FEATURE
Doa Terakhir Sang Pendeta: Kisah Dietrich Bonhoeffer Sebelum Digantung
Published
5 years agoon
By
philipsmarx9 April 2019
Oleh Denni Pinontoan
Doa belum selesai, tiba-tiba pintu sel dibuka, dua pria berwajah jahat berpakain sipil masuk menjemput Dietrich Bonhoeffer
GELAP MALAM berangsur-angsur digantikan cahaya matahari pagi. Hari baru segera akan datang di kamp konsentrasi Flossenburg. Tapi, para tahanan di situ ada yang tidak akan menikmati pagi lagi. Dietrich Bonhoeffer salah satunya. Ini adalah waktu terakhir ia menghirup nafas.
Pada fajar 9 April 1945 itu, ia digantung.
Bonhoeffer, pendeta Lutheran Jerman itu divonis bersalah oleh rezim NAZI atas tuduhan terlibat dalam rencana aksi membunuh Hitler.
Beberapa Minggu setelah Bonhoeffer digantung, sekutu menyerbu kamp konsentrasi itu. Para tawanan lainnya dibebaskan. Pada awal Mei 1945, NAZI menyerah tanpa syarat kepada sekutu. Sekira seminggu sebelumnya, 30 April, Hitler, sang diktator fasis itu bunuh diri.
Bonhoeffer lahir di Breslau pada 4 Februari 1906. Ayah Bonhoeffer adalah Karl Bonhoeffer, seorang psikiater terkemuka Berlin. Ibunya bernama Paula, seorang ibu yang sangat baik dalam mendidik anak-anak dalam keluarga. Saudari kembar Bonhoeffer bernama Sabine. Mereka adalah anak keenam dan ketujuh dari delapan bersaudara.
Ia belajar teologi di Tübingen. Gelar doktor teologinya diperoleh di Universitas Berlin. Setelah menunggu beberapa tahun, ia lalu ditahbiskan sebagai pendeta di gereja Lutheran Jerman.
Pendeta yang Melawan Hitler
Bonhoeffer dengan imannya yang teguh tak tahan melihat kekerasan NAZI terhadap orang-orang Yahudi atau kepada siapa saja yang dimusuhi. Hitler semakin beringas. Orang-orang Yahudi ditahan di kamp-kamp konsentrasi. Lalu bertahap di eksekusi secara massal. Sekira enam juta orang Yahudi telah dibunuh oleh NAZI sepanjang Perang Dunia ke-II.
Pada 1939, Bonhoeffer akhirnya mengambil keputusan untuk bergabung dengan sebuah kelompok rahasia yang terdiri dari sejumlah perwira militer berpangkat tinggi yang berbasis di Abwehr atau Kantor Intelijen Militer. Kelompok ini berencana akan menggulingkan rezim NAZI. Target mereka adalah membunuh Hitler.
Pada 20 Juli 1944, kelompok ini mencoba membunuh Hitler. Tapi, rencana mereka bocor dan diketahui Schutzstaffel (SS) dan Gestapo, polisi rahasia NAZI itu. Rencana dan upaya membunuh Hitler sudah dilakukan sejak tahun 1942.
Sejak akhir 1943, SS dan Gestapo melakukan upaya-upaya untuk menahan beberapa orang yang terlibat dalam rencana pembunuhan Hitler itu. Dietrich Bonhoeffer adalah salah satu target. Yang lainnya adalah Klaus Bonhoeffer, Josef Mueller, dan Hans Dohnanyi. Bonhoeffer akhirnya tertangkap pada tahun itu.
Bonhoeffer sendiri, sebagai teolog dan pendeta sejak beberapa tahun sebelumnya sudah melancarkan kritik kepada NAZI Hitler yang kejam itu. Pada Juni 1939, atas bantuan Reihold Niebuhr, teolog Amerika, Bonhoeffer sempat mengajar di Union Theological Seminary, New York. Tapi, ia tidak lama di sini. Di Jerman, negaranya sedang terjadi kekacauan hebat.
Pembataian terhadap orang-orang Yahudi atau siapa yang berbeda paham dengan Hitler dan NAZI sedang terjadi di Jerman. Kekejaman NAZI terhadap orang-orang Yahudi sudah berakar lama dalam diri masyarakat Jerman. Antisemitisme hidup berabad-abad dalam ideologi bangsa ini. Modernisasi dan perkembangan ilmu pengetahuan di awal abad 20 menyebabkan banyak perubahan di negara-negara Eropa, termasuk Jerman. Akhir tahun 1920-an dan sepanjang tahun 1930-an, terjadi depresi besar. Masyarakat Jerman guncang.
Pada 1920 berdiri Nationalsozialistische Deutsche Arbeiterpartei (NSDAP) atau Partai Buruh Nasional-Sosialis Jerman. Adolf Hitler lalu mengambil alih pertai ini. Nama partai pun menjadi Partai NAZI. Ketika republik Weimar jatuh pada tahun 1933, NAZI menjadi partai terkuat di Jerman. Hitler kemudian dipilih menjadi Kanselir Jerman oleh presiden Paul von Hindenburg pada tahun 1933. Sejak saat itulah, Hitler membangun rezim totalitarian di Jerman.
Maka, pada awal Juli 1939, di saat kekuasaan Hitler dan NAZI sedang berada di puncak, dan kekacauan makin menjadi-jadi, Bonhoeffer memutuskan untuk kembali ke negaranya itu. Rupanya, Bonhoeffer telah bergumul hebat , bahwa di Amerika ia hidup dalam kenyamanan, sementara pembataian sedang terjadi di Jerman.
Dalam buku hariannya, seperti dikutip oleh Eberhard Bethge pada pengantarnya di buku kumpulan surat-surat Bonhoeffer dari penjara berjudul Prisoner For God Letters And Papers From Prison (edisi bahasa Inggris terbit tahun 1959), Bonhoeffer menulis, “Aku tidak mengerti mengapa aku ada di sini. . . . Doa singkat yang kami pikirkan tentang saudara-saudara Jerman kami, hampir membuat saya kewalahan…. Jika masalah menjadi lebih tidak pasti, saya pasti akan kembali ke Jerman. …”
Bonhoeffer merasa perlu melakukan sesuatu. Gereja di Jerman, baik Protestan maupun Katolik telah berada dalam cengkeraman Hitler. Hitler mengendalikan gereja-gereja di Jerman untuk melayani kekuasaannya yang beringas.
Bonhoeffer tak dapat menerima kenyataan itu. Sebab bagi dia, gereja mesti meneladani dan hanya mengaku imannya kepada Kristus yang telah menderita untuk membela hak-hak hidup orang banyak. Setelah menggagas Deklrasi Barmen bersama Karl Barth pada tahun 1933, antara tahun 1941 sampai 1942 ia sempat berkunjung ke Italia, Swiss dan negara-negara di Skandinavia. Misinya adalah untuk memperoleh dukungan dari negara-negara tersebut dalam gerakan melawan kekejaman Hitler dan NAZI.
Sepak terjang Bonhoeffer mengelisahkan rezim NAZI. Selain melakukan konsolidasi ekumenis untuk melawan Hitler, Bonhoeffer menulis sejumlah karya yang berisi pergumulan teologisnya tentang gereja di tengah rezim jahat. Maka, pada tahun 1941 semua buku karyanya dibreidel oleh pemerintah. Pada 5 April 1943 ia ditahan dan dipenjara. Oktober 1944, ia dipindahkan ke penjara Gestapo di Berlin. Februari 1945 ia dipindahkan ke kamp konsetrasi di Buchenwald. Lalu terakhir di Flosseburg. Di sinilah hidupnya berakhir pada tanggal 9 April 1945.
Selama di penjara, 5 April 1943 sampai 8 April 1945 ia menulis sejumlah surat kepada orang tuanya dan orang-orang terdekatnya, termasuk Eberhard Bethge.
Doa Terakhir
Minggu-minggu terakhir di penjara sebelum dia digantung, Bonhoeffer hidup bersama sejumlah tahanan lainnya yang diambil dari seluruh Eropa. Menurut Bethge, di antara mereka ada Payne Best, seorang perwira Inggris. Di kamp konsentrasi ini, Bonhoeffer ditempatkan di sel nomor 1, bersama Jenderal Rabenau.
Dalam bukunya The Venlo Incident, True Story of a Murderous NAZI Plot (terbit pertama tahun 1950) Best menulis sosok Bonhoeffer dan rekan satu selnya, Von Rabenau. Keduanya dihukum karena tuduhan rencana membunuh Hitler pada 20 Juli 1944 itu.
“Jenderal von Rabenau dan rekannya, Dietrich Bonnhöfer, sama saja dalam kenyataan bahwa keduanya sangat religius,” tulis Best.
Von Rabenau, tulis Best adalah penulis buku A Life of General von Seeckt, adalah seorang jenderal penuh. Setelah pensiun dari tentara ia lalu mengabdikan hidupnya pada pendalaman agama. Bahkan telah memperoleh gelar sarjana teologi. Von Rabenau, menurut Best adalah seorang anggota gereja yang sangat taat pada imannya.
Bonnhöfer, di sisi lain, kata Best, adalah seorang yang rendah hati dan ramah. “Bagi saya dia selalu menampakkan suasana kebahagiaan dalam setiap peristiwa terkecil dalam hidup, dan rasa terima kasih yang mendalam atas fakta bahwa dia masih hidup,” ungkap Best.
“Dia adalah salah satu dari sedikit pria yang pernah saya temui yang Tuhannya nyata dan pernah dekat dengannya,” lanjut Best.
“Namun kedua orang ini, masing-masing dari mereka sangat religius dengan caranya sendiri, telah memainkan peran aktif dalam rencana untuk menggulingkan Hitler, yang memuncak dalam peristiwa 20 Juli 1944,” jelasnya lagi.
Minggu 8 April 1945, sehari sebelum eksekusi mati itu, tutur Best, Bonhoeffer masih sempat melakukan pelayanan ibadah singkat kepada mereka. Ia berbicara dengan cara yang sanga menyentuh hari mereka. Bonhoeffer memberi semangat orang-orang yang ada di penjara itu.
Bonhoeffer lalu memimpin mereka dalam doa. Namun, doa belum selesai, tiba-tiba pintu sel dibuka. Dua pria berwajah jahat berpakain sipil masuk.
“Tahanan Bonnhöfer. Bersiaplah untuk ikut bersama kami,” kata salah seorang dari mereka.
Tentang apa yang disampaikan oleh dua orang itu, Best mengatakan begini, ”Kata-kata itu “Ikutlah dengan kami” — untuk semua tahanan yang mereka maksud hanya satu hal — tiang gantungan”.
Orang-orang di situ sudah tahu, ini panggilan kematian. Mereka meminta Bonhoeffer berpamitan.
Lalu, Bonhoeffer menarik Best ke samping.
“Ini akhirnya,” kata Bonhoeffer kepada Best.
“Bagiku ini awal kehidupan,” kata Bonhoeffer lagi.
Bonhoeffer lalu memberi sebuah kertas berisi pesan untuk diteruskan kepada Uskup Chichester, seorang teman bagi semua pendeta evangelis di Jerman.
Bonhoeffer dilepas pergi oleh teman-temannya dengan iman, bahwa sang pendeta pergi untuk kembali ke penciptanya. Hari berikutnya, di waktu fajar, 9 April, di Flossenberg, Bonhoeffer digantung.
“Malam itu ada sosis, banyak roti, dan banyak kentang untuk makan malam. Kami ceria dan berisik lagi,” tulis Best.
Itu adalah perjamuan untuk mengenang kepergian seorang yang telah benar-benar mengikut Kristus. Melawan tirani dengan iman yang teguh. Rela mati dalam perjuangan kemanusiaan. Bonhoeffer benar-benar meneladani Sang Guru, Yesus yang mati disalib itu. Inilah bukti dari komitmennya pada “Gereja yang Mengaku”, gereja yang tidak mau tunduk pada kejahatan rezim. Gereja yang hanya boleh taat pada panggilan Kristus untuk membela kehidupan demi kemerdekaan yang sejati.
Ia membuktikan apa yang pernah dia katakan.
“Bukan perbuatan religius yang membuat kita menjadi orang Kristen, melainkan partisipasi kita dalam penderitaan Allah dalam dunia ini,” tulisnya dalam surat dari penjara, tertanggal 16 Juli 1944.(*)
Editor: Daniel Kaligis