Connect with us

FEATURE

Dari Gaud Sampai Ayat Suci, Dari Celana Dalam Hingga Tulang Babi

Published

on

1 Maret 2019


Oleh: Darmanto Simaepa


Takhayul, dukun, jampi-jampi, dan ritus aneh telah menjadi bagian dari sepakbola.

 

DI MAWALI, YAMAN, HAITI, atau Eropa, praktik-praktik meraih kemenangan tidak selalu bersandar pada taktik dan kualitas permainan. Di Indonesia, terutama di pertandingan antar kampung (tarkam), darah ayam, minyak kambing, tulang babi, petir dan hujan adalah elemen-elemen penting yang selalu mempengaruhi hasil pertandingan. Saat FourFourTwo menulis panduan takhayul sepakbola yang aneh untuk edisi November 2011, saya tergerak untuk menggali kembali pengalaman sepakbola dan segala ritus-ritus ajaibnya yang pernah saya temui di Indonesia.

 

Tulang Babi si Kepala Desa

Tulang babi pastilah barang haram bagi seorang muslim. Namun bagi kepala desa Kwarakan, sebuah desa pedalaman di Temanggung, apa yang najis bisa jadi halal demi sepakbola dan politik. Si tokoh utama kita ini, puji tuhan, adalah seorang santri yang saleh meski tak cukup cakap mengurus desa. Ia baru saja keluar dari pesantren di Kediri, ketika pilihan kepala desa tiba masanya dan memanggilnya pulang. Tak lama diangkat, tuntutan pencopotan jabatan dari warga segera terdengar setelah desas-desus Si kepala desa memakan uang bantuan pembangunan.

Ia berusaha meraih kembali simpati warganya dengan mendukung tim sepakbola yang selama ini tidak pernah diurusnya. Kemenangan timnya akan mengalihkan sedikit tekanan. Bisa jadi, dengan membawa tim desanya menjadi juara, sepakbola jadi alat yang efisien untuk menentukan nasib karir politiknya. Maka, bukan perkara besar jika ia harus membeli kostum baru, menyewa 3 truk untuk suporter dan timnya berangkat ke turnamen kecamatan di kota Kaloran, dan membekali manajer dengan setengah karung jeruk manis, berbotol-botol air mineral dan tiga nampan agar-agar buatan istrinya.

Tidak cukup dengan buah-buahan, Ia pergi ke penasehat spiritualnya. Mungkin karena tidak banyak Kyai yang suka bermain sepakbola atau terlalu repot untuk memerintahkan jin peliharaannya mengurus dua puluh dua orang yang berebut satu bola, akhirnya ia menerima saran dari seorang dukun, yang baginya sendiri, agak kurang masuk di akal dan akidahnya.

Malam sebelum pertandingan, si dukun memberi kepala desa dua gulungan kertas. Kertas itu ditulisi rajah dan jampi-jampi dan di dalamnya ada beberapa kerat tulang babi. Si Kepala desa memerintahkan kurir kepercayaan untuk menanam tulang di lapangan dini hari, dan tentu saja tak boleh ada orang yang tahu. Tulang itu harus ditanam di bawah tiang gawang sebelah utara, yang akan menjadi tempat lawan desanya.

Setelah hasil yang memalukan—timnya kalah 4-1 dari tim Kecamatan—ia segera menyerang wasit yang dianggapnya salah mengundi tempat. Ia juga menyalahkan kurirnya yang keliru mengubur tulang babi dibawah tiang gawang tim sepakbolanya sendiri. Tentu saja ia tidak terlalu berani mengecam si dukun, meskipun lantas berusaha meminta penjelasan darinya. ‘Tim lawan’ si Dukun mengatakan kepada si kepala desa, ‘juga mengubur tulang macan di gawang’. ‘Atau, kalau tidak, seseorang telah mengencinginya’ tambah si Dukun.

Barangkali alasan yang pertama lebih masuk akal karena, siapapun tidak boleh melanggar aturan dalam siklus rantai makanan. Seharusnya, si kepala desa mencari dukun yang memakai tulang manusia. Yeah, manusia kan lebih ganas dari harimau.

 

Telur Setengah Matang untuk Para Penendang Penalti

‘Ayo kalian, makan telur-telur setengah matang ini’, seru dukun sebuah tim desa di Babat, Lamongan di paruh 1990an kepada anak-anak muda yang akan berlaga. Telur-itu bukanlah telur sembarangan. Telur bebek setengah mentah itu tidak hanya berisi protein, vitamin dan asam amino yang bagus bagi pembentukan sel-sel otot, tetapi juga sudah dicampur dengan jampi-jampi dan air ludah si dukun. Setidaknya, cara ini telah berhasil membawa tim ini menorehkan sejarah dengan berhasil melewati babak ke dua sepanjang keikursertaan desa itu dalam turnamen Kecamatan.

Hanya saja, yang tidak diketahui si dukun, para pemain tidak begitu menyukai karena bau amisnya. Telur itu membuat perut para pemain mual dan mulut getir. Anak-anak muda yang terlalu sopan untuk menolak perintah sang dukun, diam-diam membuang telur itu di bawah kolong mobil pick-up terbuka yang akan mengangkut mereka ke lapangan kecamatan.

Selama 90 menit dan perpanjangan waktu 2 x 10 menit, khasiat telur-telur itu bekerja dengan baik. Tim desa itu mampu menahan serangan tim lawan yang lebih difavoritkan—meskipun tim itu didera keletihan luar biasa. Menjelang adu penalti, si dukun dipanggil kembali untuk memulihkan kebugaran para pemain yang terkuras dalam pertempuran penghabisan. Mungkin karena hanya menguasai satu-satunya cara (atau juga paling ampuh?), si dukun kembali mengeluarkan telur-telur amis itu dari keranjangnya.

Dalam kondisi letih dan lelah, melihat telur bebek saja bisa membuat mual—apalagi memakannya. Dua pemain yang berusaha menelan telur itu memuntahkan kembali isi perutnya. Para calon penendang lain, secara terbuka menolak untuk memakan telur bebek itu. Tersinggung dan merasa tidak dihargai, Si dukun sangat marah dan membanting telur-telur di depan tim itu. Ia juga mengumpat dan bersumpah tim desa itu tidak akan menang sepanjang sejarahnya.

Si Dukun akhirnya benar! Tim desa itu kalah. Tiga penendang, dengan kaki goyah dan lunglai, gagal menyarangkan bola. Karena patah arang, sejak saat itu sang dukun menolak untuk dimintai bantuan untuk tim sepakbola desanya, hingga sekarang. Desa itu hingga kini tidak pernah menang dalam turnamen apapun.

 

Perang Ayat Suci Antar Kelompok Suporter

Tidak jelas mengapa dua kelompok suporter fanatik Semen Padang bisa bertanding melafalkan ayat suci Al-Quran. Jika The Kmer yang berada di tribun Selatan mengumandangkan surah Al Fathihah, maka Spartac di Curva Sud utara akan membaca Ayat Kursi. Sebelum pertandingan, stadion Imam Bonjol seperti pawai agama dimana ribuan remaja berpakaian merah-merah dengan sebuah komando mengaji ramai-ramai.

Kekuatan pesan adat basyandi syara’, syara’ basandi kitabullah membentuk sikap suporter sepakbola di ranah Minangkabau agar mengingat ajaran agama. Jika pesan kelompok suporter ini adalah berlomba-lomba untuk mendukung kebaikan dengan doa, tentu saja Semen Padang boleh berbangga. Tidak banyak tim sepakbola yang dibacakan surat atau ayat yang dipercayai memiliki kekuatan yang luar biasa mewujudkan cita-cita menjadi harapan.

Mungkin dengan doa dari ayat suci akan membuat Semen Padang menang. Seperti dalam syair mars Spartac yang dipersembahkan buat tim Kabau Sirah, doa adalah bagian dari cara untuk memenangkan pertandingan.

Perlombaan kebaikan ini tidak menjadi masalah berarti jika Semen Padang menang—atau setidaknya tidak kalah. Pada saat tertekan atau ketinggalan, banyak suporter yang lupa arti dan makna ayat-ayat suci dan mulai agresif dengan makian, umpatan dan cacian. Penikmat sepakbola di Stadion Agus Salim akan segera akrab dengan kata-kata ‘wasit Anjiang’, ‘Kambiang’, ‘Pantek‘, ‘Godok’ dan juga kata-kata rasisme seperti ‘Papua itam keritiang, ‘Baruak Jawa’ kepada pemain-pemain lawan.

Hanya saja, praktik melafalkan ayat suci tidak setimpal dengan suasana pertandingan ketika Semen Padang kalah atau pertandingan tidak berjalan dengan semestinya. Pun begitu dengan segenap perayaaan kemenangan. Kedua suporter fanatik ini selalu terlibat persaingan, tidak hanya dalam melafalkan Al-Quran, tetapi dalam segenap ihwal sepakbola di Padang.

Perang ayat suci di lapangan biasanya beralih menjadi perang martil dan pisau belati dijalanan. Sehari setelah kekalahan di Pekanbaru dan juga setelah pertandingan melawan Sriwijaya di bulan Mei 2011 lalu, kedua suporter ini bertikai sehingga mereka kehilangan kantor dan terpaksa menandatangani pakta damai dengan polisi.

Jadi, apa pelajaran pentingnya? Dalam sepakbola, ayat suci kadang lebih menyerupai mantra untuk merangsang perkelahian dibandingkan ritus untuk mendoakan tim pujaan.

 

‘Hei Kawan, Jimatku Bukan Celana Dalam’

Ada sebuah ritus kecil yang dipercayai seorang pemain berbakat untuk menghadirkan kemenangan bagi timnya. Di masa remaja dulu, partner duet saya bernama Sukiman yakin akan mencetak gol jika tidak mengenakan celana dalam. Ritus ini membawanya menjadi pencetak gol yang produktif dari satu turnamen sekolah ke turnamen lainnya.

Bakat dan ketenangannya membobol gawang lawan membawanya pada sebuah panggilan prestisius: seleksi ke klub junior Petrokimia. Sekadar info, di paruh 90-an, dengan Jacksen. de Mello dan Widodo, Petrokimia adalah tim favorit dan bergengsi di Jawa timur.

Seperti ritual yang biasa dijalaninya, sedari dari rumah ia tidak membawa celana dalam. Jimatnya ia tinggal bersama Bontex putih kesukaannya dilemari kamarnya. Tapi justru tepat disinilah momen ketidakberuntungannya dimulai. Dalam sebuah pertandingan yang digunakan sebagai seleksi dan pemantauan, klub kaya di medio 90-an itu mewajibkan para pemainnya untuk mengenakan seragam resmi.

Kaget karena pemberitahuan tiba-tiba, dia harus mengganti celananya dengan kostum yang diberikan oleh klub. Masalahnya, untuk menghemat waktu, pergantian baju itu biasanya dilakukan di lapangan. Mancung, nama panggilan lapangannya, cukup malu untuk telanjang bulat ditengah lapangan—meskipun penonton perempuan hanya tiga orang. Sementara, di kamar ganti, semua pemain akan mencopot seluruh celana pendeknya secara bersamaan. Jadi, tidak ada pilihan lain untuk menghindari rendah diri kecuali memakai celana secara rangkap.

Bertahun-tahun kemudian, ia mengenang, permainan dengan celana rangkap hari itu sangat buruk. Untuk menghindari kejadian serupa, akhirnya ia terpaksa memakai celana dalam setiap berangkat ke stadion Tri Dharma. Lalu, Ia gagal mencetak gol di tiga pertandingan seleksi berikutnya. Ia tetap terpilih tapi harus memulai pertandingan dari bangku cadangan.

Sejak saat itu, ia hanya bertahan di pertandingan antar kampung dan gagal menjadi pesepakbola profesional. Kini, ia hanya sesekali menjadi pemain bayaran di pertandingan antar buruh pabrik Yamaha di Tangerang. ‘Ya, saya masih sering mencetak gol,” ujarnya sambil tersenyum kepada saya, “ketika tidak pakai celana dalam’.

Mungkin, saatnya memberi tahu pemain belakang lawan yang bisa memelorotkan celananya di Tangerang.

 

Gelegar Petir dan Kekuatan Gaud Mentawai

Hampir semua orang di Siberut mempercayai gaud, mistisisme Mentawai, tapi, manajer tim Kompas, sebutlah namanya Tango, meyakininya dengan obsesif. Pemain-pemainnya disuruh melangkah ke lapangan dengan kaki kanan terlebih dahulu. Mereka harus masuk dengan tertib dan teratur secara berurutan dari yang paling tua ke yang paling muda. ‘Cara ini’, ia mengaku ‘untuk menangkal gaud tim Muntei,’.

Kepercayaannya tidak jatuh dari langit begitu saja. Selama 3 edisi turnamen antar desa setiap Agustus, ia telah mempelajari satu hal secara detil: tim Muntei selalu menang jika beberapa saat sebelum kick-off, terdengar suara gelegar petir dari cakrawala. Kilat yang menyambar dari langit Tenggara, dalam kesimpulannya, adalah kiriman dukun Muntei kepada Taikamanua, roh-roh yang menguasai langit. Anehnya, kilat berwarna kemerahan yang membelah langit itu, biasanya tidak disertai awan dan hujan.

‘Jika hujan turun’, serunya pada anak buahnya, ‘kita akan menang’. Kuatnya keyakinan atas ramalan hari, cuaca dan kekuatan menangkal gaud tim lawan dipercaya sebagai faktor penting yang membuat Kompas membuat kejutan dengan menjadi juara tahun sebelumnya.
Sebelum pertandingan ia berkomat-kamit mengumpulkan tenaga Reiki yang dipelajarinya dari orang Flores di Padang. Ia akan berjalan paling belakang dan mengambil segenggam tanah untuk ditaburkan di lapangan.

Saat semifinal melawan Muntei tahun 2008, langit kelabu bergetar oleh riuh badai dan petir. Hujan turun dengan derasnya. Matanya berbinar-binar karena terpikir olehnya kekuatan gaud dukun Muntei telah hilang bersama air yang tumpah dari langit. Namun, dalam sebuah pertempuran yang seimbang, timnya kalah.

Setelah pertandingan, untuk beberapa lama, ia tetap berada di lapangan dan memandang ke arah langit—seakan-akan ia tidak percaya atas apa yang terjadi.

Ia mungkin lupa, sepanjang Agustus, angin basah dari Selatan akan selalu membawa petir dan hujan bagi pulau-pulau kecil sepanjang barat Sumatra – dari Enggano hingga Simaleue. Jadi, Si Tango perlu lebih teliti dan menghubungi jawatan Metereologi sebelum memanfaatkan tenaga Reikinya.(*)

 

 


Editor: Andre Barahamin


 

Komitmen dan misi kami adalah menghadirkan media dengan mutu jurnalisme yang baik. Menurut pendapat kami, salah satu syarat penting untuk mencapai hal itu adalah indepedensi.
Sejak awal, kami telah menetapkan bahwa KELUNG adalah media independen. Sebagai media independen, KELUNG hadir untuk melayani pembaca dengan laporan, artikel atau tulisan yang disajikan secara naratif, mendalam, lengkap dengan konteks. Kami mengajak anda untuk memasuki setiap gejala dan isu untuk menemukan informasi, inspirasi, makna dan pengetahuan.
KELUNG independen oleh karena kami sendiri yang menentukan tema atau isu untuk disajikan. KELUNG bebas dari intervensi penguasa atau pemilik modal. KELUNG independen dari intervensi ideologi agama atau ideologi apapun. KELUNG independen, karena bebas berpihak kepada kelompok minoritas, kelompok marginal dan lemah secara akses suara ke publik. KELUNG juga akan terus berupaya mengembangkan diri, meningkatkan mutu isi dan penyajian.
Pembaca adalah kunci dari harapan kami ini. Dukungan pembaca berupa donasi, sangat berarti bagi kami dalam upaya pengembangan dan peningkatan mutu jurnalisme yang independen. Kami mengundang pembaca untuk bersama-sama untuk mencapai komitmen dan misi kami ini.
Mari bantu KELUNG dengan cara berdonasi…. selengkapnya

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *