusakan lapisan ozon. Yang akan membuat semakin memanasnya bumi,” paparnya.
Ketua Pengurus Daerah Tomohon Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN) ini juga turut beri solusi. Menurut pandangan pribadinya, yang dapat dijadikan landasan bagi semua pihak untuk sama-sama belajar dalam menanggapi permasalahan sampah adalah pengurangan penggunaan produk plastik sekali pakai. Itu jadi solusi pertama.
“Pertama, mengurangi penggunaan bahan yang berpotensi menjadi sampah. Ini menjadi satu hal wajib yang sekiranya harus dilaksanakan oleh setiap masyarakat. Mengurangi penggunaan plastik sekali pakai dan bahan-bahan yang kita pikir berpotensi menjadi sampah. Daur ulang melalui UMKM atau kelompok-kelompok masyarakat sangat penting, jika bernilai ekonomis. Masyarakat dan pemerintah harus menciptakan sebuah lingkungan bisnis yang bisa memasarkan produk olahan itu,” ucapnya.
Selanjutnya, menurut Lapong, pengolahan harus jadi unsur perhatian penting dalam penanggulangan masalah sampah hingga tak berdampak di lingkungan sekitar.
Kedua, permasalahan di Indonesia atau lebih khusus di Sulawesi Utara, untuk hal sampah adalah pengolahan. Sampah-sampah saat ini adalah sistem buang saja, tanpa memikirkan keberlanjutan dan dampaknya ke depan. Ia kembali mencontohkan TPA Sumompo di Manado dan TPA Tomohon adalah sistem open dumping. Tidak ada pengolahan sampahnya, atau setidaknya minimal sistem pemilahan. Agar sampah organik bisa diolah dan sampah plastik bisa diproduksi kembali sedangkan sampah kimia perlu tindakan khusus. Tapi nyatanya fakta saat ini, sudah berpuluh dan berbelas tahun tidak ada tindak lanjut,” jelasnya.
Terakhir, menurut Lapong hal yang harus jadi perhatian selanjutnya adalah edukasi. Sarana dalam pencegahan peningkatan menumpuknya sampah, peran penting organisasi, komunitas bahkan tokoh masyarakat.
“Edukasi ke masyarakat sangat penting. Agar sistem yang kita bangun dari awal itu dapat berjalan maksimal. Meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya pengolahan serta pengurangan sampah sangat penting. Berdayakan komunitas masyarakat juga itu sangat berdampak dalam edukasi ke masyarakat,” tutupnya.
Masalah sampah di Sulawesi Utara kini jadi perhatian dari berbagai pihak. Baik lembaga pemerintahan, masyarakat, komunitas bahkan organisasi mahasiswa. Makin banyak potensi kerusakan lingkungan yang muncul akibat hal itu. Berkurangnya habitat, bahkan tercemarnya air sungai dan laut akibat sampah makin banyak ditemukan. Berbagai usaha di sejumlah wilayah tetap terlihat dalam upaya mengatasi maupun pencegahan. Namun, kesa
daran masyarakat, kerja ‘setengah hati’ hingga cara penanganan pemerintah masih tetap menuai catatan kritis publik.
