FEATURE
Black Mamba: Perempuan Memburu Para Pemburu
Published
5 years agoon
By
philipsmarx22 Maret 2019
Oleh: Andre Barahamin
Perempuan Afrika Selatan mengambil inisiatif melindungi badak-badak di Taman Nasional Kruger dari ancaman para pemburu cula.
Apa hubungan antara Albert Günther dan Mamba Hitam (Black Mamba)?
Günther lahir di Esslingen di Swabia (Württemberg). Ia awalnya bersekolah di Gimnasium Stuttgart. Karena keluarganya ingin Günther menjadi pelayan Gereja Lutheran, maka ia dipindahkan ke Universitas Tübingen. Harapan orang tuanya kandas setelah Günther beralih dari teologi ke kedokteran, dan ia juga beralih ke sains dan kedokteran di Tübingen pada tahun 1852. Karya pertamanya adalah Ueber den Puppenzustand eines Distoma.
Dia lulus dalam bidang kedokteran dari Tübingen pada tahun 1858.
Di tahun yang sama Günther menerbitkan buku pedoman zoologi untuk mahasiswa kedokteran. Di tahun 1855, Günther pergi ke Inggris untuk mengunjungi ibunya yang sudah menetap di sana. Hal tersebut membuka jalan pertemuan Günther dengan John Edward Gray dan Profesor Richard Owen di British Museum. Pertemuan tersebut adalah awal dari tawaran bagi Günther untuk bekerja di British Museum pada tahun 1857, di mana tugas pertamanya adalah mengklasifikasikan 2.000 spesimen ular.
Di masa bekerja di British Museum inilah, Günther secara resmi mengklasifikasikan Mamba Hitam pada tahun 1864. Namun Günther harus berterima kasih kepada John Kirk yang menyediakan spesimen tersebut. Kirk adalah seorang naturalis yang menemani David Livingstone pada Ekspedisi Kedua Zambezi. Ekspedisi yang berlangsung pada 1858–1864 dilakukan di sepanjang sunga Zambezi, sungai terempat terpanjang di Afrika yang melewati Zambia, Angola, Namibia, Botswana, Zimbabwe dan Mozambik.
Mamba Hitam adalah pesies ular yang sangat berbisa. Ular ini merupakan bagian dari Family Elapidae dan berasal dari bagian Sub-Sahara Afrika. Ia merupakan ular berbisa terpanjang kedua setelah Raja Kobra (King Cobra). Jika dewasa, Mamba Hitam dapat mencapai ukuran dua hingga tiga meter. Warna kulitnya bervariasi dari abu-abu hingga coklat tua. Mamba Hitam remaja cenderung lebih pucat daripada yang dewasa. Tingkat kedewasaan Mamba Hitam biasanya diukur dari kadar gelap di kulitnya yang bertambah seiring usia.
Spesies ini adalah terestrial (hidup di darat) dan arboreal (hidup di pohon). Mamba Hitam mendiami sabana, hutan, lereng berbatu dan di beberapa daerah hutan lebat. Ular ini merupakan hewan diurnal (beraktivitas di siang hari) dan memangsa burung dan mamalia kecil untuk bertahan hidup. Mamba Hitam dapat bergerak dengan kecepatan hingga 16 km/jam untuk jarak pendek.
Mamba Hitam mampu menyerang pada jarak yang cukup jauh dan dapat menghasilkan serangkaian gigitan secara berurutan. Racunnya terutama terdiri dari neurotoksin yang gejala induksinya akan segera tampak dalam sepuluh menit, dan sering berakibat fatal kecuali diberikan antivenom. Meskipun reputasinya sebagai spesies yang tangguh dan sangat agresif, Mamba Hitam hanya menyerang manusia jika terancam atau terpojok.
Inilah inspirasi yang menjadi awal penamaan Unit Anti Perburuan (Anti-Poaching Unit) bernama Black Mamba. Mereka adalah sebuah kelompok yang berdiri pada tahun 2013 dengan dukungan dari Transfrontier Africa NPC, untuk mencegah ancaman perburuan cula badak yang merupakan problem serius di Afrika Selatan.
Memburu Cula Badak
Perburuan badak masih merupakan masalah serius di Afrika Selatan. Di tahun 2017, menurut pemerintah Afrika Selatan terdapat 1.028 badak yang dibunuh secara ilegal. Angka ini tidak berbeda jauh -meski sedikit lebih baik- dari tahun 2016 di mana terdapat 1.022 badak yang menjadi korban perburuan badak dan penyelundupan cula badak.
“Di atas kertas, mungkin hal tersebut tampak seperti ada kemajuan. Tapi kami masih terus dihantui dengan bayangan bahwa populasi badak di Afrika masih dalam bahaya yang serius,” kata Jimmiel Mandima kepada National Geographic. Mandima adalah salah satu anggota African Wildlife Foundation yang berbasis di Nairobi. “Penurunan kecil dalam statistik perburuan tahunan tidak memberi petunjuk apapun terhadap ancaman kepunahan yang akan segera terjadi,” kata Mandima
Afrika Selatan adalah rumah bagi sekitar 80 persen dari total sekitar 29.000 badak yang tersisa di dunia. Tahun 2017 adalah tahun ketiga berturut-turut, jumlah badak yang diburu di Afrika Selatan telah mengalami penurunan setelah mencatat angka yang fantastis hingga 1.215 ekor badak pada tahun 2014. Namun para pemerhati lingkungan masih menilai bahwa rerata badak yang dibunuh yang mencapai lebih dari seribu ekor masih mengancam keberlangsungan populasi hewan ini di Afrika.
Organisasi pemantau perdagangan satwa liar, TRAFFIC, mengatakan bahwa cula badak banyak diminati di Asia, terutama di Vietnam. Penyebabnya adalah kepercayaan sesat bahwa cula badak memiliki kandungan obat yang mampu menyembuhkan berbagai jenis penyakit seperti kanker hingga bekerja sebagai afrodisiak (pembangkit gairah seksual). Cula badak juga digunakan sebagai jenis obat bius, dengan dicampur dengan air atau alkohol.
Pada kenyataannya, cula badak terbuat dari keratin yang merupakan bagian dari protein skleroprotein. Keratin merupakan materi dasar penyusun lapisan kulit manusia dan juga merupakan materi dasar penyusun rambut dan kuku. Berbagai penelitian medis telah menunjukkan bahwa tidak ada bukti kuat bahwa cula badak memiliki kandungan medis atau dapat menyembuhkan penyakit.
Selain itu, cula badak juga diincar sebagai bahan ukiran karya seni.
“Krisis perburuan badak di Afrika Selatan diperparah oleh korupsi dan kurangnya koordinasi di antara kelompok-kelompok penegak hukum,” kata Richard Thomas, juru bicara TRAFFIC. Dalam sebuah siaran pers di awal tahun 2018, Menteri Lingkungan Hidup Afrika Selatan, Edna Molewa, mengatakan bahwa mereka telah menangkap 21 pejabat pemerintah karena kejahatan terkait perburuan liar pada tahun 2017.
“Sangat jelas bahwa para pemburu akan mengejar para badak rentan yang tidak terlindungi, sebab itu adalah target termudah. Jika lembaga-lembaga penanggulangan kejahatan di Afrika Selatan gagal mengkoordinasikan upaya mereka untuk mencegah perburuan liar secara efektif, maka badak-badak di Afrika Selatan pasti akan menjadi sasaran,” kata Thomas.
Perdagangan cula badak antar negara di Afrika sebenarnya telah dilarang sejak tahun 2009. Terutama di Afrika Selatan. Tetapi setelah terbitnya putusan pengadilan pada April 2017 terkait gugatan yang diajukan oleh John Hume, peternak badak yang memiliki sekitar 1.500 badak, moratorium domestik tersebut dicabut.
Pada bulan Juli 2017, Hume mengumumkan kepada publik tentang rencananya untuk mengadakan lelang cula badak miliknya. Lelang ini mendapatkan protes luas dari banyak organisasi pemantau dan perlindungan hewan. Hume bersikeras bahwa cula badak yang dikumpulkannya diperoleh dengan cara memotong cula dengan gergaji mesin, tidak menimbulkan rasa sakit jika dilakukan dengan benar.
Hume dan para pendukung pelegalan perdagangan cula badak di Afrika Selatan berpendapat bahwa cara memerangi perburuan liar dengan memberi insentif perlindungan dan pengembangbiakan lebih banyak badak. Tetapi karena perdagangan internasional dilarang, dan permintaan terbesar untuk cula badak datang dari luar negeri, para kritikus mengatakan bahwa perdagangan legal di Afrika Selatan tidak akan terhindar dari potensi bocornya cula-cula badak tersebut ke pasar gelap internasional dan semakin mendorong naiknya permintaan pasar yang akan memicu perburuan cula badak secara ilegal.
Melawan Perburuan Cula Badak
Salah satu perubahan penting adalah di tahun 2018 adalah menurunnya jumlah badak yang diburu di Taman Nasional Kruger, yang sebelumnya merupakan tempat primadona perburuan liar. Dalam laporan yang dirilis akhir tahun lalu, tercatat bahwa regres perburuan menyentuh angka 24 persen di seluruh Afrika Selatan.
Di tahun 2017, Afrika Selatan berhasil menangkap 502 orang pemburu badak dan 16 orang pedagang dan cukong.
Prestasi ini salah satunya merupakan dampak dari strategi anti-perburuan liar yang diterapkan dalam beberapa tahun terakhir. Mereka menggabungkan pelatihan khusus untuk para petugas di taman nasional, peningkatan dan pembaruan peralatan komunikasi radio, penggunaan anjing terlatih untuk melacak tersangka pemburu liar dari jarak jauh, serta melakukan koordinasi yang lebih baik dengan penegak hukum di perbatasan Mozambik.
Black Mamba adalah bagian dari kesuksesan ini.
“Saya ingin melindungi alam dan memastikan bahwa anak-anak saya dan generasi masa depan dapat melihat badak dan semua satwa liar lainnya [dalam kehidupan nyata], bukan hanya [seperti] gambar dalam buku,” kata Collet Ngobeni, 33 tahun, anggota Black Mamba, seperti dilansir dari Conde Nast Traveler.
Unit Anti-Perburuan Black Mamba jauh lebih dari sekedar unit anti-perburuan gelap. Tujuan utama mereka adalah mengamankan cagar dan memberikan perlindungan terhadap satwa liar. Black Mamba juga berusaha untuk menciptakan ikatan yang kuat dengan cara mendidik masyarakat yang hidup di perbatasan Balule dan Taman Nasional Kruger menjadi peduli dengan keragaman biodiversitas dan lingkungan.
Dari 33 anggotanya, hanya satu orang laki-laki.
Tidak seperti unit anti-perburuan liar pada umumnya, unit ini hampir seluruhnya terdiri dari perempuan. Pembeda utama yang lain dari Black Mamba adalah anggota-anggotanya tidak menggunakan senjata. Hal ini mungkin terdengar gila.
Dalam pemahaman umum, unit anti-perburuan biasanya terdiri dari orang-orang militer atau sipil yang dipersenjatai lengkap untuk memburu para pemburu. Tapi Black Mamba percaya bahwa sebuah pertempuran tidak harus dimenangkan dengan peluru. Anggota-anggota Black Mamba memandang diri mereka sebagai mata dan telinga di garis depan konservasi. Tujuan mereka bukan untuk membunuh para pemburu gelap, tapi untuk menyelamatkan badak.
Black Mamba menghabiskan sebagian besar hari mereka dengan berjalan kaki di wilayah seluas 52.000 hektar di Hutan Lindung Balule yang merupakan bagian dari Taman Nasional Kruger. Mereka mencari pemburu dengan melakukan patroli pemantauan harian, mengumpulkan intel, merusak jerat yang ditujukan untuk menjebak binatang liar, dan menjelajahi semak-semak hingga memasuki kamp pemburu. Jika mereka bertemu dengan seorang pemburu, anggota Black Mamba dipersenjatai dengan walkie talkie untuk meminta bantuan. Perempuan-perempuan hebat ini menyeberangi dataran dataran terjal selama delapan jam sehari dalam cuaca panas yang bisa mencapai 38 derajat celcius, bukanlah tugas yang mudah.
Ancaman yang dihadapi para perempuan Black Mamba juga bukan hanya para pemburu liar. Tapi juga gajah, kerbau atau bahkan singa yang sewaktu-waktu dapat ditemui saat melakukan patroli.
“Tantangan terbesar adalah pelatihan dan bekerja di semak-semak dengan hewan-hewan berbahaya. Tetapi apa yang paling saya sukai dari pekerjaan saya adalah berada di alam dan melihat hewan-hewan,” ,” kata Ngobeni. Ia berharap hewan-hewan yang ia temui selama patroli masih akan tetap ada hingga generasi yang akan datang.
Black Mambas adalah panutan bagi generasi muda di komunitas-komunitas warga yang tinggal di sekitar Hutang Lindung Balule. Hal itu tidak lepas dari program mereka yang bertajuk “Black Mambas Bush Babies”.
Program ini adalah inisiatif yang dikembangkan oleh Black Mamba yang menyasar anak-anak antara usia 12 dan 15 tahun. Program pendidikan ini mengajarkan anak-anak tentang berbagai perilaku satwa liar, cara melindungi mereka, dan pengetahuan mendalam tentang ekologi dan konservasi. Tenaga pengajarnya adalah para anggota Black Mamba itu sendiri.
Selama liburan sekolah, anak-anak dibawa ke beberapa lokasi untuk melihat binatang yang telah mereka pelajari. Menyaksikan gajah berdesir melewati semak-semak atau kuda nil yang berkubang di genangan air. Program seperti ini diharapkan mampu memberikan anak-anak pemahaman yang lebih mendalam dan membuat mereka terhubung dengan hewan-hewan liar yang ada di sekitar mereka. Harapannya, anak-anak ini akan memiliki koneksi yang lebih mendalam dengan alam dan hewan, sehingga dapat melanjutkan konservasi di masa depan.
Program ini dianggap cukup sukses sejak dirintis pada tahun 2015 dan telah diperkenalkan di sepuluh sekolah yang berada di sekitar Taman Nasional Greater Kruger.
Sebagian besar dari anggota Black Mamba juga adalah ibu dan tulang punggung utama pencari nafkah dalam keluarga. Beban domestik dan peran mereka dalam konservansi telah membuat Black Mamba menjadi figur panutan dan pahlawan dalam komunitas mereka. Dalam sebuah dunia yang didominasi oleh laki-laki, di mana perempuan diharapkan untuk lebih sering tinggal di rumah, anggota-anggota Black Mamba membuktikan bahwa hal tersebut tidak mesti menjadi halangan.
“Menjadi seorang perempuan dalam perjuangan konservasi hutan, ibarat menjadi ratu hutan,” kata Leithah Mkhabela. “Peran Black Mamba tidak hanya melindungi satwa liar, tapi juga untuk mendidik masyarakat tentang arti penting dari konservasi,” jelas perempuan berumur 25 tahun ini.
Dalam pandangan Mkhabela, Black Mamba adalah model lain dari pemberdayaan perempuan. Baginya, Black Mamba telah berhasil meningkatkan kepercayaan diri para anggota perempuannya melalui kerja keras dan pencapaian-pencapaian mereka yang akhirnya membuka mata banyak orang, termasuk dunia.
Saat inisiatif ini dimulai, Black Mamba dianggap sebagai lelucon oleh kebanyakan laki-laki di komunitas-komunitas warga yang tinggal di Taman Nasional Kruger. Tapi sukses para perempuan ini menekan angka perburuan satwa liar hingga 70% sejak 2013, membuat semua sinisme tersebut berbalik arah menjadi dukungan.
“Saya ingin melihat Black Mamba tumbuh lebih besar sehingga akan ada lebih banyak perempuan yang bergabung. Tidak hanya di sini (Afrika Selatan, red) tapi di seluruh Afrika dan bahkan dunia,” kata Ngobeni.(*)
Editor: Daniel Kaligis
Komitmen dan misi kami adalah menghadirkan media dengan mutu jurnalisme yang baik. Menurut pendapat kami, salah satu syarat penting untuk mencapai hal itu adalah indepedensi.
Sejak awal, kami telah menetapkan bahwa KELUNG adalah media independen. Sebagai media independen, KELUNG hadir untuk melayani pembaca dengan laporan, artikel atau tulisan yang disajikan secara naratif, mendalam, lengkap dengan konteks. Kami mengajak anda untuk memasuki setiap gejala dan isu untuk menemukan informasi, inspirasi, makna dan pengetahuan.
KELUNG independen oleh karena kami sendiri yang menentukan tema atau isu untuk disajikan. KELUNG bebas dari intervensi penguasa atau pemilik modal. KELUNG independen dari intervensi ideologi agama atau ideologi apapun.
KELUNG independen, karena bebas berpihak kepada kelompok minoritas, kelompok marginal dan lemah secara akses suara ke publik. KELUNG juga akan terus berupaya mengembangkan diri, meningkatkan mutu isi dan penyajian.
Pembaca adalah kunci dari harapan kami ini. Dukungan pembaca berupa donasi, sangat berarti bagi kami dalam upaya pengembangan dan peningkatan mutu jurnalisme yang independen. Kami mengundang pembaca untuk bersama-sama mencapai komitmen dan misi kami ini.
Mari bantu KELUNG dengan cara berdonasi…. selengkapnya
You may like
-
Kopi dan Dongeng Ular
-
Revolusi Putih adalah Revolusi Perempuan
-
Jacinda Ardern: Agnostik Progresif, Idola Baru Warga Indonesia
-
Temu Nasional WALHI: Perempuan untuk Penyelamatan Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam
-
Perempuan: Pasar Tradisional vs Pasar Modern
-
Angola Hapuskan Hukum Diskriminatif Terhadap Homoseksual