Connect with us

ECONEWS

Catahu 2018 WALHI Jambi: Buruknya Implementasi Pengelolaan SDA

Published

on

11 Januari 2019


Oleh: Andre Barahamin


 

MEMBUKA TAHUN 2019, Wahana Lingkungan Indonesia (WALHI) Jambi merilis laporan analisa tahunan sebagai potret perkembangan pengelolaan sumber daya alam (SDA) sepanjang tahun 2018. Dalam laporan tersebut, WALHI Jambi mencatat sebanyak 156 konflik agraria terjadi di tahun 2018 di provinsi tersebut. Rinciannya, di sektor pertambangan mencapai 95 konflik, Hutan Tanaman Industri (HTI) mencatatkan 57 konflik dan perkebunan tunggal skala besar (agrimonokultur) terdapat 28 konflik.

Dari keseluruhan konflik agraria di Jambi tersebut, ada 21 konflik yang menjadi prioritas penyelesaian yang didorong oleh WALHI. Laporan tahunan itu merinci sebaran konflik secara geografis, yaitu 14 konflik HTI terjadi di tiga kabupaten (3 desa di Kabupaten Muaro Jambi, 1 desa di Kabupaten Tebo dan 10 desa di Kabupaten Tanjung Jabung Barat), 4 konflik perkebunan kelapa sawit yang berada di tiga kabupaten (3 desa di Kabupaten Muaro Jambi, 1 desa di Kabupaten Batang Hari dan 1 desa di Kabupaten Tanjung Jabung Barat) serta ada 2 konflik terkait izin usaha pemanfaat hasil hutan kayu-restorasi ekosistem (IUPHHK-RE) yang berada di 2 desa Kabupaten Tebo.

Menurut WALHI Jambi, terkait konflik-konflik agraria tersebut Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jambi masih terindikasi lebih condong melindungi investasi industri. Sehingga intervensi Pemprov hanya terbatas dalam konteks pemenuhan administrasi perundang-undangannya, dengan bersandar pada Permendagri No. 42 Tahun 2015 terkait dengan Pelaksanaan Koordinasi Penanganan Konflik Sosial.

Laporan tersebut juga mencatat bagaimana target Perhutanan Sosial di Jambi masih jauh dari harapan. Ditargetkan seluas 352.756 hektar di tahun 2018, namun yang dapat direalisasikan hanya seluas 54.710 hektar. Perlambatan realisasi tersebut menurut WALHI Jambi ditengarai dipicu oleh sikap pemerintah yang hanya mengacu wilayah Perhutanan Sosial harus berada di wilayah Peta Indikatif Areal Perhutanan Sosial (PIAPS). Padahal jika menggunakan skema Permen LHK No 83 Tahun 2016, akan mempermudah proses implementasi kebijakan yang dikeluarkan terkait dengan pengurangan wilayah izin di kawasan hutan pada kebijakan Permen LHK No 45 Tahun 2016.

Selain bisa menggunakan pendekatan Permen LHK untuk mempercepat skema Perhutanan Sosial di wilayah yang sudah dibebani izin, regulasi lainnya yang juga bisa ditempuh adalah, mendorong inisiatif pemerintah daerah dalam penyelesaian konflik di wilayah areal izin. Dalam hal ini, bisa menggunakan Permen LHK No 84 Tahun 2015 tentang “Penanganan Konflik Tenurial Kawasan Hutan”.

Terhadap agenda Perhutanan Sosial, WALHI Jambi bersama komponen, masih melakukan konsolidasi dan mendorong percepatannya. Sampai di akhir tahun 2018 ini, WALHI Jambi bersama komponen, baru berhasil mendorong implementasi Perhutanan sosial dalam bentuk Hutan Desa mencapai 73.858,23 hektar. Rinciannya adalah, yang masih dalam tahap potensi seluas 15.149,1 hektar, yang telah diusulkan seluas 39.480,99 hektar dan yang sudah mendapat surat keputusan (SK) seluas 19.228,14 hektar.

Pelambatan dari target Perhutanan Sosial di Jambi ditenggarai oleh beberapa faktor, diantaranya adalah: adanya perlambatan yang dilakukan secara struktural dalam konteks hak kelola rakyat, karena POKJA yang dibentuk pemerintah hanya mendorong kemitraan. Dalam kasus lain, usulan hutan desa yang masuk dalam skema Perhutanan Sosial yang tidak memenuhi prasyarat, dilakukan penghentian dan tidak dimunculkan upaya untuk memperjuangkannya secara bersama. Kelemahan lain yakni fokus Kelompok Kerja (Pokja) yang membatasi diri pada PIAPS. Sehingga tampak tidak adanya upaya mendorong resolusi konflik yang dilakukan oleh pemerintah di wilayah potensi Perhutanan Sosial yang berkonflik.

Agenda Badan Restorasi Gambut (BRG) juga tak luput dari kritik. Menurut WALHI Jambi, kerja-kerja BRG hingga tahun 2018, masih terkosentrasi pada subjek dan objek wilayah kelola rakyat. Dengan agenda-agenda penguatan kapasitas masyarakat, pemberdayaan ekonomi dan sekat kanal. Misalnya, pembangunan sekat kanal yang berada di desa Serdang dan desa Seri Terap, kecamatan Betara Desa, Tanjung Jabung Timur yang dibangun di wilayah kelola rakyat.

Sayangnya, terkosentrasinya agenda kerja BRG di wilayah kelola rakyat, tidak berbanding lurus dengan situasi yang harus direspon cepat oleh BRG di wilayah gambut yang sudah dibebani konsesi, baik perkebunan kelapa sawit, HTI maupun pertambangan. Berdasarkan sumber dari Dinas Kehutanan (Dishut) Provinsi Jambi per 5 September 2015, ada 46 perusahaan baik perkebunan kelapa sawit maupun Hutan Tanaman Industri (HTI) yang mengalami kebakaran di lahan konsesinya dengan jumlah titik api mencapai 1700 dan luasan kebakaran mencapai 135.000 hektar.

Menurut analisis WALHI Jambi, luasan gambut yang tersebar di Provinsi Jambi mencapai 716. 838 hektar, berada di 133 desa telah dibebani izin mencapai 70%, baik oleh industri perkebunan kelapa sawit dan juga HTI. Dari 133 desa yang berada di wilayah gambut, ada 84 desa berada di wilayah konsesi industri, 36 desa ada di sekitaran izin industri perkebunan kelapa sawit dan 48 desa lainnya yang berada di wilayah konsesi HTI.

Sayangnya, menurut WALHI Jambi wacana upaya penegakan hukum terhadap perusahaan yang melanggar lingkungan yang diharapkan menjadi bagian dari upaya mitigasi, ternyata masih menjadi mimpi yang tak kunjung datang. Faktor penentu dari penguasaan wilayah kelompok industri di Jambi yang berdampak pada kerusakan lingkungan, disebabkan wilayah konsesi berada di wilayah bukan peruntukannya.

Wilayah-wilayah yang seharusnya dilindungi dan dilakukan pemulihan karena mengalami kebakaran -seperti wilayah hidrologi gambut sungai Batanghari, sungai Kumpeh di Kabupaten Muaro Jambi- saat ini hampir secara keseluruhan tertutup izin perkebunan kelapa sawit. Melihat fakta ini, WALHI Jambi pesimis menatap rencana dan implementasi pembangunan di Jambi. Bagi WALHI Jambi terlihat jelas adanya kesamaan yang tidak berbeda jauh dengan isu strategis yang dibangun di level nasional terkait konsesus internasional -yang skenarionya adalah menjadikan Indonesia sebagai negeri penyedia bahan baku.

Dalam platformnya mengawali 2019, WALHI Jambi berpendapat bahwa situasi seperti ini harus dihentikan. Sistem dan kebijakan ekonomi dan pembangunan yang berlandaskan pada sistem ekonomi kapitalisme dan rezim neo liberalisme harus diganti dengan sistem ekonomi kerakyatan yang berkeadilan dan berkelanjutan, dengan berpegang pada prinsip pemenuhan hak asasi manusia dan demokratis. Memberikan jalan serta pengakuan bagi inisiatif-inisiatif rakyat dalam pengelolaan kekayaan alam, membangun narasi ekonomi dan pembangunan baru yang menempatkan rakyat sebagai subjek yang memiliki kekuatan untuk membangun kemandirian dan kedaulatan atas ruang hidup, kedaulatan ekonomi, kedaulatan dalam pengelolaan kekayaan alam.

Pengelolaan SDA di Jambi saat ini, menurut WALHI Jambi masih dalam fase ketidakadilan, dalam konteks hak pengelolaan oleh rakyat maupun dalam konteks keberlanjutan lingkungan. Ketimpangan penguasaan wilayah kelola yang saat ini masih didominasi penguasaannya oleh kelompok- kelompok industri berbanding lurus dengan laju kerusakan lingkungan sebagai efek sampingnya.

Munculnya konflik tanah, pelanggaran HAM, kerusakan di kawasan gambut maupun hutan dan bencana ekologis akibat ekspansi industri ekstraktif, merupakan bagian yang tidak terhindarkan. Kebijakan pengeluaran izin industri berbasis sumberdaya alam, tidak diimbangi dengan perangkat mitigasi dan penegakan hukum dalam proses pemulihan lingkungan yang harus dilakukan.

Situasi tersebut diperburuk dengan situasi perlambatan peningkatan ekonomi yang terjadi di Jambi, yang seharusnya direspon Pemprov Jambi terkait dengan arah pembangunan yang dilakukan. Reorientasi ini mencakup mengubah cara pandang pembangunan industri yang hanya sekedar menjadi penyedia bahan baku berbasis sumber daya alam, menjadi ekonomi kreatif yang berbasis pada kearifan lokal.(*)

 


Editor: Daniel Kaligis

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *