Published
1 year agoon
26 September 2023
Kawasan Danau Luak hingga Kelapa Dua memang salah satu titik terbaik untuk menikmati keindahan pesisir pantai kecamatan Kotabunan, sambil mengawasi Pulau Kumeke dan Pulau Bombuyanoi yang mengagumkan. Salah satu tempat terbaik untuk menikmati karya Sang Khalik di tanah Bolaang Mongondow Timur, sembari berefleksi betapa pentingnya memelihara hubungan harmonis dengan alam dan makhluk hidup yang ada di sekitar kita.
Penulis: Matt Rey Kartorejo
BUAYA Dondang, reptil bertubuh kecil yang hidup di perairan Luak. Banyak cerita masyarakat tentang hewan ini. Kisah-kisah mistis ikut membalut. Habitatnya di sekitar Kelapa Dua, salah satu titik terbaik untuk menikmati keindahan pantai Kotabunan.
Desa Kotabunan Selatan (Kotsel), Kecamatan Kotabunan, punya Danau Luak. Di situ ada pulau kecil berbatu. Masyarakat menyebutnya Pulau Dondang.
Di sekeliling Pulau Dondang, terdapat pohon bakau. Ada juga rumput-rumput liar yang menghiasinya. Jika air surut, pulau ini bisa ditempuh dengan berjalan kaki. Namun apabila air laut pasang, bagi yang ingin melihat dari dekat Pulau Dondang, harus menggunakan perahu.
Menurut penuturan tokoh masyarakat setempat, Sutumo Tooy (61), pulau kecil itu dinamakan Pulau Dondang, lantaran ada buaya penunggu yang namanya Dondang. Buaya itu memakai salendang merah dan berukuran pendek serta tidak memiliki buntut (pokol).
Hewan reptil yang hidup di Danau Luak, Provinsi Sulawesi Utara (Sulut) ini, tidak agresif seperti buaya pada umumnya. Kalau tidak diusik, ia tidak mengganggu nelayan yang mencari ikan di Danau Luak.
“Asalkan dia tidak diganggu, buaya Dondang tidak mengganggu orang. Yang penting bicara-bicara akang pa dia, dia nda mo ba nakal,” kata Sutomo Tooy dengan logat kental Manado, saat berbincang-bincang di Kantor Desa Kotsel, belum lama ini.
Konon, di Lokasi Pulau Dondang tidak boleh ada suara-suara riuh. Sebab ada hal-hal aneh yang akan terjadi.
“Di lokasi Pulau Dondang nimboleh baribut,” tutur pria kelahiran 10 November 1961 ini.
Misteri Pulau Dondang
Setiap daerah ada hal-hal yang menjadi kebiasaan dan harus dipercaya. Jika tidak, hal-hal aneh akan terjadi.
Tahun 70-an, ada seorang lelaki yang hilang di lokasi Pulau Dondang. Arsadi Imango nama lelaki itu. Pria 65 tahun ini awalnya tidak percaya dengan cerita mistis yang melekat di masyarakat. Tiba-tiba ia hilang di lokasi Pulau Dondang. Sehari kemudian ia ditemukan warga setempat.
“Satu malam kita ilang. Kita sadar so pagi ada di lokasi Pulau Dondang. Awalnya kita nda percaya,” ucap Arsadi Imango.
Arsadi sedikit menjelaskan tentang penunggu yang ada di Lokasi Pulau Dondang. “Dulu kalau bulan terang ada yang berjalan pake tolu, so dorang itu (penunggu di lokasi Pulau Dondang),” jelasnya.
Warga Desa Bulawan, Kecamatan Kotabunan ini menuturkan, pada waktu itu tidak boleh buang air besar di pinggir pantai, sebab penunggu sering lewat di bibir pantai.
“Kalau dulu nimboleh mo berak di pinggir pante, karna dorang pe tampa lewat di sei pante kompleks Kalapa Dua,” sebut Arsadi.
Tempat Favorit Para Nelayan
Masyarakat Kotabunan bersatu sudah tak asing mendengar nama Kelapa Dua. Dinamakan Kelapa Dua, lantaran ada dua pohon kelapa yang hidup berdampingan. Lokasinya tak jauh dari bibir pantai.
Kelapa Dua terdapat di Desa Kotabunan Selatan. Di sana, para nelayan setiap hari membanjiri lokasi tersebut. Ada yang mencari ikan memakai perahu, ada yang mencari ikan bandeng di pesisir.
“Kalapa Dua itu kalau torang mangael, itu jadi nonako. Jadi kalau ada yang bertanya, mangael di mana, torang ja bilang, mangael di muka kalapa dua. Dulu di situ tampa ba bandeng. Bandeng di situ luar biasa. Dan kemudian di situ tempat mangael ikan batu. Pokoknya macam-macam ikang,” kata Sutomo.
Daya Tarik Kelapa Dua
Asik berbincang di Kantor Desa Kotabunan Selatan, Kepala Seksi Pemerintahan, Sutomo Tooy, menceritakan tentang batu besar yang jadi lokasi favorit para nelayan. Tepat di depan Kelapa Dua, batu besar itu jadi tempat ikan. Para nelayan kerap terlihat di lokasi tersebut.
“Batu besar di depan Kelapa Dua, itu perkiraan tahun 1973. Waktu itu ada dua skoter yang muat batu goso (batu asah), kemudian dorang buang di situ (depan Kelapa Dua). Baru ada lagi kayu besi yang dibuang di situ, sehingga jadi tampa ikang di situ,” ungkap Sutomo.
Lokasi Kelapa Dua pada waktu itu, sangat terkenal. Ikan bandeng yang kerap bermain di lokasi itu membuat para penangkap bibit ikan ini tak bisa meninggalkan lokasi Kelapa Dua. Di sana, bukan hanya masyarakat Kotabunan yang terlihat, namun banyak dari kabupaten Minahasa Tenggara (Mitra) yang mendatangi lokasi ini.
“Kalau kami menangkap ikan di daerah Kelapa Dua, itu saat waktu sore. Itu kan bandeng sandar. Sehingga Itu yang bekeng top Kelapa Dua pada waktu itu.
Yang batangka bandeng bukang cuman orang Kotabunan, tapi banyak yang dari Belang,” ungkap Sutomo.
Sudah sekitar satu jam berlalu, Sutomo terus berkisah. Ia menceritakan peristiwa yang terjadi pada tahun 80-an.
“Tahun 80-an pernah di sekitar Kelapa Dua terjadi pembunuhan. Peristiwa itu terjadi pada malam hari. Masyarakat pada waktu itu heboh,” singkat Sutomo.
Bagi yang ingin melihat langsung Pulau Dondang dan Kelapa Dua, yang ada di wilayah Desa Kotabunan Selatan, Kecamatan Kotabunan, Kabupaten Bolaang Mongondow Timur (Boltim), lokasinya bisa ditempuh dengan berjalan kaki. Hanya butuh waktu 5 menit dari jalan raya, pengunjung sudah sampai di lokasi.
Di sekeliling Pulau Dondang, banyak spot menarik yang pas untuk berfoto ria. Begitu juga di lokasi Kelapa Dua. Meski pohon kelapanya tinggal satu yang masih berdiri kokoh, lokasi Kelapa Dua sangat cocok untuk mereka yang suka berfoto dengan latar laut indah.
Kawasan Danau Luak hingga Kelapa Dua memang salah satu titik terbaik untuk menikmati keindahan pesisir pantai kecamatan Kotabunan, sambil mengawasi Pulau Kumeke dan Pulau Bombuyanoi yang mengagumkan. Salah satu tempat terbaik untuk menikmati karya Sang Khalik di tanah Boltim, sembari berefleksi betapa pentingnya memelihara hubungan harmonis dengan alam dan makhluk hidup yang ada di sekitar kita. (*)
Arnold Baramuli dan Bumi Beringin
Memulung Hikmat di Kobong Om Tani Langowan
Aroma Pelanggaran HAM Menyeruak Bersama Bau Busuk di Tanjung Merah
Mahzani, Bahasa Tombulu dan Festival Wanua Woloan
Gelisah Jurnalis di Sekolah Menulis Mapatik
Manuk A’pak: Menyegarkan Kebaikan Alam untuk Manusia di Mamasa