CULTURAL
Doraemon: Sahabat Orang-orang Jepang Setelah Kalah Perang
Published
6 years agoon
By
philipsmarx24 Maret 2019
Oleh: Denni Pinontoan
Doraemon adalah salah satu ‘manga’ Jepang yang menggambarkan optimisme negeri Sakura ini bangkit dari kekalahan dan kehancuran akibat perang
“TEPAT PUKUL 08.15 waktu Jepang, 6 Agustus 1945, sebuah bom atom meledak di atas Hiroshima,” John Hersey memulai laporan panjangnya di majalah The New Yorker pada Agustus 1946.
Hanya laporan John Hersey yang terbit dalam edisi itu. Sebuah laporan yang sangat penting bagi publik Amerika. Setahun sebelumnya, negara ini menjatuhkan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki. Seratusan ribu orang meninggal seketika. Yang lainnya terluka seumur hidup. Hanya sedikit yang bertahan.
Sebuah peristiwa yang menghancurkan Jepang. Tragedi dalam sejarah umat manusia. Perang benar-benar menghancurkan. Tidak ada yang memperoleh kemenangan sesungguhnya. Hanya ada tragedi, menjadi luka sejarah.
“Tidak mungkin menggambarkan kengerian yang tertanam dalam benak anak-anak yang hidup selama hari-hari pengeboman Hiroshima,” tulis Hersey. Menutup laporan panjangnya, Hersey cerita sedikit tentang seorang bocah berusia 10 tahun bernama Toshio Nakamura.
Tidak beberapa lama setelah bom menghancurkan Hiroshima, tulis Hersey, Nakamura bisa membicarakan peristiwa itu secara terbuka. Beberapa minggu sebelum ulang tahun, dia menulis sebuah esai untuk gurunya di sekolah dasar Nobori-cho:
“Sehari sebelum bom meledak, saya pergi berenang. Pagi itu saya sedang makan kacang. Saya melihat cahaya.Saya terlempar ke tempat tidur adik perempuan saya…”
Bom itu menghancurkan kota-kota. Rumah-rumah. Tempat bermain anak-anak. Jalan-jalan. Meruntuhkan gedung-gedung. Membuat semuanya menjadi sepi. Sunyi. Trauma.
***
Anak-anak Jepang kehilangan dunia mereka. Orang-orang Jepang pada umumnya harus hidup dalam kekelaman. Kegembiraan dan keramaian lenyap. Anak-anak kehilangan orang tua. Kehilangan kehidupan. Masa depan di seberang tampaknya suram.
Anak-anak yang melewati masa perang, melanjutkan kehidupannya di masa remaja dan pemuda serta dewasa dengan memori kehancuran. Tapi, kisahnya ternyata tidak seperti negara lain yang terus meratapi nasibnya. Jepang, boleh dibilang agak berbeda.
Di masa itulah, manga, komik dengan karakter khas menjadi sahabat melewati masa-masa suram pasca perang.
“Manga bentuk saat ini berasal dari kota-kota pasca perang Jepang yang hangus karena bom sebagai hiburan untuk anak-anak. Ketika anak-anak tumbuh, manga tumbuh bersama mereka untuk menjadi hiburan nasional,” tulis Saya S. Shiraishi pada artikelnya , “Japan’s soft Power: Doraemon goes overseas” dalam Peter J Katzenstein dan Takashi Shiraishi (eds.), Network Power: Japan and Asia (1997).
Tapi sesungguhnya sejarah “manga” tidak nanti dimulai di masa perang. Manga modern memang muncul di masa pendudukan Amerika di Jepang antara tahun 1945 dan 1952. Sementara manga tradisional dapat ditelusuri sejak berabad-abad yang lalu.
Jonah Asher dan Yoko Sola dalam artikel mereka “The Manga Phenomenon” di Wipo Magazine, menuliskan, pada pertengahan 1940-an, akabon (salah satu buku manga) berbiaya rendah menjadi sangat populer di kalangan orang dewasa. Osamu Tezuka, salah satu penulis akabon paling populer. Ia adalah tokoh penting manga Jepang karena karyanya yang menerapkan teknik sinematik, efek suara, alur cerita panjang dan pengembangan karakter yang mendalam di berbagai genre manga. Munculnya volume gekiga, manga yang lebih serius pada 1950-an memicu ekspansi manga yang, pada 1970-an, telah tumbuh menjadi industri media massa yang tak tertandingi.
Minoru Matsutani dalam “’Manga’: heart of pop culture, Why are comics so near and dear to the Japanese?” menulis, manga pertama di Jepang muncul pada abad ke-12 dan ke-13, yaitu serangkaian gambar seperti katak dan kelinci berjudul Choju-giga yang diproduksi oleh beberapa seniman.
Matsutani mengutip Isao Shimizu dalam “Manga no Rekishi” (“The History of Manga”) mendefinisikan manga sebagai karya populer yang dijual kepada banyak orang. Menurut definisi ini, Shimizu menegaskan, manga pertama Jepang adalah “Toba Ehon,” sebuah buku gambar yang menyertai sebuah kisah yang menampilkan kehidupan orang-orang biasa di Zaman Edo (1603-1867). Buku ini dijual oleh penerbit Osaka pada abad ke-18.
“Surat kabar dan majalah di abad ke-20 memuat komik untuk membantu pembaca. Tetapi kontributor terbesar untuk pengembangan manga adalah majalah komik mingguan dan bulanan yang muncul pada 1960-an, yang memuat koleksi sekitar 10 atau 20 seri bersambung per edisi,” tulis Matsutani.
“Majalah komik adalah tempat pertama di mana seniman manga diberi kesempatan untuk menunjukkan karya mereka. Tanpa mereka, seniman manga tidak akan lahir, ”kata kritikus manga Haruyuki Nakano seperti dikutip Matsutani.
Istilah manga sendiri pertama kali digunakan pada 1798 untuk menyebut buku bergambar Shiji no Yukikai (Empat Musim) oleh Santo Kyōden.
Dalam bahasa Jepang, istilah “manga” dapat merujuk ke semua jenis kartun, komik dan animasi. Ia terbentuk dari dua huruf kanji漫画, “man”, yang berarti “aneh atau dadakan” dan “ga”, yang berarti “gambar” yang dibentuk bersama-sama . Manga biasanya diartikan “gambar lucu atau komedik”.
***
Suatu sore yang cerah, seorang bocah lelaki berusia sepuluh tahun pulang ke rumah. Kembali ke kamar di lantai dua rumah kayunya di daerah perumahan di pinggir kota besar Tokyo. Si bocah menangis. Demikian Shiraishi menggambarkan salah satu adegan manga populer. Doraemon, nama manga itu.
Di kamar itu menunggu Doraemon, robot dari masa depan yang sangat memahami emosi si bocah itu. Tangan Doraemon yang bulat segera mencari saku depan untuk mengambil sebuah perangkat berteknologi tinggi yang paling efektif. Perangka ini akan membantu si bocah yang sedang menangis itu untuk banyak urusan hidupnya sehari-hari.
Demikian dimulailah Doraemon. Nama bocah itu adalah Nobita Nobi.
“’Nobito’ mengekspresikan cara seorang anak kecil tumbuh bebas, sehat, dan bahagia, tidak terkendali dalam arti apa pun,”jelas Shiraishi. “Itulah tepatnya cita-cita ‘masa kecil’ di Jepang kontemporer.”
Anak yang bahagia, lugu, lembut, dan benar-benar tidak disiplin, tapi mudah bergaul. Dengan prestasi buruk di sekolah dan secara rutin diintimidasi oleh anak-anak yang lebih kuat di lingkungan tempat tinggalnya.
Doraemon menjadi teman Nobito penuh waktu. Tidak hanya memahami kesusahan Nobito tetapi juga mencari cara untuk mengatasinya dengan bantuan perangkat teknologi tinggi dari masa depan. Perangkat Doraemon praktis. Mudah mengembang dan mudah menyusut sesuai kebutuhan. Jarang rusak dan mudah disimpan atau dimasukan kembali ke saku Doraemon. Dibuat untuk dapat melampaui waktu, ruang, gravitasi, energi, dan volume. Perangkat yang tidak memiliki tandingan di zaman itu.
Itulah manga Doraemon. Ia adalah salah satu manga yang muncul di masa setelah perang. Masa ketika Jepang yang punya ambisi besar menguasai Asia tapi telah kalah perang dengan kehancuran yang dahsyat, dan kini sedang bangkit.
Pencipta Doraemon adalah Fujiko Fujio. Nama ini sebetulnya adalah nama samaran dua orang, yaitu yaitu Fujimoto Hiroshi (lahir di Takaoka, 1 Desember 1933, meninggal 23 September 1996) dan Abiko Motoo (lahir di Himi, 10 Maret 1934). Pada tahun 1987, duo tersebut berpisah dan masing-masing kemudian dikenal sebagai Fujiko F. Fujio (Fujimoto Hiroshi) dan Fujiko Fujio (Abiko Motoo).
Manga Doraemon mulai diterbitkan Desember 1969 hingga 1996, dipublikasikan ke banyak majalah anak-anak oleh penerbit Shogakukan. Anak-anak dan orang dewasa sangat suka dengan manga ini. Karakter Doraemon kemudian menjadi semacam ikon budaya Jepang.
Animasi Doraemon di televisi nanti mulai tayang tahun 1978. Buku-buku komik bersampul telah terjual lebih dari tujuh puluh juta kopi pada tahun 1989. Doraemon akhirnya menjadi bagian dari keluarga-keluarga Jepang modern pasca perang.
“Doraemon telah menjadi anggota keluarga virtual, dan sebagian besar anak-anak dan remaja dapat menggambar Doraemon kapan saja, di mana saja,” tulis Shiraishi.
Pada 10 Februari 1995, tiga minggu setelah gempa bumi dahsyat di sana, sebuah bioskop di Kobe menunjukkan kartun Doraemon secara gratis untuk menghibur anak-anak di kota yang hancur. Sekitar empat ratus anak-anak datang untuk melihat Doraemon dan tawa riang mereka memenuhi teater dengan dua ratus kursi sore itu.
Jepang mungkin dapat dibilang negara yang paling cepat bangkit dari kekalahan dan kehancuran akibat perang. Ekonominya sudah membaik dan segera melaju pada tahun 1960-an. Anak-anak Jepang punya banyak uang dibanding negara-negara lain di Asia. Mereka dapat membeli manga dengan uangnya sendiri.
“Anda dapat dengan mudah membayangkan anak-anak seperti itu terus membaca manga ketika mereka dewasa,” kata Nakano, kritikus manga itu seperti dikutip Matsutani.
Akibat pemboman Hiroshima dan Nagasaki adalah runtuhnya kurang lebih dua juta rumah. Anak-anak yang selamat dari pemboman Hiroshima dan Nagasaki yang berhasil melewati masa gelap kekalahan Jepang pada umumnya adalah generasi yang kelak menggerakkan ekonomi Jepang setelah perang.
Anak-anak inilah yang menyaksikan kematian anggota keluarga mereka, teman dan tetangga. Mereka melihat dengan mata kepala sendiri kehancuran tubuh manusia, rumah, bangunan dan kota.
“Mereka menderita kelangkaan selama dan setelah perang dan, selama bertahun-tahun, pemandangan kota yang hancur adalah tempat mereka bermain. Merekalah yang pada akhirnya melakukan pemulihan ekonomi masyarakat,” ungkap Shiraishi.
Manga tumbuh dari kota tandus yang hangus terbakar bom, yang menjadi ruang bebas untuk sastra Jepang pascaperang. Terutama untuk narasi visual. Para seniman yang lahir di periode ini bertumbuh dari masyarakat yang semua struktur otoritas lama, nilai-nilai moral, dan kepercayaan telah hancur.
Salah satu seniman manga yang melewati masa pemboman itu adalah Keiji Nakazawa (meninggal Januari 2013). Keiji Nakazawa adalah anak sekolah berusia 6 tahun yang sedang menunggu pelajaran musim panas pada 6 Agustus 1945, di Hiroshima, Jepang.
Terence McArdle dalam tulisannya di The Washington Post edisi 10 Januari 2013 menulis, Nakazawa melihat pesawat pembom B-29 terbang di atas kepalanya, diikuti oleh kilatan cahaya putih, biru dan oranye. Ketika bom dijatuhkan di Hiroshoma, ia diselamatkan oleh bangunan sekolah, yang meskipun runtuh tapi telah melindunginya.
Bom itu membunuh ayah, saudara laki-laki dan perempuannya. Ibunya yang hamil mengalami persalinan prematur, dan seorang saudari yang baru lahir meninggal karena radiasi hanya beberapa hari setelah ledakan.
Pengalaman itu kemudian ia refleksikan sepanjang hidupnya dalam manga. Pada tahun 1970-an, manga karyanya menyajikan kisah mengerikan pemboman Hiroshima dan potret dari korban selamat yang berjuang untuk martabat dan kemanusiaan mereka di tengah perang.
Keiji Nakazawa lahir pada 14 Maret 1939 di Hiroshima. Selama Perang Dunia II, ayah Nakazawa adalah seorang pelukis. Ayahnya sempat dipenjara oleh polisi Jepang karena menentang militerisme. Pada usia 22, pindah ke Tokyo dan mulai membuat manga.
Manga pasca perang merefleksikan semua itu dalam gambar karakter tokoh, latar serta alur cerita. Lahirlah narasi-narasi jenis baru. Dan terutama adalah visi dan semangat yang baru menatap masa depan. Nilai-nilai saling berbagi, persahabatan, keberanian, cinta, dan harapan diekspresikan dalam manga. Manga-manga dengan tokoh pahlawan yang berani, penuh cinta, dan suka menolong dengan kekuatan berteknologi tinggi, seperti Tetsuwan Atom (Astro Boy), Ultraman, juga Doraemon, dan masih banyak lagi.
Paling jelas ada pada Tetsuwan Atom. Dalam ceritanya, ia dibuat sebagai pengganti seorang putra yang meninggal dalam kecelakaan lalu lintas. Ayahnya, yang adalah seorang ilmuwan terkenal, akhirnya menjual Atom ke sirkus ketika dia menemukan bahwa robot itu tidak akan pernah tumbuh.
“Seperti anak-anak dan remaja pascaperang, Atom yatim piatu dibebaskan dari otoritas masa lalu dan kekeluargaan,” kata Shiraishi.
Atom pertama kali diciptakan oleh Tezuka pada tahun 1951. Hanya enam tahun setelah bom atom dijatuhkan di Jepang. Bom atom yan enam tahun sebelumnya telah mematikan ratusan ribu orang, dengan optimisme untuk bangkit di tangan Tezuka telah dirubah menjadi Atom nama seorang teman yang melindungi umat manusia.
Ada banyak manga dengan cerita dan karakter tokoh yang unik dan khas. Namun, Doraemon tampaknya yang paling populer, baik di Jepang maupun di banyak negara Asia lainnya, juga Amerika.
Doraemon lahir 25 tahun setelah pemboman. Namun, penciptanya Fujimoto Hiroshi dan Abiko Motoo adalah generasi yang menyaksikan langsung kengerian pemboman itu. Ketika mereka membuat Doraemon, kondisi memang sudah berubah. Yaitu, masa ketika Jepang sudah bangkit dengan pergerakan ekonominya yang cepat. Tapi, hal yang masih khas adalah penerimaan terhadap teknologi untuk membantu manusia dan kepahlawanan.
Manga Doraemon akhirnya dapat menjadi menjadi teman bagi anak-anak dan juga orang-orang dewasa. Orang tua yang dulunya adalah anak-anak yang selamat melewati pemboman, kehancuran dan kekalahan Jepang.
“Ketika anak-anak tumbuh, manga menemani mereka ke masa muda mereka dan lalu dewasa. ‘Manga anak-anak’ telah menjadi manga untuk semua orang, tua dan muda,” jelas Shiraishi.
Kata Shiraishi, beberapa karakter yang sukses, seperti Doraemon, sangat tahan lama. Doraemon dikenal dengan latar dan karakter kehidupan sehari-hari. Ketika manga Doramon menjadi animasi di televisi, penjualan buku-buku manga juga meningkat.
Manga Doraemon adalah refleksi keseharian Jepang 25 tahun setelah pemboman, masa di mana Jepang sedang berlari dengan kemajuan ekonomi dan teknologi. Nobita, ayah dan ibunya Tamako adalah gambaran dari keluarga Jepang yang sedang hidup dalam masa itu. Dan, Nobita rupanya adalah gambaran dari generasi Jepang yang benar-benar sudah terbebas dari trauma perang. Generasi yang sedang menikmati kejayaan kemajuan Jepang.
“Dengan demikian Nobita menyatukan unsur-unsur masyarakat konsumsi yang makmur didukung oleh kemajuan teknologi yang terus-menerus. Itu adalah Jepang tahun 1970-an dan 1980-an seperti yang digambarkan dalam Doraemon,” jelas Shiraishi.
“Doraemon adalah salah satu barang ekspor paling populer yang saat ini diproduksi oleh Industri fantasi Jepang,” katanya lagi.
Di Indonesia animasi Doraemon ditayangkan pertama kali di RCTI pada tahun 1991. Ini justru masa akhir film anak-anak Indonesia ‘berteknologi’ wayang ‘Si Unyil” yang menjadi andalan TVRI. Dengan mengudaranya sejumlah televisi swasta, terutama RCTI, Doraemon segera mengalahkan Si Unyil.
Mendekati pertengahan tahun 1990-an, Doraemon sudah menjadi menjadi program favorit anak-anak di beberapa kota Indonesia yang disurvei, yaitu Jakarta, Medan, Surabaya, dan Semarang.
“Segera setelah siaran televisi Doraemon dimulai, buku komik lokal muncul di jalanan,” tulis Shiraishi.
Maka jadilah Doraemon sebuah jembatan mempertemukan kembali masyarakat Indonesia dengan Jepang. Dua negara yang dulunya bagian dari sejarah perang di masa lalu itu. (*)
Editor: Andre Barahamin