ESTORIE
‘Disko Tanah’, Sebuah Ruang di Masa yang Membosankan
Published
6 years agoon
By
philipsmarx24 Januari 2019
Oleh: Denni Pinontoan
‘Disko tanah’ adalah temuan anak-anak muda Minahasa di masa politik dan ekonomi terasa begitu membosankan.
TONDANO, 26 DESEMBER 2018. Ini hari Natal kedua. Jalan Raya Koya-Tataaran sore itu ramai. Orang-orang pesiar menggunakan mobil, motor, jalan kaki santai, dan yang lainnya menumpang bendi. Ada yang unik, pintu bagasi mobil dibuka. Anak-anak hingga orang dewasa duduk di lantai bagasi menghadap ke belakang.
Di sebuah pekarangan atau orang-orang di sini menyebutnya kintal, sejumlah kotak speaker dominan berwarna hitam disusun bertingkat. Lampu kelap-kelip menghasilkan efek cahaya warna-warni. Orang-orang muda mulai berkumpul. Pesta goyang badan siap digelar. Sebuah tontotan malam di hari Natal kedua bakal mengganti keramaian pesiar sore tadi.
Usai makan malam, tempat itu semakin padat. Sejumlah orang muda membentuk baris berjejer berpasang-pasangan. Musik dengan volume tinggi menjadi pengiring untuk menggerakan badan. Masing-masing dengan gaya kreasi sendiri. Sementara yang lain berdiri di pinggiran menonton pertunjukkan itu.
Orang-orang Minahasa populer menyebut pesta ini dengan nama ‘disko tanah’. Istilah ini menunjuk pada gerak badan beramai-ramai sambil diiringi musik berkecepatan tinggi. Namun pada umumnya, di dalamnya ada juga dansa berpasang-pasangan dengan alunan musik mendayuh. Di beberapa tempat di Minahasa, sering juga diselingi dansa katrili.
Kumpul-kumpul, berdansa, bergoyang, bergembira, bukan hal baru di Tanah Minahasa. Dansa diperkenalkan oleh orang-orang Eropa di masa lampau, zaman kolonial itu. Ia kemudian menjadi semacam budaya rakyat di Minahasa.
Pesta dan Dansa
Tomohon di tahun 1950-an. Budaya pop merambah kota kecil di kaki Lokon ini. Sebelum perang datang, pergolakan Permesta, ini ruang bagi orang-orang muda untuk bergaul. Pesta dansa, nonton bioskop, blue jeans dan rok mini mulai trend di masa itu. Masa yang sungguh romantik usai pendudukan Jepang yang menyiksa.
“Pergaulan muda-mudi, dilanda demam lagu-lagu Barat. Elvis Presley menjadi idola setiap kaum muda,” tulis Phill M. Sulu dalam Permesta, Jejak-jeka Pengembaraan menceritakan suasana kampungnya Kakaskasen, Tomohon akhir tahun 1950-an.
Kata Phill, di masa itu, anak-anak muda Minahasa, khususnya di Tomohon mengidolakan Elvis Presley, Pat Bonne, Petty Page, Conny Franscies, Jim Reeves, Andy Williams.
Tahun 1950-an akhir Phill adalah seorang pemuda dengan gelora dan semangat yang menggebu-gebu. Usianya kira-kira 18 tahun. Ia dan kawan-kawan muda lainnya akrab dengan pesta-pesta dansa. Bermodalkan perangkat musik paling mutakhir waktu itu, gramofon pick up pesta dansa sungguh menghibur.
“Dansa jenis rock & roll, boogy woogy, waltz, zamba, dan lain-lain, menjadi mode hiburan ketika itu,” kata Phill.
Bersama dengan menyebarnya lagu-lagu Barat, mode berpakaian juga mengikuti tren budaya pop kala itu. “Termasuk di dalamnya adalah meniru gaya musik dan gaya berpakaian dari film-film Barat, yang nota bene adalah bekas penjajahnya,” tulis Sidik Jatmika dalam Genk Remaja, terbit tahun 2010.
Menurut Jatmika, film dan musik adalah pintu gerbang utama dari proses imitasi budaya Barat tersebut oleh remaja. Aliran musik sejak tahun 1940-an dan 1950-an, tambah Jatmika adalah rock and roll, rhytm and blues, dan country.
Anak-anak muda Minahasa rupanya sedang kena demam budaya pop masa itu. Apa yang tren di Jakarta, Yogyakarta, seperti yang di jelaskan Jatmika juga digemari di Minahasa. Ini fenomena global.
Di Minahasa, dansa jelas adalah warisan Belanda. Di awal abad 20 anak-anak muda Minahasa di kampung-kampung sudah berdansa dengan mengenakan stelan rapi untuk pria dan gaun untuk perempuan. Bioskop sudah ada sejak itu. Harian Het Nieuws van den Dag voor Nederlandsch-Indië, edisi 2 September 1930 misalnya mengumukan sebuah pesta di Menado untuk perayaan Hari Ratu. Pesta itu akan diisi dengan parade bunga, permainan rakyat dengan nyanyian, musik dan pertandingan sepak bola, prosesi dengan lampion, bioskop terbuka dan kembang api. “Semuanya dalam gaya yang hebat,” demikian pengumuman itu.
Phill mengatakan, mode pakaian yang digemari waktu itu adalah rok super mini yang terbuka seperti payung. Nama populernya, rok can-can. “Bisa dibayangkan betapa seronoknya seorang gadis yang mengenakan rok sependek itu, bila sedang beraksi dengan goyang dansa boogy woogy,” kata Phill.
Sayang, apa yang Phill sebut ‘suasana flamboyan’ itu tidak berlangsung lama. Jelang akhir tahun 1950-an, tepatnya tahun 1957 hingga awal tahun 1960, di Minahasa terjadi pergolakan Permesta. Anak-anak muda yang telah terbiasa berpesta, dansa, menonton bioskop, kini harus latihan pegang senjata, menembak, berperang dan masuk hutan.
Tapi ternyata, film perang yang menceritakan keberanian seorang serdadu bernama Audie Murphy berjudul To Hell and Back, dengan bintang si serdadu itu sendiri telah menginspirasi kaum muda Minahasa yang bergabung dalam Permesta. Ketika perang Permesta meledak, muncul serdadu-serdadu muda tanpa tanda pangkat, kata Phill. Mereka itu dinamakan caper alias calon prajurit. Kaum muda yang lain, adalah anak-anak sekolah yang disebut tentara pelajar.
Kesatuan para tentara muda ini diberi nama Corps Tentara Pelajar atau CTP. Badge mereka berbentuk kotak warna merah bergaris-garis miring hitam. “Corps ini meniru corps tentara pelajar Amerika yang sangat populer saat itu dalam film perang yang dibintang Audie Murphy bintang film idola kaum remaja zaman itu,” ungkap Phill.
Audie Murphy adalah serdadu Amerika yang mengalahkan tentara Nazi Jerman seorang diri di awal tahun 1945. Kisah keberaniannya itulah yang difilmkan dengan judul To Hell and Back, dirilis di Amerika Agustus 1955. Audie Murphy, serdadu gagah berani dan sekaligus aktor itu adalah idola kaum muda Minahasa di masa flamboyan, sebelum perang saudara Permesta.
Usai Perang, Berdisko
Perang Permesta sudah usai. Tapi, perang lain masih berlangsung. Perang Dingin, Amerika versus Uni Soviet. Semua hal menjadi serba ideologis dan politis. Namun, disco melampaui kapitalisme atau komunisme. Dari Amerika ia kemudian merambah pula ke Uni Soviet. Juga ke China dan Afrika. Apalagi sejak film Saturday Night Fever, film legendaris tahun 1977 dengan bintangnya John Travolta diputar di bioskop-bioskop sedunia.
“Pada akhirnya, disko adalah tentang inklusifitas dan komunitas, tentang kesenangan dan waktu senggang dari para pekerja, tentang demokrasi di lantai dansa daripada idola di panggung,” kata Peter Shapiro seperti dikutip Eric Gonzaba dalam artikelnya berjudul Stayin’ Alive in the Cold War: Disco and Generational, Racial, and Ideological Currents in the 1970s-1980s.
Di Indonesia, khusunya di Minahasa sejak masa itu, disko dan jontra, singkatan nama John Travolta adalah identik. Begini cara orang-orang di sini mempribumisasi sesuatu yang asing tapi diterima menjadi bagian dari kulturnya.
Tonny Winokan, di akhir 70-an hingga awal 80-an sebagai remaja, mengingat betul bagaimana jenre musik ini menjadi bagian dari gaya hidup anak-anak muda di Manado. Kata dia, di tahun 60-an sampai awal 70-an, musik yang dikenal anak-anak muda, generasi sebelum dia adalah rock and roll. Setelah itu orang-orang muda kena demam disco.
“Sekitar 78 sampai 80an, dengan film John Travolta Saturday night fever dan Grease, era disco mulai merambah,” kata Tonny.
Film Saturday Night Fever bukan tentang kelahiran disco. Ia berkisah tentang seorang pemuda bernama Tony Manero. Pemuda yang sering menghabiskan malam minggunya berdansa di lantai diskotik di Brooklyn. Pemerannya adalah John Travolta. Film inilah yang telah membantu menyebarkan musik-dansa disko sejagad. Film ini diolah dari sebuah artikel berjudul Tribal Rites of the New Saturday Night yang ditulis Nik Cohn di majalah New York pada tahun 1976. Sekian lama artikel ini dipercayai berkisah tentang kehidupan nyata. Namun pada akhir tahun 1990-an, Cohn menyatakan pengakuannya. Artikel itu sesungguhnya adalah hasil karangannya berdasarkan imajinasi.
Film Grease, juga dengan bintangnya John Travolta, adalah film musikal yang dirilis tahun 1976. Ia dikembangkan dari film musikal tahun 1971 yang berkisah tentang dua kekasih, siswa SMA tahun 1950an. Film ini juga ikut berperan menglobalkan disco.
Film-film ini beredar dan diputar di bioskop-bioskop se-Indonesia tepat bersamaan dengan gencarnya rezim orde baru ‘mendisiplinkan kaum muda’, antara lain melalui kebijakan wajib mengikuti penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila atau dikenal dengan P4. Di masa itu, politik bagi kaum muda adalah kepatuhan, ketataan dan disiplin. Terlebih politik adalah untuk kesetiaan pada bapak pembangunan, Soeharto.
Yang populer memang adalah John Travolta. Seolah ia yang memperkenalkan jenre musik baru bernama, Jontra. Tapi, pada film Saturday Night Fever, lagu-lagu soundtrack yang dinyanyikan oleh Bee Gess sebetulnya yang adalah disco itu sendiri. Merekalah yang telah menghidupkan disco dengan lagu-lagunya seperti “Night Fever”, “Stayin’ Alive”, “If I Can’t Have You”, “Emotion”, dan “Love is Thicker Than Water”. Album Bee Gess terjual lebih dari 40 juta kopi yang menempatkan mereka di urutan teratas tangga musik Amerika, dan dunia.
Jadi, jontra ia adalah disco dalam film. Musik disco adalah lagu-lagu yang dinyayikan oleh Bee Gess dalam film itu.
Di Minahasa tahun 80-an dansa-dansa masih banyak diiringi musik bambu. Perayaan Tahun Baru dan Kunci Tahun misalnya, bagi generasi tua dalam romantismenya pada ‘dansa-dansi’ dari zaman kolonial, yang katanya dikenal lebih sopan itu masih dapat ditemukan di banyak kampung. Namun bagi generasi setelah mereka banyak yang semakin gemar dengan jenis musik menyentak, agak keras dan melawan kemapanan. Kegemaran mereka adalah mendengar musik-musik rock di tape recorder dengan dinding kamar yang ditempelkan poster-poster idola seperti Ozzy Osbourne atau bersama Black Sabbath; Metallica; Mick Jagger dengan The Rolling Stones-nya; God Bless, grup musik rock asal Indonesia, dan lain sebagainya.
Tren ini ditandai dengan populernya logo The Rolling Stones, lidah dan bibir dengan warna dasar bendera Inggris, asal negara grup musik rock ini.
Generasi yang lebih muda lagi semakin banyak yang menyukai disco. Pesta-pesta disko di kampung-kampung mewabah. Musik rock hanya untuk diidengar sendiri di kamar yang dihiasi poster-poster grup dan bintang musik rock. Tapi, melanjutkan tradisi ‘dansa-dansi’ yang ramai, disko adalah alternatif. Di kota-kota besar, macam Jakarta, diskotek mulai menjadi ruang alternatif bagi kaum muda urban sejak awal 70-an.
Di Minahasa, masa kejayaan cengkih berlangsung sepanjang tahun 1970-an sampai awal 1980-an. Orang-orang muda masa itu menikmati booming cengkih untuk ajang unjuk diri. Pangucapan Syukur, sebuah tradisi yang identik dengan keramain, makan-makan juga dansa-dansi gaya baru dirayakan dengan penuh antusias. Namun, politik begitu membosankan bagi mereka.
Dari Jontra ke Jekson
Tahun 1990an hingga kira-kira sampai sebelum reformasi, sebuah cara baru mengekspresikan kebebasan di tengah kebosanan politik berkembang dan mewabah. Namanya, ‘disko tanah’. Ini ruang alternatif bagi orang-orang muda atau siapa pun yang masih berjiwa muda. Ekspresi berbeda dari kegemaran terhadap musik jenis trash metal atau heavy metal. Kotak-kotak speaker yang dulunya hanya untuk mendengar musik rock di dalam kamar, pada pesta Tahun Baru atau Pangucapan Syukur dikumpul di tanah lapang atau balai-balai desa. Jadilah ia diskotik rakyat.
‘Disko tanah’ jadi nama baru untuk ekspresi kebebasan gaya baru ala generasi ini. “Disco tanah lebih seru kalau baru abis ujang. Disco tanah itu fenomena baru, biasanya musiknya remix, seperti musik yang dipandu DJ di pub atau diskotik,” kenang Tonny.
‘Disko tanah’ adalah sebuah reproduksi dari diskotik. Di Manado tahun 1990-an, untuk kalangan terbatas mengenal Hot Gosip di bekas bioskop Benteng atau New Ocean Discotheque di Gedung Joang 45. Di kampung-kampung, pesta disko berlantaikan tanah. Dari ‘disko tanah’ dengan kotak-kotak speaker yang dipinjamkan secara sukarela beberapa orang ia kemudian berkembang menjadi bisnis. Kemudian muncul pengusaha sewa menyewa peralatan disko. Lebih menyerupai diskotik, tapi ini digelar di ruang terbuka, bukan di ruang tertutup berbayar. Oleh karena ia telah menjadi pesta populer bagi orang kebanyakan, maka kebiasaan minum-minum alkohol menjadi sepaket dengannya.
“Sayang aroma alkohol juga bercampur disitu,” kata Tonny.
Selain digelar pada perayaan Tahun Baru atau pangucapan syukur, ‘disko tanah’ kemudian menjadi tren pada pesta-pesta keluarga, pesta nikah atau hari ulang tahun sekalipun. Ia bahkan menjadi bagian dari kampanye calon-calon hukum tua di banyak kampung di Minahasa. Ia digelar sampai larut malam. Kampung menjadi bising dengan musik yang menghentak dan histeria orang berdisko. Saya masih ingat, di Motoling awal sampai pertengahan tahun 1990-an, karena efeknya itu ‘disko tanah’ bahkan digelar di balai koramil.
Ini masa di mana bukan lagi John Travolta yang diidolakan. Ini era Michael Jackson. Di mana-mana ada ‘disko tanah’ di tahun 1990an itu, pasti ada “Black or White’ punya Michael Jackson itu. Tanpa disadari, berdisko rupanya adalah bentuk lain dari ‘demonstrasi’ menuntut hak kesetaraan. Seolah ia adalah cara lain berdemonstrasi di jalanan yang berbahaya dilakukan di masa rezim Soeharto itu.
It don’t matter if you’re black or white
I am tired of this devil
I am tired of this stuff
I am tired of this business – (Michael Jackson, “Black or White’, 1991)
Anak-anak muda Minahasa mendengar suara Michael Jackson itu. Di atas tanah rata, tanah bagi semua orang yang ingin mengekspresikan kebebasannya suara khas sang bintang menggema. Pada ‘disko tanah’, di malam yang seolah tak pernah larut itu, ia menyampaikan pesan untuk sesuatu yang tidak pernah dapat dimengerti.
‘Disco’ di ‘tanah’ ini menjadi ‘disko tanah’. Jauh-jauh ia melancong dari Amerika, di Minahasa ia menjadi sangat hibrid, percampuran dari banyak musik dan tarian. Mulai katrili, musik dan tarian dari zaman Spanyol-Portugis itu. Lalu pada satu pentas ‘disko tanah’ dansa berpasangan dengan lagu-lagu romantis dari zaman sebelum perang juga menjadi salah satu sesi. Ada pula dansa yang diiringi musik bambu rekaman. Sudah tentu disko dengan macam-macam variannya. Dan, orang-orang muda juga mau bergoyang dangdut, sebuah jenre musik dari jalur lain.
Di tahun 1990-an itu muncul istilah-istilah khas di kalangan anak-anak muda penggemar ‘disko tanah’. ‘Baku tindis’ artinya ‘unjuk kebolehan’ sebanyak mungkin gaya disko yang dapat dikreasi. Masa itu muncul semacam klub atau genk-genk disko dengan nama yang khas. ‘Patah-patah’, salah satu bentuk gaya yang ditampilkan dalam ‘baku tindis’. Lalu, seolah sebagai pengganti nama jontra, muncul istilah jekson untuk menyebut kreasi meniru gaya-gaya Michael Jackson. Inilah kreasi dari generasi anak-anak penggemar disco John Travolta. Cucu-cucu dari penggemar rock n roll.
‘Disko tanah’ akhirnya menjadi semacam ruang baru untuk hibridasi banyak jenis musik-tarian.
Benar-benar khas produksi rakyat kebanyakan. Di Minahasa justru ia berkembang di masa harga cengkih sedang anjlok. Tapi pesta-pesta, kumpul-kumpul, keramaian, tak ikut anjlok.
Masa reproduksi menjadi ‘disko tanah’ ini terjadi ketika perang dingin sudah berakhir dengan kemenangan Amerika. Ia menjadi kegemaran anak-anak muda Minahasa di saat krisis global mulai mengintai Asia atau Indonesia khususnya. Sebuah ruang publik di masa peralihan. Masa jelang agamaisasi ruang publik. (*)
Editor: Andre Barahamin
You may like
-
Memulung Hikmat di Kobong Om Tani Langowan
-
Aroma Pelanggaran HAM Menyeruak Bersama Bau Busuk di Tanjung Merah
-
Mahzani, Bahasa Tombulu dan Festival Wanua Woloan
-
Gelisah Jurnalis di Sekolah Menulis Mapatik
-
Manuk A’pak: Menyegarkan Kebaikan Alam untuk Manusia di Mamasa
-
Waraney Wuaya di Watu Tiwa’: Menata Situs, Menjaga Pengetahuan