Connect with us

ESTORIE

Buruh Perempuan di Masa Kolonial

Published

on

02 Mei 2019


Oleh: Denni Pinontoan


Kolonialisme, antara lain dalam bentuk penaklukan tanah adalah awal mula para perempuan harus menjadi buruh di pabrik atau perkebunan milik Belanda

KOLONIALISME dan imprealisme Belanda telah menghasilkan kelas baru dalam masyarakat Hindia Belanda: kaum buruh.

Pabrik-pabrik gula, teh, tembakau, karet, dan lain sebagainya didirikan di banyak tempat. Bersama dengan itu adalah perkebunan-perkebunan yang terintegrasi langsung dengan pabrik-pabrik sebagai penunjang sistem ekonomi kolonial.

Perempuan adalah bagian dari kaum buruh itu.

“Wanita muda tidak sedikit yang juga diangkut ke daerah-daerah perkebunan, jauh dari tempat kelahirannya, dengan upah beberapa sen sehari, dan mereka pada akhirnya banyak terpaksa menjalankan prostitusi,” tulis  Dipa Nusantara Aidit dalam bukunya Sedjarah Gerakan Buruh Indonesia (Djakarta: Jajasan Pembaruan, 1952).

Aidit kemudian mengutip buku Sanusi Pane berjudul Indonesia Sepanjang Masa yang menyebutkan, pada tahun 1923 ditaksir modal asing di Indonesia sebesar 2.650 juta florin (rupiah Belanda). Untungnya pukul rata saban tahun 500 juta.

“Untung ini sebagian besar mengalir keluar negeri sebab di sanalah pemegang-pemegang andil dan direksi.”

Kapitalisme kolonial menguasai seluruh kehidupan ekonomi dan politik Hindia Belanda. Dalam sistem ekonomi ini, kaum buruh mengalami ketidakadilan, ditindas dan dihisap tenaganya. Aidit menulis, “Penghisapan yang lebih hebat dan oleh penurunan tingkat hidup dari kaum buruh.”

Keadaan ini akhirnya mendeksa kaum buruh untuk berjuang mengadakan perlawanan. Dengan cara mengorganisir diri dan menyusun agenda perlawanan.

Tahun 1905 di Bandung bediri organisasi buruh pertama Hindia Belanda bernama Staatspoorwegen Bond (SS-Bond). Ini adalah organisasi buruh eksklusif, hanya diperuntukan bagi buruh Kereta Api Belanda.

“SS-Bond bukan organisasi buruh yang militan, dengan demikian tidak mungkin ia memenuhi keinginan kaum buruh,” tulis Aidit.

Pada 1916 pegawai bangsa Indonesia dari Jawatan Pegadaian Negeri mengorganisasi diri dalam serikat buruh pegadaian dengan nama Perserikatan Pegawai Pegadaian Bumiputera (PPPB). Tahun 1919 menyusul berdiri organisasi buruh di Hindia Belanda bernama Persatuan Pergerakan Kaum Buruh (PPKB).

Mei 1914 sebelumnya, seorang asal Belanda Henk Sneevliet dan beberapa tokoh sosialis Belanda lainnya, seperti J.A. Brandsteder, P. Bergsma dan H.W. Dekker telah menggagas berdirinya serikat buruh yang diberi nama Indische Sociaal-Democratische Vereeniging (ISDV).

Sejak saat itu, kaum buruh Hindia Belanda mengorganisir diri dalam organisasi-organisasi pekerja. Serikat buruh berdiri di mana-mana waktu itu. Pada tahun 1920-an terjadi beberapa kali pemogokan kaum buruh di Jawa. Juga pemberontakan kaum tani tahun 1926-1927.

“Kemenangan Revolusi Oktober Rusia tahun 1917 menimbulkan keyakinan dan kegembiraan yang lebih besar di kalangan ISDV dalam mengadakan agitasi dan propaganda tentang revolusi dan sosialisme,” tulis Aidit.

Di dalam dunia gerakan, menurut Aidit, kenyataan menunjukkan, bahwa kelas buruh Indonesia lebih dulu mengorganisasi diri secara modern dari pada kelas-kelas lain. Setelah kaum buruh mengorganisasi diri pada tahun 1905, baru menyusul kaum intelektual bangsawan pada tahun tahun 1908, yaitu Budi Utomo. Lalu kaum dagang pada tahun 1911 melalui Serikat Dagang Islam yang pada tahun 1912 menjadi organisasi massa yang luas dengan nama Serikat Islam. Tapi Aidit mengakui, bahwa di kemudian hari kelemahan gerakan buruh adalah karena perpecahan-perpecahan yang terjadi di dalamnya.

***

Pada pemerintah sendiri, di tahun 1925 proto parlemen di Hindia Belanda atau Dewan Rakyat membahas Rancangan Undang-undang (RUU) tentang penghapusan, atau lebih tepatnya peraturan tentang buruh perempuan yang bekerja pada malam hari dalam industri di Hindia Belanda.

“Dewan itu menyuarakan dua pendapat. Pada debat  yang semua anggota dewannya adalah laki-laki, mereka yang berbicara mendukung langkah itu tidak dapat disangkal telah terinspirasi oleh pendapat tentang subjek yang disuarakan sebelumnya di Belanda,” tulis Elsbeth Locher-Scholten dalam Women and the Colonial State Essays on Gender and Modernity in the Netherlands Indies (Amsterdam University Press, Amsterdam, 2000).

Pendapat yang kedua menentang RUU ini. Ia datang dari para anggota dewan yang lain, baik dari kalangan Eropa maupun dari Indonesia. Menurut kelompok ini, tulis Scholten, alasannya bahwa perempuan Hindia Belanda termasuk dalam jenis kelamin yang lebih lemah, seperti wanita Belanda.

E. Stokvis, anggota dewan dari partai Indische Sociaal-Democratische Party, misalnya berpendapat, bahwa di mana-mana, undang-undang untuk masyarakat diperlukan untuk melindungi keluarga.

Achmad Djajadiningrat, bupati Batavia dan anggota dari Nederlandsch-Indische Vrijzinnige Bond, berpendapat bahwa keluarga adalah yang pertama. Lagi pula, lanjut Djajadiningrat, tujuan undang-undang sosial bukan hanya untuk meningkatkan kondisi tenaga kerja dan upah, tetapi juga untuk meningkatkan standar kehidupan keluarga, untuk meningkatkan kesejahteraan moral dan spiritual, perumahan dan aspek lain dari hidup pekerja. Dengan demikian, wanita yang sudah menikah diharapkan bekerja hanya karena kebutuhan ekonomi.

“Pandangan Barat tentang wanita berlaku di kalangan pendukung penghapusan. Wanita itu adalah jenis kelamin yang lebih lemah, tempatnya di rumah dan dia akan mencari pekerjaan di luar hanya jika dipaksa karena kebutuhan,” tulis Scholten.

Argumen dari kelompok yang menolak penghapusan, menurut Scholten, kebanyakan ditemukan di kalangan pengusaha industri pertanian besar seperti Java Suiker Werkgeversbond (Federasi Pengusaha Gula Jawa) dan Indische Ondernemersbondt (Asosiasi Pengusaha Hindia Belanda). Buruh pekerja malam sangat umum di pabrik gula, teh, dan kopi. Ini jelas lebih menguntungkan mereka.

Terutama di Jawa masa itu, secara umum, sebagian besar tenaga kerja di pertanian Eropa terdiri dari wanita: 25 persen di perkebunan gula dan 45 persen di sisa tanah Eropa di Jawa, tidak termasuk kategori kasual kuli.

Scholten lalu menyimpulkan, “Inti dari antitesis antara dua gagasan tentang jenis kelamin perempuan adalah pandangan tentang peran dan tempat perempuan petani Jawa di dalam dan di luar keluarga.Ini menentukan berbagai pendapat tentang pekerjaan mereka.”

Kesemuanya itu, kata Scholten, dimaksudkan untuk mendukung kebijakan ekonomi kolonial. Ekonomi kapitalistis.

Perempuan sebagai buruh di pabrik-pabrik, pekerja di perkebunan-perkebunan milik para majikan, atau di perusahaan-perusahaan milik pemerintah, adalah bagian dari pengerahan tenaga kerja untuk mendukung ekonomi kapitalistis itu.

“Masalah pokok dari masyarakat kapitalis dapat kita simpulkan dalam pertanyaan: Apa sebab di satu pihak ada manusia yang bekerja keras, tetapi walaupun demikian tidak mendapat hasil yang cukup untuk hidup sebagai manusia, sedangkan di pihak lain ada manusia yang hidup sangat mewah dengan bekerja sedikit atau samasekali tidak mesti bekerja untuk mendapatkan kemewahan itu. Atau kita simpulkan dengan perkataan lain: Bagaimana bisa terjadi, bahwa segolongan kecil manusia menguasai hasil pekerjaan orang banyak?” Tulis Aidit memulai bukunya itu.

Menurut Aidit jawaban atas pertanyaan itu adalah, pertama tentang sifat dari kapitalisme itu sendiri. “Bahwa kapitalisme ialah masyarakat barang dagangan,” tegasnya.

Apakah artinya masyarakat barang dagangan? “Masyarakat barang dagangan artinya, bahwa barang-barang yang diproduksi tidak ditujukan langsung untuk dipakai, tidak untuk memenuhi kebutuhan sendiri, tetapi ditujukan untuk dijual di pasar agar mendapat untung. Jadi tujuan pertama, bukan untuk memenuhi kebutuhan, tetapi untuk mendapat keuntungan,” jelas Aidit.

“Jadi bagi kapitalisme, yang penting dihasilkan bukannya barang yang dibutuhkan oleh rakyat, tetapi barang yang paling banyak mendatangkan untung baginya. Kelanjutan daripada tujuan mencari untung ini ialah adanya produksi secara anarki dan adanya persaingan merdeka.”

Demi keuntungan itu, tenaga para buruh dieksploitasi. Para majikan memperkerjakan para buruh perempuan pada malam hari demi mencapai produksi yang maksimal. Kolonialisme, antara lain penaklukan tanah adalah awal mula para perempuan harus menjadi buruh di pabrik atau perkebunan milik Belanda.

Perempuan-perempuan Jawa misalnya yang dulunya bekerja bersama suami atau kaum laki-laki di sawah atau ladang, sejak abad 19 ketika tanah-tanah disewakan kepada orang-orang Eropa, maka hancurlah relasi-relasi yang relatif setara itu. Bersamaan dengan itu adalah hilangnya kemerdekaan atas kerja dan hasil.

“Hubungan antara tani dan tanah telah hancur lebih awal daripada di tempat lain di Jawa ketika, pada awal abad kesembilan belas, tanah disewakan kepada orang Eropa. Surplus tenaga kerja ini menciptakan pekerja paksa untuk mencari sumber pendapatan lain dan jenis pekerjaan lain di luar sektor pertanian,” jelas Scholten.

Semua itu telah berlangsung dalam masa kolonialisme, kapitalisme dan imprealisme yang menghisap. (*)


Editor: Daniel Kaligis


Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *