OPINI
Berselancar di Parlemen
Published
6 years agoon
By
philipsmarxOleh: Andre Barahamin
Antropolog, Penulis dan Jurnalis.
KEBIJAKAN pada dasarnya merupakan transaksi politik. Transaksi yang secara harafiah dapat diartikan sebagai bagian dari tawar menawar antar spektrum kekuasaan. Sebuah desain kebijakan hadir sebagai titik kompromi antara ragam kepentingan yang akan terkena dampak.
Namun kenyataannya, tidak semua kelompok memiliki representasi dalam penentuan sebuah kebijakan. Di Indonesia masyarakat adat, adalah satu dari sekian banyak kelompok yang selama bertahun-tahun diacuhkan suaranya dan tidak dilibatkan dalam pembuatan kebijakan.
Terutama menyangkut soal kebijakan pembangunan yang dalam banyak kasus dipandang oleh masyarakat adat sebagai bentuk agresi. Disinonimkan dengan perampasan tanah, ekstraksi sumber daya alam secara sepihak, pengingkaran hak-hak ulayat dan kriminalisasi.
Pembangunan dipandang sebagai penyebab kemiskinan dan awal dari diskriminasi ekonomi, sosial dan budaya.
Desain kebijakan yang timpang dan bersifat eksploitatif diakibatkan oleh absennya narasi pembelaan dan pengabdian pada kepentingan masyarakat adat. Parlemen di Indonesia masih didominasi oleh orang-orang yang memiliki kepentingan yang berseberangan. Mereka yang justru lebih condong pada esktraksi sumber daya alam dengan biaya minimal yang artinya adalah absennya penghormatan terhadap hak-hak masyarakat adat. Kelompok-kelompok masyarakat adat yang berada di lokasi kemudian dihadapkan pada kemungkinan buruk; hancurnya daya dukung ekologis dan ambruknya tatanan sosio-kultural.
Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) yang berdiri di tahun 1999, menyadari bahwa melakukan intervensi hingga ke level pembuat kebijakan adalah langkah yang harus diambil. Dalam Kongres Masyarakat Adat ke III (KMAN III) di tahun 2007 yang berlangsung di Pontianak, Kalimantan Barat, sikap itu kembali dipertegas.
AMAN memutuskan ikut terjun dalam arena politik namun tidak dalam pengertian membangun partai sebagai sayap perjuangan politik.
Keterlibatan justru dipahami sebagai cara mengkampanyekan aspirasi dan tuntutan-tuntutan akar rumput yang selama ini tidak mendapatkan ruang. Menjadikan parlemen sebagai ruang tanding dan ruang ujian untuk mendorong ke permukaan isu-isu mengenai tanah dan hak-hak masyarakat adat yang tidak diacuhkan selama ini.
Abdon Nababan, Sekretaris Jendral AMAN dua periode (2007-2012, 2012-2017), menyatakan bahwa AMAN secara sadar ingin mendorong, memfasilitasi dan memenangkan kader-kader mereka yang sebelumnya telah bersepakat dengan pokok-pokok perjuangan. Sekaligus upaya untuk memerangi politik uang dan berbagai model kecurangan lain.
Untuk mendukung hal tersebut, Pengurus Besar (PB) AMAN menstrukturkan sumber daya ke dalam Formasi 17.3.1999. Ini adalah kelompok yang akan menjadi tulang punggung sekaligus mesin politik yang bertugas memenangkan kader yang diusung. Angka 17 merujuk pada jumlah anggota sterring comittee. Sementara 3 mengacu pada pembagian gugus tugas: kampanye, mobilisasi dan pengorganisiran, dan logistik. 1999 sendiri diasosiasikan dengan jumlah relawan pendukung. Terutama, sejak pemilihan umum 2009.
AMAN mengupayakan ratusan kader perorangan yang mewakili komunitas-komunitas anggotanya untuk terlibat. Mereka didorong maju sebagai calon anggota legislatif di berbagai tingkatan saat Pemilu berlangsung.
Pada pemilu legislatif 2009, AMAN mendorong 67 orang kadernya untuk duduk di parlemen di berbagai tingkatan yang ada di Indonesia. Empat orang kader lain maju bertarung untuk menjadi anggota Dewan Perwakilan Daerah dan dua orang lain menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang nantinya akan berkantor di Senayan. Di tingkat provinsi, empat belas orang didorong untuk mampu memenangkan kursi. Sementara di level kabupaten, hampir lima puluh orang didorong maju sebagai anggota parlemen.
Upaya ini tak melaju mulus. Tidak ada satupun calon yang sukses. Tapi sebagai pengalaman politik, AMAN berhasil menerabas tabu dan membuka persepsi baru soal keterlibatan representasi masyarakat adat dalam politik formal.
Percobaan kembali dilakukan di tahun 2014. Kali ini, hampir dua ratus orang kader yang disiapkan untuk menjadi wakil dan corong masyarakat adat di parlemen. Hasilnya, grafik mencatat kenaikan penting dan bersejarah.
Pasca-rekapitulasi nasional yang dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada Mei 2014, 36 orang dipastikan memperoleh dukungan signifikan dan berhasil mendapatkan kursi di parlemen. AMAN berhasil mengintervensi politik formal di sebelas provinsi. Dua orang kader bahkan sukses dikirim ke Senayan melalui jalur DPD. Berbagai kemenangan ini jadi strategis karena ia adalah anak tangga baru dalam perjuangan AMAN dan komunitas-komunitas masyarakat adatnya.
URGENSI SAYAP POLITIK?
Namun sebagai upaya politik, ada 36 kursi di berbagai kamar parlemen pada pemilu 2014 belum cukup. Sukses 15% dari 191 kader yang bertarung di kontestasi parlemen, bukan angka yang memuaskan. Di bawah rezim yang mendasarkan diri pada kuantitas, AMAN masih menjadi pemain minor. Sebagai organisasi yang membawahi lebih dari 20 juta orang, dua orang wakil DPD tentu perbandingan yang terasa tidak adil.
Dua kali percobaan dengan menggunakan partai-partai lain sebagai kendaraan untuk menggaungkan tuntutan dan isu-isu mendasar mengenai hak-hak masyakat adat, terbukti tidak maksimal. Kini, di perhelatan pemilu 2019, AMAN kembali mencoba strategi serupa yang pernah dicoba pada lima tahun sebelumya. Di saat yang bersamaan, kondisi dunia kepartaian di Indonesia masih didominasi oleh watak konservatif dan kolegial yang nepotis. Itu artinya kembali menggunakan taktik yang sama di pemilu kali ini justru memiliki peluang untuk mengulang rute kegagalan yang sudah ditempuh di tahun 2014.
Amerika Latin sudah menjadi contoh. Termasuk yang paling kontemporer adalah pembentukan sayap politik oleh gerakan Zapatista di rimba Lancandon, Mexico.
Setelah Bolivia, para pengikut Zapata di Meksiko juga melakukan langkah serupa. Enggan direpresentasikan oleh kartel politik lama, Zapatista memilih mengusung calon presiden mereka sendiri dalam pemilu 2018. Mereka menyusuri jalan yang telah dirintis Bolivia ketika berhasil mengusung Evo Morales menjadi orang asli penghisap koka yang menjabat sebagai presiden. Membuktikan bahwa niat baik negara kepada masyarakat adat adalah ilusi. Perubahan hanya bisa dilakukan melalui program politik yang terstruktur, terukur dan terencana. Tidak bisa sporadis seperti mimpi di siang bolong para liberal urban.
Dan bagaimanapun, AMAN berada di gelombang ini. Satu gelombang yang mensyaratkan masyarakat adat harus cerdas berselancar, terutama di parlemen. Untuk itu, pilihan yang paling logis secara politik dan organisasional adalah partai politik.
AMAN mau tidak mau harus mendorong dirinya untuk menjadi lebih inklusif. Menjadi ruang terbuka yang secara politik dan organisasional menjadi kanal aspirasi mengenai marginalisasi dan pengingkaran hak-hak warga oleh aparatus negara. Rukka Sombolinggi yang kini dipercaya sebagai Sekretaris Jendral AMAN, sudah harus menjadikan pertimbangan sayap politik sebagai kebutuhan mendesak gerakan masyarakat adat di Indonesia di masa depan. Agar ketika pemilu dihelat, AMAN tidak sekedar menjadi sasaran rayu para kandidat lalu dikhianati seperti yang dilakukan Joko Widodo usai pilpres 2014.
AMAN dituntut oleh situasi hari ini untuk memiliki sayap politik yang menjadikan kontestasi elektoral sebagai bagian dari strategi panjang perjuangan masyarakat adat. Sebuah badan politik yang berdiri di atas prinsip-prinsip ideal yang melandasi AMAN secara organisasional dan etikal. Lengan politik dari gerakan masyarakat adat. Sebuah upaya melangkah maju dari gerakan sipil menjadi gerakan politik.
Konsekuensi lanjutnya, sebagai organisasi massa AMAN harus menganggarkan sumber daya manusia dan sumber daya finansial. Menjadi pelopor untuk menginisiasi penyatuan gerakan sosial di Indonesia yang tercerai berai dan antipati dengan gelanggang elektoral. Menyediakan waktu dan energi untuk mengolah potensi massa anggota di level akar rumput menjadi massa pemilih cerdas yang siap memenangkan keseluruhan iven politik dan tidak hanya berada di pinggiran sebagai pemain cadangan.(*)
You may like
-
Luka di Festival HAM, INFID dan Koalisi Masyarakat Sipil Protes
-
Mamasa Mamase: Terpaksa Mase-Mase dari Masa ke Masa
-
Tanjung Merah Jadi Saksi Papendangan Pinaesa’an Ne Kawasaran Tonsea
-
Membaca Bencana: Relasi Manusia, Sang Khalik dan Alam Semesta dalam Kosmologi Minahasa
-
Publish or Perish: Menyorot Lemahnya Pengembaraan Intelektual di Utara Selebes
-
Mencerahkan Isu Sepi Lingkar Tambang