Connect with us

KISAH

Bia’ Paku, Pertarungan di Lumpur Bakau dan Godaan Garo Sate

Published

on

12 Juli 2023


Tak berselang lama, daging-daging bia’ sudah melebur di wajan berukuran sedang. Dio yang lagi duduk di dapur, mulai merasakan aroma khas masakan yang ku olah. Ia mengaku tak dapat menahannya. Aroma itu memaksanya untuk mengintip penggoda di balik penutup wajan.


Penulis: Matt Rey Kartorejo


“Hai, mari jo! Mo pigi, ka yanda?”

Suara kencangkan Djumadi Bawenti, mengejutkan teman-teman pewarta yang sedang duduk di dapur rumahku.

“Mari jo,” jawab Rinto Lakoro.

Mendengar ajakan itu, Dio yang lagi duduk di kursi plastik warna merah, langsung menyela.

“Sadiki ley,” kata Dio yang terlihat sedang menyelesaikan tugasnya menulis berita.

Usai Dio merangkai kata untuk dijadikan berita, sekira pukul 16.30 Wita, kami akhirnya pergi ke desa Kotabunan Selatan. Tujuannya mencari “bia’ paku”. Jenis moluska yang hidup di daerah bakau.

Di daerah kami, Bolaang Mongondow Timur, semua jenis kerang disebut bia’. Nama spesifiknya sering disesuaikan dengan benda tertentu. Seperti bia’ paku. Telescopium yang merupakan jenis moluska gastropoda ini diberi nama itu karena bentuknya tajam seperti paku.

Kali ini, kami menyasar wilayah yang berbatasan dengan desa Paret. Kawasan bakau yang menjadi sarang bia’ paku.

Lima menit memacu kendaraan, ujung desa Kotabunan Selatan telah dicapai. Tiga sepeda motor yang kami tumpangi, diparkir di sebelah kiri, bekas bangunan tempat percetakan batu-bata (batako). Hanya kurang lebih sepuluh meter jarak dari tempat parkir, untuk sampai di tempat kerumunan bia’.

“Di sana kua, bukang di sini,” seru Rinto sembari mengarahkan jari telunjuknya.

Perlahan kami langkahkan kaki. Bekas-bekas serpihan cangkang bia’ yang ditumbuk mulai terlihat. Sejenak menghilangkan penat, kemudian Djumadi, Abdi dan Rinto, masuk ke lokasi berlumpur untuk mengambil bia’ paku.

“Mari tu karong, kita mo ba isi akang supaya capat. Napa ta sua pa depe sarang,” tutur Djumadi.

Kulemparkan satu karung plastik ke arah Djumadi. Ia kemudian mengambil dan mengisi bia’ yang terlihat banyak di tempat ia berdiri.

Meski lokasinya sedikit ekstrim, Djumadi tak menghiraukannya. Ia terlihat begitu gembira melihat bia’ paku yang tumpa rua. Dengan senyum ia mengambil satu demi satu hewan yang hidup di lumpur itu.

Sandal Jepit Jadi Kendala 

Mencari bia’ paku tidak gampang seperti yang dibayangkan. Terkadang hal-hal kecil jadi kendala dalam proses mencari makhluk hidup yang terdapat di tempat berbecek ini.

Abdiyanto Mokodongan yang berada di tengah-tengah antara Djumadi dan Rinto, sedikit kesulitan. Ia masuk ke dalam lokasi berbecek dengan memakai sandal jepit. Maklum, dia baru kali ini berburu bia’ paku.

Tak lama, suara lantang terdengar dari Abdi.

“Sana banya e… Mar tunggu mo buka dulu ini slop. Stengah mati kita,” kata Abdi.

Sandal jepitnya dibuka dan dilemparkan ke tempat yang tidak berbecek. Kemudian ia mengambil ember hitam ukuran sedang dan mulai mengisinya dengan bia’ paku.

Meski sedikit kesulitan, namun dia sangat menikmatinya. Ia begitu senang.

Hanya beberapa menit, ember hitam sudah terisi penuh. Abdi kemudian mengantar ember itu ke tempatku dan Dio. Djumadi menyusulnya dengan membawa satu karung penuh.


Kecepatan dan Teriakan
 

Bagi yang belum pernah berburu bia’ paku, pengalaman pertama akan terasa barat. Sebab medan yang akan dilewati sangat ekstrem. Pekerjaan ini harus benar-benar dilakukan oleh mereka yang sudah terbiasa melakoninya.

Seperti Djumadi Bawenti. Pria berdarah Sangihe ini adalah pewarta, namun dia punya keahlian soal mencari bia’ paku. Kecepatannya tidak bisa diragukan lagi.

Pukul 17.30 Wita, lokasi tempat berburu bia’ paku mulai sepi. Aku dan Dio masih asyik menumbuk untuk mengeluarkan isi kerang. Satu karung yang dibawa Djumadi, belum tersentuh. Kami baru menumbuk bia’ yang diantar Abdi.

Ember hitam yang penuh dengan bia’, baru setengah yang berkurang. Tiba-tiba, Djumadi datang dengan satu karung penuh berisi bia’.

Aku yang menatapnya, geleng-geleng kepala sambil berucap, “Pe laju skali ngana ba cari e.”

Mendengar ucapanku, Djumadi hanya tersenyum.

Melihat tumpukan bia’ paku, aku dan Dio mulai merasa lelah. Maklum, sudah banyak yang kami tumbuk. Aku pun berteriak, sebagai isyarat perburuan harus dihentikan sebab hari mulai gelap.

“Woi, mari jo. So boleh, somo malang ini.”

Kami berkemas dan membawa hasil buruan di bak air. Usai membersihkan sisa-sisa lumpur yang menempel di karung, Dio kemudian menaruh satu karung bia’ di sepeda motor milik Abdi. Satu karung lagi aku letakkan di motorku. Kami kemudian kembali ke rumahku di Desa Bulawan.


Proses Tak Mudah

Berburu bia’ paku bukan perkara mudah. Meski hasil sudah sesuai harapan, namun harus melewati beberapa proses yang sangat melelahkan. Mengeluarkan isi bia’ paku, itu yang sangat sulit bagi yang belum terbiasa.

Pukul 18.00 Wita, kami melanjutkan aktivitas mengeluarkan isi kerang. Empat karung berwarna putih jadi alas. Batu dan palu adalah alat yang kami pakai. Aku, Juma, Rinto dan Dio mengambil bagian masing-masing.

Akhirnya sekitar pukul 19.00 Wita, pekerjaan selesai. Kami rehat sejenak.

Juma, “man of the match” dalam pertandingan kali ini, izin pamit sebentar. Ia hendak balik ke rumah untuk mandi. Begitu juga Rinto.

“Mo pulang dulu ne. Nanti bale lagi,” kata Rinto.

Aku kemudian membersihkan daging bia’, dan merebusnya. Dio membantu menyiapkan bumbu masakan.

Usai direbus, bia’ kembali dicuci dengan jeruk nipis agar bau amisnya hilang.

Tak berselang lama, daging-daging bia’ sudah melebur di wajan berukuran sedang. Dio yang lagi duduk di dapur, mulai merasakan aroma khas masakan yang ku olah.

Dio mengaku tak dapat menahannya. Aroma itu memaksanya untuk melihat masakan yang ku buat.

“Ada bekeng masakan apa ini?”

Spontan ku jawab, “Ini tu dong bilang garo sate.”

Sambil tersenyum, pria yang akrab disapa Young ini mengambil sepiring nasi dan beberapa sendok bia’ paku. (*)

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *