Connect with us

ESTORIE

Dari Motoling Menonton Indonesia

Published

on

09 Februari 2019


Oleh: Denni Pinontoan 


 Pada suatu masa di Indonesia, negara hadir pada sebuah layar kaca cembung, menyatukan dan memerintah  

 

SUATU HARI di Motoling bagian selatan Minahasa tahun 1981. Ada barang baru di rumah Opa dan Oma. Sebuah benda kotak persegi berisi tabung atau cathode ray tube (CRT) yang terhubung dengan layar kaca cembung di depannya. Ia dikitari bingkai berwarna coklat. Casing terbuat dari kayu yang juga dicat berwarna coklat.

Pada bingkai bagian bawah tertulis ‘National’. Itu televisi hitam putih.

Pesawat televisi itu adalah barang paling lux di rumah keluarga Opa dan Oma. Di rumah kayu itu, hanya ada perabotan sederhana, meja dan kursi.

Kehadiran pesawat televisi memberi nuansa berbeda di rumah kami waktu itu. Sebuah barang elektronik. Ia melengkapi gunanya ada listrik, yang sebelumnya hanya dipakai menyalakan lampu pijar dan tape recorder.

Antena televisi mesti dibuat tinggi. Sebuah bambu dengan panjang kira-kira 7 meter dikerek menjulang berdiri. Di ujungnya, antena aluminium dipasang. Ia berfungsi untuk menangkap siaran yang dipancarkan dari sebuah pemancar. Lalu kabel hitam dari antena dihubungkan ke pesawat televisi.

Opa saya seorang tukang gerobak sapi. Ia dan Oma serta keluarganya bermigrasi dari Kawangkoan ke Motoling sekitar tahun 1958. Waktu itu perang Permesta baru dimulai. Ribuan orang menyingkir dari bagian tengah Minahasa, termasuk Kawangkoan menuju ke bagian Selatan. Akhir dari penyingkiran itu adalah Motoling. Di sana Opa saya menjadi tukang gerobak sapi. Orang-orang mengenalnya dengan nama ‘Om Bas’.

Adik Opa yang menikah dengan suaminya orang Tionghoa, sejak tahun 1950-an dari Kawangkoan bermigrasi ke Jakarta. Beberapa anaknya boleh dibilang orang-orang sukses menurut ukuran orang kebanyakan.

Kakak Opa saya ternyata sempat pesiar ke Jakarta dan tinggal beberapa lama di sana. Ketika pulang, adik Opa itu menitipkan pesawat televisi sebagai oleh-oleh kepada kakaknya di kampung.

Meski Opa saya tukang gerobak sapi yang punya banyak pelanggan, tapi sulit baginya untuk membeli televisi. Selain mungkin karena tidak sempat menyisikan uang untuk membeli barang itu, tapi juga waktu itu untuk membeli televisi orang-orang harus ke Manado. Cukup jauh jarak antara Motoling dan Manado masa itu.

Jadi, ketika ada televisi  di rumah, Opa dan Oma sangat senang sekali. Waktu yang di tunggu-tunggu adalah sore dan kemudian menonton berita nasional dan dunia dalam berita di malam hari. Siaran yang masih sangat buruk, beresiko merusak mata, tidak membuat kami di rumah berhenti senang dengan adanya televisi.

Opa saya kini punya hiburan setelah seharian di bengkelnya membuat gerobak sapi pesanan orang-orang.

Televisi Republik Indonesia (TVRI) Stasiun Manado adalah satu-satunya stasiun televisi yang menyiarkan program acara. TVRI Sulawesi Utara berdiri pada 7 Oktober 1978. Nama yang dikenal TVRI Manado. Dari sejak berdiri hingga sekarang, TVRI Sulut berkantor di Jl. Televisi, Tikala-Banjer, Kota Manado.

Program TVRI Manado waktu itu kebanyakan me-relay siaran TVRI Nasional yang sudah lebih dulu berdiri. TVRI Nasional ketika berdiri tahun 1962 badan hukumnya adalah yayasan. Ide pemerintah mendirikan stasiun televisi, sebenanrya sudah dimulai tahun 1953. Maladi sebagai Menteri Penerangan waktu itu mengemukakan gagasannya untuk mendirikan stasiun televisi guna untuk kepentingan pemilu 1955. Tanggal 17 Agustus 1962, TVRI beroperasi untuk pertama kalinya dengan siaran percobaan.

TVRI memang sejak mulanya adalah stasiun televisi negara. Ia dimaksudkan untuk memberitakan segala kebijakan pemerintah. Di era orde baru, ia jadi corong pemerintah untuk sosialisasi semua tentang apa maunya pemerintah pusat di Jakarta.

Tahun 1961, tulis wartawan Kompas.com Aswab Nanda Pratama, pemerintah Indonesia berencana memasukkan media massa, khususnya televisi, dalam perencanaan penyelenggaraan Asian Games IV. Keberadaan televisi dianggap penting untuk menyiarkan pertandingan Asian Games 1962 yang berlangsung di Indonesia ke seluruh penjuru Tanah Air. Akhirnya, terbit Surat Keputusan (SK) Menteri Penerangan No 20/SK/M/1961 tentang pembentukan Panitia Persiapan Televisi (P2T).

“SK tersebut diperkuat oleh arahan Soekarno untuk segera mempersiapkan proyek televisi dengan membangun studio di Senayan, membangun dua pemancar 100 watt dan 10 kw dengan tower 80 meter, dan mempersiapkan program terkait pertelevisian,” ungkap Pratama.

Secara resmi TVRI mengudara pada pembukaan Asian Games di Stadion Utama Gelora Bung Karno (GBK) Jakarta, Jumat 24 Agustus 1962.

“Harian Kompas, 21 Agustus 1975, memberitakan, reporter yang menyiarkan adalah Alex Leo,” tulis Pratama.

“Selamat pagi, Biro Radio dan Televisi Organising Commite Asian Games IV,” ucap Alex Leo dalam siaran perdana TVRI ini.

Dalam pembukaan Asian Games ke-4 itu, TVRI menampilkan siaran langsung pada pukul 15.17 WIB. Siaran ditutup pada pukul 16.40 WIB dan dilanjutkan mengudara pada 20.45 WIB. Momentum siaran perdana yang bertepatan dengan pembukaan Asian Games 1962 dijadikan sebagai hari jadi oleh TVRI.

Siaran percobaan ini menggunakan pemancar cadangan berkekuatan 100 watt. Saat Asian Games berlangsung, TVRI terus menyiarkan pertandingan berbagai cabang olahraga.

“Ketika Asian Games usai pada 4 September 1962, TVRI belum siap dengan program siaran, dan baru kembali mengudara pada 5 September 1962,” jelas Pratama.

Waktu itu, materi siaran adalah film produksi Produksi Film Negara (PFN). Siarannya tanpa gambar, hanya suara penyiar yang terdengar. Durasi siaran 30 menit selama 5 kali seminggu, dari Senin hingga Jumat. Pada akhir pekan, Sabtu dan Minggu, tak ada siaran.

Nanti sejak 12 November 1962, TVRI mulai menyiarkan program rutin setiap hari dari studio.

“Selanjutnya, pada 14 November 1962, siaran langsung piano tunggal Supardi,” tulis Pratama.

TVRI lalu meluas ke daerah-daerah. TVRI Stasiun Yogyakarta dibangun tahun 1964. Menyusul dibangun lagi Stasiun TVRI Medan, Surabaya, Makassar, Manado, Denpasar, dan Balikpapan.

Tahun 1963, TVRI memperoleh landasan hukum melalui Keppres No 215/1963 dari pemerintah. Keppres ini tentang Pembentukan Yayasan  TVRI  dengan Ketua Yayasan  Presiden  RI.

Sebelas tahun kemudian, tahun 1974 TVRI menjadi salah satu bagian dari organisasi dan tata kerja Departemen Penerangan. Statusnya sebagai Direktorat yang bertanggung jawab kepada Direktur Jenderal Radio, Televisi, dan Film.

***

Akhir tahun 1970-an hingga awal tahun 1980-an, orang-orang Minahasa mengalami masa kejayaan cengkih. Harga cengkih melambung. Kenaikan harga cengkih ini sering dihubungkan dengan peran  Willy Lasut, gubernur Sulut yang memerintah selama 16 bulan, 21 Juni 1978 – 20 Oktober 1979. Dengan berani, waktu itu Lasut menetapkan harga cengkih Rp. 17.500/kg.

Petani cengkih Minahasa yang sedang menikmati masa kelimpahan berbondong-bondong ke Manado. Berbelanja kulkas, tape recorder, dan televisi. Padahal, kampung mereka belum dijangkau aliran listrik. Jadilah kulkas dan televisi barang pajangan saja.

Opa dan Oma sebagai pendatang di Motoling tidak punya kebun cengkih. Nanti di kemudian hari mereka membeli sebidang lahan kebun yang ditanami kelapa dan cengkih.

Jadi, pesawat televisi pemberian adiknya di Jakarta itu adalah berkat bagi mereka. Tanpa mereka sadari, pesawat televisi bermerek National itu adalah temuan termutakhir Indonesia masa itu. Begitupula, tak pernah dimengerti, mengapa pada sebuah benda kotak berlayar kaca cembung mereka dapat menonton perang yang terjadi di Libanon, wajah Presiden Soeharto yang selama ini gambarnya menempel di dinding rumah.

Pesawat televisi di Indonesia, sebagai produk teknologi komunikasi punya kisah. Nama yang mesti disebut adalah Drs. H. Thayeb Moh Gobel, pengusaha sukses asal Tapa, Bone Bolango, Gorontalo. CEO PT Panasonic Manufacturing Indonesia, Mr Ichiro Suganuma, seperti ditulis Hasan Kurniawan, wartawan Sindonews.com mengatakan, kisah ini berawal dari kiprah Drs H Thayeb Moh Gobel yang mendirikan PT Transistor Radio Manufacturing pada tahun 1954. Perusahaan ini merupakan pabrik radio transistor pertama di Indonesia.

Saat Gobel bertemu pendiri PT Panasonic Electric Industrial Co. Ltd Konosuke Matsushita di tahun 1962, mereka memutuskan untuk melakukan kerjasama. Ini adalah awal dari kelahirian televisi hitam putih pertama di Indonesia yang dipasarkan dengan merek “National”.

“Televisi itu yang kemudian diserahkan kepada Ibu Negara Indonesia Fatmawati Soekarno,” kata Matsushita.

Tapi pesawat televisi ini butuh teknologi lain sehingga ia dapat digunakan massal, yaitu sebuah satelit yang dapat mengirimkan sinyal ke antena di Bumi. Tahun 1974, Indonesia dapat memiliki satelitnya sendiri. Ia diberi nama satelit Palapa A1. Diluncurkan pada tanggal 8 Juli 1976 dengan roket Delta 2914 di Cape Kennedy, Amerika, dan mulai beroperasi tanggal 9 Juli 1976.

Teknologi satelit ini, bagi pemerintah Orde Baru penting untuk banyak hal. Tapi terutama ia adalah cara untuk memusatkan semua kekuatan dan sumber daya alam, politik, ekonomi, budaya ke Jakarta, pusat kekuasaan.

Kelahiran pesawat televisi National ini tidak terpaut jauh dengan pengembangan teknologi antariksa Uni Soviet dan Amerika Serikat, dua negara adi kuasa yang sedang terlibat dalam Perang Dingin. Begitupula dengan peluncuran satelit Palapa.

Opa, Oma dan kami di rumah ternyata waktu itu sedang menggunakan sebuah benda temuan termutakhir di zamannya. Buah dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dunia. Sementara di samping rumah, setiap hari Opa saya mengerjakan teknologi tradisonal, gerobak sapi.

Dari pesawat televisi itu, Opa, Oma, kami dan seluruh rakyat Indonesia menyaksikan Indonesia membangun. Perlahan trauma mereka dari masa pergolakan Permesta menghilang. Perang kini tinggal dalam memori. Sebelum ada televisi, di meja makan kami cucu-cucu rutin mendengar kisah-kisah mereka menyintas perang Permesta. Namun sejak televisi hadir, kami kehilangan kisah-kisah itu.

***

Suatu hari di tahun tahun 1982. Bengkel gerobak sapi opa ramai. Saya melihat sebuah kesibukan orang-orang menyablon kain untuk dibuat panji partai. Ini musim kampanye. Peserta pemilu tiga partai politik. Golongan Karya (Golkar), partainya pemerintah. Dua lainnya adalah Partai Persatuan Pembanguan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Opa saya rupanya pendukung PDI. Sebab pada pemilu tahun 1955, ia mendukung Partai Kristen Indonesia (Parkindo) yang kemudian berdifusi ke PDI.

Pemilu dilaksanakan 4 Mei 1982. Pemenangnya, sudah pasti Golkar. Presiden yang terpilih dan ditetapkan, juga sudah pasti Soeharto.

Program berita TVRI waktu itu  antara lain memberitakan kerusuhan yang terjadi di lapangan Banteng pada tanggal 18 Maret 1982. Kekacauan yang berubah menjadi kerusuhan berdarah ini terjadi saat kampanye Golkar.

Panglima Komando Pengendalian Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib) masa itu adalah Soedomo.

“Pangkopkamtib Laksamana TNI Soedomo mengatakan, pelaku-pelaku pengacau di lapangan Banteng itu akan dituntut sebagai pelaku pelanggaran undang-undang pemilu, dan berarti bisa dijatuhi hukuman sedikitnya lima tahun,” kata pembaca berita.

TVRI lahir ketika sistem politik otoriter yang sentralistis sedang berlangsung di Indonesia. Dalam konteks demokrasi terpimpin, dan pengalaman pahit dengan media cetak sebelumnya, maka bagi Soekarno TVRI mesti mendukung kekuasaanya.

”Oleh karena itu, bisa dibayangkan bahwa bagi Soekarno, TVRI adalah sebuah sarana lain untuk mengukuhkan kekuasaannya,” tulis Ade Armando dalam bukunya Televisi Jakarta di atas Indonesia: Kisah Kegagalan Sistem Televisi Berjaringan Di Indonesia, terbit tahun 2011.

Soeharto melanjutkan kepentingan itu terhadap TVRI. Stasiun televisi ini penting bagi Soeharto sebagai corong pembangunan demi untuk makin mengukuhkan kekuasaannya.

“TVRI yang baru berusia sekitar lima tahun itu dengan segera dilebur ke dalam mesin pemerintahan Orde Baru, sebagai media untuk menyampaikan suara pemerintah,” jelas Armando.

Pada masa awalnya, TVRI menayangkan iklan untuk memperoleh pemasukan. Namun, saat dana yang dikucurkan pemerintah dianggap cukup, Soeharto kemudian merasa TVRI tidak lagi perlu mengandalkan iklan. Hal lain, dengan pembiayaan semuanya dari pemerintah, maka bagi Soeharto TVRI dapat secara maksimal difungsikan untuk membangun dukungan massa. Selain ia dapat dijadikan sebagai alat sosialisasi program-program pembangunan Orde Baru. Kelak, Soeharto mendapat gelar Bapak Pembangunan.

Keputusan Soeharto itu diambil setahun sebelum Pemilu 1982. Setelah itu, TVRI pusat dan TVRI di daerah-daerah, termasuk stasiun Manado, lebih mantap memberitakan semua tentang Soeharto, pembangunan, politik sentralistiknya, dan hukum represif  yang dijalankan oleh perangkat-perangkat kekuasaan Orde Baru.

Maka, kemudian program-program acara didesain untuk melayani kekuasaan rezim. Tema utama siaran TVRI adalah pembanguan. Tokoh sentralnya adalah Soeharto. Lalu Menteri Penerangan Harmoko. Ada program acara ‘Daerah Membangun.’ Program acara ‘Dari Desa ke Desa’. ‘Desa Kita’. Dan lainnya yang diselingi dengan hiburan.

Program acara ‘Dunia dalam Berita’ yang disiarkan pukul 21:00-21:30 WIB menayangkan konflik-konflik bersenjata atau perang di berbagai belahan dunia. Perang Libanon, Perang di Timur Tengah hingga akhir dari Perang Dingin.

Anak-anak disuguhi film-film kartun super hero. Film Voltus Lima, Silver Hawk, atau Flash Gordon jadi film kesukaan anak-anak di masa itu. Remaja menonton film ‘Aku Cinta Indonesia’ atau ACI. Film-film Indonesia ditayangkan setiap malam Sabtu.

Hari Minggu baru ada siaran siang. Penonton TVRI dihibur dengan Ria Jenaka, Album Minggu Kita, dan film-film berseri. Acara musik lainnya adalah Selecta Pop, tapi ia hanya ditayangkan sebulan sekali. Film Si Unyil jadi tontonan anak-anak di hari Minggu ini.

Sejak tahun 1984, setiap tanggal 30 September malam TVRI menayangkan film ‘Pengkhianatan G30S/PKI’. Akhir tahun 1980-an film horor Friday The 13th jadi tontonan masyarakat Indonesia. Selain film Little House on The Prairie, Little Missie, Rumah Masa Depan, Losmen. Era tahun 1990-an TVRI menayangkan film Rumah Cemara. Setiap hari nasional, semisal 17 Agustus atau 10 November, film-film heroik tentara-tentara Indonesia berperang melawan Belanda dan Jepang dengan bambu runcing, membuat rasa nasionalisme makin kental.

TVRI di masa hanya ia sendiri yang hadir di ruang-ruang keluarga Indonesia, melalui kaca cembung, dari hitam-putih ke berwarna telah berfungsi sebagai media politik kebudayaan bagi rakyat. Ia menayangkan kengerian perang, horor wacana hingga iming-iming tinggal landas ala rezim orde baru. Menghibur rakyat Indonesia di tengah harapan sejahtera dengan pembangunan. Mendidik anak-anak untuk menjadi pahlawan ‘boong-boongan’.

Semuanya disiarkan dari studio utama TVRI di Senayan. Sebuah tempat di mana banyak hal tentang Indonesia didesain.

Tapi, program-program siaran itu tidak semua dapat dinikmati Opa, Oma dan kami keluarga dari televisi layar kaca cembung oleh-oleh dari Jakarta itu.

Suatu hari di tahun 1982, hujan lebat mengguyur bumi. Angin dan kilat membuat suasana menegangkan. Tapi lelaki tua itu, opa saya Andries Pinontoan dan perempuan tua istrinya, oma saya Mathilda Tumbelaka tidak bergeming. Mereka terlalu asyik menonton televisi.

Hingga tiba-tiba bunyi ledakan terjadi. Kilat menyambar antena dan mengalirkan listrik tegangan tinggi melalui kabel ke pesawat televisi. Asap keluar dari bagian belakang kotak televisi. Kabel hitam hangus.

Televisi kesayangan Opa dan Oma rusak. Kami sedih. Namun sejak tidak ada lagi televisi, kisah-kisah masa lalu mereka, perang Permesta, kearifan-kearifan leluhur, rutin kembali hadir di meja makan.

Itulah pesawat televisi pertama dan terakhir milik Opa dan Oma. (*)

 


Editor: Daniel Kaligis

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *