ESTORIE
Cap Tikus: Ilegal Tapi Tetap Digemari
Published
6 years agoon
By
philipsmarx8 Januari 2019
Oleh: Denni Pinontoan
Sejak masa Hindia Belanda, sudah ada upaya membatasi minuman keras lokal, namun tidak sepenuhnya berhasil.
MANADO SUATU MALAM, medio Januari 1938. Sebuah bangunan di kompleks pasar ikan Manado terbakar. Api tak dapat segera dipadamkan. Asap tebal menutupi pasar ikan itu. Orang-orang kesulitan memadamkan api di bangunan yang terbakar. Api lalu menyebar dan membakar banyak bangunan di kompleks itu. Dari kobaran api terdengar suara bunyi ledakan. Botol-botol berisi Cap Tikus meledak dari sebuah toko. Demikian diberitakan Het Vaderland, koran berbahasa Belanda pada edisi 5 Februari 1938.
Cap Tikus, minuman keras hasil destilasi dari saguer yang mengandung kadar alkohol tinggi itu, rupanya lagi digemari kalangan luas. Pabrik-pabrik penyulingan milik rakyat terdapat di banyak tempat di pegunungan Minahasa. Sejak import minumam alkohol jenis whisky, jenever dan bir menurun di ‘zaman malaise’ itu, Cap Tikus naik daun. Permintaan konsumen meningkat.
De Indische Courant dalam laporannya edisi 7 Juli 1937 menyebutkan, cap tikus dikenal luas sebagai minuman keras Minahasa. Sejarah kemunculannya tidak dapat diketahui dengan pasti. Orang-orang Minahasa mengkaitkan minuman keras ini dengan tradisi adat. Diperkirakan, ketrampilan menyuling saguer menjadi Cap Tikus diadopsi dari teknologi penyulingan alkohol di Jawa dan di tempat lain. Sampai tahun 1937, pabrik-pabrik penyulingan cap tikus milik rakyat terdapat di hampir semua kampung di Minahasa.
“Kebanyakan cap tikus dibuat di tempat-tempat tersembunyi dekat pohon aren. Pertama-tama karena takut pada orang lain yang ingin tahu,” tulis De Indische Courant.
Para pembuat Cap Tikus menjualnya seharga 5 hingga 10 sen per liter kepada para pengumpul. Lalu kemudian Cap Tikus dimasukan di botol-botol yang diberi lebel bergambar seekor tikus. Cap Tikus dalam kemasan botol ini lalu dipasarkan di tempat-tempat umum. Harga jual per botol 25 hingga 50 sen.
Kandungan alkohol pada Cap Tikus sangat tinggi. Berdasarkan pemeriksaan di laboratorium Kimia Bandung, cap tikus mengandung alkohol lebih dari 40%. Di masyarakat bahkan bisa ditemukan Cap Tikus dengan kadar alkohol mencapai 90%.
Menurut De Indische Courant, tidak ada pendapat yang seragam mengenai dampak negatif mengkonsumsi Cap Tikus. Namun, konsumsi Cap Tikus di kalangan masyarakat Minahasa pernah dibahas di Minahasa-Raad (Dewan Minahasa) atas dorongan pemerintah Hindia Belanda. Menurut pendapat mayoritas anggota dewan, bahaya konsumsi Cap Tikus tidak pasti.
“Sayangnya, tidak ada data statistik yang bisa menjadi acuan,” tulis koran itu.
Mededeelingen van den Dienst der Volksgezondheid in Nederlandsch-Indië (terbitan berisi pemberitahuan dari Dinas Kesehatan Masyarakat di Hindia Belanda) edisi 1 Juli 07 tahun 1939 melaporkan, di Manado dan khususnya Tondano, saguer dan Cap Tikus adalah minuman beralkohol yang digemari.
“Namun, belum dapat pastikan penyalagunannya,” jelas Dinas Kesehatan Masyarakat.
Secara umum se-Hindia Belanda pengecualian Jawa, menurut dinas ini pada tahun tahun 1934, dampak konsumsi minuman keras tidak terlalu memprihatinkan. Demikian juga pada tahun 1937. Dalam laporan lain tertanggal 1 November 1934, Mededeelingen van den Dienst der Volksgezondheid in Nederlandsch-Indië menyebutkan, konsumsi alkohol jenis saguer dan Cap Tikus Minahasa yang terus meningkat, secara umum tidak menyebabkan dampak-dampak yang merusak, kecuali untuk beberapa kasus tertentu.
***
Minuman keras berbagai merek dan jenis, baik impor terutama lokal, digemari oleh masyarakat Hindia Belanda. Pemerintah Belanda merasa perlu mengatur peredaran dan konsumsinya karena dinilai telah menyebabkan dampak-dampak buruk. Namun, ini rupanya terlebih terkait dengan upaya menaikan pendapatan cukai dan kepentingan pengusaha impor minuman keras.
Cap Tikus di Minahasa tak luput menjadi sasaran untuk meningkatkan pendapatan cukai. Koran berbahasa Belanda yang terbit di Surabaya, Soerabaijasch handelsblad dalam laporan korespodennya di Manado edisi 3 Januari 1 tahun 1933 menyebutkan, pada suatu sesi pembahasan tentang anggaran di Minahassa-Raad, anggota dewan sempat mengusulkan pengenaan biaya lisensi untuk Cap Tikus dan pejualan saguer dalam rangka peningkatan pendapatan pajak. Usulan ini, menurut media waktu itu, adalah juga bagian dari kontrol.
Ide anggota Minahasa-Raad muncul bersamaan dengan gencar-gencarnya pemerintah Hindia-Belanda yang berpusat di Batavia membatasi dan memerangi minuman keras lokal.
Pada tahun 1918 pemerintah Belanda membentuk Alcoholbestrijdings-commisie (Komisi Pemberantasan Alkohol). Tugas komisi ini adalah menyelidiki dan memerangi penggunaan dan penyalagunaan minuman keras atau minuman berkadar alkohol di kalangan masyarakat Hindia Belanda. Pada prakteknya, sasaran dari komisi ini adalah minuman keras tradisional yang banyak di produksi di daerah-daerah se-Hindia Belanda. Minuman keras tradisional yang diproduksi rakyat kebayakan, oleh pemerintah kolonial diberi status ‘gelap’ atau ilegal. Minuman keras yang legal adalah minuman keras impor, seperti antara lain beberapa jenis bir, wiski, cognag, dan lain-lain.
“Di lain pihak, orang-orang Belanda sendiri, termasuk para ‘oknum’ pejabatnya mempunyai interest dalam bisnis impor minuman keras ‘modern’ dari Eropa, seperti brendi dan jenever. Itu berarti mendatangkan ribuan gulden cukai masuk ke kas pemerintah selama bertahun-tahun,” ungkap Kasijanto Sastrodinomo, pengajar pada departemen sejarah Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia dalam artikelnya yang berjudul “Mabuk-mabukan dalam Sejarah” yang terbit di Kompas, pada 18 Maret 2006.
Kasijanto mensinyalir, operasi pemberantasan minuman keras lokal oleh komisi itu sebagai, “bagian dari strategi pengusaha dan pemerintah kolonial mengamankan bisnis mereka.”
Kira-kira sepuluh tahun kemudian, yaitu tahun 1929, terjadi depresi besar, ‘zaman malaise’. Sepanjang tahun 1930-an ekonomi dunia menjadi lesu. Masyarakat Minahasa pun merasakan dampaknya, termasuk dalam hal konsumsi alkohol impor.
De Tijd, koran katolik Belanda dalam laporannya edisi 2 Desember tahun 1932 menyebutkan, konsumsi minuman keras impor di Manado dan Minahasa pada umumnya mengalami penurunan. Sebaliknya, tambah De Tijd minat terhadap minuman keras lokal produksi orang-orang Minahasa, Cap Tikus justru mengalami peningkatan.
Sebelum krisis, macam-macam bir, jenerver, anggur dan cognac diimpor dalam jumlah besar di Minahasa. Orang-orang Minahasa rupanya menggemari minuman-minuman ini. Namun, karena menurunnya impor minuman keras, maka Cap Tikus atau “brandy Minahasa” meningkat pesat. Menjawab permintaan konsumen, maka diusahakanlah kreasi minuman keras berbahan baku Cap Tikus meniru rasa jenis-jenis minuman keras impor.
“Untuk peningkatan rasa kadang-kadang ditambahkan kayu manis dan pala,” tulis majalah ini.
Daripada mengimpor minuman keras jenis jenever, cognac, whiskey, dan lain-lain, orang-orang Minahasa lebih memilih minuman rakyat dengan kadar alkohol yang tinggi, yaitu Cap Tikus, demikian tulis De Tijd. Disebutkan, di masa tahun 1932, Cap Tikus dijual dengan harga 7 hingga 12 sen perbotol. Wartawan De Tijd melaporkan bagaimana warga di Minahasa mendemonstrasikan kadar alkohol kepada mereka. Caranya, cairan Cap Tikus ditumpahkan sediki ke tanah lalu dibakar. Cairan tersebut mengeluarkan api yang berbau spiritus. Jika ia terbakar habis, maka itu tanda kualitasnya bagus. Justru, di saat “zaman malaise”, Cap Tikus sepertinya mengganti minuman-minuman keras impor.
Produksi, peredaran dan konsumsi Cap Tikus kalangan luas di Minahasa, seperti laporan Dinas Kesehatan Masyarakat di Hindia Belanda, tidak terlalu mengkhawatirkan. Namun, di masa sulit, dan di tengah upaya pemerintah memberantas minumas keras lokal, menurut De Tidj, justru muncul semacam jenis minuman keras berbahaya yang perlu diawasi.
“Kita juga melihat ‘pembuatan’ Minahassaschen cognac, yaitu sebotol ‘tjap tikoes’ yang ditambahkan dengan sedikit ramuan cokelat,” ungkap De Tijd dalam laporannya itu.
Terjadi praktek pemalsuan lebel yang menggunakan nama perusahaan minuman keras dari Belanda, tulis De Tijd. Di Jawa, razia yang dilakukan Komisi Pemberantasan Alkohol masa itu menemukan maraknya pemalsuan merek untuk minuman-minuman keras. Peraturan pemerintah yang membatasi produksi dan peredaran minuman keras lokal tidak dapat sepenuhnya mengurangi konsumsi di kalangan masyarakat luas.
Di Minahasa, mula-mula saguer yang menjadi minuman untuk ritual, lalu kemudian Cap Tikus Di masa itu, pesta-pesta komunitas dan keluarga selalu menyajikan saguer dan Cap Tikus.
Dengan status ‘gelap’ atau ‘ilegal’yang diberi pemerintah Belanda terhadap jenis-jenis minuman lokal, termasuk Cap Tikus ternyata justru menimbulkan efek lain. Yaitu munculnya produksi dan peredaran minuman keras oplosan. Meski begitu, di masa penjajahan itu, produksi, peredaran dan konsumsi Cap Tikus tetap berlangsung.
Rupanya, upaya pemerintah Hindia Belanda membatasi dan memerangi minuman keras lokal tidak sepenuhnya berhasil. Buktinya, hingga di era Indonesia merdeka, Cap Tikus masih tetap ada dan digemari masyarakat Minahasa. Kini Cap Tikus harus merayap di tengah dominasi minuman keras impor dan yang diberi status ‘legal’ oleh pemerintah. Sementara upaya legalisasi Cap Tikus memerlukan syarat pengorbanan dari para produsen di kampung-kampung untuk menerima nasibnya sebagai penghasil cairan ‘ilegal’. (*)
Editor: Andre Barahamin