Connect with us

BERITA

Demi HAM, Lawan Terorisme!

Published

on

2 Februari 2019


Oleh: Daniel Kaligis


“Terorisme adalah musuh dunia, musuh bersama umat manusia!”

kelung.com — Abu Bakar Ba’asyir dilepas, pertikaian kata sudah dapat ditebak. Siapa tak kenal Abu Bakar Ba’asyir bin Abu Bakar Abud, atau beken dipanggil Ustadz Abu, tokoh Majelis Mujahidin Indonesia dan pendiri Jamaah Anshorut Tauhid. Ia dikurung di Lembaga Pemasyarakatan Gunung Sindur, Bogor, Jawa Barat, sejak divonis bersalah tahun 2011 karena terbukti mendanai pelatihan teroris di Aceh, dan mendukung terorisme.

Dilansir dari CNN, Presiden Indonesia, Joko Widodo izinkan pembebasan Abu Bakar Ba’asyir bila memenuhi syarat dasar, yakni setia pada Pancasila dan NKRI.

Padahal, dari 19 April 2002, Ba’asyir sudah menolak eksekusi atas putusan Mahkamah Agung, untuk menjalani hukuman dalam kasus penolakannya terhadap Pancasila sebagai asas tunggal. Ba’asyir menganggap Amerika Serikat berada di balik eksekusi atas putusan pidana pada dirinya. Meski, sehari sesudahnya, Ba’asyir meminta perlindungan hukum kepada pemerintah kalau dipaksa menjalani hukuman.

Sebagaimana kita ketahui, pascaserangan bom Bali 2002, Ba’asyir ditetapkan sebagai tersangka dan divonis dua tahun enam bulan setelah dinyatakan berkomplot dengan berbagai aksi teror. Masih di tahun yang sama, pada 23 September, Majalah TIME menulis berita dengan judul “Confessions of an Al Qaeda Terrorist.” Abu Bakar Ba’asyir disebut-sebut sebagai perencana peledakan di Masjid Istiqlal.

TIME menduga Ba’asyir sebagai bagian dari jaringan terorisme internasional yang beroperasi di Indonesia. TIME mengutip dokumen Central Intelligence Agency (CIA), yang menuliskan bahwa pemimpin spiritual Jamaah Islamiyah Abu Bakar Ba’asyir “terlibat dalam berbagai plot.”

Informasi ini didapatkan dari pengakuan Umar Al-Faruq, seorang pemuda Yaman berusia 31 tahun yang ditangkap di Bogor dan dikirim ke pangkalan udara di Bagram, Afganistan, yang diduduki Amerika. Setelah beberapa bulan bungkam, akhirnya Al-Faruq mengeluarkan pengakuan kepada CIA. Tak hanya mengaku sebagai operator Al-Qaeda di Asia Tenggara, dia mengaku memiliki hubungan dekat dengan Abu Bakar Ba’asyir.

Menurut berbagai laporan intelijen yang dikombinasikan dengan investigasi majalah TIME, Ba’asyir adalah pemimpin spiritual kelompok Jamaah Islamiyah yang bercita-cita membentuk negara Islam di Asia Tenggara. Ba’asyir pulalah yang dituding menyuplai orang untuk mendukung gerakan Faruq. Ba’asyir disebut sebagai orang yang berada di belakang peledakan bom di Masjid Istiqlal tahun 1999. Al-Farouq mengakui keterlibatannya sebagai otak rangkaian peledakan bom, 24 Desember 2000.

Drama panjang Ba’asyir bermuara pada 16 Juni 2011, ketika ia dijatuhi hukuman penjara lima belas tahun oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan setelah dinyatakan terlibat dalam pendanaan latihan teroris di Aceh dan mendukung terorisme di Indonesia.

Wartawan BBC News Indonesia, Rivan Dwiastono, pada 21 Januari 2019, menulis alasan Penasihat Hukum pasangan calon presiden dan wakil presiden Joko Widodo-Ma’ruf Amin, Yusril Ihza Mahendra, yang menyatakan bahwa urgensi pembebasan Abu Bakar Ba’asyir karena faktor kemanusiaan.

Sehari kemudian (22/01/2019), The New York Times, menulis bahwa Perdana Menteri Australia, Scott Morrison, menyatakan negaranya protes bila Abu Bakar Ba’asyir dibebaskan lebih awal setelah menjalani hukuman sembilan tahun dari putusan lima belas tahun penjara.

Sejarah Teror

Kelompok-kelompok militan dengan ideologi sudah sekian lama tumbuh, meledak, kemudian diam seperti meluruh, namun bangkit lagi bila ada kesempatan. Tercatat peristiwa penerbangan Garuda Indonesia menggunakan DC-9 Woyla. Pesawat  berangkat dari Jakarta pada pukul 08.00, Sabtu, 28 Maret 1981. Pesawat itu transit di Palembang, dan akan terbang ke Medan dengan perkiraan tiba pukul 10.55. Dalam penerbangan, pesawat tersebut dibajak lima orang yang menyamar sebagai penumpang. Mereka bersenjata senapan mesin dan granat, dan mengaku sebagai anggota Komando Jihad. Pembajak yang masuk ke kokpit memerintahkan pilot terbang ke Kolombo, Sri Lanka, namun pilot mengatakan bahwa pesawat tersebut tidak memiliki cukup bahan bakar. Pesawat dialihkan ke Penang, Malaysia, untuk pengisian bahan bakar sebelum kemudian terbang lagi ke Thailand.

Setelah mendarat sementara, mengisi bahan bakar di Bandara Penang, Malaysia, DC-9 Woyla menuju Don Mueang, Thailand. Para pembajak membacakan tuntutan mereka, yaitu agar anggota Komando Jihad yang ditahan di Indonesia segera dibebaskan, dan meminta uang sejumlah US$ 1,5 juta. Mereka meminta pesawat untuk pembebasan tahanan dan terbang ke tujuan yang dirahasiakan. Pembajak mengancam telah memasang bom di pesawat dan tidak segan untuk meledakkan diri bersama pesawat tersebut. Dalam kejadian itu seorang kru pesawat tewas, seorang tentara komando tewas, berikut tiga teroris tewas.

Terdiam sekian waktu, lalu meledak lagi, Senin 21 Januari 1985. Peristiwa ini terkenal dengan Bom Borobudur 1985, ledakan dahsyat menghancurkan sembilan stupa pada candi peninggalan Dinasti Syailendra tersebut. Usai penyelidikan, polisi Indonesia menangkap dua bersaudara Abdulkadir bin Ali Alhabsyi dan Husein bin Ali Alhabsyi dituding sebagai pelaku peledakan. Dalam persidangan kasus Bom Borobudur 1985, jaksa menuduh bahwa tindakan pengeboman merupakan aksi balas dendam Abdulkadir dan kawan-kawan terhadap peristiwa Tanjung Priok tahun 1984. Abdulkadir membenarkan motivasi peledakan itu, walau keterangannya kemudian diragukan, karena sosok Mohammad Jawad atau Ibrahim yang disebut Husein sebagai dalangnya kemudian tidak pernah ditemukan kepolisian.

Bom Borobudur 1985 diduga berhubungan dengan konteks politik tahun 1985, yaitu ketika sejumlah elit politik dalam rezim Orde Baru memberlakukan kebijakan mempersempit ruang gerak kepercayaan Islam. Muncul juga dugaan bahwa peledakan candi Borobudur yang sangat sakral bagi pemeluk ajaran Buddha adalah rekayasa dari kelompok anti-Islam untuk menyudutkan agama Islam. Teori konspirasi semacam ini sangat populer di kalangan kaum Islam radikal.

Ada yang mensinyalir, teror terjadi karena sistem negara terlibat. Entah! Belum beroleh jawaban, teror sudah kembali meletus. Sehari sebelum Olimpiade Musim Panas tahun 2000, bom mobil meledak di ruang bawah tanah Bursa Efek Jakarta, Rabu, 13 September 2000. “Ini adalah ledakan keempat di Jakarta dalam dua bulan terakhir. Yang terakhir terjadi dua minggu lalu, berapa ketika sebelum mantan Presiden Soeharto hendak dihadirkan di pengadilan untuk menghadapi tuduhan korupsi,” demikian pemberitaan ABC Radio, Kamis, 14 September 2000.

Teror seperti risalah yang dikirim dengan alamat lengkap sebuah kematian yang ramai dan sadis. Bom Tahun Baru, 1 Januari 2002. Bom Bali, 12 Oktober 2002. Bom restoran McDonald’s, Makassar, 5 Desember 2002. Bom Kompleks Mabes Polri, Jakarta, 3 Februari 2003. Bom Bandara Soekarno-Hatta, Jakarta, 27 April 2003. Bom JW Marriott, 5 Agustus 2003. Bom Palopo, 10 Januari 2004. Bom Kedubes Australia, 9 September 2004. Bom Kedubes Indonesia, Paris 2004. Bom Gereja Immanuel, Palu, 12 Desember 2004. Bom Ambon, 21 Maret 2005. Bom Tentena, 28 Mei 2005. Bom Pamulang, 8 Juni 2005. Bom Bali, 1 Oktober 2005. Bom Pasar Palu, 31 Desember 2005. Bom Jakarta, 17 Juli 2009. Penembakan warga sipil di Aceh Januari 2010.

Jangan pernah dikira sepi, teror masih berlanjut. Perampokan bank CIMB Niaga September 2010.  Bom Cirebon, 15 April 2011. Bom Gading Serpong, 22 April 2011. Bom Solo, 25 September 2011. Bom Solo, 19 Agustus 2012. Granat meledak di Pospam Gladak, Solo, Jawa Tengah. Ledakan ini mengakibatkan kerusakan kursi di Pospam Gladak. Bom Polres Poso 2013, 9 Juni 2013. Bom dan baku tembak Jakarta, 14 Januari 2016. Bom bunuh diri di halaman Markas Kepolisian Resor Kota Surakarta, 5 Juli 2016. Bom bunuh diri di Gereja Katolik Stasi Santo Yosep, Jalan Dr Mansur, Kota Medan, 28 Agustus 2016.

Apa saja dapat menjadi media teror, sandera, molotov, panci, mungkin nanti ada kejutan entah apa sarana yang digunakan untuk menebar ketakutan dan mati. Bom Molotov di depan Gereja Oikumene Kota Samarinda, 13 November 2016. Bom Molotov di Vihara Budi Dharma, Kota Singkawang, 14 November 2016. Bom Panci di Kampung Melayu, Jakarta Timur24 Mei 2017. Bom Panci meledak di Taman Pandawa Cicendo, Bandung, 27 Februari 2017. Penyanderaan anggota Brimob dan Densus 88 selama 36 jam oleh 156 Napi Terorisme di Mako Brimob, Kelapa Dua, Depok, 8 Mei 2018. Bom Surabaya, 13-14 Mei 2018. Mapolda Riau diserang kelompok teroris Jamaah Ansharut Daulah, 16 Mei 2018.

Terorisme dan Kebijakan Negara

Benang kusut persoalan teror di Indonesia dan dunia. Pelebelan, minotitas, intoleransi, diskriminasi berbagai bentuk, berita-berita menyudutkan, izin tempat ibadah di negara yang sekuat provokasi kumandangkan kebebasan berkeyakinan, lalu sistem masih bermain di dalamnya. Berikutnya tantangan regulasi tuduhan penistaan agama atas nama kebijakan yang terbit dari penyelenggara kuasa negara, kemudian fatwa.

Pemerintah Indonesia dan DPR pada Kamis, 24 Mei 2018 silam, sudah menandatangani dan mensahkan Revisi Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Antiterorisme, dalam definisinya menyebut: Terorisme adalah perbuatan yang menggunakan kekerasan atau ancaman yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut secara meluas, yang dapat menimbulkan korban bersifat massal, dan atau menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital strategis, lingkungan hidup, fasilitas publik atau fasilitas internasional dengan motif ideologi, politik, atau gangguan keamanan.

Di pasal pertama Revisi Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Antiterorisme, menyinggung setiap perbuatan penyalahgunaan kekuatan fisik dengan atau tanpa menggunakan sarana secara melawan hukum dan menimbulkan bahaya bagi badan, nyawa, dan kemerdekaan orang, termasuk menjadikan orang pingsan atau tidak berdaya. Ancaman Kekerasan adalah setiap perbuatan secara melawan hukum berupa ucapan, tulisan, gambar, simbol, atau gerakan tubuh, baik dengan sarana maupun tanpa menggunakan sarana dalam bentuk elektronik atau nonelektronik yang dapat menimbulkan rasa takut terhadap orang atau masyarakat secara luas atau mengekang kebebasan hakiki seseorang atau masyarakat.

Walau, sejauh ini definisi terorisme di Indonesia masih jadi perbantahan atas nama berbagai kepentingan, atas nama pemangku kebijakan. Undang-undang tentang terorisme memuat tentang pemilikan senjata kimia, biologi, radiologi, biomolekuer, atau komponen-komponennya. Dan lagi, regulasi itu disinyalir beresiko menimbulkan adanya penahanan sewenang-wenang, tindak penyiksaan, serta perlakuan sewenang-wenang lainnya dan juga bisa memperluas ruang lingkup penerapan hukuman mati.

Seperti kolam maha luas maha dalam, persoalan hukum dan keadilan di dunia ini seakan tak terselami, antara kebutuhan hukum untuk mengatur dan menertibkan, kebutuhan masyarakat terhadap rasa keadilan yang sudah jadi tanda tanya besar sepanjang sejarah zaman, dan keabsahan hukum terhadap jaminan hak asasi manusia.

Melawan Terorisme!

Di Sydney Morning Herald, Senin, 3 November 2008, Pauline Whitton, ibu dari Charmaine, salah satu korban tewas Bom Bali I, menilai pembunuh anaknya dihukum terlalu ringan. Pauline Whitton, asal Caringbah Sydney kehilangan anak perempuannya Charmaine yang berusia 29 tahun, dalam ledakan bom di Sari Club 12 Oktober 2002. Charmaine dan sahabatnya Jodi Wallace, tiba di Bali petang itu dan pergi ke Sari Club pukul 10 malam. Keduanya tewas dalam ledakan bom di Sari Club. “Harusnya pelaku dibiarkan di penjara saja seumur hidup,” kata Pauline Whitton seperti dikutip Sydney Morning Herald.

Hukuman mati di Indonesia pernah dipermasalahkan. Dr Gayus Lumbuun, seorang ahli hukum, Asmara Nababan, Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Demokrasi dan Hak Asasi (Demos), kemudian almarhum Munir, yang pada saat itu adalah Koordinator Lembaga Pemantau Hak Asasi Manusia Imparsial, secara terpisah pada Februati 2003 di Jakarta menggugat penerapan hukuman mati di negara ini.

Dr. Gayus Lumbuun menyayangkan Keputusan Presiden Megawati menolak grasi terpidana mati. “Keppres itu sebenarnya bertentangan dengan pasal 28 A UUD 1945. Mestinya, Presiden tahu itu. Ganti saja hukuman mati dengan pidana seumur hidup tanpa remisi.”

Sementara Asmara Nababan menganggap para terpidana mati atau keluarganya, bisa mengajukan permohonan uji materiil ke Mahkamah Agung untuk membuktikan keabsahan hukuman mati.Nababan mengatakan bahwa Kovenan Hak Sipil dan Politik yang telah diratifikasi oleh Indoneia termasuk protokol kedua tahun 1990 sudah menghapus hukuman mati.

Berapa tahun lalu Departemen Filsafat UI bekerjasama dengan Uni Eropa telah menghadirkan peneliti-peneliti Eropa untuk mengkaji seberapa efektif hukuman mati. Dalam makalah yang disampaikan dalam seminar internasional, Discussion on Death Penalty-Contemporary Challenges, Delegation of European Commission and Departemen of Philosofy Faculty of Humanities University of Indonesia, di Hotel Mandarin Jakarta, 14 Desember 2004, menyimpulkan bahwa hukuman mati tidak membuat masyarakat bebas dari kriminalitas tapi semakin memburuk.

Ingatan tentang teror tak hanya membuat cemas pada kematian dan trauma pada keluarga korban. “Secara sosial kita lihat korban-korbannya, bukan hanya kematian tetapi juga kesengsaraan yang panjang dan sangat menderitakan bagi keluarga dan masyarakat luas,” ujar Sulistyowati Irianto, Guru Besar Antropologi Hukum, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, saat saya wawancarai terkait izin pembebasan Abu Bakar Ba’asyir, Selasa, 29 Januari 2019.

Sulistyowati Irianto, yang juga adalah Ketua Bidang Studi Hukum, Masyarakat dan Pembangunan, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, menyatakan, “Dengan segala hormat, melihat kasus ini, haruslah diamati secara keseluruhan terkait hak asasi manusia itu apa. Terorisme adalah pelanggaran hak asasi manusia yang amat sangat berat. Secara hukum tidak diragukan lagi hal itu.”

Apa pun itu, terorisme adalah musuh dunia, musuh yang harus terus dilawan. “Secara politik seluruh dunia memerangi terorisme karena dalam sejarah yang manapun terorisme adalah kejahatan berat terhadap kemanusiaan,” kata Sulistyowati Irianto.

Saya bertanya perihal pembebasan Ba’asyir, singkat Sulistyowati Irianto menjawab, “Jadi pembebasan terpidana terorisme akan melukai masyarakat luas ya.”

Di negara kita jelas regulasinya, untuk dikerjakan bersama pemangku kepentingan, pemerintah sebagai pengambil dan penentu kebijakan, dan kita bersama, yaitu, untuk melindungi segenap bangsa Indonesia, dan seluruh tumpah darah Indonesia. Termasuk membebaskan masyarakat dari teror kemiskinan, dan praktik-praktik peminggiran rakyat dari wilayah haknya. (*)


Editor: Denni Pinotoan

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *