FEATURE
Bupati Sederhana Pencinta Budaya Sangihe, Sahabat Pierre Tendean
Published
2 years agoon
17 Juni 2022
“Pak Mende mengajarkan kita filosofi taumatang Sangihe, ‘Masana’ kere wombokang, sualung keng duku’ batu’. Maknanya, sudah rendah hati, sopan, santun. Kalau mau jadi pemimpin harus seperti ini. Jangan melihat ke atas, tapi harus tau merunduk untuk melihat ke bawah.”
Oleh: Rikson Karundeng
SENJA di pesisir Pantai Kalinda, Tamako. Duduk menikmati keindahan di belakang rumah alm. Kolonel Infanteri Yan Mende, mantan bupati kabupaten Sangihe, Sulawesi Utara.
Para tetua di Negeri Tampungang Lawo, menyimpan banyak ingatan tentang bupati penuh keteladanan itu. Lukman Makapuas, salah satu yang merekam jelas tentang sosok itu. Memorinya masih sangat segar.
Ia pun berkisah tentang sebuah pengalaman tak terlupakan dalam hidupnya. Di masa remaja, Lukman pernah bekerja di kantor bupati Sangihe, Tahuna. Bukan sebagai seorang pegawai negeri atau honorer daerah. Ia hanya kebetulan jadi tukang bersih-bersih halaman kantor daerah yang berada tepat di depan sekolahnya. Hasilnya lumayan, bisa memenuhi kebutuhan makan seorang siswa Sekolah Guru Olahraga (SGO) yang datang dari kampung.
“Pak Yan Mende, bupati luar biasa. Dulu kabupaten Sangihe dan Talaud. Orangnya sederhana dan sangat disiplin,” kata Makapuas, Kamis, 9 Juni 2022.
Yan Mende jadi sosok inspiratif yang memotivasinya untuk sekolah dengan baik dan meraih hidup. Bagi Lukman, dan bagi banyak orang di Kepulauan Sangihe, Mende adalah figur pemimpin mengagumkan yang kini langka ditemukan.
Suatu petang, Lukman tengah membersihkan halaman kantor daerah. Tiba-tiba ada suara memanggilnya. Ia terkejut, suara itu ternyata berasal dari sosok yang sangat dihormati di kabupaten yang berbatasan dengan negara Filipina itu.
“Beliau pangge pa kita ba istirahat dulu. Torang pake bahasa Sangihe. Dia tanya orang mana kong nama sapa. Saya sebut nama. Saya bilang orang Bahu, tapi asal dari Manalu,” kata Makapuas.
Yan dan Lukman kemudian duduk berdua di depan kantor itu. Sang bupati tampak santai namun serius. Lukman, duduk sedikit tegang dan agak janggung. Ini spesial, seorang remaja dari keluarga sederhana menerima nasehat hidup langsung dari bupatinya.
“Pak Mende bilang, beliau dulu dari sebuah kampung kecil, Kalinda. Ia kemudian harus berjuang mengejar cita-cita dengan bersekolah ke Tahuna. Selama sekian tahun, setiap akhir pekan, beliau jalan kaki puluhan kilo meter Kalinda-Tahuna dan Tahuna-Kalinda, melewati sungai dengan air sampai dada, sambil memikul bekal. Bekal itu kebutuhan makan selama satu minggu di Tahuna. Katanya, dari situ ia jadi tentara dan jadi bupati. Jadi saya diminta jangan pernah malu kalau ingin menempuh pendidikan,” kenang Makapuas.
Menurut Lukman, kalau tidak ada saudara di Tahuna, dahulu anak-anak dari kampung yang bersekolah di ibukota kabupaten itu akan membuat gubuk-gubuk sementara sebagai tempat tinggal. Biasanya, setiap hari Sabtu mereka pulang ka kampung dan Minggu sore balik lagi ke Tahuna. Pengalaman yang ia lakoni itu ternyata sudah tersaji sejak era remaja Yan Mende.
Penyemangat Hidup
Sementara bercakap, bupati yang memimpin kabupaten Sangihe tahun 1981-1986 itu mengajak Lukman untuk masuk sebentar ke dalam kantor daerah. Ia dipanggil untuk menemui seorang pegawai yang punya posisi penting.
“Bapak suru pangge pa pegawai yang depe nama Permenas. Pas dia datang, Bapak tanya kalu kenal pa kita. Mar dia bilang nyanda,” tuturnya.
“Kamu ini orang tua tapi tidak tau anak. Ini kamu punya saudara. Mulai sekarang perhatikan pa dia. Setiap bulan kasih beras pa dia,” kata Makapuas, mengutip ucapan Bupati Mende terhadap Permenas Makapuas yang ternyata masih saudara dekatnya dari kampung.
Kisah sore di awal tahun 1982 itu tak akan pernah dilupakan oleh Lukman. Wajah Bupati Mende masih sangat jelas tergambar. Seperti baru kemarin sosok itu memberi nasehat kepadanya.
Belas kasih Bupati Mende terhadap anak sekolah yang tak malu bekerja jadi tukang bersih-bersih halaman itu telah membuat ia mendapat jatah beras 10 liter dan uang 5.000 rupiah setiap bulan. Berkat yang tidak sedikit di awal tahun 80-an.
Kabar gembira terus berlanjut. Di bulan Maret 1982, Lukman dipanggil hadir dalam upacara di Lapangan Mini Santiago. Lapangannya tepat berada di depan rumah jabatan bupati lama, di desa Tona.
“Pas perayaan Supersemar, kita dapa pangge mo trima beasiswa. Saya satu dari lima orang yang dipilih batrima beasiswa. Kita sanang sekali. Nda brenti kita bersyukur,” ujar Makapuas.
“Saat penyerahan, Pak Bupati tanya tanggal dan bulan kelahiran saya. Saya jawab, tanggal sembilan, bulan sembilan (September). Beliau langsung sebut, itu tanggal peresmian Stadion Sriwedari Solo, usai pemugaran. Stadion itu tempat digelar PON (Pekan Olahraga Nasional) pertama. Tanggal itu menurutnya tanggal peringatan haornas (Hari Olahraga Nasional). Bapak langsung menyuruh menambah hadiah ke saya,” ucap Makapuas dengan wajah senyum.
Tak sanggup ia menahan rasa haru dan gembira. Sudah menerima beasiswa, dapat tentengan sepatu dan pakaian olahraga lagi. Rangkaian kisah indah itu diyakininya boleh ia nikmati setelah bersua langsung dengan Sang Bupati.
Ucapan Mende selalu jadi motivasi bagi Lukman. Prestasi demi prestasi pun ia raih dalam berbagai kegiatan olahraga. Ia sering sekali membawa nama baik daerah yang ia cintai, Sangihe.
“Kebetulan saya dulu atlet trilomba juang. Dua kali saya bawa nama Sangihe dan sering jadi juara di mana-mana. Kebaikan dan motivasi Pak Bupati benar-benar menjadi penyemangat hidup bagi saya ketika itu, hingga sekarang,” aku Makapuas.
Hidup Sederhana
Lukman ingat betul, di zaman Bupati Mende, tidak boleh ada kendaraan dinas berkeliaran di pasar. Kendaraan dinas harus dipergunakan sesuai peruntukan. Sanksi tegas pasti akan diterima. Mantan anggota TNI itu benar-benar sosok yang tegas, namun sangat sederhana dalam keseharian.
“Beliau juga orangnya sangat sederhana. Kalau dia ke pasar, cuma deng calana pende. Sampe orang-orang nda kanal kalu dia pi babelanja,” tuturnya.
Satu pesan Bupati Mende yang tak pernah dilupakan Lukman. “Kata beliau, bersekolah dengan baik dan selalu rendah hati. Itu modal penting bagi saya ketika menjalankan tugas sebagai guru, kepala sekolah, pengawas, Kepala Unit Pelaksana Dinas Pendidikan, sekcam, camat dan Kepala Bidang Kebudayaan di Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Sangihe sekarang ini,” ucap Makapuas.
“Pak Mende mengajarkan kita filosofi taumatang Sangihe, ‘Masana’ kere wombokang, sualung keng duku’ batu’. Maknanya, sudah rendah hati, sopan, santun. Kalau mau jadi pemimpin harus seperti ini. Jangan melihat ke atas, tapi harus tau merunduk untuk melihat ke bawah,” kunci Makapuas, tokoh adat Sangihe yang kini menjabat sebagai Ketua Dewan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Daerah (Damanda), Pengurus Daerah Sangihe.
Kisah senada dituturkan Alffian Walukow, peneliti sejarah dan budaya Sangihe, penulis yang pernah mendokumentasikan tentang karir Yan Mende. Menurutnya mantan bupati Sangihe ke-17 itu benar-benar sosok sederhana.
Alffian menceritakan, ketika meniti karir di dunia militer, Yan pernah bersahabat dekat dengan pahlawan nasional Pierre Tendean. Mereka sering bermain bersama di rumah Jenderal Nasution.
“Yan dan Pierre satu sekolah di akademi militer. Mereka sahabat dekat. Salah satu faktor karena sama-sama orang Sulawesi Utara. Persahabatan makin kental ketika Pierre jadi ajudan Jenderal Nasution. Kebetulan pengasuh anak-anak Pak Nasution, termasuk Ade Irma Suryani Nasution, satu kampung dengannya. Namanya Alpia Makasebape. Oma ini masih hidup sampai sekarang. Oma satu kampung dengan Pak Mende, orang Tamako,” tutur Walukow.
Saat Pierre Tendean menjadi ajudan Nasution, Yan Mende sering bermain ke rumah Sang Jenderal di Jalan Teuku Umar, Jakarta. Ia betah karena selain sahabatnya Pierre, ada saudara sekampungnya, pengasuh anak yang kemudian menjadi ajudan keluarga Nasution di rumah itu.
Ketika menerima tugas sebagai kepala daerah Kabupaten Sangihe Talaud, Yan datang ke kampung halaman ‘apa adanya’.
“Ketika sampe di Sangihe, Pak Mende cuma manumpang pa depe menantu perempuan pe rumah di Apeng Sembeka, Tahuna. Depe papa mantu seorang pendeta tua bermarga Mandik. Waktu itu ada rumah dinas bupati, tapi dia lebe suka tinggal pa depe mantu pe rumah,” sebut Walukow.
Di tengah masyarakat, Mende tak pernah membatasi diri. Itu mengapa ia sangat akrab dengan warga Sangihe.
“Pak Mende ada kebiasaan jalan sehat. Biasanya itu ia lakukan sendiri. Tidak dengan pejabat maupun ajudan. Dia biasa jalan sehat di Kauhis, kampung ibu dari istrinya. Jalan sehat dengan orang-orang kampung. Ia tidak membatasi diri karena bupati, makanya banyak orang kenal akrab pa beliau,” ungkap Walukow.
Dari data dan informasi yang dikumpulkan Alffian, ia bisa memastikan jika Yan Mende dibesarkan di keluarga dari kampung yang hidup sederhana. Kesederhanaan itu terus nampak ketika ia menjadi pejabat militer maupun kepala daerah di Sangihe.
“Bupati Mende tidak ada kepemilikan di sini (Sangihe). Yang dia punya di Sangihe hanya warisan orang tua. Tapi kalau dia beli-beli tanah atau rumah semasa tugas, tidak ada,” tandas Walukow.
Cinta Tradisi Budaya
Salah satu hal yang paling diingat dan dikenang masyarakat Sangihe ketika menyebut nama Yan Mende adalah tradisi budaya. Ia figur pemimpin yang menunjukkan kecintaan yang besar terhadap tradisi dan budaya warisan leluhurnya.
Alffian Walukow menegaskan, ia merupakan tokoh penting di balik ‘kebangkitan’ tradisi-budaya Sangihe yang telah lesu maupaun yang telah tenggelam sekian waktu.
“Dia sangat peduli budaya. Masamper dipublikasi dalam bentuk festival tahun 1984.
Pas datang ke Sangihe, dia kumpul budayawan. Minta ide, apakah layak tradisi dan budaya itu diangkat. Dia kemudian minta membuat lomba Masamper dan Tari Gunde supaya semakin banyak orang bersemangat untuk menghidupkan dan menampilkan tradisi ini,” ujar Walukow.
Kisah serupa dituturkan Christianus Andemora. Tetangga dekat Keluarga Mende-Mandik di Desa Kalinda. Dalam ingatan ‘guru tua’ ini, Yan Mende adalah sosok seorang pemimpin penuh teladan.
Sejak dilantik sebagai bupati pada 25 April 1981, anak kedua dari lima bersaudara, yang semuanya laki-laki itu banyak melakukan gebrakan positif. Ia orang Sangihe yang sadar betul betapa pentingnya menggali dan mengembangkan tradisi budaya.
“Di zaman Pak Mende, tradisi Masamper yang hampir hilang, mulai diperlombakan. Semua wajib terlibat dalam upaya pengembangan seni tradisi ini. Upacara adat Tulude yang hilang, pertama kali dihidupkan kembali. Di tangan beliau, lomba-lomba kesenian dan olahraga juga maju sekali,” ungkap Andemora.
Orang Sangihe ingat betul, Bupati Yan Mende pemimpin yang tulus dan tidak berupaya memperkaya diri selama menduduki kursi eksekutif.
“Beliau bupati paling susah. Selesai tugas sebagai bupati, tidak bawa pulang apa-apa. Orangnya sederhana, rendah hati, tidak mau memperkaya diri. Makanya dia tidak ada rumah. Dia hanya bangun satu rumah di Kalinda, di tanah orang tuanya tahun 1982. Tak heran kalau anak-anaknya tiga orang juga sederhana. Anak yang tua itu Edit, di Manado. Suaminya sejarawan dari Unsrat, Bapak Doktor Ivan Kaunang,” jelas Andemora.
“Makanya saya pesan, berikut siapapun yang mo jadi bupati di Sangihe, kong cuma mo perkaya diri, lebe bae nda usah. Beking malo. Anak cucu lei mo tanggong tu malo. Torang belajar dari Pak Mende. Torang pe leluhur da pesan, ‘Maeng makoa’ matebone, pangendung be kasasana u naug’. Kalau ingin jadi pemimpin, belajarlah dengan rendah hati,” pesan Andemora. (*)
You may like
-
Arnold Baramuli dan Bumi Beringin
-
Memulung Hikmat di Kobong Om Tani Langowan
-
Aroma Pelanggaran HAM Menyeruak Bersama Bau Busuk di Tanjung Merah
-
Mahzani, Bahasa Tombulu dan Festival Wanua Woloan
-
Gelisah Jurnalis di Sekolah Menulis Mapatik
-
Manuk A’pak: Menyegarkan Kebaikan Alam untuk Manusia di Mamasa