Connect with us

FEATURE

Chu Yiu-ming, Pendeta yang Terus Melawan

Published

on

15 April 2019


Oleh: Denni Pinontoan


 

Chu Yiu-ming adalah seorang pendeta, ia memimpin gerakan pembangkangan sipil di Hong Kong, hukuman penjara ia harus terima sebagai jalan salib Kristus

 

CHU YIU-MING, kini berusia 75 tahun, pendeta Gereja Baptis, Chai Wan Hongkong adalah pemimpin gerakan pembangkangan sipil di kota itu tahun 2014. Ia digerakan oleh iman yang otentik kepada Kristus yang telah memilih jalan sengsara demi kehidupan yang merdeka. Ia adalah salah satu pendiri Occupy Central With Love and Peace, gerakan pro demokrasi yang telah mengorganisir demonstrasi massa besar bernama “Umbrella Movement” di Hong Kong.

Aksi pembangkangan sipil ini berlangsung dari 28 September – 15 Desember 2014 (79 Hari). Massa memprotes pembatasan hak-hak demokrasi terhadap warga Hongkong oleh pemerintah Tiongkok. Aksi ini dipicu oleh keputusan yang dikeluarkan Standing Committee of the National People’s Congress (NPCSC) yang menolak hak pilih untuk semua warga Hong Kong.

Hong Kong dulunya adalah koloni Inggris. Ia kemudian menjadi bagian dari Republik Rakyat Tiongkok.

Pdt. Chu Yiu-ming mengingatkan kita pada Martin Luther King, jr yang menolak rasisme di Amerika. Juga, Dietrich Bonhoeffer, pendeta Lutheran Jerman yang menolak tunduk pada kekuasaan diktator Hitler. Semua aksi mereka itu dimaknai sebagai bagian dari upaya mewujudkan iman kepada Yesus, seorang manusia yang pernah hadir dalam sejarah. Dia yang telah memilih sengsara, jalan salib dan menolak cara-cara berkuasa yang hegemonik tanpa kekerasan.

Pada Selasa, 9 April lalu, Pdt. Chu Yiu-ming bersama sejumlah tokoh gerakan pembangkangan sipil di Hon Kong tahun 2014 menerima vonis hukuman. Mereka dinyatakan bersalah dan dihukum penjara dengan tuduhan telah melakukan tindakan yang mengganggu publik pada serangkaian aksi protes tahun 2014.

Siapa Pdt. Chu Yiu-ming? Mengapa ia yang adalah seorang pendeta menggerakan aksi pembangkangan sipil? Apa komitmennya?


Lahir dari Keluarga Miskin

Di pengadilan itu, sebelum vonis dijatuhkan, dari mimbar terdakwa, Pdt. Chu Yiu-ming yang sudah uzur itu, berambut putih, dengan ketegaran hati membacakan pengajuan terakhirnya.

Hong Kong Free Press, 9 April 2019 memberitakan secara lengkap naskah pengajuan terakhir Pdt. Chu Yiu-ming tersebut. Naskah ini dibagikan oleh tim hukumnya pada media. Versi bahasa Mandarin naskah tersebut telah dibacakan di pengadilan pada Selasa, 9 April.

Pada pidatonya, Pdt. Chu Yiu-ming Yiu-ming mengatakan, dia adalah seorang pendeta Kristen yang berkomitmen melayani Tuhan.

“Saya telah memutuskan untuk menjalani kehidupan persahabatan dengan yang lemah dan yang miskin, berdoa agar keadilan Tuhan dimanifestasikan di bumi seperti di surga, dan bahwa Injil cinta dan damai diberitakan di antara orang-orang,” katanya membuka pidato itu.

Tetapi hari ini, lanjut Pdt. Chu Yiu-ming, ia adalah seorang tua yang berada di pengadilan, mengajukan permohonan terakhir sebagai terpidana.

“Terlihat sangat absurd, jika tidak langsung memalukan bagi seseorang yang memegang jabatan suci,” katanya.

“Masa kita adalah zaman absurditas. Hidup dalam masyarakat di tepi otoriterisme dan pemerintahan yang sewenang-wenang, izinkan saya menjadi orang yang berani, menyuarakan, membangunkan jiwa-jiwa yang tertidur,” katanya lagi.

Chu Yiu-ming lahir pada 10 Januari 1944 dari keluarga miskin. Ia bertumbuh sebagai anak dengan hampir tidak ada yang bisa diandalkan. Ia kemudian hidup bersama neneknya.

Di usia kanak-kanak, Chu Yiu-ming menyaksikan kebrutalan gerakan land reform.  Ia melewati masa-masa sulit. Pemerintah begitu berkuasa. Kemiskinan adalah bagian dari kehidupan masyarakat umumnya.

Setelah menyelesaikan sekolah dasar ia lalu bertumbuh sebagai remaja petani. Menjadi pekerja upahan di ladang. Mengembalakan kerbau. Bersama neneknya, ia selamat melewati masa-masa sulit itu.

Tapi pada suatu waktu ia harus hidup sendirian.

“Nenek meninggal. Saya sendirian. Tapi di ranjangnya, dia meminta tetangga untuk membantuku  dipulangkan ke Hong Kong. Tas di tangan, saya berjalan sepanjang hari untuk mencapai stasiun bus Taishing,” tutur Pdt. Chu Yiu-ming seperti tertulis pada naskah pengajuan terakhirnya itu.

Di Hong Kong, ia menjadi penyemir sepatu. Sering mendapat perlakuan kasar dari gang triad.

Suatu hari ini kena demam. Ia ternyata mengidap penyakit rematik jantung.

Ia kemudian dirawat di rumah sakit selama dua bulan. Selama di rumah sakit, ia hanya sendirian. Tidak ada keluarga atau teman yang mengunjunginya.

“Tidak ada yang lebih menyakitkan dari itu,” katanya.

Sempat dia berpikir tentang apa arti hidup macam itu. Hidup sepertinya adalah sebuah beban. Dan, kematian adalah pembebasan.

Di  masa-masa perenungan itu, seorang wanita tua yang lembut menawari dia pekerjaan sebagai petugas kebersihan sekolah. Di kampus itu, Chu Yiu-ming bertemu dengan seorang guru senior dan mengundangnya untuk pergi ke gereja.

“Yesus berkata, ‘Akulah Jalan, Kebenaran, dan Hidup. (Yohanes 14/6). Cahaya di akhir penderitaan menerangi hidup saya,” katanya.

Itulah yang kemudian memberinya semangat untuk terus melanjutkan hidup. Hidup itu keras dan brutal, kata Pdt. Chu Yiu-ming, “tetapi selama ada tanda-tanda cinta, kebenaran, saya bertekad untuk mengikuti jalan yang lebih mulia.”

Karena semangat dan iman kepada Tuhan yang memberi rahmat, kata Pdt. Chu Yiu-ming, ia akhirnya berhasil mengatasi kesulitan pendidikan dan keuangan.

Berbekal $ 130, upah yang diterima setiap akhir bulan, ia akhirnya dapat bersekolah sambil kerja. Ia menjalani 3 tahun di sekolah menengah, 4 tahun di perguruan tinggi dan 3 tahun di seminari teologi.

“Tekad saya: untuk memberitakan Firman, untuk melayani masyarakat kelas bawah, dan berjalan dengan yang lemah dan yang miskin,” ujarnya.


Menjadi Pendeta bagi Kaum Miskin

Setelah tamat dari seminari teologi, ia lalu ditahbiskan sebagai pendeta gereja Baptis. Pada 1974, ia mulai melayani Gereja Baptis Chai Wan, Hon Kong.

Chai Wan adalah sebuah distrik yang penuh sesak manusia. Masyarakatnya miskin, tingkat pendidikan rendah. Fasilitas kesehatan masyarakat tidak memadai. Kesempatan kerja kurang.

Sekolah umum tersedia, tetapi keluarga-keluarga tidak terlalu mendukung anak-anaknya untuk bersekolah. Keluarga-keluarga tinggal di rumah-rumah yang kecil. Masalah narkoba dan kejahatan sering terjadi di kalangan kaum muda.

Masih banyak keluarga masih yang tinggal di gubuk-gubuk, sementara alam tidak selalu bersahabat.

“Ketika bencana melanda, saya mendapati diri saya di tempat kejadian, mendukung, merangkul, menghibur orang-orang. Saya merasakan sakit dan ketidakberdayaan mereka,” ujar Pdt. Chu Yiu-ming mengenang.

Ringkasnya, Chu Yiu-ming, sebagai pendeta muda waktu itu sangat merasakan penderitan rakyat, sementara pemerintah sering memperlakukan rakyatnya itu tidak adil. Pada saat-saat tertentu ia harus mendampingi jemaatnya yang mengalami ketidakadilan untuk menyelesaikannya secara hukum. Ia tidak hanya berdoa tapi mengambil tindakan.

Mengenai tugasnya sebagai pendeta, Pdt. Chu Yiu-ming berkata, “Bagi mereka yang telanjang atau lapar, pendeta Kristen tidak punya urusan menanggapi dengan salam Damai. Saya berharap Anda baik-baik saja; tetap hangat dan cukup makan, tetapi tidak melakukan apapun tentang kebutuhan fisik mereka. Apa bagusnya salam seperti itu? Jadi tanyakan Alkitab.”

Sehingga bagi dia, gereja harus mengambil langkah. Gereja harus menjadi komunitas yang menumbuhkan harapan.  Sebuah komunitas yang merangkul penderitaan dan rasa sakit.

“Inilah arti sebenarnya dari menjadi gereja,” ujarnya Pdt. Chu Yiu-ming.

Sebagai pendeta, Chu Yiu-ming kemudian bertekad untuk menjadi bagian dari jemaat dan orang-orang banyak itu. Berupaya meningkatkan kualitas hidup mereka. Mengupayakan semua yang dibutuhkan oleh orang banyak untuk kenyamanan mereka, kesehatan, pendidikan, dan ekonomi.

“Saya telah dipanggil sebagai hamba Tuhan. Meniru Kristus. Mengikuti langkahnya. Mengambil misinya. Mengetahui keprihatinannya bagi dunia. Tidak takut akan tekanan politik atau bagaimana orang lain melihat pekerjaannya,” begitu Pdt. Chu Yiu-ming merefleksikan arti pelayanan.

Pdt. Chu Yiu-ming adalah generasi yang pernah hidup dalam perang dan kekacauan. Ketika melarikan diri ke Hong Kong, hidupnya tidak menentu dan bahkan melarat.

Pada tahun 1984, pemerintah Cina dan Inggris mencapai kesepakatan dan menandatangani Deklarasi Bersama. Hong Kong akan kembali ke China, dan ‘Satu Negara Dua Sistem’, ‘Rakyat Hong Kong yang memerintah Hong Kong’, ‘otonomi penuh ‘ dan ‘Tidak ada perubahan selama 50 tahun’ akan diperkenalkan. Namun kepercayaan publik tetap rapuh. Begitu kata Pdt. Chu Yiu-ming masih dalam pengajuan terakhirnya itu.

Lalu, dari kondisi ini gereja-gereja Kristen di Hong Kong kemudian melakukan langkah-langkah nyata. September 1984, katanya, 89 kelompok dan organisasi berkumpul di Teater Ko Shan, Tokwawan menyerukan ‘Kekuatan untuk Rakyat’. Untuk membangun kepercayaan di antara orang-orang, gereja-gereja Kristen memproklamirkan serangkaian keyakinan dasar pada tahun yang sama.

Pasca 1997 mereka menuntut agar Hong Kong memperoleh otonomi penuh. Antara lain yang dituntut adalah jaminan hak asasi manusia, kebebasan pers, berserikat dan berkumpul. Setiap warga menerima haknya untuk bepergian dan meninggalkan kota. Juga kebebasan berkeyakinan beragama dan kebebasan berkhotbah harus dijamin.

Pemerintah diminta untuk bertanggung jawab langsung kepada rakyat, tidak hanya pembangunan ekonomi Hong Kong. Legislatif, yudikatif dan eksekutif pemerintahan harus tetap independen satu sama lain.

Semua upaya gereja itu, bagi Pdt. Chu Yiu-ming adalah wujud keyakinan iman.

“Ini adalah keyakinan kami berdasarkan pada iman yang kami pegang: Setiap orang diciptakan menurut gambar Allah,” ungkapnya.


Pendeta Revolusioner di Balik Aksi Pembangkangan Sipil

Pdt. Chu Yiu-ming berkata, “Kami berjuang untuk demokrasi, karena demokrasi berjuang untuk kebebasan, kesetaraan dan cinta universal. Kebebasan politik lebih dari loyalitas kepada negara. Ia mengakui martabat manusia.”

Hak asasi manusia adalah anugerah yang diberikan Tuhan, tidak akan pernah diambil secara sewenang-wenang oleh rezim politik mana pun. Kata Pdt. Chu Yiu-ming.

Pdt. Chu Yiu-ming menyaksikan peristiwa pembataian brutal pada 1989 terhadap orang-orang yang terlibat dalam gerakan demokrasi di Beijing. Ini, baginya justru membuat aspirasi demokrasinya makin membara.

Waktu terus bergulir. Harapan perjuangan belum terwujud.  

Namun justru perjuangan makin kokoh dilakukan oleh lebih banyak orang.  Pada tahun 2002, Hong Kong Development Network terbentuk. Ia dipimpin oleh Profesor Chan Kinman. Sebanyak 30 profesor berkumpul untuk mengembangkan struktur politik yang konsisten dengan persyaratan Undang-Undang Dasar. Pada April 2004, Hong Kong Development Network selesai menyusun proposal tentang Struktur Politik, siap untuk diserahkan kepada pemerintah, dan untuk rilis untuk diskusi publik.

Namun, pada 6 April, pemerintah pusat mengumumkan penafsiran mereka terhadap Undang-Undang Dasar. Penafsiran itu menolak hak pilih untuk semua warga negara dalam pemilihan 2007, 2008.  Semua akademisi yang berpartisipasi menyatakan kemarahan mereka mengenakan pakaian hitam dalam konferensi pers pada bulan Mei. Di sana, mereka mengumumkan “Demokrasi di Hong Kong sudah Mati”.

“Sejak itu, saya mengabdikan diri pada pendidikan kewarganegaraan dan untuk pelayanan sosial gereja,” kata Pdt. Chu Yiu-ming.

Pada 2008 ia jatuh sakit. Sakit yang serius. Dokter mengatakan, bahwa ia hanya memiliki 50 persen pelung untuk bertahan hidup. Tapi ia ternyata masih dapat bertahan hingga kini.

Setelah boleh sehat kembali, kata Pdt. Chu Yiu-ming, ia sempat berpikir untuk fokus pada pelayanan yang baik bagi gereja sambil menunggu penggantinya. Menyiapkan waktu lebih banyak untuk istri dan keluarga, untuk dua cucunya. Bermain-main dengan mereka di pantai. Menulis buku tentang gerakan rakyat.

“Jika saya mengelola ini, saya akan menganggap diri saya orang yang bahagia,” katanya.

Tahun 2010 Pdt. Chu Yiu-ming pensiun sebagai pendeta. Umat dan sahabat-sahabanya memberi saran agar dia berhenti saja. Habiskan waktu lebih banyak untuk keluarga.

Tapi,  Januari 2013, Profesor Tai Yiuting menerbitkan artikelnya di koran tentang ‘Pembangkangan Sipil – senjata yang sangat potensial bagi Gerakan Demokrasi Hong Kong’.  Mulanya, Pdt. Chu Yiu-ming tidak terlalu memperhatikan artikel itu.

Februari 2013, Profesor Tai mengundang Pdt. Chu Yiu-ming dan Profesor Chan Kinman untuk bergabung dengannya dalam kampanye pembangkangan sipil. Dia terkejut. Sebab, dia kini sudah berusia lanjut. Tubuh sering sakit.

“Bagaimana mungkin saya bisa membuatnya? Saya menelepon teman baik saya untuk meminta nasihat. Yang mengejutkan saya, Profesor Chan menjawab, ‘Saya di Paris sekarang. Anda teruskan dan katakan ‘Ya’. Kita akan berbicara ketika saya kembali.”

Soalnya masih sama. Bahwa, jika pemerintah salah mengatur, mengabaikan norma-norma etika, tampaknya hanya sedikit kesempatan untuk hak pilih bagi semua warga negara pada pemilu 2017. Pdt. Chu Yiu-ming akhirnya menyatakan setuju untuk bergabung. Di usia lanjut. Dalam kondisi tubuh yang sering sakit.

“Tetapi saya tidak bisa mengabaikan seruan hati nurani. Saya tidak pernah bisa membiarkan saudara saya pergi sendirian,” kata Pdt. Chu Yiu-ming.

Maka, pada 27 Maret 2013, di dekat kayu salib pada sebuah gereja, Pdt. Chu Yiu-ming dan kawan-kawannya itu mendeklarasikan pernyataan ‘Occupy Central with Love And Peace’. Mereka menyatakan komitmen untuk melakukan pembangkangan sipil tanpa kekerasan.

Pada hari itu, Pdt. Chu Yiu-ming berdoa kepada Tuhan untuk menyatakan, bahwa mereka akan melakukan gerakan itu tanpa kebencian. Jalan perjuangannya adalah dengan cara damai dan tanpa kekerasan. Tujuannya adalah untuk menegakkan hukum, menggugat ketidakadilan struktur polituk dan kebebasan bagi generasi masa depan.

‘Occupy Central with Love and Peace’ kemudian bergerak dengan cara musyawarah dan dialog warga. Tujuannya adalah menuntut hak pilih bagi semua warga negara. Tapi, pada Juni 2014, pemerintah pusat justru menegaskan sistem pemerintahan versinya yang dituangkan dalam buku putih. Isinya adalah tentang praktek satu negara dua sistem dalam The Hong Kong Special Administrative Region Passport (HKSAR). Ia menekankan tentang otoritas Beijing atau pemerintah pusat Tiongkok terhadap hak kewarganegaraan penduduk Hong Kong.

Hal itu jelas bertentangan dengan prinsip yang diakui dalam deklarasi bersama, bahwa rakyat Hong Kong memiliki hak untuk mengatur Hong Kong dengan otonomi penuh. Mereka lalu bertanya dengan dasar itu.

“Jawaban dari pejabat pemerintah pusat: ‘Dengan dimulainya kembali kedaulatan, Deklarasi Bersama tidak lagi efektif.’

Pada 31 Agustus 2014 Standing Committee of the National People’s Congress menutup kemungkinan hak pilih semua bagi semua warga Hong Kong.

“Tidak ada hak pilih universal. Tidak ada diskusi lebih lanjut.”

Makanya, jalannya adalah pembangkangan sipil. Inilah awal dari Occupy Central yang kemudian membawa Pdt. Chu Yiu-ming dan tokoh-tokoh lainnya ke pengadilan.

Lahirlah gerakan Umbrella Movement. Sepanjang bulan September hingga Desember, massa besar mengambil bagian dalam aksi-aksi gerakan ini.

Pdt. Chu Yiu-ming, seorang yang sudah tua, dengan tubuh yang sering sakit menjadi salah satu pemimpin gerakan pembangkangan sipil dengan damai dan tanpa kekerasan itu. Tapi, pemerintah pusat tidak bergeming.

Setiap melakukan aksi, ketika kekerasan dapat kapan saja terjadi, Pdt. Chu Yiu-ming terbayang peristiwa di lapangan Tienaman, Beijing.

“Hati saya terus mengatakan kepada saya, ‘Harus melindungi para siswa. Harus menjaga orang-orang dari bahaya,” katanya.

Dengan semakin banyak resiko kekerasan, maka awal Oktober mereka memutuskan untuk menempuh jalan dialog. Meskipun begitu, mereka tetap saja tidak aman. Pengunjuk rasa diintimidasi. Dipukuli oleh oleh triad. Tapi, mereka masih menolak menyerah dan berusaha untuk berdialog.

Tapi jalan dialog buntu. Para demonstran, mereka kebanyakan adalah orang-orang muda menolak menyerah. Mereka menatang gas air mata dengan payung. Itulah awal awal mula Umbrella Movement.

“Demikianlah awal dari Umbrella Movement, epik, ikonik, menggembirakan,” kenang Pdt. Chu Yiu-ming.

Aksi berlansung selama 79 hari itu, sekira 1,2 orang telah berpartisipasi. Mereka telah menunjukkan kualitas sebagai rakyat Hong Kong untuk perubahan yang damai dan tanpa kekerasan.

“Selama periode itu, tidak ada bangunan yang rusak, dan tidak ada properti yang terbakar,” katanya.

Kerugian ekonomi hampir tidak ada. Bahkan toko-toko kecil mendapat untung dari pengunjuk rasa. Kata Pdt. Chu Yiu-ming, justru pemilik toko dan penduduk menawarkan makanan, pakaian, dan tenda kepada para peserta.

“Sebuah komunitas besar yang saling peduli.”

Kekerasan justru dilakukan oleh geng triad. Polisi yang memukuli pengunjuk rasa.

Namun peserta tetap setia pada perdamaian dan aksi non-kekerasan.

“Dan menolak untuk mundur.”

Kata pendeta Pdt. Chu Yiu-ming dengan tegas, lalu apakah gerakan pembangkangan harus disalahkan?!

Ia lalu mengutip kata-kata Howard Zinn, sejarawan dan pemikir sosialis Amerika:

Salah! Menyalakan gerakan pembangkangan sipil adalah salah.

Masalah kita ini berasal dari ‘Ketaatan Sipil’.
Dengan kepatuhan seperti itu, banyak pria dan wanita terseret ke dalam perang yang menewaskan dan melukai ratusan ribu orang.
Dengan kepatuhan seperti itu, tak terhitung jumlahnya pria dan wanita menutup mata terhadap kemiskinan, kelaparan, kebodohan, perang, dan kebrutalan.
Dengan kepatuhan seperti itu, pencuri kecil dan penjahat kecil memenuhi penjara, sementara para pelaku yang benar-benar jahat dihormati sebagai kepala negara.

 

Pada akhir pembacaan pengajuan terakhirnya, Pdt. Chu Yiu-ming berkata:

Hari ini adalah 9 April 2019. 51 tahun yang lalu, pada tanggal 4 bulan ini, seorang pria yang cinta damai, seorang penganjur aksi tanpa kekerasan untuk perubahan sosial, ditembak mati. Kata-kata pria hebat ini, Dr Martin Luther King masih berbicara kepada kita hari ini.

“Lawan, kita harus. Kebebasan tidak pernah datang sebagai hadiah. Penindas yang kuat tidak akan pernah menawarkan kebebasan kepada yang tertindas dengan kedua tangan. Hak dan peluang harus diraih dengan pengorbanan dan penderitaan beberapa orang, ” ia mengutip ucapan Martin Luther King, jr lagi.

“Kebencian berdarah kebencian. Kekerasan melahirkan kekerasan. Kita harus menggunakan cinta untuk menghadapi kekuatan kebencian. Tujuan kami bukanlah kekalahan atau penghinaan orang kulit putih. Sebaliknya, kita harus memenangkan persahabatan dan pengertian mereka. ”

“Saya berdoa agar belas kasih akan menghasilkan keberanian dalam diri kita untuk melawan kejahatan sistem yang tidak adil ini,” tegas Pdt. Chu Yiu-ming.

“Aku, Chu Yiu Ming, Tai Yiu Ting dan Chan Kin Man, dari mimbar terdakwa ini, menyatakan,

Kami tidak menyesal,
Kami tidak menyimpan dendam,
Tidak ada kemarahan,
Tidak ada keluhan.
Kami tidak menyerah.
Dalam kata-kata Yesus,
Berbahagialah orang yang dianiaya oleh sebab kebenaran, karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga’ (Matius 5:10)
Ya Tuhan, yang berbelaskasih dan adil – bagimu aku mempercayakan hidupku, semoga kehendakmu yang jadi!

Dan, pernyataan itu adalah untuk menyambut ketukan palu hakim yang memutuskan: mereka telah melakukan kesalahan!

Di luar pengadilan itu para pendukung mereka yang menggunakan payung berwarna kuning berkumpul. Benny Tai, berkata kepada mereka, “Apa pun yang terjadi hari ini, saya memiliki keyakinan bahwa banyak orang di sini akan berjuang untuk demokrasi Hong Kong.”(*)


Editor: Daniel Kaligis


Komitmen dan misi kami adalah menghadirkan media dengan mutu jurnalisme yang baik. Menurut pendapat kami, salah satu syarat penting untuk mencapai hal itu adalah indepedensi.
Sejak awal, kami telah menetapkan bahwa KELUNG adalah media independen. Sebagai media independen, KELUNG hadir untuk melayani pembaca dengan laporan, artikel atau tulisan yang disajikan secara naratif, mendalam, lengkap dengan konteks. Kami mengajak anda untuk memasuki setiap gejala dan isu untuk menemukan informasi, inspirasi, makna dan pengetahuan.
KELUNG independen oleh karena kami sendiri yang menentukan tema atau isu untuk disajikan. KELUNG bebas dari intervensi penguasa atau pemilik modal. KELUNG independen dari intervensi ideologi agama atau ideologi apapun.
KELUNG independen, karena bebas berpihak kepada kelompok minoritas, kelompok marginal dan lemah secara akses suara ke publik. KELUNG juga akan terus berupaya mengembangkan diri, meningkatkan mutu isi dan penyajian.
Pembaca adalah kunci dari harapan kami ini. Dukungan pembaca berupa donasi, sangat berarti bagi kami dalam upaya pengembangan dan peningkatan mutu jurnalisme yang independen. Kami mengundang pembaca untuk bersama-sama mencapai komitmen dan misi kami ini.
Mari bantu KELUNG dengan cara berdonasi…. selengkapnya

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *