Connect with us

CULTURAL

Cerita Tumalun dan Lulu Dalam Penjara Stigma

Published

on

14 Oktober 2025


“Fungsi dari tempat itu masih sama sampai sekarang ini, yaitu untuk ‘meminta’. Namun, motifnya telah bergeser. Dahulunya sebagai sarana permohonan kehidupan, kesuburan, berkat dan ucapan syukur kepada Opo Empung. Tetapi, yang sekarang kebanyakan menjadi tempat meminta ‘nomor’ untuk kupon undian dan ‘kesaktian’.”


Penulis: Arfin Tompodung


SORE itu, Sabtu, 28 Februari 2015. Dikala langit mulai cerah sehabis turunnya hujan, mulailah tim Sekolah Mawale melakukan ziarah kultura. Usai berbagi pengetahuan dalam ruang diskusi di Wale Pawowasan Toudano, rencananya kami akan berkunjung ke beberapa situs budaya di Sumalangka, Tondano Utara.

Kami bergerak bersama hingga tiba di batas hutan. Beramai-ramai kendaraan roda dua diparkir di salah satu rumah warga. Setelah itu, kami langsung lanjut perjalanan dengan berjalan kaki menelusuri hutan Sumalangka. Tak lupa membawa tawaang yang dipetik di daerah sekitar, sebagai persiapan untuk menandai situs. Langkah awal kaki langsung menanjak tanah berbukit. Pemandangan banyaknya pohon yang roboh karena ditebang, menyambut perjalanan kami.

“Selamat sore. Mo ba foto-foto di atas dulu,” kata Rikson Karundeng, penggerak Sekolah Mawale kepada seorang bapak yang sedang membelah kayu.

“Oh io, … di atas ada tu tampa-tampa ba tanya nomor,” jawab bapak itu.

“Di sini tampa ada situs dorang cuma tau tampa ba tanya nomor togel,” jelas saya ke Rikson.

Watu Panibe Sumalangka

Watu Panibe Sumalangka

Di tengah-tengah hutan itu semua jalanan hampir mirip. Kamia harus memasuki semak belukar. Kadang membuat teman yang hanya berjarak dekat tak kelihatan. Apalagi kami berjalan dalam posisi berbaris.

Selang beberapa menit saja kami telah sampai di situs pertama yang disebut panibe. Panibe adalah batu tanda berdiri kampung di Tondano. Sama halnya dengan tumotuwa yang dikenali di Selatan Minahasa. Dalam ingatan masyarakat, panibe ini adalah milik Opo (leluhur) Tumalun. 

Dari situ kami menuju ke tiga situs lainnya. Watu Rimper, Watu Reamusan dan Watu Makalulu. Menurut budayawan Minahasa, Rinto Taroreh, situs-situs ini termasuk ‘tua’. Situs ini memiliki keterkaitan dengan perjalanan Opo Tumalun yang legendaris.

“Situs ini terkait dengan perjalanan Opo Tumalun semenjak pembagian di Watu Pinawetengan. Dia turun dari gunung Masarang dan tiba di Tondano,” ucap Taroreh.

Dalam pengembaraannya untuk menjaga talun atau hutan-hutan di Minahasa, Opo Tumalun selalu ditemani makhluk yang disebut Lulu. Merekalah yang membantu Tumalun, termasuk membuat batu-batu penanda. Beberapa batu itu memiliki kemiripan, bagian atasnya diratakan. 

”Lulu, makhluk yang mengikuti dan membantu Tumalun. Dorang pende-pende, ba jenggot panjang mar bukang manusia. Dapat dikatakan Lulu ini adalah roh penjaga hutan. Ketika ada penebangan hutan, dorang yang beking keseimbangan. Bagus ada situs seperti ini supaya hutan di sekitar tetap terjaga,” ungkap Taroreh.

Mendengar hal ini, mengingatkan sebuah cerita semasa kecil. Cerita negatif yang tak sejalan dengan arti sesungguhnya dari kehadiran Lulu. Kisahnya justru kadangkala dipakai orangtua untuk menakut-nakuti anak. Biasanya supaya anak bermain tidak jauh. Katanya, kalau terlalu jauh ke hutan akan dibawa oleh Lulu. Bahkan Lulu dianggap suka membuat orang hilang di tengah hutan. Berputar-putar di tempat yang sama dan membawa manusia sesuka hatinya. Dari cerita itu, Lulu terkesan jahat.

Watu Rimper

Watu Rimper

Ada yang mengatakan bahwa Lulu telah hadir sebelum leluhur Minahasa datang di tanah ini. ”Ada data yang mengatakan bahwa Lulu sudah ada sebelum kedatangan leluhur orang Minahasa,” kata Denni Pinontoan, akademisi dan pegiat Mawale Movement.

Jurnalis dan aktivis budaya, Rikson Karundeng menjelaskan, Lulu itu bukanlah suruhan dari Opo Tumulan. Menurutnya, Opo Tumalun diberikan karunia khusus atau kemampuan untuk berkomunikasi dengan mereka. Lulu menjadi partner bersama  Tumalun untuk menjaga keseimbangan alam. Dalam perjalanan Tumalun, ia dikenal leluhur yang sangat ramah dengan  lingkungan. Tumalun bisa berkomunikasi dengan semua hewan. Di setiap perjalanannya, ia selalu memberi makan binatang-binatang hutan. Ketika akan memberi makan, Tumalun memiliki keahlian khusus memanggil binatang hutan berkumpul. Bukan karena ia adalah seorang peternak, tetapi Tumalun-lah yang mengupayakan tetap tersedianya stok binatang hutan dari para pemburu. 

“Bisa dikatakan Tumalun leluhur yang menjaga stok tersedianya binatang di hutan seperti anoa atau sapi hutan dan babi hutan,” terang Karundeng.

Kisah mengenai Opo Tumalun adalah legenda tua yang berkembang seiring cerita kuno di Sumalangka mengenai hadirnya sosok binatang buas. Sebelum dinamakan Sumalangka, dahulunya wilayah itu adalah hutan lebat yang dikuasai oleh binatang langka raksasa. Sekali ia melangkah bisa dari bukit ke bukit. Binatang itu disebut Salangkouw. Nama  ‘Salangkouw’  memiliki banyak interpretasi. Ada yang mengartikan terdiri dari kata ‘esa’ dan ‘langkouw’. ‘Esa’ berarti satu, sedangkan ‘langkouw’ sering disamakan dengan hewan langka anoa yang dalam Minahasa dikenal dengan lengkouw. Sehingga, Salangkouw dalam pemahaman ini diartikan binatang ‘sesekali saja muncul’ atau ‘jarang ditemui’. Tapi, ada juga yang menyamakan ‘langkouw’ dengan ‘langkah’, menggambarkan tentang binatang yang memiliki langkah kaki panjang dalam sekali melangkah.

Nampaknya penamaan Sumalangka yang dikenal oleh masyarakat sekarang ini dengan penggalan kata ‘cuma’ dan ‘langkah’ (selangkah/satu langkah), memiliki  ‘darah’ atau ‘ingatan’ dari pengertian binatang yang punya langkah panjang ini. Ceritanya, dahulu saluran air di Sumalangka bisa dilewati dengan selangkah kaki saja oleh manusia.

Binatang Salangkouw ini dikenal buas. Dari ceritanya, ia sering dijumpai para leluhur dahulu di sebuah pancuran air dekat bukit Masarang. Para leluhur sering mendapati ia sedang menangkap air dengan mulutnya. Inilah awal disebut Sumalangka. Akhirnya wilayah ini lama-kelamaan mulai disebut perkebunan Sumalangka. “Terdiri dari ‘suma’ yang artinya ‘mulut’ dan ‘langka’ yang berarti ‘berjinjit’,” ucap Fredy Wowor, peneliti budaya Minahasa.

Wowor menganalisa, itu merupakan cerita-cerita tua yang berkembang dengan Opo Tumalun. Ada nilai yang ingin ditanamkan orangtua dengan menceritakannya secara sederhana turun-temurun. Ini mengungkapkan tentang bagaimana setiap manusia harus punya ‘spirit’ untuk mampu bertahan hidup.

”Situs-situs ini sebagai tempat meminta leluhur pada Sang Khalik. Ini memberikan arti suatu pertanda hidup. Kemampuan untuk eksis. Bahwa kita bisa hidup ketika meminta langsung kepada Tuhan. Binatang saja boleh hidup. Dari sini kita bisa mempelajari sesuatu, sebab sekarang sudah hilang. Kita tidak ada lagi kaca untuk bercermin,” jelas Wowor.

Fungsi dari tempat itu masih sama sampai sekarang ini, yaitu untuk ‘meminta’. Namun, motifnya telah bergeser. Dahulunya sebagai sarana permohonan kehidupan, kesuburan, berkat dan ucapan syukur kepada Opo Empung. Tetapi, yang sekarang kebanyakan menjadi tempat meminta ‘nomor’ untuk kupon undian dan ‘kesaktian’. Ini suatu fakta, di mana tou Minahasa seolah-olah terpisah dengan kehidupan dahulu. ”Kita seolah-olah terpisah dan memang telah sengaja dipisahkan,” tegas Denni Pinontoan.

Nilai-nilai luhur yang ditinggalkan hilang berganti iming-iming barang produk modern, televisi yang seakan menjadi jawaban hidup. Stigma-stigma negatif disodorkan di setiap situs penanda tua, untuk memberi peluang usaha-usaha kapitalisme.  Keramaian  dan kebersamaan dalam ucapan syukur wanua (kampung/negeri), telah terkikis oleh sikap individualis. Kesunyian kemudian ingin diobati dengan mendirikan bangunan pusat-pusat keramaian dalam bentuk ‘mart’. Menjadi sebuah langkah awal mengundang para ‘monster’ pembumbung modal, yang akhirnya meraut rakyat. Tanah-tanah menghasilkan, disulap menjadi aspal, beton, mesin-mesin hasrat yang menyedot hidup tou Minahasa.

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *