FEATURE
Buyat Pante: Tambang dan Minamata
Published
6 years agoon
By
philipsmarx29 Maret 2019
Oleh: Alex J. Ulaen
Bagaimana perusahaan tambang menjadi mencemari lingkungan dan warga yang terjangkit wabah Minamata.
ANDINI LENSUN BUKAN nama besar. Dia hanyalah sesosok bayi berusia lima bulan, putri suatu keluarga yang juga sama sekali tak menyandang nama besar. Baru sejak Juli 2004, nama Andini tiba-tiba jadi magnet yang menarik perhatian media massa. Dia meninggal akibat dugaan pencemaran di Teluk Buyat. PT Newmont Minahasa Raya (NMR) dianggap pihak yang paling bertanggung jawab.
Andini bukan satu-satunya korban. Dugaan pencemaran juga menjangkau sedikitnya 100 warga Buyat. Mereka menderita penyakit Minamata.
Gejala Minamata itu sendiri diungkap Rignolda Djamaludin dan Lita Mamontoh dari Yayasan Kelola Sulawesi Utara. Mereka mengutip hasil penelitian Dokter Jane Pangemanan. Menurut nama yang disebut terakhir, penyakit Minamati diawali dengan gatal-gatal dan kejang pada tubuh penderita, kemudian muncul benjolan.
Sial bagi Djamaludin. Newmont, yang tak terima dianggap biang penyakit, menyeret Djamaludin ke Pengadilan Manado. Setelah melalui serangkaian persidangan, pengadilan memutuskan Djamaludin bersalah. Dia harus membayar ganti rugi. Nilainya tak tanggung-tanggung: US$750 ribu!
Djamaludin, yang saat itu menjabat Direktur Yayasan Kelola Manado-cum-dosen di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Sam Ratulangi, divonis bersalah lantaran dianggap mencemarkan nama baik PT NMR yang dituduh sebagai penyebab pencemaran, padahal dia tak memiliki data akurat soal pencemaran lingkungan itu. Pasalnya sederhana. Sejak 14 Februari 2005, Jane Pangemanan mengatakan bahwa pernyataan-pernyataan yang dibuatnya mengenai warga Buyat yang menderita penyakit akibat kegiatan operasi Newmont, tidak pernah terbukti.
Kontroversi Buyat terus berlanjut. Media massa tak hanya menyentuh persoalan penyakit akibat pencemaran, tapi juga dampak ekonomi. Ramai diberitakan, nelayan dan mereka yang hidup dari usaha penjualan ikan laut di sejumlah pasar –yang disuplai dari hasil tangkapan nelayan di daerah Belang, Ratatotok, dan Buyat– jadi susah. Ikan mereka tak laku. Orang kuatir mengonsumsi ikan laut.
Giliran Newmont menuai gugatan. Pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup memperkarakan Newmont ke Pengadilan Jakarta Selatan. Direktur Newmont, Richard Ness, dimasukkan ke rumah tahanan Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia di Jakarta untuk kepentingan penyidikan sejak 22 September 2004. Tak hanya Ness. Eksekutif Newmont lainnya, mulai Phil Turner, Bill Long, David Sompie, Putra Widjayatri, hingga Jerry Koyansouw, juga digiring ke sana.
Sekira satu bulan kemudian, Ness dan kawan-kawan menghadapi gugatan perdata warga Buyat senilai US$543 juta. Mereka menuding Newmont penyebab keracunan logam berat.
Gugatan-gugatan itu masih bisa diatasi Newmont. Tapi, nasib baik rupanya tak selamanya berkarib dengan Newmont. Di bulan Juli 2005, Richard Ness kembali digiring ke kursi terdakwa. Kali ini sidang digelar oleh Pengadilan Negeri Manado. Di sini, Newmont ketiban sial. Pada 5 Agustus 2005, eksepsi kuasa hukum Newmont, Luhut M.P. Pangaribuan, ditolak.
Untuk ukuran Manado, proses peradilannya terbilang istimewa. Ruang sidang tak hanya di gedung pengadilan, melainkan di aula serba guna kantor walikota Manado yang mampu menampung ribuan orang. Penjagaan serba ketat. Puluhan aparat kepolisian dan polisi pamong praja siap-siaga di sekitar gedung. Puluhan pekerja media cetak dan audio-visual, dari media lokal, nasional, hingga internasional, mengabadikan peradilan itu. Setiap persidangan dapat diikuti keesokan harinya lewat berita media massa.
Bisa dipahami suasana penjagaan begitu ketat. Sebelum sidang dimulai, ruang pengadilan sempat diporak-porandakan oleh simpatisan Rignolda Djamaludin. Protes-anarkis ditujukan kepada majelis hakim dan penasehat hukum Newmont. Pers yang meliput sidang tidak luput dari sasaran anarkisme massa.
* * *
Buyat atau biasa juga disebut “Buyat Pante”, merupakan kampung tempat mukim nelayan pendatang. Kampung ini mulai terbentuk awal tahun 1970-an, dengan tujuh pondok (daseng). Ketujuh daseng tersebut didiami oleh keluarga nelayan. Mereka keluarga Nyong Bawole, Enga’ Lombonaung, Johar Lohor, Opa Karlos, Salmon Pokarila, Tomopi Modeong, dan Ponoi Wartabone.
“Itulah keadaan ketika saya datang ke sini tahun 1970,” kata Hugu Essing, seorang pemuda asal Talaud.
Essing menikah dengan putri Salmon Pokarila, yang belakangan dikenal dengan panggilan “Ma’Ara.” Hugu Essing sendiri kini lebih dikenal sebagai “Madjid Essing.” Orang di sana biasa menyapanya “Pak Madjid.” Dia satu-satunya orang tua generasi pertama penduduk Buyat Pante yang masih sehat di sana.
Kepada saya, Madjid menerangkan bahwa penduduk asli Buyat hanya Tomopi Modeong. Lainnya para pendatang mulai dari Sangihe, Ternate, hingga Gorontalo.
Lokasi permukiman mereka berada di sisi kanan muara sungai Buyat, menghadap ke laut.
Awal tahun 1980-an, kumpulan daseng ini diterjang banjir. Sebagian besar pondok hanyut terbawa air. Lokasi tersebut hingga kini masih merupakan muara sungai. Hasil laut tidak hanya mampu menyambung hidup, tetapi juga memberikan jaminan bagi kelangsungan hidup mereka. Inilah yang membuat para nelayan ini tidak bisa meninggalkan pantai Buyat.
Mereka mulai menyisihkan hasil perolehan dari melaut dan mendirikan rumah yang layak huni. Belum lagi berbilang tahun, tiba-tiba mereka kedatangan rombongan tamu. Konon, mereka adalah investor yang mau mendirikan pabrik kertas. Investor tersebut memilih lokasi permukiman ini untuk lokasi pabrik. Para nelayan ini langsung dihubungi dan diminta untuk pindah ke arah barat, tepatnya di lokasi permukiman sekarang. Mereka diberi ganti rugi yang layak untuk membangun kembali pondok mereka.
Tidak lama berselang, “…kira-kira tahun 1995 kami didatangi Tim Studi Amdal dari PT Newmont Minahasa Raya,” kata Madjid.
Mereka memilih Pantai Lakban sebagai lokasi pelabuhan, dan Teluk Buyat menjadi tempat pembuangan limbah.
Ketika melakukan kajian antropologis di sana atas penugasan perguruan tinggi tempat saya bekerja pada Agustus 2004, saya mendapat keterangan dari penduduk bahwa kehadiran PT Newmont Minahasa Raya membawa dampak bagi permukiman nelayan Buyat Pante.
Pertama, permukiman ini berada di samping jalan utama ke Pelabuhan Laut Newmont. Kedua, di teluk ini pula terletak pipa pembuangan limbah Newmont.
Di luar itu, kesempatan memperoleh pekerjaan, baik sebagai buruh tambang maupun bekerja di anak perusahaan pemasok kebutuhan aktivitas pertambangan, membuat Buyat Pante dilirik para pendatang. Dan tidak kalah penting, kehadiran pekerja seks yang memanfaatkan beberapa pondok di Buyat Pante sebagai tempat rendez-vous.
Upaya “pemberdayaan” –dalam kosakata bahasa lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan penggiat community development– yang diperkenalkan kepada warga, yang setelah sekian lama tidak mendapat perhatian dan hidup dalam ranah yang seakan-akan termarjinalisasi, telah membawa pengaruh atas perubahan sikap warga. Telah tumbuh-kembang rasa percaya diri warga yang berlebihan.
“Waktu baru mulai demo di pemerintah dan Newmont, saya dilatih sebagai juru bicara. Kami percaya karena yang datang memberi penyuluhan kepada kami adalah orang-orang pintar dan bergelar. Ketika saya bicara di muka pemerintah, saya cuma mengucapkan kata-kata dan kalimat yang sudah saya hafal dari mereka. Saya jadi berani karena di belakang saya banyak orang pintar,” ujar Hendrik Pontoh, salah seorang warga Buyat Pante.
Belakangan, mereka mulai lelah menyuarakan hak mereka, dan kembali melaut. “Lama-kelamaan, saya merasa bahwa saya sudah diajari berucap bohong. Misalnya, kami harus mengatakan tidak ada lagi ikan di Teluk Buyat. Padahal, saya tetap melaut dan dapat ikan,” kata Pontoh. Seraya menunjuk rumahnya, Pontoh melanjutkan, “Saya boleh membangun rumah ini, membeli motor-tempel dan lainnya hanya dari hasil ikan.”
Pontoh adalah salah satu dari lima nelayan muda yang memiliki perahu dan motor serta rumah yang memadai. Bahkan rumahnya, bangunan panggung dari kayu berkualitas, terbilang rapi dan bersih. Di sana terdapat sebuah mesin genset untuk alat penerang dan menyuplai sebuah televisi 28 inci, lengkap dengan VCD player.
“Kami belum punya bukti kalau ikan di teluk Buyat berkurang karena sejak dulu kami melaut jauh atau di luar teluk. Yang ada di teluk dari dulu hanya nener ikan bandeng. Itu musiman.”
* * *
Newmont bukanlah satu-satunya perusahaan pertambangan yang beroperasi di sana. Tahun 1887, Nederlandsch Mijnbow Maatschappij mendatangkan peralatan tambang di Lobongan, Totok, Pasolo, Padang, dan Hais. Lokasi mereka di kecamatan Ratatotok, suatu pedalaman yang berjarak kurang lebih empat kilometer arah utara dari pantai Buyat.
Perusahaan Belanda itu mempekerjakan buruh-penambang yang direkrut dari berbagai wilayah di karesidenan Manado kala itu, atau sekarang wilayah provinsi Sulawesi Utara, Gorontalo, dan Sulawesi Tengah.
Eksplorasi Nederlandsch Mijnbow Maatschappij ini berakhir tahun 1922. Namun, aktivitas penambangan berlanjut dan dijalankan oleh bekas buruh-kontraknya. Setidaknya, pada 1982, tercatat 42 unit penambangan tanpa izin (PETI) yang beroperasi di sungai Totok dan tiga unit yang beroperasi di sungai Buyat.
PT Newmont Minahasa Raya –anak perusahaan Newmont Gold Company yang bermarkas di Denver Colorado, Amerika Serikat– didirikan pada Januari 1985. Ini sebuah usaha patungan dari Newmont Indonesia Limited dengan PT Tanjung Serapung. Komposisi saham, 80 persen Newmont dan 20 persen Tanjung Serapung.
Tahun 1988, mereka menemukan deposit emas di lokasi Messel, Ratatotok, kecamatan Belang Minahasa (sekarang kecamatan Ratatotok, Kabupaten Minahasa Selatan) dengan wilayah seluas 26.805,30 hektar.
Untuk mengatasi bahaya pencemaran, Newmont melakukan studi Amdal dengan melibatkan staf peneliti yang direkrut dari peneliti senior di Universitas Sam Ratulangi. Mereka bekerjasama dengan suatu tim dari Newmont pusat. Tahun 1992, studi itu disetujui pemerintah. Kelanjutannya Dokumen Amdal, RK/RPL (Rencana Kegiatan/Rencana Pemantauan Lapangan) disetujui oleh pemerintah, dalam hal ini Departemen Pertambangan pada 1994.
Produksi besar-besaran dimulai sejak 1996 dan berlanjut sampai 2001. Penambangan dari lubang tambang atau pit selesai. Pemrosesan biji emas berlanjut sampai 31 Agustus 2004.
Tahun 2002 rencana penutupan Newmont disetujui oleh pemerintah Indonesia. Bersamaan dengan itu, mengacu pada Amdal yang disetujui, Newmont diharuskan melakukan berbagai aktivitas berupa penataan bekas tambang dan reboisasi. Kegiatan ini kemudian menarik minat sejumlah lembaga dan LSM yang menawarkan diri untuk mengerjakan berbagai aktivitas penutupan tambang.
Dari sejumlah usulan, ada yang tidak ditanggapi oleh Newmont. Ini karena permintaan dananya jauh melampaui biaya nyata dan yang tersedia. David Sompie, public relations Newmont, mengatakan banyak yang terkesan tidak masuk akal. Dia tak asal bunyi. Di tangannya terdapat beberapa dokumen dan proposal sebagai buktinya.
Dia mengungkapkan, alokasi pendanaan dalam banyak item kegiatan seperti biaya reklamasi bekas galian kulit bumi atau program-program pemberdayaan masyarakat, anggarannya mencapai ratusan juta bahkan milyaran rupiah. Tidak masuk akal karena biaya reklamasi atau pengurukan tanah, umpamanya, cukup dengan memindahkan timbunan tanah kulit bumi yang digaruk di lokasi penambangan. Untuk mengurugnya, tersedia juga jaringan transportasi dan alat berat yang masih dapat digunakan.
Untuk sekian lama penolakan Newmont terhadap kegiatan sejumlah LSM atau pemerintah tak memiliki dampak signifikan bagi Newmont. Baru setelah kasus pencemaran di Teluk Buyat, Newmont seperti sedang membuka luka lama.
Sejumlah kasus kembali diungkit, seperti soal ganti rugi lahan. Dulu, sekira tahun 1994, memang terdapat kasus 24 petani pemilik tanah di Ratatotok yang menuntut ganti rugi sebesar Rp 5.000 per meter persegi untuk tanah yang bersertifikat, dan Rp 2.500 per meter persegi untuk tanah yang tidak bersertifikat. Hal ini merupakan reaksi atas kompensasi pembebasan tanah yang diberikan sebesar Rp 250 per meter persegi. Para petani mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Tondano.
Kepada saya, Verrianto Madjowa, seorang wartawan yang mengikuti kasus tersebut, mengungkapkan bahwa gugatan para petani itu tercatat dalam register perdata nomor 35/Pdt.G/1994/PN.To. Gugatan ditolak, dan disarankan untuk menyelesaikannya secara musyawarah. Manajer Umum Newmont, Paul Lahti, kemudian mengundang para petani yang didampingi oleh Lembaga Bantuan Hukum Manado dan menawarkan dua opsi.
Pertama, kompensasi tanah dan tanaman perkebunan yang disesuaikan dengan Indeks Harga Konsumen Indonesia atau IHKI. Kedua, menukarnya dengan lahan baru yang dikuasai Newmont dengan luas yang sama. Kedua opsi tersebut ditolak oleh petani.
Reaksi lain adalah soal royalti. Tanggal 29 Juni 1998, sekitar 100 petani, yang menyandang nama Tim Reformasi Minahasa di bawah kepemimpinan Ang Marentek, menduduki lahan tersebut selama kurang lebih tujuh jam.
Tuntutannya, pembagian royalti yang adil. Tuntutan ini ditanggapi Newmont dengan memberikan bantuan uang sebesar US$3.000 per bulan untuk waktu selama tiga tahun, mulai Januari 1998 hingga 2000 melalui pemerintah daerah kabupaten Minahasa. Kesepakatan ini juga disaksikan pejabat Departemen Pertambangan Rozik B. Soetjipto.
Persoalan lain yang harus dihadapi oleh Newmont adalah sengketanya dengan pihak pemerintah kabupaten Minahasa soal Pajak Galian Golongan C. Dengan bantuan penasehat hukum O.C. Kaligis dkk, pemerintah kabupaten Minahasa mengajukan sengketa ini ke Pengadilan Negeri dengan gugatan nomor 1677/OCK/IX/99. Sengketa berakhir dengan perjanjian damai, setelah adanya campur tangan dari Departemen Pertambangan dan Departemen Dalam Negeri.
Ketika mulai beroperasi, tepatnya mulai tanggal 29 Juli 1996 hingga awal Agustus 1997, media memberitakan adanya puluhan bangkai ikan yang ditemukan di Teluk Buyat, dekat lokasi penempatan limbah (tailing) di bawah laut.
Kasus ini tidak saja menarik perhatian Lembaga Bantuan Hukum Manado, tetapi juga Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Manado dan pemerhati lingkungan lainnya. Sejak itu, sejumlah LSM melakukan pendampingan terhadap warga di Ratatotok dan Buyat.
Newmont meresponsnya dengan membawa bangkai ikan tersebut ke Laboratorium Universitas Sam Ratulangi, Laboratorium Balai Kesehatan Manado, dan Laboratorium Institut Pertanian Bogor.
Dugaan bahwa ikan tersebut mati akibat pencemaran dibantah oleh kepala desa Ratatotok Dua, Samsi Bawo. Dia menyatakan bahwa itu sisa ikan mati akibat metode penangkapan ikan yang menggunakan “bom”.
* * *
Penempatan tailing di bawah laut merupakan pokok persoalan yang dihadapi Newmont. Mineral ampas penambangan, sesudah melalui proses detoksifikasi atau dinetralkan, harus dibuang ke lingkungan. Ada dua opsi, membuangnya di darat atau di bawah laut. Setiap opsi mempunyai kelebihan dan kekurangannya. Dan Newmont, setelah mengajukan opsi kepada Departemen Pertambangan untuk membuang limbah ke bawah laut, tidak mendapat hambatan.
Pilihan ini disertai dengan pemantauan yang rutin dengan melibatkan sejumlah ahli perikanan dari Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Sam Ratulangi Manado. Mereka antara lain Ir Laurentius Lalamentik dan Ir James Paulus, selain pakar asing yang dipekerjakan oleh Newmont. Ada dua hal yang dipantau, yakni tapak tailing dan kehidupan karang, moluska, serta berbagai jenis ikan di sekitar lokasi penempatan tailing.
Selain itu, Newmont membangun terumbu karang buatan di sekitar lokasi pembuangan. Semua data terekam dalam bentuk time series dengan lokasi pemantauan dan lokasi pembanding. Newmont pun mempekerjakan dokter ahli senior Prof. dr. Winsy Warouw dari Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi yang memantau kesehatan warga di Ratatotok dan Buyat serta desa sekitarnya.
Pada 2001, Newmont menggandeng Universitas Mataram dan pemerintah daerah provinsi Nusa Tenggara Barat untuk menyelenggarakan “Seminar Penempatan Tailing di Bawah Laut dan Dampaknya terhadap Lingkungan” di Mataram. Seminar ini menghadirkan ahli internasional dan nasional. Dalam kegiatan ini terungkap bahwa dari hasil pantauan lokasi pembuangan tailing Newmont dan pengalaman PT Copper Mine, Kanada, antara lain dapat disimpulkan, “kondisi terumbu karang dan jumlah populasi ikan karang tidak mengalami perubahan yang signifikan.” Dasar laut pun mampu memulihkan keanekaragaman hayatinya yang sebelumnya terselimuti tailing yang berasal dari tambang.
Hal itu tentu selama penempatan tailing memenuhi persyaratan teknis dan tidak berada pada alur layar.
Salah satu pembicara di Mataram adalah Laurentius Lalamentik yang memantau perkembangan terumbu karang di sekitar lokasi penempatan tailing sejak 1996. Hasil pemantauan yang dilakukannya hingga tahun 2002, pernah disampaikan pada International Seminar on Mining, Environment, and Sustainable Development, A Lesson from the Gold Mining Controversy in Buyat Bay, North Sulawesi, Indonesia, 9-10 Mei 2005 di Manado. Ada pengaruh dari tailing terhadap jenis-jenis terumbu karang tertentu yang menghambat pertumbuhannya, namun ada pula jenis terumbu karang yang justru terangsang dan berkembang cepat dari biasanya.
Dua minggu sesudahnya, Walhi Sulawesi Utara bekerjasama dengan Jaring Pesisir Laut, Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), serta beberapa LSM di Sulawesi Utara menyelenggarakan International Conference on Submarine Tailings Disposal di Hotel Gran Puri Manado. Dua pemakalah, Veronica Kumurur dan Markus Lasut, berkesimpulan bahwa “pembuangan limbah bawah laut yang dilakukan Newmont ternyata berdampak negatif terhadap ekosistem perairan dan terbukti telah menurunkan kualitas hidup masyarakat di wilayah Buyat.”
Kumurur mengatakan, bagian akhir dari pipa yang mengalirkan limbah tambang emas Ratatotok sebanyak 2.000 ton per hari, diletakkan di kedalaman 82 meter di teluk Buyat dan berjarak 900 meter dari garis pantai. Ini telah menutupi sebagian areal produktif perairan teluk Buyat, dan mengakibatkan terjadinya pergeseran zona tangkapan ikan masyarakat nelayan Buyat.
Jauh sebelum kedua seminar berlangsung, Direktur Eksekutif Daerah Walhi Sulawesi Utara, Moudy Gerungan, membuat serangan awal terhadap keberadaan tailing Newmont. Dalam konferensi pers di Jakarta tahun 2000, Gerungan mengimbau pemerintah agar menghentikan sementara kegiatan Newmont. Alasannya, Walhi Sulawesi Utara telah melakukan survei dan menemukan kerusakan terumbu karang dan hilangnya sejumlah spesies ikan. “Dari 52 jenis ikan yang ditemukan di daerah itu, kini tinggal 13 jenis saja.”
Moudy Gerungan berkesimpulan Newmont telah memanipulasi informasi dan melakukan kejahatan lingkungan, yang mengakibatkan kerusakan lingkungan di kawasan teluk Buyat.
* * *
Berita media tentang kontroversi Buyat sejak tahun 1999 dan puncaknya pada pertengahan tahun 2004, memberi kesempatan kepada sejumlah akademisi melakukan penelitian. Ada tim peneliti independen dari Pusat Penelitian Lingkungan dan Sumber Daya Alam (PPLH-SDA). Ada juga yang dibentuk Universitas Sam Ratulangi yang bekerjasama dengan Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (Bapedal) Pusat, yang dikoordinasikan peneliti senior Bobby Polii. Belum lagi yang ditunjuk oleh pemerintah provinsi Sulawesi Utara di bawah kepemimpinan Rizald Rompas.
Tim yang lebih besar, dan diklaim independen, dibentuk pada Juli 2004 oleh Gubernur Sulawesi Utara A.J. Sondakh. Mereka terdiri atas para ahli dari berbagai disiplin ilmu dan beberapa perguruan tinggi di Manado. Sebagian anggota tim kemudian bergabung dengan Tim Teknis Penanganan Kasus Buyat. Tim Teknis ini dibentuk oleh pemerintah pusat berdasarkan Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 97 tahun 2004 setelah melalui rapat Menteri Koordinasi Bidang Kesejahteraan Rakyat.
Anggota Tim Teknis atas 14 lembaga, yaitu kantor Kementerian Lingkungan Hidup, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, Departemen Kelautan dan Perikanan, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, Departemen Kesehatan, Universitas Indonesia, Universitas Padjajaran, Institut Pertanian Bogor, Universitas Sam Ratulangi, pemerintah daerah Sulawesi Utara, Jatam, Walhi, kepolisian, dan mantan Menteri Lingkungan Hidup Emil Salim.
“Mari kita dudukkan seluruh hasil penelitian itu, agar mendapatkan suatu gambaran yang komprehensif tentang apa yang sebenarnya terjadi di sana (Teluk Buyat). Dan kata kuncinya adalah transparansi,” kata Emil Salim.
Prinsip seperti itu memang patut didengar. Beberapa hasil penelitian atau laporan penelitian sering mengabaikan aturan dan metode, apalagi tanggungjawab moral akademisi, kalau bukan sekadar catatan kunjungan lapangan. Ada juga laporan yang dibuat dari data sesaat dan bukan hasil pengamatan dalam bentuk time series.
Gybert Mamuaya, oseanograf senior dari Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Sam Ratulangi menyadari hal itu. Salah satu pangkal soalnya, menurut dia, dokumen Amdal tidak memiliki data base.
Beberapa penelitian menghasilkan kesimpulan menarik dan cenderung menguntungkan Newmont. Misalkan saja hasil penelitian yang dibentuk oleh Rektor Universitas Sam Ratulangi, Lucky Sondakh, yang mengajak peneliti-peneliti Universitas Manado. Tim ini dipimpin oleh Winsy Warouw dari Universitas Sam Ratulangi dan Ketua Lembaga Penelitian Unversitas Negeri Manado, M.I.J. Umboh. Hasil awal tim ini disampaikan dalam sebuah seminar bulan Agustus 2004 di Universitas Sam Ratulangi.
Beberapa kajian dipresentasikan pada International Seminar on Mining, Environment, and Sustainable Development, A Lesson from the Gold Mining Controversy in Buyat Bay, North Sulawesi, Indonesia, Mei 2005 di Manado. Keterlibatan Newmont dan beberapa perusahaan pertambangan sebagai sponsor seminar ini mengundang kritikan dari aktivis LSM terhadap rektor Universitas Sam Ratulangi: universitas seakan-akan berpihak kepada investor, bukan kepada warga Buyat.
Persoalan yang umum terangkat dari dua seminar adalah soal ambang batas. Sejumlah penelitian menyatakan bahwa kadar arsenik dan merkuri yang ditemukan dalam sampel ikan masih berada di bawah ambang batas. Baik ambang batas yang ditetapkan oleh World Health Organization (WHO) maupun oleh sejumlah negara Barat dan Jepang.
Hasil serupa juga dapat dibaca dalam laporan Mineshi Sakamoto dari Institute for Minamata Desease, Kementerian Lingkungan Hidup Jepang, yang diundang khusus oleh WHO untuk melakukan penelitian di Buyat.
Mineshi Sakamoto menghabiskan waktunya dua minggu melakukan pengumpulan data dari berbagai sampel dengan bantuan sebuah tim WHO dan Departemen Kesehatan Indonesia. Hasil serupa juga dapat dibaca dalam laporan Centre for Advanced Analytical Chemistry Energy Technology (CSIRO) yang melakukan pemantauan pada periode yang sama.
Aktivis lingkungan lain lagi. Mengutip pernyataan Jan Speets, staf WHO Jakarta, mereka mengatakan bahwa penelitian WHO dilakukan hanya untuk tujuan spesifik, yakni melihat apakah warga menderita penyakit Minamata seperti yang disebut di beberapa media nasional. Studi ini, menurut mereka, tidak serta merta dapat dianggap sebagai studi mendalam guna melihat kondisi umum lingkungan atau kesehatan masyarakat. Pernyataan Speets ini dilansir oleh New York Times, 9 November 2004.
Hal serupa dikatakan Budi Haryanto, ketua Departemen Kesehatan Lingkungan-Universitas Indonesia, di depan rapat Tim Teknis Penanganan Kasus Buyat pada 2004. Menurut Haryanto, dari jumlah sampel yang terbatas, studi WHO dan Minamata Institute memang hanya terfokus pada dugaan kontaminasi merkuri pada warga. Ini tidak akan memadai untuk “melihat logam lain dan aspek pencemaran yang lebih luas.”(*)
Editor: Andre Barahamin
You may like
-
Perusahaan Tambang Emas Datang, Nyawa Manusia Tak Berharga
-
Janji Manis Pertambangan Barbuah Pahit
-
Dua Jurnalis di Labuhan Batu Dibunuh!
-
Kisah Kaisar Akihito dan Ikan Payangka Danau Tondano
-
Katu: Sebuah Tempat yang Hidup
-
Temu Nasional WALHI: Perempuan untuk Penyelamatan Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam