ESTORIE
Belalang Komunis di Isaan
Published
6 years agoon
By
philipsmarx16 Januari 2019
Oleh: Andre Barahamin
Belalang, tidak akan pernah bisa mengalahkan gajah meskipun unggul dari segi jumlah. Sebab belalang, pada akhirnya bukanlah kekuatan politik.
SAYA JATUH CINTA dengan Isaan. Terutama dengan kulinernya yang memanjakan kerongkongan omnivora pemakan segala seperti saya. Termasuk serangga.
Di wilayah timur laut Thailand, serangga adalah cemilan paling bergizi, murah dan tepat selera jika kau adalah seorang peminum bir. Selain tersedia dalam berbagai ragam, cemilan serangga juga dijamin dapat membuatmu ketagihan. Itu sebabnya setiap sore, ketika pasar makanan siap saji ala Isaan mulai bergeliat, saya akan berkeliling dengan sekantung belalang goreng sambil memilih menu makan malam. Sembari otak menimbang apakah daging babi asap, daging sapi panggang atau udang rebus sebagai lauk penutup hari, rahang tetap bisa berolahraga dengan mengunyah satu demi satu belalang goreng yang ditaburi lada.
Memamah belalang juga adalah laku mengenang sejarah. Di masa lalu Isaan, belalang pernah menjadi simbol perlawanan para militan terhadap dominasi gajah yang berdiam di balik bilik istana nun jauh di Bangkok.
Isaan adalah saksi mata upaya komunis-komunis pemberani selama lebih dari dua dekade mengobarkan perang menentang tahta. Perang gerilya rakyat yang diinisiasi oleh Partai Komunis Thailand (PKT) sebelum organisasi revolusioner ini melenyap secara misterius tanpa jejak di pertengahan tahun 1990-an. Daerah ini adalah prasasti waktu di masa lampau pernah ada upaya membangun republik sosialis menggantikan kerajaan yang dipimpin seorang boneka yang dikendalikan oleh Amerika Serikat. Ini percobaan serius yang pernah membuat gempar Thailand.
Di bulan Januari 1972, menurut catatan Wilfred D. Koplowitz berjudul A Profile of Communist Insurgency: The Case of Thailand (1967), pihak kerajaan bahkan harus mengirim sekitar dua belas ribu tentara untuk menghadapi sekitar lima ratus gerilyawan komunis. Hingga kini, ini adalah operasi militer terbesar yang pernah dicatat sejarah Thailand.
Selama enam minggu, ribuan tentara menyisir hutan dan pegunungan terjal di bagian utara dan timur laut. Operasi ini terbilang sukses. Menurut pemerintah, sekitar dua ratus militan komunis tewas terbunuh dan lusinan pos pertahanan berhasil dihancurkan. Namun faktanya, gerilya rakyat justru tak surut. Di tahun-tahun sesudahnya, gerakan komunis justru makin tumbuh subur dan dekade 1970-an adalah puncak keemasannya.
Komunisme memang dekat dengan Isaan.
Daerah ini adalah tempat pertama yang diorganisir oleh Ho Chi Minh dengan mengirim satu kelompok kecil revolusioner terpilih dari Kanton. Mereka ditugaskan untuk mengorganisir dewan-dewan rakyat di antara orang-orang Vietnam yang berdomisili di Udon Thani dan Nakhon Phanom. Dalam The Soviet Union in Asia (1973), Geoffrey Jukes, menulis bahwa saat itu Ho menjabat sebagai petugas Internationale, sebuah asosiasi internasional partai-partai dan organisasi revolusioner lintas negara yang berhaluan komunis. Ho juga bertindak sebagai penerjemah bagi Michael Borodin yang ditunjuk Uni Soviet dalam Misi Timur Jauh.
Paman Ho sendiri tiba di tahun 1928, dengan menyamar sebagai biksu. Ia lalu menetap di desa Pamakhap, Udon Thani.
Ia mengemban tiga misi utama. Pertama, membangun sel-sel partai di antara para migran Vietnam. Kelompok-kelompok rahasia berukuran kecil dengan disiplin ketat yang bertugas mengorganisir orang banyak. Mereka membangun dan meluaskan sentimen kebangkitan nasional, semangat anti-penjajahan serta ide-ide dasar mengenai komunisme. Sel-sel ini nantinya dipersiapkan untuk berkembang menjadi organisasi pelopor revolusioner. Pondasi dari misi pertama erat hubungannya dengan tugas Ho yang kedua untuk memulai konfrontasi terbuka dengan penjajah Prancis di Indo-Cina. Konfrontasi dilakukan melalui protes dan pembangkangan skala kecil, sebelum melakukan pemogokan sebagai tahap lanjut. Kedua misi tersebut akan menjadi landasan bagi pembangunan kembali Internationale di Asia Tenggara yang menjadi tanggungjawab Ho.
Pada Maret 1930, Ho kemudian ditunjuk Moskow sebagai perwakilan Komunis Internasional untuk wilayah Asia Tenggara.
Thailand sendiri sejak awal, bukan negara yang ramah dengan komunisme. Di dekade 1930-an, Perdana Menteri Phraya Manopakorn yang konservatif mengeluarkan undang-undang anti-komunisme. Mereka yang dianggap menyebarkan paham revolusioner tersebut akan dihukum penjara selama 10 tahun. Undang-undang yang terbit tahun 1933 ini menurut Merrill L. Bartllet dalam The Communist Insurgency in Thailand (1973) sebenarnya berakar dari konflik politik antara Manopakorn dengan Pridi Panomyong, tokoh liberal yang menjadi sosok sentral di gelombang revolusi sosial 1932 yang berhasil memangkas sedikit absolutisme monarki. Di tahun 1946, setelah berhasil merebut kursi Perdana Menteri, Pridi Panomyong membatalkan UU ini.
Jukes mencatat bahwa walaupun di tahun 1929, Partai Komunis Siam telah dibentuk, tapi aktivitasnya terbatas pada diskusi mengenai pokok-pokok ideologi, perjuangan buruh dan petani, penerbitan pamflet dan manifesto. Semuanya dilakukan secara sembunyi-sembunyi karena angin represif yang bertiup dari istana. Penangkapan mereka yang dianggap bersimpati terhadap komunisme marak terjadi, terutama di Bangkok dan sekitarnya.
Satu-satunya peristiwa yang menandai geliat positif komunisme di periode ini adalah pertempuran kecil yang terjadi di Khon Kaen. Para militan komunis yang didominasi etnis Vietnam, menyerang rombongan polisi yang sedang berpatroli. Kelompok revolusioner bersenjata ini adalah hasil pengorganisiran Ho yang berpusat di Nakhon Phanom.
Perkembangan komunisme sedikit terinterupsi ketika Perang Dunia I meletus.
Bersama dengan kubu nasionalis, para militan komunis ikut membangun Gerakan Pembebasan Thai yang dipimpin oleh Pridi Panomyong. Ini adalah front persatuan lintas sektor dan organisasi yang menolak keputusan Bangkok untuk tunduk dan bekerjasama dengan Jepang. Takahashi Katsuyuki dalam How did the Communist Party of Thailand extend a United Front (2014) mencatat bahwa di akhir Perang Dunia II, Gerakan Pembebasan Thai memiliki 50.000 barisan bersenjata yang didukung oleh Kantor Layanan Strategis (Office of Strategic Services) negeri Paman Sam. Mereka juga ikut berperan dalam sukses politik melengserkan Perdana Menteri Pibun Songkhram untuk digantikan oleh Panomyong. Salah satu buah dari keberhasilan ini adalah pencabutan UU Anti-Komunis 1933 di tahun 1946, sekaligus membuka hubungan diplomatik dengan Uni Soviet.
Namun adalah insureksi komunis di tahun 1960-an yang hingga kini membekas di Isaan.
Dimulai dengan pembukaan kamp pelatihan gerilyawan komunis oleh Vietnam Utara di provinsi Hoa Binh. Berjarak sekitar 80 kilometer barat daya Ha Noi. Ini adalah sekolah yang didesain khusus Vietnam untuk mendidik kader yang berasal dari Thailand dan Laos. Setamat mengikuti pelatihan, mereka akan kembali ke negara masing-masing dan memulai gerilya rakyat sebagai upaya merebut kekuasaan demi pembentukan negara-negara komunis di daratan Indo-Cina.
Di tahun ajaran pertama yang berlangsung pada 1960-1961, sekitar 400 orang mengikuti pelatihan ini. Kursus mengenai gerilya bersenjata yang diselenggarakan selama delapan bulan dengan instruktur dari Cina dan Vietnam. Setahun sesudahnya, para alumni pelatihan ini telah menjadi tokoh-tokoh kunci yang memimpin unit-unit gerilya desa di sepanjang perbatasan Thailand-Laos. Mereka juga terlibat dalam upaya penyeludupan senjata dari perbatasan Laos yang kebanyakan berasal dari masa Perang Dunia. Salah satu sukses gemilang yang berhasil dicatat oleh Koplowitz, terjadi di tahun 1965 ketika para komunis berhasil menyeludupkan sekitar 3.000 pucuk senjata buatan Amerika Serikat dengan 90.000 butir peluru.
Di lima tahun awal dekade 1960-an, para insurgen komunis berhasil melakukan 17 pembunuhan politik. Taktik ini dipilih sebagai tahap pemanasan sekaligus menghindari konfrontasi terbuka ketika infrastruktur kekuatan bersenjata belum sepenuhnya siap.
Setelah sayap bersenjata siap, sebuah deklarasi diumumkan pada 8 Desember 1964. Disiarkan melalui radio “Suara Rakyat Thailand”, manifesto atas nama Gerakan Kemerdekaan Thailand diumumkan. Tiga tuntutan disuarakan. Pertama, menyerukan penggulingan penguasa diktator yang saat itu sedang berkuasa. Tuntutan kedua, mengajak pembentukan sebuah rezim baru yang bebas dari kekuasaan lama seperti militer, pihak kerajaan dan intervensi asing. Poin terakhir adalah seruan untuk mengakhiri dominasi militer Amerika Serikat di Thailand. Selain penarikan tentara, mereka juga meminta pembubaran basis-basis militer AS.
Pada 1 Desember 1965, Front Patriotik Thai ikut bergabung. Ini adalah organisasi berhaluan komunis yang dipimpin oleh Letkol Phayon Chulanont, mantan perwira tentara kerajaan dan anggota parlemen dari Phetburi setelah terpilih dalam pemilu di tahun 1957. Chulanont pernah terlibat dalam upaya kudeta yang gagal di tahun 1948.
Dua organisasi ini kemudian bersepakat menggabungkan diri untuk membentuk Front Persatuan Patriotik Thai pada 15 Desember 1965 dan diumumkan ke publik melalui siaran radio “Suara Rakyat Thailand”. Merger politik ini menandai kelengkapan tiga instrumen organisasional sebagai prasyarat perang rakyat: partai, sayap bersenjata, dan front persatuan.
Pengumuman tersebut kemudian diikuti dengan aksi militer yang dianggap sebagai titik mula meletusnya kampanye bersenjata para komunis yang bertumpu di dua basis utama: wilayah Isaan di timur laut, dan daerah selatan yang berbatasan dengan Malaysia. Sebuah patroli polisi disergap di sekitar Mukdahan, di perbatasan dengan Laos pada November 1965.
Hingga di pertengahan tahun 1965, para militan mulai melakukan penyerangan dan penyergapan terhadap polisi dan tentara Thailand yang bertugas di wilayah Isaan. Sekitar 13 kali operasi militer sukses dilakukan di semester pertama tahun itu. Jumlah itu meningkat hampir dua kali lipat di enam bulan berikutnya.
Thomas A. Marks dalam Thailand: Anatomy of a Counter Insurgency Victory menulis bahwa hingga tahun 1966, hampir 90% operasi militer yang dilakukan para kombatan komunis masih berada di wilayah Isaan.
Dukungan terhadap insureksi komunis juga datang dari kelompok masyarakat adat yang berada di wilayah utara Thailand. Mereka yang hidup di punggung perbukitan berbatasan dengan Burma dan Laos. Salah satu poin signifikan para komunis dalam mendulang dukungan di wilayah ini adalah kemampuan untuk mengorganisir sentimen negatif kelompok masyarakat adat terhadap kebijakan Bangkok yang melarang praktek tebang-bakar dan ladang berpindah dalam mode pertanian. Larangan tersebut yang dikombinasikan dengan upaya sepihak pemerintah Thailand untuk mentransformasikan secara cepat dan menyeluruh tatacara bertani secara modern, ikut mempermudah propaganda ide-ide komunisme di wilayah utara.
Faktor lain adalah upaya Bangkok untuk meredam perdagangan opium yang dikendalikan bandit-bandit mantan militer nasionalis Cina di sepanjang perbatasan, sering salah sasaran. Belum lagi menyoal kegagalan pemerintah untuk merumuskan solusi ekonomi mengatasi kemiskinan, isolasi dan keterbelakangan infrastruktur di desa-desa masyarakat adat yang tersebar di tujuh provinsi di bagian utara dan timur laut.
Di semester pertama tahun 1966, Bangkok telah kehilangan 45 personil militer dan 65 pegawai sipil akibat serangan-serangan militan komunis di provinsi-provinsi utara. Merespon kekalahan ini, pemerintah melakukan operasi penyisiran dan penangkapan di tahun 1967. Pada dua penggrebekan utama di bulan Februari dan Agustus, 30 orang anggota utama Partai Komunis Thailand tertangkap. Termasuk Sekretaris Jendral partai, Thong Chaemsri. Operasi ini berlanjut hingga setahun kemudian, terutama di bulan Oktober dan November ketika tiga lusin pimpinan partai berhasil ditangkap tentara dan polisi. Di tahun 1968, Pasukan Khusus Thailand bahkan berupaya menghancurkan kamp pelatihan komunis di Hoa Binh.
Upaya-upaya tersebut gagal meredam penyebaran gerilya, terutama di wilayah Isaan.
Di tahun 1968, diperkirakan ada sekitar 2.500-3.000 militan komunis yang aktif dan tersebar di berbagai kantong-kantong gerilya di seantero Thailand. Insureksi bersenjata yang akarnya ditanam di Isaan kemudian juga bersemai di tahun-tahun terakhir dekade 1960-an di wilayah selatan sepanjang perbatasan dengan Malaysia dan di bagian utara. Di akhir tahun 1970, diperkirakan ada sekitar 2.000 kombatan komunis wilayah Isaan dengan dukungan sekitar 10.000 petani dan penduduk desa lain. Di wilayah utara diprediksi ada sekitar 1.500 anggota TPRT sedangkan di wilayah selatan diduga sekitar 1.000 orang personil komunis bergerilya di perbatasan.
Front pertempuran di utara berporos di kader-kader komunis yang mengorganisir suku-suku di perbukitan di bawah komando Son Nophakun dan Nai Daeng. Nophakun adalah sosok lawas yang sempat magang di Partai Komunis Cina sebelum menjadi pengawas di sekolah pelatihan kader komunis di Hoa Binh, Vietnam.
Di wilayah selatan, kelompok gerilya terdiri dari dua bagian. Pertama adalah separatis komunis Thai-Malay yang dipimpin oleh Prasit Tiensri dan kelompok komunis Malaysia yang dipimpin oleh Chin Beng.
Sementara pusat perjuangan di Isaan dikomandoi oleh Udom Sisiwan. Ia mampu bercakap dengan baik dalam bahasa Inggris, bahasa Rusia dan bahasa Mandarin. Sebelum menjadi pimpinan gerilya, Sisiwan telah mengikuti pelatihan di Uni Soviet dan Cina. Sementara markas besar komando gerilya dilaporkan berada di wilayah utara Laos.
Sementara itu, bersamaan dengan pesta tahun baru 1969, sebuah pengumuman dibacakan “Suara Rakyat Thailand”. Mengenai pembentukan Tentara Pembebasan Rakyat Thailand (TPRT) sebagai unit militer resmi dalam gerilya bersenjata dan langsung berada di bawah komando Partai Komunis Thailand. Maklumat ini sekaligus menandai fase baru dalam kampanye perang rakyat yang disertai dengan peluncuran sepuluh kebijakan oleh partai. Dua poin penting di antaranya adalah soal seruan penghapusan sistem monarki dan feodalisme Thailand dan pembentukan Dewan Rakyat sebagai pemerintahan alternatif.
Sepuluh kebijakan tersebut juga menjadi marka penting dalam corak ideologi partai yang semakin condong ke arah Maoisme dan analisa mengenai Thailand sebagai negara semi-kolonial. Menguatkan prediksi mengenai posisi politik PKT dalam konflik Soviet-Cina. Tanda-tandanya mulai nampak beberapa tahun sebelumnya ketika di bulan Oktober 1964, PKT mengirimkan ucapan selamat ulang tahun ke-15 berdirinya Republik Rakyat Cina. Pesan tersebut dipenuhi dengan pujian terhadap Mao Zedong dan revolusi komunis Cina. PKT sendiri mengkritik Uni Soviet sebagai revisionis dan imperialis, yang salah satunya dipicu oleh keengganan Soviet mendukung gerilya bersenjata di Thailand.
Sejak tahun 1970 dan seterusnya, TPRT mendapatkan dukungan logistik yang signifikan dari Cina dan Vietnam. Dukungan juga datang dari Laos dan Kamboja. Itu mengapa TPRT mampu meningkatkan eskalasi serangan-serangan mereka. Termasuk di antaranya adalah serangan terhadap markas Angkatan Udara Amerika Serikat.
Untuk meredam perang gerilya rakyat yang dikomandoi PKT, tentara nasional Thailand, polisi dan kelompok-kelompok milisi pro-Bangkok melakukan pembunuhan ekstrajudisial terhadap mereka yang diduga gerilyawan atau simpatisan komunis.
Dalam Narratives of the “Red Barrel” Incident (2013), Jularat Damrongviteetham mencatat kegilaan Bangkok. Diperkirakan ada sekitar 3.000 orang yang jadi korban selama rentang 1971-1973. Namun sumber lain menyebutkan bahwa jumlah korban yang menjadi martir keganasan operasi sapu bersih militer Thailand sepuluh kali lipat lebih besar . Di Isaan, diperkirakan ada sekitar 1.000-1.500 orang yang dibunuh dengan brutal. Ditembak di pinggir jalan dan mayatnya dibiarkan untuk menjadi tontotan teror.
Kegilaan Bangkok bahkan terus menjadi. Di periode tersebut, tentara dan milisi memperkenalkan teknik baru eksekusi terhadap tertuduh komunis. Mereka yang tertangkap akan diinterogasi sembari dipukuli terus menerus dan dibekap dengan handuk basah hingga berada dalam kondisi setengah sadar. Sebelum akhirnya dilempar ke dalam drum berisi bensin dan dibakar hidup-hidup. Pola eksekusi ini dikenang dengan nama “Pembunuhan Drum Merah”.
Ketidakwarasan tersebut mencapai puncaknya dengan serangan berdarah oleh polisi, tentara dan paramiliter ke Universitas Thammasat pada 6 Oktober 1976.
Pembantaian Thammasat pada akhirnya berbalik menjadi bumerang bagi Bangkok dan kekuatan militernya. Para pelajar yang pada awalnya lebih memilih pendekatan non-kekerasan dan terkonsentrasi di ibukota serta kota-kota besar lain, sebagian lalu memilih meninggalkan kampus dan bergabung dengan gerilyawan komunis.
Pembantaian Thammasat menyediakan iklim yang tepat bagi PKT untuk meluaskan dukungan dan menambah keanggotaan. Kader-kader yang bergabung setelah iven ini didominasi oleh pelajar, aktivis buruh, intelektual, petani atau kader-kader utama Partai Sosialis Thailand (PST). Diperkirakan, ada sekitar 1.000 pelajar yang menggabungkan diri ke dalam PKT. Banyak di antara mereka adalah tokoh-tokoh sentral dalam pengorganisasian gerakan pelajar sebelum 6 Oktober 1976. Sebagian besar dari rekrutan baru PKT ini lalu dikirim untuk mengikuti pelatihan politik dan militer di kamp-kamp yang berada di Laos. Para pengajarnya berasal Vietnam, Laos dan Thailand sendiri. Sebagian dari mereka adalah alumni kursus militer di Hoa Binh.
Namun dalam banyak kasus, para pelajar mengalami kesulitan untuk beradaptasi secara cepat dengan kehidupan gerilya yang keras di hutan-hutan. Terutama mereka yang berasal dari latar belakang kehidupan urban, mengalami gegar budaya ketika diharuskan hidup dengan berbagai keterbatasan di kampung-kampung. Itu mengapa PKT kemudian mengambil keputusan untuk menempatkan para pelajar di sekitar 300 kampung yang dikuasai oleh gerilyawan komunis.
Mereka dibagi ke dalam grup-grup kecil yang berjumlah antara lima hingga sepuluh orang. Mereka diperbantukan sebagai tenaga medis, tenaga pengajar atau tenaga administrasi untuk membantu PKT menjalankan program-program revolusioner. Sayang, strategi ini juga tak sesuai harapan. Sejumlah pelajar terpaksa berurusan dengan kombatan-kombatan TPRT karena melanggar aturan mengenai kedisiplinan. Mereka sering berpindah lokasi tanpa pemberitahuan atau ijin dari partai.
Di tahun 1977, Marks memperkirakan bahwa PKT memiliki 8.000 tentara dan sekitar 1.3 juta simpatisan.
Separuh dari total provinsi di Thailand saat itu, telah dinyatakan sebagai daerah yang berhasil diinfiltrasi oleh gerakan komunis. Meskipun basis kekuatan gerilya tersebar di daerah Isaan, sepanjang perbukitan utara dan perbatasan dengan Malaysia di selatan. Di Bangkok, PKT tidak memiliki basis dukungan yang cukup signifikan. Itu sebabnya, PKT kemudian meluncurkan upaya membangun front demokratik yang terbuka luas sebagai upaya menjangkau publik luas. Front demokratik ini diharapkan mampu meningkatkan dukungan publik, terutama di daerah urban, terkait gerilya bersenjata di tiga front pertempuran.
Salah satu sukses dalam upaya ini adalah keberhasilan menggalang dukungan resmi dari PST untuk mendukung kampanye perang rakyat pada 7 Mei 1977. Dukungan itu berlanjut dengan kesepakatan untuk membentuk komite bersama dua partai sebagai front persatuan yang akan menjadi corong bagi kampanye bersenjata.
Komite bersama ini dinamakan Komite Koordinatif Kekuatan Patriotik dan Demokratik (KKKPD) yang diumumkan ke publik pada 2 Juli 1977. Di awal Oktober, KKKPD mengumumkan sembilan nama sebagai anggota komite koordinasi. Dipimpin oleh Udom Srisuwan dari PKT dan Boonyen Wothong dari PST sebagai wakil ketua. Thirayut Boomi, tokoh gerakan pelajar, ditunjuk sebagai sekretaris.
Di penghujung dekade 1970-an, ketergantungan perang rakyat PKT terhadap dukungan luar negeri berbalik menjadi petaka. Hal ini disebabkan oleh pergeseran dinamika politik internasional di kalangan komunis internasional, yang salah satu sebabnya dipicu oleh konflik antara Soviet dan Cina. Di Asia Tenggara, konflik ini bahkan berujung pada perang terbuka antara Vietnam dan Kamboja. Laos, salah satu negara pendukung utama PKT dan tuan rumah kamp-kamp pelatihan militer bagi TPRT memihak Vietnam dalam konflik ini. Sedangkan Kamboja didukung oleh Cina.
Awalnya, PKT memilih bersikap netral dan tidak ikut melibatkan diri ketika konflik Vietnam dan Kamboja mulai memanas. Namun, akibatnya adalah memburuknya hubungan PKT dengan Cina dan Vietnam karena dipandang sebagai sikap oportunis. Hal ini memaksa PKT untuk mengambil sikap yang termanifestasi saat pernyataan resmi partai di bulan Juni 1979 yang mengutuk invasi Vietnam ke Kamboja. Pernyataan tersebut dijawab Laos dengan mengusir PKT dan PPRT dari wilayah mereka. Sekaligus menutup dan membubarkan sekitar 20 kamp pelatihan. Sementara di internal PKT sendiri, terjadi perpecahan dalam memandang konflik Vietnam-Kamboja. Sebagian kecil elit partai yang memihak Vietnam kemudian memisahkan diri pada 22 Oktober 1979 dan mendirikan Partai Pembebasan Isaan yang berbasis di Vientiane, Laos.
Di dekade 1980-an, PKT semakin terpojok.
Salah satunya datang dari keputusan PST di bulan Maret 1981 untuk memutuskan hubungan organisasional dan front dengan PKT. PST menuduh PKT berada di bawah kendali asing. Hal ini memaksa PKT untuk mengusulkan negosiasi damai dengan pemerintah Thailand di bulan April. Proposal ini direspon dengan permintaan agar PKT dan PPRT melakukan melucuti diri sebelum pembicaraan dihelat. Di bulan Oktober tahun itu, Mayjen Chavalit Yongchaiyudh, Direktur Departemen Operasi Militer Thailand mengumumkan ke publik bahwa perang melawan PKT dan PPRT sedang menuju akhir. Pernyataan ini didukung oleh sukses tentara monarki menghancurkan basis-basis utama gerilya yang berada di wilayah utara dan Isaan.
Di tahun 1982, Perdana Menteri Prem Tinsulanonda mengumumkan pemberian amnesti kepada kader dan anggota PKT-PPRT yang menyerahkan diri. Amnesti ini dikenal dengan nama Perintah Eksekutif 66/2525. Janji amnesti ini adalah hantaman keras bagi PKT karena kehilangan kader dan anggota dalam jumlah yang signifikan. Mereka yang menerima amnesti terutama datang dari kalangan pelajar dan intelektual yang bergabung pasca-tragedi Pembantaian Thammasat.
Secara ideologi, mereka yang meninggalkan PKT juga tidak bersepakat dengan haluan Maoisme. Bagi kelompok ini, Thailand bukanlah negara semi-kolonial seperti tesis yang diajukan oleh PKT. Sebaliknya, Thailand adalah negara yang sedang tumbuh berkembang menuju negara industri yang membuat perang rakyat yang bertumpu di petani dan berbasis di pedesaan menjadi tidak lagi relevan.
Memasuki dekade 1990-an, PKT semakin mengecil dan secara perlahan menghilang dari peredaran. Eskalasi serangan PPRT juga menurun drastis hingga melenyap tanpa pengumuman resmi tentang berakhirnya perang rakyat di Thailand.
Itu mengapa setiap kali mengemil belalang di Isaan, saya selalu teringat dengan upaya menggulingkan monarki lewat perjuangan gerilya yang gagal. Mengenang bagaimana ideologi komunis pernah tumbuh subur dan mengakar serta mencapai puncaknya lewat gerakan bersenjata namun akhirnya tunduk oleh rayuan amnesti, perpecahan internal dan ketergantungan terhadap dukungan dana asing.
Juga bagaimana komentar Komandan Angkatan Udara Kerajaan Thailand, Dawee Chullasapya di tahun 1973. Prediksinya tepat terkait cara memadamkan pemberontakan para komunis yang merekah di daerah Isaan sebelum akhirnya menyebar ke wilayah utara dan selatan Thailand. Bahwa gajah tidak akan pernah menang jika bertempur hadap-hadapan dengan para belalang. Satu-satunya cara memenangi perang bagi Bangkok adalah membiarkan para belalang bertempur di antara mereka. Taktik adu domba yang utamanya ditandai melalui pemberian amnesti adalah titik balik gerilya bersenjata kombatan komunis yang sempat mengkhawatirkan monarki di dekade 1970-an.
Bahwa para belalang, tidak akan pernah bisa mengalahkan gajah meskipun unggul dari segi jumlah. Sebab belalang, pada akhirnya bukanlah kekuatan politik. Serangga pelompat ini hanya terasa lezat jika dijadikan cemilan semata.(*)
Editor: Gratia Karundeng