Published
6 years agoon
By
philipsmarx10 Januari 2019
Oleh: Denni Pinontoan
kelung.com – Aktivis dan lembaga independen penegakan hak asasi manusia perempuan menilai, penanganan hukum terhadap kasus pelacuran online seperti yang terjadi baru-baru ini telah menyebabkan ketidakadilan bagi perempuan. Dalam hal pemberitaan, media juga masih bias gender. Kordinator kajian dan advokasi kebijakan Swara Parangpuan Sulut, Nurhasanah kepada Kelung Rabu, 09 Januari 2019 mengatakan, penanganan hukum terhadap seorang artis yang terlibat dalam prostitusi online adalah diskriminatif.
“Bagaimana mungkin, si artis yang adalah perempuan itu dipaksa polisi untuk minta maaf kepada publik dan mengakui perbuatannya tanpa proses persidangan,” kata Nurhasanah.
Menurut Nurhasanah, ketidakadilan jelas terjadi pula dalam hal pihak kepolisian memosisikan perempuan. Sejak penangkapan hingga proses hukum, perempuan diposisikan sebagai satu-satunya tersangka sementara laki-laki sebagai konsumen nyaris tidak disebutkan. Media juga lebih tertarik memberitakan perempuan, apalagi pada kasus terakhir melibatkan seorang artis.
“Yang terekspos, seolah-olah kasus ini benar-benar cuma kesalahan dia (artis perempuan, red.) Diekspos sedemikian rupa, semenatra si pengguna nyaris tidak disebutkan,” ujar Nurhasanah.
Nurhasanah juga menyorot media yang memberitakan kasus prostitusi online yang melibatkan artis perempuan tersebut. Menurutnya, pemberitaan media telah menjurus pada penghakiman, misalnya menghubungkan keterlibatannya pada bisnis prostitusi untuk memperoleh uang banyak agar dapat hidup foya-foya.
“Penggiringan opini bahwa dalam kasus-kasus sperti ini adalah, bahwa perempuan adalah pihak penyebab utama. Dibilang tidak bermoral, perempuan nakal, dan lain sebagainya yang negatif. Sementara pihak pengguna yang seringkali laki-laki .itu dianggap hal yang biasa dan tidak bersalah,” tegas Nurhasanah.
Menanggapi pemberitaan dan penangangan hukum terhadap perempuan yang terlibat dalam prostitusi online, Komnas Perempuan, dalam rilis pers di Jakarta, 8 Januari 2019 mengatakan, pemberitaan media seringkali justru mengeksploitasi korban.
“Membuka akses informasi korban kepada publik, sampai pemilihan judul yang pada akhirnya membuat masyarakat berpikir bahwa korban ‘pantas’ menjadi korban kekerasan dan pantas untuk dihakimi,” kata Komnas Perempuan menjelaskan bentuk-bentuk eksploitasi tersebut.
Menurut Komnas Perempuan, prostitusi online justru adikhawatirkan sebagai bentuk lain atau perpindahan dan perluasan lokus dari prostitusi offline. Prostitusi online menyangkut soal cyber crime yang berbasis kekerasan terhadap perempuan. Terutama kasus revenge porn (balas dendam bernuansa pornografi) yang dapat berupa distribusi image atau percakapan tanpa seizin yang bersangkutan. Dalam catatan tahunan Komnas Perempuan tahun 2018 pengaduan langsung menyangkut revenge porn ini semakin kompleks.
Komnas Perempuan menghimbau pihak media dan kepolisian serta masyarakat untuk secara bijak menghadapi masalah ini. Kepada pihak penegak hukum diminta untuk berhenti mengekspos secara publik penyelidikan prostitusi online. Pihak media dihimbau untuk tidak mengeksploitasi perempuan yang dilacurkan, termasuk dalam hal ini artis yang diduga terlibat dalam prostitusi daring. Hal yang sangat penting pula, menurut Komnas Perempuan, agar media menghentikan pemberitaan yang bernuansa misoginis dan cenderung menyalahkan perempuan. Kepada masyarakat dihimbau untuk tidak menghakimi secara membabi buta perempuan korban eksploitasi industri hiburan.
Kebencian sebagai Akar Ketidakadilan Bagi Perempuan
Akar dari masalah tersebut, menurut Nurhasanah adalah kebencian mendalam terhadap kaum perempuan. Istilahnya adalah misoginis, semacam doktrin atau ideologi yang terus diwariskan kepada generasi dalam masyarakat. Perilaku mioginis ini menurut Nurhasanah dilakukan oleh laki-laki dan juga perempuan.
Dalam ideologi misoginis ini, kata Nurhasanah, perempuan dianggap sebagai makhluk yang harus menjaga kehormatannya. Sementara laki-laki selalu menganggap diri sebagai pihak yang selalu benar, apapun perbuatannya kepada perempuan.
“Maka ketika si artis perempuan tersebut semakin terpuruk dengan penghakiman masyarakat yang disebabkan oleh pemberitaan media dan cara penanganan polisi..maka itu dianggap sebagai balasan yang pantas atas perbuatannya,” jelas Nurhasanah.
Terhadap banyak kasus prostutisi, Komnas Perempuan berpendapat, bahwa kasus prostitusi online misalnya, hendaknya dilihat sebagai jeratan kekerasan seksual. Banyak perempuan ditipu, diperjualbelikan dalam praktek ini.
“Tidak sesederhana pandangan masyarakat bahwa prostitusi adalah kehendak bebas perempuan yang menjadi ‘pekerja seks’ sehingga mereka rentan dipidana atau dikriminalisasi,” tegas Komnas Perempuan.
Menurut Komnas Perempuan, prostitusi adalah kekerasan terhadap perempuan. Namun lembaga negara yang independen untuk penegakan hak asasi manusia perempuan ini menentang kriminalisasi yang menyasar pada perempuan yang dilacurkan. (*)
Editor: Andre Barahamin