FEATURE
Demi Sagu Menantang Sawit
Published
5 years agoon
By
philipsmarx26 Maret 2019
Oleh: Andre Barahamin
Kisah tentang perjuangan masyarakat adat di Nabire, Papua, mempertahankan tanah ulayat dari gempuran ekspansi sawit.
SETELAH HAMPIR DUA puluh tahun hilang, suku Yerisiam akhirnya memutuskan membangun kembali balai pertemuan adat. Bangunan itu didesain persis seperti dua dekade lalu. Letaknya membelakangi laut dan berjarak sekitar dua puluh meter dari bibir pantai.
“Atap balai ini dianyam oleh mama-mama di sini. Cuma dua hari selesai,” jelas Fitri Yoweni sembari terus mengunyah pinang.
Saya memandangi bangunan tersebut dengan rasa kagum. Bangunan yang disebut sebagai balai adat suku Yerisiam adalah sebuah rumah panggung dengan dua pintu yang berhadap-hadapan. Atapnya dibuat dari anyaman daun sagu, berlantai kulit pohon Nibum, ditopang oleh kayu Sengon yang diikat dengan rotan hutan. Semuanya berasal dari hutan di sekitar kampung Sima yang masih merupakan tanah adat orang Yerisiam.
“Kami bangun balai ini tidak pakai paku atau lem. Semua bahan tradisional. Asli,” kata Daniel Jarawobi, Kepala Suku Yerisiam Gua menunjuk simpul-simpul akar yang mengikat palang kayu di langit-langit. Raut wajahnya tampak sumringah. Saya ikut tertular rasa bahagia.
Sejak memasuki Agustus 2016, hampir selama dua minggu, seluruh penghuni kampung Sima bersiap diri. Mereka membersihkan lahan di mana balai adat akan berdiri dengan menebangi pohon kelapa, menyiangi ilalang dan mengumpulkan kayu, akar hutan dan daun sagu dari hutan. Semuanya sedang bersemangat.
Beberapa orang sudah melaut sejak dua hari sebelum pertemuan. Memburu ikan di teluk Nabire. Sebagian yang lain pergi menokok sagu di hutan. Kangkung dan daun pepaya diputuskan akan dipetik sebelum makanan di masak agar tetap segar. Bumbu-bumbu lain seperti bawang merah, bawang putih, cabai dan tomat akan dibeli di kota Nabire sehari sebelum pertemuan dimulai. Semua persiapan konsumsi dipercayakan kepada mama-mama.
Tanggal 15 dan 16 Agustus 2016, sudah diputuskan bahwa kampung Sima akan menjadi tuan rumah pertemuan adat. Undangan disebar sejak seminggu sebelumnya ke suku-suku tetangga dan kampung transmigran terdekat. Diharapkan, ada perwakilan suku Yaure, suku Umari dan Satuan Pemukiman (SP) Wami yang datang bergabung.
“Pertemuan ini penting sekali untuk suku Yerisiam Gua. Kami akan menegaskan eksistensi kami sebagai masyarakat adat yang sedang terancam kehilangan tanah karena perusahaan sawit. (PT) Nabire Baru kini tidak bisa macam-macam lagi. Kami sudah solid,” jelas Robertino Hanebora, Sekretaris Suku Besar Yerisiam Gua. Ia tampak bersemangat.
Kampung Sima terletak di tepi Teluk Nabire.
Dalam data resmi Kampung, ada 230 Kepala Keluarga (KK) yang terdaftar sebagai penduduk. Namun yang benar-benar bermukim di Sima hanya 80 KK saja. Dari jumlah tersebut, ada sekitar tiga lusin KK yang berasal dari suku Yaure yang sudah kawin mawin dan menetap. Ada juga 2 KK yang berasal dari etnis Talaud.
Berjarak 90 kilometer ke arah barat dari kota Nabire. Tidak ada angkutan umum menuju ke Sima. Pilihannya hanya menggunakan sepeda motor atau mobil sewaan, jenis Avanza Toyota. Sekali jalan, tarif mobil sewaan mencapai satu juta rupiah. Ditempuh sekitar dua jam. Jika supir sudah akrab dengan rute, bisa menghemat tiga puluh menit.
“Jalan menuju Sima ini baru dibuka tahun 2010. Sewaktu saya datang pertama kali tahun 1992, daerah ini masih terisolasi,” Ali Musa merespon pertanyaan saya dengan tatapan nanar. Ia salah satu dari 250 KK generasi perdana transmigran yang kini mendiami daerah SP Wami.
“Saya aslinya dari Lebak, Banten. Tapi sudah lama tidak pulang,” dia tersenyum kecut.
Hari itu 15 Agustus 2016, Ali Musa datang bersama Paito sebagai utusan SP Wami. Mereka datang berboncengan dengan satu sepeda motor. SP Wami berjarak sekitar 30 menit dari Sima.
Mereka berdua tiba satu jam sebelum pertemuan dimulai. Menyapa sana-sini, menyalami orang-orang yang mereka kenal sebelum akhirnya mengambil posisi di dalam balai pertemuan.
Saya menjulurkan bungkus kretek. Ali Musa mengambil sebatang. Mengapit dengan bibirnya, menyalakan, menghisap dalam, lalu membuang kasar asapnya.
“Dulu, butuh sekitar tiga sampai empat juta hanya untuk ke Nabire. Itu kenapa banyak transmigran yang tidak betah. Ada sebagian yang pulang, ada yang kini sudah menetap di Nabire.”
Ali Musa mengatakan bahwa para penduduk di SP Wami cukup dekat dengan orang-orang di kampung Sima. Mereka sadar betul bahwa tanah yang mereka diami, kebun yang mereka tanami dan olah adalah tanah adat suku Yerisiam.
“Tapi sampai sekarang, pemerintah belum melunasi ganti rugi tanah tersebut,” Robertino menyela. Saya melihat ke arah Kepala Suku. Pak Jarawobi mengangguk.
Di hadapan saya, Ali Musa mengalihkan pandangannya ke arah lain. Saya berhenti sejenak. Mengambil jeda dengan melinting tembakau iris yang disediakan untuk para peserta pertemuan.
“Orang-orang di SP Wami itu sudah seperti saudara orang-orang Sima. Beda dengan perusahaan. Orang-orang SP Wami tau sopan. Perusahaan tidak tau sopan,” Robertino berapi-api menjelaskan kepada saya.
Perusahaan yang dimaksud adalah PT Nabire Baru.
PT Nabire Baru adalah anak perusahaan Goodhope Asia Holding LTC di bawah Carsons Cumberbatch Group. Rumah dagang dan investasi yang berkantor pusat di Colombo, Sri Lanka. Carsons Cumberbatch awalnya dikenal sebagai salah satu pemain lama di industri perkebunan teh dan karet di Malaysia dan Sri Lanka sejak awal 1900-an. Diversifikasi bisnis yang menyasar kelapa sawit dimulai di Malaysia sekitar tahun 1992, sebelum akhirnya meluaskan sayap ke Indonesia di tahun 1996.
Jejak awal Carsons Cumberbatch dapat ditemukan di Sembuluh, Kotawaringin, Kalimantan Tengah. PT Agro Indomas adalah perusahaan pertama yang sepenuhnya dimiliki grup Carsons. Perusahaan ini diakuisisi dari sebuah konsorsium tiga perusahaan Malaysia dan tujuh perusahaan perkebunan Indonesia. Di situs resmi mereka, Carsons mengklaim menguasai perkebunan kelapa sawit seluas 150.000 hektar di Indonesia dan Malaysia.
Di Nabire, Carsons Cumberberbatch menguasai lebih dari 20.000 hektar lahan yang ijin usahanya dipegang oleh dua anak perusahaan. PT Sariwana Adi Perkasa mengelola perkebunan seluas 7.160 hektar, sementara PT Nabire Baru menguasai areal seluas 13.600 hektar. Kedua perusahaan ini beroperasi di atas tanah ulayat suku Yerisiam.
Ekspansi anak perusahaan Carsons sejatinya melanjutkan apa yang sudah dimulai oleh perusahaan-perusahaan pemegang Hak Pengusahaan Hutan (HPH). Aktivitas dimulai tahun 1990 dipelopori oleh PT Sesco. Mereka mengincar kayu jenis Merbau yang banyak terdapat di dalam hutan. Perusahaan ini berhenti beroperasi di tahun 2000 dengan meninggalkan banyak persoalan. Termasuk hutang sekitar 400 juta rupiah.
Di tahun 2003, PT Pakartioga, PT Junindo dan PT Kalimanis masuk meneruskan penebangan yang sudah dirintis PT Sesco. PT Junindo dan PT Kalimanis memegang ijin HPH dalam bentuk konsorsium yang diberi nama PT Jati Dharma Indah. Ijin ini berlaku hingga tahun 2017.
“Masyarakat di sini banyak yang curiga kalau sebenarnya PT Pakartioga itu cuma PT Sesco yang ganti nama. Biar biaslepas tanggung jawab,” kata Kepala Suku, Jarawobi.
Sekitar tahun 2007, PT Jati Dharma Indah menggandeng PT Harvest Raya asal Korea untuk membuka kebun sawit di areal konsesi HPH. Rencana ini mendapatkan penolakan dari orang-orang suku Yerisiam.
“Orang Yerisiam tentu saja menolak. Kami tidak mau hutan sagu kami hancur,” kenang Yakonias Joweni, salah satu tetua suku Yerisiam.
Pertengahan tahun 2008, PT Nabire Baru mulai masuk dengan modal Ijin Usaha Perkebunan (IUP). Untuk mendapatkan legitimasi, perusahaan melakukan pertemuan dengan beberapa warga suku Yerisiam. Pertemuan dilakukan diam-diam. Disepakati bahwa akan ada ganti rugi sebesar 6 milyar rupiah. PT Nabire Baru juga membangun tiga koperasi petani plasma. Sebagai penanggungjawab untuk melakukan perekrutan anggota koperasi, ditunjuk beberapa orang yang terlibat dalam kesepakatan rahasia tersebut.
Dari tiga koperasi bentukan perusahaan, tidak ada satupun pengurusnya yang mau saya wawancarai.
Sejak awal tahun 2009, perusahaan mulai beraktivitas. Penebangan hutan dimulai. Beragam jenis kayu yang melimpah di dalam areal konsesi dipasarkan ke luar dengan menggunakan nama PT. Sariwana Unggul Mandiri.
Suku Yerisiam tetap melancarkan protes. Salah satunya, menyoroti soal operasi ilegal PT. Nabire Baru karena belum mengantongi dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL).
Perjuangan itu memberikan hasil. Tahun 2011, Badan Lingkungan Hidup (BLH) Provinsi Papua mengeluarkan rekomendasi penghentian sementara operasi PT. Nabire Baru.
Pertengahan tahun 2012, operasi PT. Nabire Baru terhenti. Desember tahun itu, proses pengurusan AMDAL dimulai. Gubernur Papua, Costan Karma, merekomendasikan Badan Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup (BAPSDALH) Papua, agar segera mengeluarkan AMDAL untuk PT. Nabire Baru.
1 April 2013, melalui Harian Cendrawasih Pos, PT. Nabire Baru merilis pernyataan publik mengenai rencana usaha kegiatan perkebunan sawit.
Tiga hari kemudian, BPASDALH Papua bersama dengan perwakilan perusahaan dan perwakilan BLH Kabupaten Nabire, menggelar konsultasi publik. Pertemuan dilakukan di halaman SD Kampung Sima.
Konsultasi AMDAL berlangsung panas. Dua kubu orang Yerisiam yang menolak dan yang menerima kehadiran PT. Nabire Baru bersitegang. Sempat terjadi saling dorong. Perkelahian hampir pecah. Anak-anak dan perempuan yang ikut hadir memilih duduk menjauh dan tetap diam.
“Orang-orang yang terima sawit itu sebenarnya sudah pasrah. Hutan sudah habis. Dusun sagu hancur. Tidak ada lagi makanan. Mau bikin apa? Hidup susah. Jadi biar saja perusahaan masuk. Siapa tahu hidup lebih baik. Mungkin perusahaan bisa bantu kasih uang untuk anak sekolah, beli beras, beli tomat, beli banyak,” kata Emanuel Monei. Dulu ia termasuk warga Kampung Sima yang menerima sawit. Kini ia bergabung dengan barisan penolak sawit.
“Perusahaan sukses pecah belah orang Yerisiam,” kata Iwan Hanebora. Ia hadir saat konsultasi tersebut.
“Saya juga protes karena AMDAL nanti dibahas setelah perusahaan sudah dua tahun operasi. Hutan sudah habis mereka tebang, baru sekarang datang bahas ijin. Tim yang akan nanti bahas AMDAL juga tidak ada yang orang Papua. Padahal banyak ahli orang Papua di UNCEN dan UNIPA. Kenapa mereka tidak dilibatkan?”
Menurut Iwan, pasti ada persoalan kenapa tim pembahas AMDAL tidak melibatkan orang-orang terbaik yang ada di Universitas Cendrawasih (Uncen) dan Universitas Negeri Papua (Unipa), dua lembaga perguruan tinggi yang ada di Jayapura.
* * *
Tepat jam sembilan, pertemuan dimulai. Gunawan Inggeruhi membuka acara. Ia menunjuk Iwan Hanebora untuk membacakan doa. Lalu dilanjutkan dengan sambutan-sambutan. Absen mulai diedarkan, bersama dengan pinang juga sirih.
“Nama saya diambil dari salah satu dokter yang membantu persalinan mama dulu. Ada dua dokter saat itu. Dokter Iwan dan dokter Gunawan. Karena kami berdua kebetulan kembar laki-laki, makanya bapak saya ambil nama masing-masing dokter sebagai tanda hormat karena mama dan anak-anak semua selamat,” Gunawan menjelaskan namanya.
Gunawan, Iwan dan Robertino adalah anak-anak Simon Petrus Hanebora, mantan Kepala Suku Yerisiam yang meninggal Februari tahun lalu. Gunawan tidak memakai marga Hanebora. Ia menggunakan Inggeruhi sebagai marga. Inggeruhi adalah marga nenek dari pihak ayah. Agar marga itu tidak punah karena tidak memiliki penerus laki-laki, SP Hanebora menyerahkan salah satu anak laki-lakinya. Ini praktek umum bagi orang-orang suku Yerisiam.
Menjaga eksistensi marga dalam kode moral suku Yerisiam erat kaitannya dengan hak atas tanah. Keberlangsungan penerus sebuah marga berarti jaminan akan kepastian hak kuasa dan kelola atas tanah adat.
Dalam suku Yerisiam terdapat empat sub suku yang masing-masing membawahi marga-marga. Sub-suku Waoha membawahi marga Hanebora, Monei, Inggeruhi dan Refasi. Sub-suku Akaba membawahi marga Jarawobi, Waropen, Henawi dan Joweni. Sub-suku Sarakwari membawahi marga Akubar, Nanaur dan Kowoi. Sub-suku Koroba membawahi marga Rumirawi, Maniburi, Marariampi dan Waremuna.
Tiap-tiap sub-suku bertugas untuk menjaga dan mengawasi batas-batas wilayah adat dan sumber daya yang berada di dalamnya. Pengawasan tersebut bukanlah kuasa hak milik individual sehingga satu orang atau satu sub-suku tidak memiliki wewenang untuk melepas atau menjual tanah ke pihak lain tanpa melalui kesepakatan komunal dalam pertemuan adat.
“Tapi batas-batas itu tidak berlaku untuk sagu. Kalau dusun sagu itu milik bersama. Semua anak suku Yerisiam berhak mengambil sagu untuk makan,” kata Yakonias Joweni.
“Orang Yerisiam bahkan memberikan petak dusun sagu kepada orang-orang Yaure yang menikah dengan anak perempuan kami. Macam mas kawin. Karena kami tidak ingin anak dan cucu kami mati kelaparan.” Orang Yerisiam percaya bahwa setiap marga dan sub-suku harus memastikan agar anggota suku yang menikah dengan pihak luar tidak menghadapi kendala soal pangan.
Suku Yaure memang sangat dekat dengan suku Yerisiam. Hubungan pernikahan dan migrasi antar dua suku ini makin intens sejak orang-orang Yerisiam berpindah dan menetap di kampung Sima.
Sebelumnya, orang-orang suku Yerisiam mendiami kampung Hamuku yang berjarak sekitar 10 kilometer ke arah timur dari Sima. Karena abrasi pasir pantai, tetua suku Yerisiam memutuskan untuk memindahkan pemukiman ke pesisir barat yang kini dikenal sebagai kampung Sima. Catatan mengenai kampung Hamuku dapat ditemuan dalam catatatan perjalanan antropolog-misionaris asal Belanda Jan Boelars.
Penggunaan nama Yerisiam untuk mengidentifikasi diri dimulai sekitar akhir dekade 60-an. Sebelumnya, dalam catatan Boelars orang-orang ini dikenal sebagai suku Beduba sebelum mengubah nama menjadi Girimora dan akhirnya menggunakan nama Yerisiam. Perubahan nama ini erat kaitannya dengan interaksi yang terjadi dengan suku-suku lain di sekitar, baik melalui perdagangan atau perang Hongi (perang suku).
Suku Yerisiam memiliki temali kekerabatan dengan suku-suku yang berada di daerah selatan semisal suku Etahima dan Mairasi yang kini mendiami daerah Kabupaten Kaimana dan Kabupaten Fakfak. Mereka juga berkerabat erat dengan suku Komoro, suku Yamor dan tentu saja dengan suku Yerisiam yang bermukim di kampung Erega di pesisir selatan.
“Kalau ibarat rumah, orang-orang Yerisiam yang tinggal di kampung Sima ini macam teras. Orang-orang yang tinggal di pantai selatan itu dapur. Sudah tentu tidak ada larangan orang dari dapur masuk ke teras rumah, juga sebaliknya,” Daniel Jarawobi menjelaskan.
Suku-suku ini oleh para antropolog Belanda digolongkan ke dalam payung kekerabatan besar yang kini dikenal dengan nama Mee Pago, satu dari tujuh wilayah kesatuan adat di Papua. Penggolongan macam ini terbukti mengacuhkan hubungan kekerabatan antar dua suku dalam dua wilayah kesatuan adat. Orang Yerisiam di kampung Sima misalnya, memiliki hubungan kekerabatan dengan suku Yerisiam di kampung Erega.
“Kami tinggal sedikit. Sima ini satu-satunya kampung untuk orang Yerisiam di Nabire. Beda dengan Yaure. Mereka ada empat kampung.” Jarawobi menyodorkan pinang kering dan sepotong sirih. Saya menerimanya sembari tersenyum.
Daniel Jarawobi mulai menjabat sebagai Kepala Suku Yerisiam sejak April 2015. Ia dipilih dalam pertemuan tetua adat untuk menggantikan SP Hanebora yang meninggal dua bulan sebelumnya.
“Itu kenapa dusun sagu sangat penting dan keramat bagi kami orang Yerisiam. Tanpa itu, kami akan musnah.”
Pertemuan hari itu dipandu oleh Emil Ola Kleden. Ia pernah menjabat sebagai Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN). Kini bekerja untuk Forest People Programme, lembaga nirlaba berbasis di London Inggris. Emil dikenal luas sebagai pegiat aktivis hak-hak masyarakat adat. Salah satu figur yang konsisten mendorong model FPIC (Free, Prior and Informed Consent) di Indonesia.
“FPIC itu hanya salah satu mekanisme. Agar masyarakat tidak dirugikan ketika ada investasi masuk,” kata Emil.
FPIC semula digunakan untuk melindungi kepentingan pasien di rumah sakit terkait proses dan jenis pengobatan yang akan dilalui. Kodifikasi formal pertama PIC (Prior Informed Consent) adalah Kode Nuremberg di tahun 1947. Ada sepuluh standar yang harus dipatuhi sebelum seorang dokter melakukan eksperimen atas tubuh manusia. PIC menjadi dasar berkembangnya FPIC yang kemudian menyebar ke berbagai kegaitan non-medis. FPIC lalu ditransformasikan dalam berbagai kaidah hukum internasional yang bersifat komunal.
Dalam FPIC, ada empat prinsip penting yang berlaku secara kumulatif. Free berkaitan dengan keadaan bebas tanpa paksaan. Prior yang artinya sebelum proyek atau kegiatan pembangunan tertentu dilaksanakan, pihak pemerintah atau perusahaan wajib mendapatkan ijin dari masyarakat. Informed mensyaratkan keterbukaan informasi yag seluas-luasnya mengenai proyek yang akan dijalankan. Terkait akibat-akibat turunan, untung-rugi, dampak hukum sosial dan lingkungan serta berbagai informasi terkait.Consent berarti keputusan penolakan-persetujuan yang diberikan oleh masyarakat.
Mekanisme ini tidak hanya dilakukan sebelum proyek dilangsungkan, tapi juga saat aktivitas pembangunan tengah berlangsung hingga masa berakhirnya kegiatan investasi tersebut.
Model ini memiliki dua keuntungan langsung. Pertama, hak untuk menentukan pola dan model pembangunan bagi sebuah komunitas melekat kepada diri mereka sendiri. Kedua, mekanisme ini mengedepankan dialog sebagai metode pengambilan keputusan. Ia mengharuskan terjadinya diskusi internal yang rutin antara sesama anggota komunitas, juga dengan pihak pelaksana proyek pembangunan.
“Ini yang tidak ditaati perusahaan. Mereka tidak pakai dialog. Mereka main tebas hutan, kasih hancur dusun sagu. Semua harus ikut mau mereka,” jelas Robertino.
Dialog dengan perusahaan telah diupayakan. Pada 4 September 2014, perwakilan suku Yerisiam mendatangi kantor PT. Nabire Baru untuk menyampaikan keluhan. Pertemuan dengan pihak perusahaan ini kembali berakhir dengan janji.
15 Januari 2015, suku Yerisiam melaporan PT. Nabire Baru kepada pihak kepolisian.
Februari 2016, suku Yerisiam memutuskan untuk menegaskan sikap, menolak rencana pembangunan areal plasma sawit di sekitar Kampung Sima.
Tidak puas, suku Yerisiam melayangkan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negeri (PTUN) Jayapura. LBH Jayapura ikut membantu. Sembilan belas kali sidang dilakukan. 5 April 2016, suku Yerisiam dinyatakan kalah di PTUN Jayapura. Hakim memutuskan bahwa gugatan kepada ijin HGU PT. Nabire Baru telah kadaluarsa karena melewati batas 90 hari yang ditentukan undang-undang.
Pantang mundur, banding dilakukan ke Pengadilan Tinggi di Makassar. Akhir Agustus, LBH Jayapura mengabarkan kepada orang Yerisiam bahwa banding mereka ditolak. Kini tinggal banding ke tingkat Mahkamah Konstitusi di Jakarta yang tersisa. Suku Yerisiam belum memutuskan.
Perjuangan Suku Yerisiam mendapatkan dukungan luas. John NR Gobai, Sekretaris II, Dewan Adat Papua mengatakan bahwa PT. Nabire Baru sejak awal cacat hukum. Dalam pernyataannya kepada media, Gobai mengatakan bahwa ijin perkebunan yang hanya mencakup satu kabupaten saja harusnya dikeluarkan oleh bupati dan bukan oleh gubernur. Ijin menjadi wewenang gubernur adalah perkebunan yang beraktivitas di dua kabupaten atau lebih, namun tetap berada di dalam satu wilayah provinsi.
Sementara, ijin PT Nabire Baru bernomor SK Gub. No. 142 Tahun 2008, ditandatangani oleh gubernur Papua saat itu Barnabas Suebu. Ijin ini bertentangan dengan UU. No.18 Tahun 2014 tentang Perkebunan. UU No.18/2004 ini kemudian direvisi menjadi UU. No.39/2014.
PT. Nabire Baru menuduh bahwa aksi gugatan tersebut dilakukan oleh segelintir kecil oknum di Kampung Sima. Merespon hal itu, suku Yerisiam melakukan pengumpulan tanda tangan selama dua hari, 9-10 Mei 2016. Lebih dari 150 orang dewasa membubuhkan tanda tangan.
“Perusahaan ini memang tukang tipu. Tapi masyarakat sudah tahu kebohongan perusahaan. Sekarang makin banyak yang menolak sawit,” kata Yance Maniburi, salah satu tetua suku Yerisiam.
Setelah keputusan pengadilan di Jayapura, PT. Nabire Baru kembali bergerak. Kali ini, dusun sagu keramat Marawari yang disasar. Suku Yerisiam meradang. Protes kembali dilakukan.
Berdasarkan informasi dari suku Yerisiam dan Yayasan PUSAKA, Forest People Programme (FPP) ikut menyurati Goodhope Asia Holding, sebagai induk PT. Nabire Baru. FPP menekankan soal protes masyarakat terhadap pembongkaran dusun sagu keramat Jarae Marawari. Juga soal tindak kekerasan yang dilakukan oleh aparat Brimob kepada masyarakat suku Yerisiam.
Aditia Insani, perwakilan Goodhope dalam surat balasannya berkelit untuk merespon soal pembongkaran dusun sagu keramat. Aditia hanya mengulang kembali bahwa PT. Nabire Baru telah mengantongi semua persyaratan dan ijin dan sudah memenuhi tuntutan masyarakat. Ia juga menafikan adanya tindak kekerasan yang dilakukan aparat kepolisian.
Dalam surat itu, Goodhope juga menegaskan bahwa perusahannya telah memenuhi beberapa kriteria penilaian seperti High Conservation Value (HCV), High Carbon Stock (HCS) dan Social Impact Assessment (SIA).
“Perusahaan dulu janji tidak akan merusak dusun sagu keramat kami. Tapi mereka berdusta. Padahal, tinggal itu dusun sagu tempat kami cari makan,” kata mama Yarce Rumbiak.
19 April, suku Yerisiam bersama dengan Yayasan PUSAKA melayangkan protes kepada RSPO (Roundtable Sustainable Palm Oil). Protes ini terkait aktivitas perluasan lahan oleh perusahaan yang mengancam keberadaan dusun sagu keramat orang-orang Yerisiam. Surat itu juga menyoroti soal keberadaan aparat kepolisian dari kesatuan Brimob (Brigade Mobil) yang ditempatkan di lokasi.
Ada empat poin utama yang ditekankan dalam surat tersebut.
Pertama, kesepakatan pelepasan tanah yang dilakukan oleh segelintir oknum anggota suku Yerisiam tidak sah. Sebabnya, pelepasan tanah komunal hanya bisa dilakukan melalui mekanisme pertemuan adat bersama.
Kedua, suku Yerisiam sudah berkali-kali melakukan protes, pengaduan dan menyuarakan ketidaksepakatan terkait permasalahan perampasan hak atas tanah. Juga soal tindak kekerasan dan intimidasi yang dilakukan oleh Brimob yang ditempatkan di lokasi perkebunan. Namun, pemerintah dan perusahaan selalu tidak merespon.
Ketiga, perusahaan telah membongkar kawasan hutan, menyebabkan deforestasi dan ketidakstabilan ekosistem. Banjir yang melanda kampung Sima pada awal April 2016 dianggap sebagai akibat aktivitas pembabatan hutan oleh PT. Nabire Baru.
Keempat, pembongkaran dusun sagu keramat Jarae Marawari, melanggar kesepakatan yang dibuat masyarakat pada Februari 2016.
Sebulan kemudian, respon balasan tiba. Dalam surat klarifikasinya kepada RSPO, PT. Nabire Baru menuding bahwa SP Hanebora dan Yayasan PUSAKA bekerja sama untuk mencemarkan nama baik perusahaan demi sejumlah uang.
Y. L. Franky, Direktur Eksekutif Yayasan PUSAKA, hanya tersenyum ketika ditanyakan mengenai tuduhan tersebut. Ia menolak meladeni dan memilih melayangkan protes baru kepada RSPO.
“Sudah biasa kalau dituduh begitu. Resiko perjuangan,” kata Franky singkat.
Awal Mei, suku Yerisiam membawa keluhan mereka ke parlemen. DPRD Nabire lalu memutuskan membentuk tiga panitia khusus (pansus) untuk merespon masalah ini. Tim pertama akan menemui perusahaan. Tim kedua akan menghubungi instansi pemerintah terkait. Tim terakhir mendatangi kampung Sima dan melakukan dialog untuk mendengar aspirasi orang Yerisiam.
Namun nasib tindak lanjut pansus-pansus ini terus menggantung hingga hari ini. Tidak ada informasi lanjut.
“Mereka macam tidak peduli dengan nasib kami orang Yerisiam,” kata Robertino.
* * *
Dua hari pertemuan berlangsung hangat. Orang-orang Yerisiam absen melaut. Juga tidak pergi ke dusun sagu. Saat makan siang, orang-orang tetap ramai berdiskusi. Ikan laut disajikan dalam dua resep. Sup dan saus pedas. Ada juga sagu, ragam umbi-umbian dan nasi. Sayur kangkung segar, ditumis dengan irisan halus daun pepaya.
Sela makan siang dan makan sore setelah acara selesai tetap digunakan oleh anggota masyarakat untuk berdiskusi.
“Kami senang bisa tahu bahwa di luar Sima, ada banyak orang yang kasih perhatian ke orang Yerisiam. Ada banyak saudara yang peduli dengan nasib orang Yerisiam,” kata Yance sambil tersenyum.
Saya mengambil tiga potong besar ubi rambat. Mengguyurnya hingga tergenang dengan kuah sup ikan, menyendok kangkung dalam ukuran yang lebih dari cukup, lalu meletakkan di atasnya sepotong kepala ikan kakap laut goreng yang dibalur saus pedas.
“Tidak makan nasi?” Kepala Suku bertanya. Saya menggeleng dengan penuh semangat. Mulut tidak sanggup menjawab karena sedang sibuk mengunyah. Sambil berdiri.
“Memang lebih enak kalau makan ubi atau sagu. Lebih sehat,” Gunawan Inggeruhi menimpali dengan senyum lebar. Saya ikut tersenyum.
“Itu kenapa orang Yerisiam sudah siap mati kalau sampai dusun sagu keramat kami hancur,” lanjut Gunawan.
Saya melambatkan makan. Tenggorakan saya tercekat.(*)
Editor: Gratia Karundeng
Komitmen dan misi kami adalah menghadirkan media dengan mutu jurnalisme yang baik. Menurut pendapat kami, salah satu syarat penting untuk mencapai hal itu adalah indepedensi. Sejak awal, kami telah menetapkan bahwa KELUNG adalah media independen. Sebagai media independen, KELUNG hadir untuk melayani pembaca dengan laporan, artikel atau tulisan yang disajikan secara naratif, mendalam, lengkap dengan konteks. Kami mengajak anda untuk memasuki setiap gejala dan isu untuk menemukan informasi, inspirasi, makna dan pengetahuan.
KELUNG independen oleh karena kami sendiri yang menentukan tema atau isu untuk disajikan. KELUNG bebas dari intervensi penguasa atau pemilik modal. KELUNG independen dari intervensi ideologi agama atau ideologi apapun. KELUNG independen, karena bebas berpihak kepada kelompok minoritas, kelompok marginal dan lemah secara akses suara ke publik. KELUNG juga akan terus berupaya mengembangkan diri, meningkatkan mutu isi dan penyajian.
Pembaca adalah kunci dari harapan kami ini. Dukungan pembaca berupa donasi, sangat berarti bagi kami dalam upaya pengembangan dan peningkatan mutu jurnalisme yang independen. Kami mengundang pembaca untuk bersama-sama mencapai komitmen dan misi kami ini.
Mari bantu KELUNG dengan cara berdonasi…. selengkapnya
You may like
-
Mahzani, Bahasa Tombulu dan Festival Wanua Woloan
-
Manuk A’pak: Menyegarkan Kebaikan Alam untuk Manusia di Mamasa
-
Waraney Wuaya di Watu Tiwa’: Menata Situs, Menjaga Pengetahuan
-
Luka di Festival HAM, INFID dan Koalisi Masyarakat Sipil Protes
-
Mamasa Mamase: Terpaksa Mase-Mase dari Masa ke Masa
-
Lumales Ti Rurumezan Ni Opo Tumalun: Memahami Keseimbangan Alam dan Ancaman Bencana