BERITA
BPAN Sulut Kritisi Pembangunan yang Abai Warisan Budaya dan Ekologi
Published
6 years agoon
By
philipsmarx6 Januari 2019
Oleh: Febriani Sumual
kelung.com – Pengurus Wilayah (PW) Sulawesi Utara (Sulut) Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN) mengkritisi pembangunan ruas jalan tol Manado-Bitung yang abai dengan warisan budaya dan ekologi. Sorotan itu terutama menyangkut terancamnya mata air Aer Ujang yang berlokasi di hutan adat Danowudu, Bitung. Menurut Ketua PW BPAN Sulut, Allan Sumeleh, jenis pembangunan seperti itu adalah model investasi yang buruk untuk masa depan komunitas dan alam secara keseluruhan. Apalagi, mata air Aer Ujang merupakan sumber utama untuk memenuhi kebutuhan air bersih masyarakat di Girian, Bitung.
“Aer Ujang bukan sekedar situs budaya yang menjadi penanda dan penghubung kita dengan sejarah nenek moyang. Tapi juga relevansinya sebagai sumber air bersih bagi masyarakat Girian dan sekitarnya. Menghancurkan Aer Ujang, berarti ancaman serius terhadap keberlangsungan hidup masyarakat,” kata Sumeleh.
Sumeleh juga mempertanyakan kajian Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) proyek jalan tol Manado-Bitung. Menurut tou Tondano ini, jika AMDAL proyek dikerjakan dengan serius dan melewati kajian ekologi dan kultural, maka situs budaya dan ekologi Aer Ujang harusnya dilindungi keberadaannya karena memiliki nilai strategis bagi masyarakat.
“Kami mempertanyakan kajian AMDAL proyek jalan tol Manado-Bitung ini. Apalagi Aer Ujang memiliki posisi penting secara ekologis, ekonomis dan budaya bagi masyarakat. Jadi bagaimana mungkin, situs sepenting Aer Ujang luput dari pengamatan dan kajian mereka?” tanya Sumeleh.
Lebih lanjut, Sumeleh juga mempertanyakan mengapa pihak penanggungjawab proyek terkesan menutup-nutupi dokumen AMDAL dari publik. Padahal menurut Sumeleh, publik seharusnya wajib mendapatkan informasi utuh mengenai rangkai pembangunan jalan tol Manado-Bitung. Ia juga meminta agar dokumen AMDAL dapat dikaji secara terbuka dengan melibatkan berbagai unsur, termasuk masyarakat Girian yang akan terkena dampak dari proyek infrastruktur tersebut.
Infrastruktur dan Hak Atas Air
Dalam dokumen berjudul List of Medium-Term Planned External Loans, 2015-2019, yang dirilis oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) disebutkan bahwa perencanaan pembangunan ruas jalan tol Manado-Bitung adalah satu dari lima ruas jalan tol yang diagendakan untuk mendapatkan suntikan pendanaan melalui skema hutang. Di dalam dokumen tersebut, ruas jalan tol Manado-Bitung disebutkan akan menyedot anggaran sebesar 88 juta dolar Amerika (atau sekitar 1,2 trilyun rupiah).
Dari total pendanaan tersebut, pemerintah pusat akan mengucurkan dana sebesar 8 juta dolar, sementara 80 juta dolar sisanya akan diperoleh melalui skema pinjaman atau hutang negara. Jalan tol Manado-Bitung direncanakan akan membentang sejauh 7,3 kilometer, dan akan dikerjakan selama 36 bulan masa proyek. Penanggungjawab dari proyek ini adalah Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR).
Pembangunan jalan tol terkait erat dengan prioritas Presiden Jokowi mengenai pembangunan infrastruktur yang dijadikan sebagai salah satu agenda penting pembangunan. Terbitnya Peraturan Presiden Nomor 3, Tahun 2016 (Perpres No.3/2016) soal Proyek Strategis Nasional, mencantumkan daftar megaproyek yang ditargetkan pemerintah. Di dalam Perpres tersebut terdapat sedikitnya 225 proyek skala besar macam bandara, jalan tol, pembangkit listrik dan waduk. Pembangunan infrastruktur skala raksasa macam inilah yang paling rentan karena memiliki kecenderungan untuk mengabaikan aspek ekologi dan aspek kultural dalam prosesnya.
Mengacu data dari Kementerian Keuangan (Kemenkeu), dalam tiga tahun (sejak 2015-2017), pemerintah telah mengalokasikan dana infrastruktur sebesar Rp 913,5 triliun. Angka ini jauh lebih besar dibandingkan anggaran infrastruktur selama lima tahun di era pemerintahan sebelumnya. Pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2018, dana infrastruktur kembali dinaikkan menjadi Rp 410,7 triliun.
Namun pembangunan infrastruktur juga melahirkan pertanyaan baru mengenai hak dan akses publik atas air. Termasuk rencana pembangunan jalan tol Manado-Bitung yang akan menyasar sumber mata air Aer Ujang.
Mohamad Mova Al’Afghani, akademisi yang disertasinya meneliti layanan air di Indonesia dan pendiri Center for Water Governance (CWG), mengatakan bahwa pembangunan infrastruktur yang tidak mempertimbangkan aspek-aspek ekologi seperti hak atas air bertendensi sebagai ketidakadilan spasial. Yaitu ketika layanan air dan sanitasi dijadikan bisnis dan pelayanannya diswastanisasi berdasarkan logika full cost recovery (seluruh biaya ditanggung konsumen). Hal ini misalnya menurut Al’Afghani terjadi di Jakarta.
Di berbagai kota di Indonesia, daerah-daerah yang memiliki saluran air dan sanitasi yang baik umumnya berada di sekitar daerah elite. Cirinya memiliki banyak taman hijau resapan, gorong-gorong, dan saluran air. Adapun di daerah menengah ke bawah, kondisi air dan sanitasinya relatif jeblok. Sarana publiknya kumuh dengan got dan kali yang kotor. Kondisi itu bukan kebetulan belaka. Sebab, urusan air dan sanitasi di Indonesia sangat bias kelas sosial.
Buruknya sanitasi berbanding lurus dengan tingginya beban negara untuk kesehatan warga. Badan Kesehatan Dunia mencatat diare sebagai penyakit terbesar kedua di dunia. Indonesia berada dalam situasi gamang antara ingin memperbaiki daya saing sumber daya manusia dengan menjaga kesehatan, di saat yang sama tak serius membangun infrastruktur air dan sanitasi.
Menengok Indonesia keseluruhan, porsi rumah tangga yang memiliki akses terhadap sumber air minum perpipaan yang disediakan pemerintah maksimal hanya 60 persen. Sedangkan ketersediaan air bersih di Indonesia, menurut WHO, baru 50-an persen. Dari cakupan itu, tak semua air mampu mengucur 24 jam. Parahnya sebagian besar air perpipaan tak layak minum. Artinya, 40-an persen warga sebagian terpaksa mengalami krisis air minum sehari-hari dan tak tertolong, kecuali dengan cara primitif: membeli.
Banyak orang Indonesia akhirnya berinisiatif mengandalkan air sumur pompa. Kalangan berpunya membuat sumur tanah dalam dengan kedalaman lebih dari 40 meter. Sementara yang umum terjadi 40-an persen warga Indonesia membuat sumur dangkal yang berisiko tercemar bakteri E.coli. Apalagi ditunjang kondisi sanitasi yang buruk di sekujur tanah Indonesia.
Bias kelas terjadi karena infrastruktur air dan sanitasi di Indonesia tak pernah dibangun negara lewat pembiayaan publik yang serius. Negara yang semestinya menjamin ketersediaan layanan air dan sanitasi yang terjangkau warga sudah lama terlelap abai. Sebaliknya, negara berusaha mengeluarkan anggaran sekecil mungkin dengan cara melibatkan partisipasi modal swasta. Akibatnya, infrastruktur air dan sanitasi makin menonjol sebagai logika bisnis belaka.
Pembangunan ruas jalan tol Manado-Bitung yang akan menghancurkan sumber mata air Aer Ujang, akan berpeluang mengulangi kesalahan yang sama. Yaitu mendahulukan beton dan mengabaikan hak masyarakat atas air.(*)
Editor: Andre Barahamin
You may like
-
Film Mariara: Pertarungan Interpretasi Iman dan Ancaman Penghayat Kepercayaan
-
Menjadi Penjaga Tradisi di Era Disrupsi, Refleksi Syukur Pinaesaan ne Kawasaran
-
Rezim Jokowi Berakhir, Masyarakat Adat Kembali Nyatakan Sikap
-
Melahirkan Kader Marhaenis di Wale Mapantik
-
Mahzani, Bahasa Tombulu dan Festival Wanua Woloan
-
Manuk A’pak: Menyegarkan Kebaikan Alam untuk Manusia di Mamasa