CULTURAL
Demokrasi di Minahasa: Tu’ur In Tana’, Pinawetengan, Paesaan In Deken Hingga Pemilihan Ukung
Published
5 years agoon
By
philipsmarx15 April 2019
Oleh: Rikson Karundeng
Sebelum gagasan dan praktek demokrasi modern diperkenalkan, leluhur Minahasa sudah mempraktekkan cara-cara demokratis dalam menata masyarakatnya
ISTILAH DEMOKRASI tak ada dalam kosa kata masyarakat Minahasa. Kata ini memang berasal dari bahasa Yunani. Secara etimologis, kata ‘demokrasi’ terdiri dari dua kata. Demos yang berarti rakyat atau penduduk suatu tempat dan cretein atau cratos yang berarti kekuasaan atau kedaulatan. Jadi secara bahasa, demos-cratein atau demos-cratos adalah keadaan negara di mana dalam sistem pemerintahannya kedaulatan berada di tangan rakyat. Kekuasaan tertinggi berada dalam keputusan bersama rakyat, rakyat berkuasa, pemerintah rakyat dan oleh rakyat.
Sudah umum diketahui, bahwa ide dan praktek awal demokrasi muncul di era Yunani kuno, pada abad 4 sebelum masehi. Warga kota dari kalangan tertentu dilibatkan dalam pengambilan keputusan politik.
Namun praktek ini sempat hilang ditelan bumi ketika Romawi ditumbangkan bangsa Eropa Barat. Sekira tahun 600-1400, datang masa “kegelapan”. Di abad pertengahan ini sistem pemerintahan feodal lahir. Kekuasan digerogoti para paus dan bangsawan. Kehidupan sosial dan spiritual dikuasai paus dan para bangsawan saling adu untuk memegang kendali politik.
Sejarah baru demokrasi kembali tercipta pada 15 Juni 1215. Magna Charta lahir. Sebuah kontrak antara kaum bangsawan Inggris dengan raja Jhon Lackland. Dua prinsip dasar tergores tegas dalam piagam itu. Pertama, kekuasaan raja dibatasi. Kedua, hak asasi manusia lebih penting dari pada kedaulatan raja.
Piagam Magna Charta berhasil merubah dunia. Tahun 1350-1600, zaman baru muncul. Era yang dikenal dengan renaissance. Bibit negara nasional bercirikan demokrasi yang mendorong terjadinya perubahan sosial dan budaya yang berintikan pada kemerdekaan akal dan rasio dari berbagai pembatasan, bertumbuh subur. Italia di Eropa Selatan, Jerman dan Swiss di Eropa Utara, dibungkus “badai” renaissance.
Perkembangan berikutnya muncul pendapat tentang pemerintah demokrasi dari Jhon Locke (1632-1704) dari Inggris. Ia mengatakan, hak-hak politik rakyat mencakup hak atas hidup (life), hak atas kebebasan (liberty), hak memiliki (property), harus dijamin dalam pemerintahan. Kemudian Montesquieu (1689-1755) dari Perancis menyusun sistem yang dapat menjamin hak politik rakyat (trias politica). Suatu sistem pemisahan kekuasaan dalam negara ke dalam kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif, masing-masing dipegang oleh orang yang berbeda.
Dalam perjalanan sejarah, sistem demokrasi merambah ke seluruh penjuru dunia. Termasuk Indonesia. Ketika negara ini diproklamasikan tahun 1945, para founding fathers bersepakat untuk menggunakan sistem politik ini.
Pada 27 Mei 2016, Husni Kamil Manik, waktu itu ia adalah Ketua KPU RI, datang ke Manado. Di hadapan mahasiswa Pascasarjana Pengelolaan Sumberdaya Pembangunan Universitas Sam Ratulangi (UNSRAT) Manado ia berujar, Provinsi Sulawesi Utara merupakan bagian penting dalam proses demokrasi di Indonesia. Dari tanah inilah demokrasi di nusantara berakar. Embrio pemilihan umum pertama di Indonesia bermula dari Minahasa pada tahun 1951 untuk memilih 25 anggota DPRD.
“Pemilu di DPRD Minahasa merupakan uji coba sebelum pelaksanaan pemilu nasional tahun 1955,” ujar Husni.
Hal yang sama ikut ditegaskan Hasyim Asy’ari, mantan anggota KPU) Provinsi Jawa Tengah periode 2003-2008, dan kini sebagai komisioner KPU RI periode 2017-2022. Majalah KPU Minahasa Payangka edisi 2 September 2017 menulis, menurut Hasyim Asy’ari, Minahasa adalah pioner demokrasi di Indonesia. Demokrasi telah berakar jauh dalam sistem pemerintahan di Minahasa sejak masa lampau. Informasi itu diperoleh doktor sosiologi politik ini dalam penelitiannya tentang sejarah demokrasi di Indonesia.
Bermula dari Tu’ur in Tana’
Nilai-nilai demokrasi yang dimaksud para pendiri Indonesia memang telah lama lahir dan menjadi bagian dari hidup masyarakat Minahasa. Ciri itu napak jelas dalam nilai-nilai etis, moral, aturan hidup dan praktek kepemimpinan sejak masa lampau. Orang Minahasa menyebutkan, nilai-nilai itu bermula sejak peradaban Tu’ur in Tana’.
Kisah tentang Tu’ur in Tana’ dihidupkan dalam tulisan-tulisan para peneliti tentang Minahasa. E.V. Adam dalam Kesusasteraan, Kebudajaan dan Tjeritera2 Peninggalan Minahasa (1954) menulis, Tu’ur in Tana’ tidak dapat dipisahkan dengan Wulur Mahatus. Wulur juga disebut wulud. Artinya gunung. Ia dapat berarti pula “tua”. Maknanya sama dengan tu’ur yang artinya pangkal. Dengan begitu, Wulur Mahatus disamakan dengan Tu’ur in Tana’. Maknanya, tanah (tempat) yang mula-mula.
Bert Supit dalam Minahasa: Dari Watu Pinabetengan in Nuwu’ sampai jatuhnya Minawanua yang terbit tahun 1986 mengisahkan, sesudah Toar dan Lumimuut, leluhur Minahasa itu menikah, dari pegunungan Lolombulan berangkatlah mereka menuju ke selatan untuk menemui Karema (walian atau pemimpin agama yang kemudian menyatukan keduanya dalam ikatan pernikahan). Tapi di sana mereka tak menjumpai Karema. Keduanya lalu menetap di sekitar pegunungan yang banyak ditumbuhi bulu (bambu). Orang Minahasa menyebutnya bulu tui (sejenis bambu). Orang Tontemboan menyebutnya wulud mahatus, yang berarti banyak atau ratusan bulu tui. Di kemudian hari, sebutannya menjadi wulur mahatus. Dalam kisahan di Minahasa, di kawasan pegunungan inilah anak keturunan Lumimuut dan Toar berkembang menjadi banyak.
Cerita di wilayah Ratahan, bagian tenggara Minahasa menyebutkan, setelah Lumimuut dan Toar menjadi suami istri, mereka kemudian tinggal menetap di Mahawatu. Tempat inilah yang dinamakan Wulur Mahatus. Di kemudian hari ia disebut Tu’ur in Tana’. Keturunan Toar dan Lumimuut kemudian bertambah banyak sehingga mereka menyebutnya kaum Malesung. Ketika menjadi semakin banyak, maka menyebarlah mereka mencari tempat yang indah dan baik untuk ditempati.
Sejarawan Minahasa H.M. Taulu dalam Sejarah dan Anthropologi Budaya Minahasa (1980) menceritakan, awalnya Karema, Lumimuut, Toar dan keluarga mereka berdiam di sekitar gunung Wulur Mahatus. Mereka kemudian berpindah ke sekitar Watu Niutakan, dekat dengan negeri Tompaso Baru sekarang. Migrasi ini disebabkan karena perkembangan populasi yang terus bertambah. Pemukiman di pegunungan Wulur Mahatus tak dapat lagi menampung mereka. Perkembangan ini mendesak mereka mencari tempat pemukiman baru. Maka berpindahlah mereka dari tempat itu beralih menuju ke utara, melintasi gunung Soputan. Tumpukan ini kemudian tiba di kaki gunung Tonderukan. Tempat yang disebut Tumaratas yang berada di sekitar Watu Pinawetengan. Dari tempat inilah mereka menyebar ke seluruh penjuru Minahasa.
S.H. Awuy dari Tonsea pada sebuah tulisannya dalam bundel Hari jadi Daerah Minahasa (1982) mengisahkan, Karema dan Lumimuut adalah manusia yang hidup di zaman sebelum, sementara dan sesudah air bah. Toar lahir justru di kala sedang dahsyatnya air bah melanda. Setelah surut air bah, Karema menuntun Lumimuut dan Toar kembali ke negeri asalnya, Tu’ur in Tana’ (Mah-watu). Ternyata yang mereka dapati di sana adalah suatu keadaan yang serba lain dari semula. Semuanya hancur berantakan, kecuali yang masih tampak utuh adalah sebuah pondok yang terbuat dari sejenis kayu yang disebut dalam bahasa mereka, kayu malesung (jenis kayu ini cocok untuk dijadikan ramuan rumah, untuk dibuat perahu ataupun untuk roda pedati. Keistimewaan kayu ini adalah tahan air cukup lama. Kayu semacam ini masih terdapat di hutan-hutan yang ada di Minahasa). Di dalam pondok itulah mereka menginap. Sejak waktu itu muncul nama baru untuk tempat pemukiman ini, yakni Malesung. Sedangkan nama lama, Mahwatu dan Tu’ur in Tana’ tidak disebut-sebut lagi.
N.P. Wilken dalam Bijdragen tot de kennis van de zeden en gewoonten der Alfoeren in de Minahassa MNZG 7 tahun 1863 dan N. Graafland di bukunya De Minahassa : haar verleden en haar tegenwoordige toestand, yang ditulis tahun 1869, juga menegaskan bahwa pemukiman nenek moyang orang Minahasa dahulunya di sekitar pegununggan Wulur Mahatus. Dari situ kemudian mereka berkembang dan berpindah ke Mieutakan (daerah sekitar Tompaso Baru saat ini).
Kisah tentang asal mula, leluhur dan pusat peradaban awal Minahasa, sesungguhnya masih terekam jelas dalam ingatan tou (orang) Minahasa hingga kini. Cerita-cerita itu diwariskan dari generasi ke generasi. Baik lewat uman (cerita-cerita pengantar tidur bagi anak-anak), syair-syair, relief, hingga situs-situs sejarah yang masih berdiri kokoh di atas tanah Minahasa.
Sosok yang giat melakukan penelusuran peninggalan sejarah dan budaya Minahasa masa lampau, Rinto Taroreh menuturkan, tou Minahasa itu berasal dari selatan. Tepatnya di daerah pegunungan Wulur Mahatus, sebelum akhirnya mereka bermigrasi ke wilayah Watu Pinawetengan. “Opo (leluhur) Mamarimbing adalah Walian (pemimpin spiritual) terakhir sebelum tou Malesung meninggalkan Tu’ur in Tana’,” jelasnya.
Menurut Taroreh, bukti pemukiman mula-mula dari tou Minahasa di wilayah pegunungan Wulur Mahatus, dapat dilihat dari sejumlah situs yang ada di sekitar daerah tersebut. “Ada sembilan belas watu paheruran atau batu perundingan utama yang berada di sana, termasuk watu tiwa,” kata Taroreh.
Sebagian “batu penanda” yang menggambarkan cara berpikir, bertindak dan mengambil keputusan di masa lampau, diakui masih tertimbun di dalam tanah dan terus dicari. Namun sebagian batu yang penuh dengan goresan sejumlah simbol (aksara Malasung tua), telah ditemukan kembali.
“Situ-situs itu ada dalam ingatan masyarakat Minahasa. Kini kita tinggal mencari yang sudah tertimbun di dalam tanah. Dari penelusuran kita, sebagian situs-situs penanda peradaban awal leluhur Minahasa sudah ditemukan kembali,” ungkapnya.
“Dari simbol-simbol yang tergores di batu-batu tersebut bisa dijelaskan bahwa kompleks pemukiman tou Minahasa mula-mula berada di sebelah timur wilayah Tu’ur in Tana’. Sedangkan daerah pemakaman berada di sebelah barat,” terangnya.
Budayawan Minahasa asal Wanua Warembungan ini menjelaskan, sejak masyarakat Malesung ada, segala sesuatu yang hendak dilaksanakan akan dirundingkan lebih dahulu. Dan segala sesuatu yang disepakati bersama akan didokumentasikan di atas batu dalam bentuk simbol. Di Watu Tiwa misalnya, menurutnya hal utama yang dirundingkan adalah tentang patokan hidup dari Lumimuut dan Toar. Selain itu, disimbolkan juga beberapa hal di antaranya, cara memasang dodeso (jebakan) binatang buruan, cara Walian melakukan ritual, perhitungan bintang untuk menanam atau mencari binatang buruan, termasuk simbol silang (x) yang berarti benar atau sepakat atau setuju. Sebuah tanda yang menegaskan jika ada kata sepakat dari para leluhur Minahasa ketika berunding di tempat itu.
Cerita-cerita masyarakat Minahasa mengisahkan, setelah pertemuan di atas puncak Wulur Mahatus, Toar dan Lumimuut kemudian turun gunung dan tinggal di lembah yang banyak ditumbuhi bulu tui. Keturunan mereka terus berkembang dan mendiami daerah lembah. Mereka kemudian menamai diri tou Malesung (orang lembah). Pemukiman awal orang Malesung ini nantinya dinamakan Tu’ur in Tana’.
Rinto Taroreh menjelaskan, sebelum meninggal dunia, Lumimuut-Toar memberikan wejangan yang kemudian menjadi aturan hidup orang Malesung. Aturan hidup itu dinamai “Tiwa Toar-Lumimuut”. Tiwa atau sumpah itu menegaskan; sitou peleng masuat (manusia semua sama/sederajat), maleos-leosan (saling berlaku baik), masigi-sigian (saling menghormati), masawa-sawangan (saling membantu), matombo-tombolan (saling menopang), maupu-upusan (saling menyayangi/mengasihi), maesa-esaan (saling menyatu/bersatu). Tou masuat peleng (semua manusia sama), mahpute waya (sama semua, sederajat), cawana separukuan, cawana sepakuruan (tidak ada manusia yang menyembah kepada manusia, tidak ada manusia yang disembah).
Keturunan Lumimuut-Toar kemudian bersumpah untuk menjalankan amanah tersebut. Amanah itu dipegang teguh, menjadi way of life, pegangan hidup, landasan etis-moral tou Minahasa. Dalam sejarah selanjutnya, ketika ada yang melanggar aturan-aturan tersebut, sebuah upacara akan digelar untuk kembali meneguhkan “tiwa” yang pernah diikrarkan para leluhur di Tu’ur in Tana’. Sebuah upacara sebagai wujud penyesalan yang dalam, permohonan ampun kepada Sang Khalik dan penegasan kembali untuk benar-benar berkomitmen menjalankan “Tiwa Lumimuut-Toar”.
Leluhur Minahasa Lumimuut-Toar dimakamkan berdampingan di bawah sebuah batu bersimbol. “Dalam perjalanan waktu, di dalam setiap upacara adat rumages (upacara syukur), anak keturunan Lumimuut-Toar selalu mengikrarkan kembali tiwa Toar-Lumimuut sambil mengelilingi makam leluhur pertama mereka itu. Batu bersimbol yang menandai makam Toar- Lumimuut ini kemudian dikenal dengan Watu Tiwa Toar-Lumimuut,” kata Taroreh.
Di sekitar Watu Tiwa ini juga terdapat makam para leluhur Malesung lainnya. Makam-makam itu ditandai dengan simbol-simbol yang dipahatkan di atas batu. Sementara, di sebelah timur Watu Tiwa, tepatnya di puncak sebuah bukit terdapat susunan batu besar berlobang yang dinamai Watu Lisung. Batu lesung ini digunakan untuk menampung air hujan yang dipercaya pemberian langsung dari Kainawaan (dunia atas) atau Tuhan, untuk dipakai dalam upacara adat. Watu Lesung ini biasanya digunakan sebagai tempat berdoa para Walian.
Peradaban Watu Pinawetengan
Pada suatu waktu, di Tu’ur in Tana’ terjadi bencana alam beruntun. Bencana ini dipahami tou Malesung sebagai tanda bahwa mereka harus mengosongkan tempat itu. Watu Nietakan (nietakan=bekas potong/tatak) adalah bukti mengenai peristiwa terjadinya bencana alam beruntun itu.
“Dalam penuturan orang tua, watu nietakan itu terbelah menjadi beberapa bagian akibat gempa dahsyat yang terjadi ketika itu,” terang sejarawan Minahasa, Ivan R. B. Kaunang.
Setelah terjadi bencana alam beruntun di Tu’ur in Tana’, orang Malesung kemudian berjalan ke timur sesuai petunjuk burung manguni yang menyimbolkan harapan baru. Dalam perjalanan, mereka mendapatkan petunjuk lagi untuk bergerak ke arah utara. Tibalah mereka di tempat bernama Sumesepul.
Setelah beristirahat, mereka kemudian mencari pemukiman baru hingga sampailah rombongan ini di tempat yang dinamai Ranolesi. Tempat inilah yang menjadi pemukiman awal tou Malesung setelah pindah dari Tu’ur in Tana’. Ranolesi terletak di antara roong (kampung) Toure-Tumaratas.
“Sesuai kebiasaan, mereka kemudian mencari batu untuk dijadikan mesbah. Akhirnya mereka menemukan sebuah batu besar di lereng pegunungan Tonderukan. Batu itu dinamai Watu Tumotowa Wangko. Watu Tumotowa atau Watu Paheruran berarti batu tempat memanggil Sang Khalik dan tempat memanggil para tua-tua untuk berunding,” papar akademisi Fakultas Ilmu Budaya UNSRAT Manado ini.
Lama kelamaan orang Malesung menjadi lebih banyak sehingga lahan penghidupan mulai kurang. Para Walian dan orang-orang Malesung lainnya kemudian berkumpul di Watu Tumotowa Wangko untuk mencari solusi. Saat itulah terjadi pembagian wilayah Malesung di Watu Tumotowa Wangko. Masing-masing taranak (beberapa keluarga yang memiliki satu garis turunan yang sama) mendapatkan wilayah tempat tinggal dan daerah awohan (wilayah untuk digarap dan menjadi daerah perburuan). Sejak itu, Watu Tumotowa Wangko dikenal dengan Watu Pinawetengan atau batu tempat pembagian.
Setiap ada persoalan serius yang dialami masyarakat Minahasa, para Tonaas (tou ta’as, orang kuat dan cerdas yang memimpin negeri) dan Walian dari berbagai penjuru akan menyatu di Watu Pinawetengan. Mereka akan berkumpul untuk membahas secara serius persoalan yang muncul. Salah satunya peristiwa “mahwetik” (ibarat percikan tetesan air yang jatuh di tirisan rumah). Sebuah sejarah perang saudara pertama orang Minahasa yang menghabiskan lebih dari setengah penduduknya.
Masyarakat Minahasa dahulu mengenal tentang pembagian kelompok masyarakat berdasarkan fungsi. Kelumpok Makarua Siow (2×9) atau para Walian yang bertanggung jawab untuk urusan ritual, Makatelu Pitu (2×7) atau para Tonaas yang mengurus pemerintahan dan Pasiowan Telu (9×7) yang mengurusi soal pertanian dan perburuan. Kelompok-kelompok ini bukan berbeda secara struktural namun fungsi.
Kisah Mahwetik bermula ketika sejumlah Tonaas dan Walian melihat ke kerajaan dekat dengan wilayah Minahasa jika kelompok seperti mereka menguasai penduduk kebanyakan. Godaan itu memicu niat dalam hati untuk menguasai para Pasiowan Telu. Dari situlah meledak peristiwa kelam dalam ingatan tou Minahasa itu.
“Sejumlah Tonaas dan Walian ingin menguasai kelompok masyarakat lainnya. Di situlah muncul pertikaian karena hal itu dianggap melanggar Tiwa Lumimuut-Toar. Bahwa semua manusia sama, sederajat. Tidak boleh ada yang saling menyembah, menguasai yang lain. Perang di seantero negeri berkecamuk hingga membuat sebagian besar kelompok Tonaas dan Walian terbunuh. Sebagian lagi lari terusir dari tanahnya,” terang Ivan Kaunang.
Peristiwa ini akhirnya reda. Perwakilan masing-masing kelompok, para Tonaas dan Walian yang tersisa dan masih memiliki kewibawaan, berkumpul di Watu Pinawetengan. Mereka saling mengakui kesalahan, memohon ampun kepada Empung Wailan Wangko (Sang Sumber Berkat), dan mendiskusikan solusi terbaik untuk menata kembali kehidupan anak keturunan Lumimuut-Toar. Di saat itu, Tiwa Lumimuut-Toar kembali ditegaskan dalam sebuah upacara sakral.
Sistem Pemerintahan Masyarakat Minahasa Dahulu
Dalam masyarakat Minahasa zaman dahulu, kelompok terkecil atau keluarga disebut dengan awu. Sesuai dengan ketentuan adat, dalam pengurusan rumah tanggah, hak inang atau ibu, sama dengan hak amang atau ayah. Dalam pengambilan keputusan dan kebijakan sekecil apapun, si amang selalu terlebih dahulu bermusyawarah dengan si inang. Perbedaan antara perempuan dan laki-laki dalam kerja, bukanlah soal tinggi rendahnya derajat kedua makhluk berbeda jenis kelamin itu, tapi lebih kepada soal pembagian kerja dan fungsi.
Bert Supit dalam buku Minahasa: Dari Amanat Watu Pinawetengan sampai Gelora Minawanua (1986) menjelaskan, kelompok masyarakat yang lebih besar setelah awu adalah taranak. Taranak adalah kumpulan awu atau keluarga besar yang meliputi beberapa bangsal yang masih terikat hubungan kekeluargaan. Biasanya, pemimpin taranak yang disebut tuur atau tuuk dipilih dari amang dari keluarga cikal bakal taranak itu. Tugas utama tuuk adalah melestarikan ketentuan-ketentuan adat warisan para leluhur. Seluruh kebijakan harus didasarkan dan dikembalikan kepada ketentuan-ketentuan adat itu. Dalam pengambilan keputusan yang menyangkut kehidupan taranak, tuuk selalu meminta pendapat dari para anggota taranak¸ sesuai yang diamanatkan ketentuan adat.
Dalam perkembangan kemudian, taranak menjadi lebih besar. Kumpulan taranak yang lebih besar disebut roong atau wanua dan pemimpinya disebut ukung. Menurut Bert Supit, istilah ukung tidak ada hubungan sama sekali dengan istilah hukum yang kemudian berkembang menjadi hukum tua, seperti yang masih dipakai oleh banyak wanua sekarang di tanah Minahasa.
Kerja ukung kemudian dibantu juga oleh tu’a in lukar, pemimpin bagian roong yang dibagi demi terjaminya keamanan dan karena luasnya wilayah roong. Karena tugas pokok adalah menjaga keamanan, maka kemudian istilah lukar menjadi jaga dan pemimpinnya disebut Kepala Jaga. Selain tu’a in lukar ada juga pembantu lain yang disebut meweteng. Tugas mereka pada mulanya adalah membantu ukung mengatur pembagian kerja dan pembagian hasil dari roong atau wanua. Pembagian itu dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang sudah disepakti bersama.
Dalam hal-hal tertentu, ukung juga selalu berkonsultasi dengan para penasehat ukung. Kebanyakan, yang dikonsultasikan adalah persoalan-persoalan yang sulit dipecahkan. Tapi ini tidak mutlak, tergantung kebutuhan. Selain itu ada juga yang disebut patuusan, atau tua-tua roong yang dianggap bijaksana, tidak mempunyai cacat dan dapat dijadikan contoh. Meminta pendapat orang banyak untuk suatu penentuan keputusan atau kebijakan terjadi juga di tingkat walak atau kelompok masyarakat yang terdiri dari sejumlah roong atau wanua, yang penghuninya terikat baik secara geneologis maupun teritorial.
Paesaan In Deken, Musyawarah Ala Minahasa
Kelompok terkecil (rumah tangga) dalam masyarakat kuno Minahasa disebut awu. Jika karena perkawinan terbentuk beberapa kelompok awu (keluarga besar), maka mereka disebut taranak. Dan bila sesudah perkawinan antar taranak terbentuk taranak-taranak baru yang berdiam dalam satu wilayah tertentu, tempat itu disebut roong atau wanua. Pemimpinnya disebut ukung. Roong yang berkembang menjadi beberapa roong disebut walak.
Belakangan timbul istilah pakasaan yang juga mempunyai arti tertitorial. Seperti halnya taranak dan roong, maka walak dan pakasaan adalah suatu mayarakat hukum. Terlihat pada pemilikan tanah yang disebut tanah pakasaan yang sampai akhir abad XIX masih dijumpai di Manado dan Amurang.
Dalam masyarakat Minahasa dikenal sebuah ruang untuk membahas berbagai persoalan bersama yang disebut Paesaan in Deken (musyawarah). Jadi Paesaan in Deken adalah “Dewan Perwakilan Rakyat” yang dihadiri seluruh awu. Pengambilan keputusan dari setiap pemimpin dalam setiap “tingkatan” selalu melalui proses Paesaan in Deken.
Mereka yang menolak melaksanakan keputusan Paesaan in Deken punya konsekwensi berat. Sanksinya bisa diusir dari komunitas taranak. Ini model penghukuman paling berat. Karena ia akan diabaikan taranak sekalipun menghadapi persoalan. Kondisi ini membuat ia rawan menjadi sasaran para mapupuis, para pengayau, pemburu kepala.
Menurut Bert Supit, kedudukan inilah yang memperkuat kedudukan para tetua, pemimpin dalam masyarakat. Namun jika seorang pemimpin berlaku tidak sesuai dengan ketentuan adat, meresahkan masyarakat maka dengan berbagai upaya ia akan diturunkan oleh masyarakat yang memilihnya. Kondisi itu masih sangat terlihat jelas di era kompeni. Sekalipun pemimpin itu “buah” intervensi kompeni namun jika ia melanggar ketentuan-ketentuan adat, pihak kompeni tak akan mampu menahan keinginan rakyat untuk menurunkan pemimpinnya.
Mengutip tulisan Padtbrugge tahun 1679, Bert Supit menjelaskan jika di masa itu ada juga musyawarah-musayawarah yang terjadi di antara masyarakat kebanyakan. Jika sebagian besar masyarakat menilai para ukung telah membuat keputusan dan kebijaksanaan yang bertentangan dari adat istiadat maka akan diambil keputusan soal itu. Keputusan musyawarah itu akan diperjuangkan sekuat tenaga karena mereka menganggap keputusan mereka direstui dan didukung oleh para Apo (leluhur) dan Kasuruan Wangko (Sang Sumber Segala Sesuatu). Dasarnya, para ukung telah melanggar aturan yang diberikan oleh para Apo.
Jelaslah bahwa walaupun Paesaan in Deken memberi “kekuasaan” besar bagi para ukung untuk mengambil keputusan namun peringatan untuk tidak membuat kebijakan dan keputusan melanggar adat harus diindahkan.
Model Pemilihan Pemimpin Dalam Masyarakat Minahasa
Masyarakat Minahasa tidak mengenal sistem pewarisan kedudukan seorang “kepala”. Jika seorang Tuud in Taranak meninggal dunia, para anggota taranak, baik perempuan maupun laki-laki yang sudah akil balik akan bermusyawarah memilih pemimpin baru. Hak tou Minahasa yang telah akil balik untuk duduk bersama, memilih dan dipilih sebagai pemimpin dalam musyawarah, merupakan bagian dari tradisi.
“Ada tradisi pendidikan dalam masyarakat Minahasa yang disebut Papendangan. Seorang anak biasanya diserahkan sejak kecil kepada para bijak, Walian atau Tonaas, untuk dididik tentang nilai budaya, etika-moral, pengetahuan perbintangan, keterampilan berburu, bercocok tanam dan sebagainya. Melewati masa akil balik, si anak akan melalui proses ‘ujian akhir’. Setelah melewati proses itu, si anak dianggap benar-benar telah siap secara metal, moral dan pengetahuan untuk masuk dalam kehidupan bermasyarakat,” terang budayawan Rinto Taroreh.
“Tidak heran jika mereka yang telah diberi kesempatan untuk memilih para ukung, dianggap benar-benar telah dewasa untuk menentukan hal yang baik bagi mereka, terutama yang terbaik bagi taranaknya,” sambung Taroreh.
Sesuai tradisi, pemilihan ukung dipimpin oleh anggota tertua dari taranak dan dibantu oleh kepala-kepala taranak. Anggota yang terpilih dalam pemilihan itu mendapat kehormatan Pa’endon Tu’a (masyarakat Tombulu), Pamatu’an (masyarakat Tontemboan). Sehari-hari ia akan dipanggil Tu’a in Taranak pada tingkatan taranak dan ukung di tingkat roong atau wanua. Dalam masyarakat Minahasa, memimpin sama dengan menjadi seorang amang yang tidak mempunyai kekuasaan yang absolut.
Oleh karena itu, dijelaskan Bert Supit hal utama yang menjadi perhatian ketika masyarakat menghadapi pemilihan pemimpinnya adalah kualitas orang yang akan dipilih. Kualitas yang diperluakan itu diukur dengan pa’eren telu atu tiga yang diperlukan. Pertama ngaaasan, Mempunyai “otak”, dinilai mempunyai keahlian mengurus taranak atau roong/wanua. Kedua, niatean. mempunyai hati. Artinya mempunya keberanian, ketekunan, keuletan dalam menghadapi segala persoalan yang merupakan tantangan roong/wanua atau taranak. Selain itu, ia harus mampu merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain, rakyat yang ia pimpin. Ketiga, mawai atau keter. Kuat dan dapat diandalkan. Artinya, secara fisik dapat menghadapi kesulitan-kesulitan yang dihadapi oleh taranak atau roong/wanua.
Dengan demikian, jelas tidak mudah untuk diakui dan dipilih menjadi seorang pemimpin dalam masyarakat Minahasa di masa lampau. Namun kesempatan untuk dipercayakan sebagai pemimpin merupakan hak dari setiap orang yang duduk bermusyawarah. J.F.G. Riedel dalam Minahasa in1825, Tijd., XVIII (1872) menuliskan, di Minahasa setiap orang dapat dipanggil (dipilih) untuk menjalankan pemerintahan. Sesuai dengan adat istiadat, para Paendon Tu’a, para tua-tua dan Pa’matu’an dipilih oleh para awu.
Dari berbagai penjelasan, Tu’ur in Tana’ ternyata tidaklah hanya sekedar wale ure’ (rumah lama atau rumah tua) dimana tou Minahasa memulai kisah hidup dan saling membagi cerita terhadap anak cucu. Tu’ur in Tana’ adalah titik awal peradaban tou Minahasa digoreskan. Bukti bahwa tou Minahasa memiliki peradaban yang luar biasa dan telah ada sejak lama. Tu’ur in Tana’ adalah tempat mengikrarkan komitmen keminahasaan. Tempat dimana nilai-nilai egaliter, humanis, mapalus, dan sejumlah nilai-nilai keminahasaan dimulai.
Tu’ur in Tana’ dan Watu Tiwa Lumimuut-Toar memiliki makna yang dalam bagi tou Minahasa. Bukti historis peradaban Minahasa. Ia adalah penanda yang mengingatkan tou Minahasa tentang way of life, filosofi hidup dan etika-moral, identitas tou Minahasa yang sesungguhnya.
Watu Pinawetengan juga memiliki nilai yang sama. Ia adalah saksi tentang kebijaksanaan, kebesaran dan peristiwa kelam tou Minahasa. Saksi tentang cara leluhur Minahasa menyelesaikan berbagai persoalan yang timbul. Tempat dimana semua orang yang datang duduk bersama, sederajat, memiliki kesadaran, hak dan tanggungjawab yang sama bagi tou dan tanah Minahasa. Watu Pinawetengan adalah simbol demokrasi di Minahasa.
Dalam perjalanan sejarah kemudian, nilai-nilai keminahasaan yang terkandung dalam Tiwa Lumimuut-Toar ternyata benar-benar terekspresi dalam cara berpikir dan bersikap orang Minahasa. Ia terwujud dalam sistem masyarakat Minahasa. Termasuk pada model bermusawarah, cara memilih pemimpin dan sistem pemerintahannya. (*)
Editor: Denni Pinontoan
Komitmen dan misi kami adalah menghadirkan media dengan mutu jurnalisme yang baik. Menurut pendapat kami, salah satu syarat penting untuk mencapai hal itu adalah indepedensi.
Sejak awal, kami telah menetapkan bahwa KELUNG adalah media independen. Sebagai media independen, KELUNG hadir untuk melayani pembaca dengan laporan, artikel atau tulisan yang disajikan secara naratif, mendalam, lengkap dengan konteks. Kami mengajak anda untuk memasuki setiap gejala dan isu untuk menemukan informasi, inspirasi, makna dan pengetahuan.
KELUNG independen oleh karena kami sendiri yang menentukan tema atau isu untuk disajikan. KELUNG bebas dari intervensi penguasa atau pemilik modal. KELUNG independen dari intervensi ideologi agama atau ideologi apapun.
KELUNG independen, karena bebas berpihak kepada kelompok minoritas, kelompok marginal dan lemah secara akses suara ke publik. KELUNG juga akan terus berupaya mengembangkan diri, meningkatkan mutu isi dan penyajian.
Pembaca adalah kunci dari harapan kami ini. Dukungan pembaca berupa donasi, sangat berarti bagi kami dalam upaya pengembangan dan peningkatan mutu jurnalisme yang independen. Kami mengundang pembaca untuk bersama-sama mencapai komitmen dan misi kami ini.
Mari bantu KELUNG dengan cara berdonasi…. selengkapnya
You may like
-
Arnold Baramuli dan Bumi Beringin
-
Memulung Hikmat di Kobong Om Tani Langowan
-
Aroma Pelanggaran HAM Menyeruak Bersama Bau Busuk di Tanjung Merah
-
Mahzani, Bahasa Tombulu dan Festival Wanua Woloan
-
Gelisah Jurnalis di Sekolah Menulis Mapatik
-
Manuk A’pak: Menyegarkan Kebaikan Alam untuk Manusia di Mamasa