Connect with us

ESTORIE

Dresden: Permata Elbe, Api Neraka, dan Rumah Jagal Nomor Lima

Published

on

19 Maret 2019


Oleh: Greenhill Weol


 

“Perang berarti pembunuhan dan perusakan, sesederhana itu. Perang berarti kesengsaraan massal.” Itu adalah kisah Dresden  

 

“SEBUNGKUS COKLAT dari negeri empat musim mengantarku pada ingatan sembilan tahun lalu, sebuah perjalanan yang menandai titik penting dalam menjelajah cakrawala pengetahuan. Bach, Goethe, Schiller, Lucas Cranach, Willy Brandt, Martin Luther. Koethen, Dresden, Leipzig, Weimar, Wittenberg, Berlin. Monumen, museum, perpustakaan, gereja dan teater. Pasar pagi di lapangan pusat kota, dengan gereja dan kantor walikota sebagai latar belakang. Rumah berpagar kayu dengan bunga musim panas. Gedung apartemen lama yang kelabu dan yang baru nan berwarna-warni. Asrama mahasiswa dan Mensa. Ruang kuliah dengan lorong penuh gambar. Sains berpadu seni.Vollmilch, Kohlensaure, Bratwurst, Apfel, Aprikose, Milka, Rittersport. Deutsch und die Deutschen. Daun Linde yang tertiup angin. Biru pucat siang yang sejuk di bawah mentari. Gerimis yang terkadang menyapa, dan dinginnya udara yang menyertainya. Senja di pukul sembilan. Bulan terindah dalam hidup”. –C.M.

Sabtu, 10 Juli 2004. Musim panas di Jerman. Langit lumayan cerah dengan awan tipis. Hari masih pagi, udara sejuk menyapa pori-pori ketika bus membuka pintunya di kawasan Altstadt. Jam tepat menunjukkan pukul 10 pagi. Jalanan lengang.

“Kota tua nan romantik”

Bisik Christofel Manoppo, ketika ia pertama kali menjejakkan kakinya di Dresden. Ketika itu, ia satu dari puluhan siswa Sommerschule di Hochschule Anhalt, Köthen.

“Kami berangkat dari Köthen sekitar jam delapan pagi. Saya sempat menggores beberapa sketsa dalam perjalanan,” Christofel berkisah.

Dresden memang bukan kota yang biasa-biasa saja. Kota yang hanya berjarak 30 Km dari perbatasan Jerman – Ceko ini memiliki sejarah panjang sebagai ibukota dan kediaman Kerajaan Saxony, yang selama berabad-abad membangun dan mempercantik kota ini dengan keindahan budaya dengan nilai artistik yang tinggi dengan gaya arsitektur Barok dan Rococo yang kental.

“Kota ini bukan hanya indah. Kota ini cantik bak seorang ratu dengan berbagai perhiasannya, makanya sering juga disebut sebagai ‘permata sungai Elbe’”, tambah Christofel.

“Sudah kurang lebih 800 tahun Dresden adalah pusat kebudayaan dan peradaban di region ini”, tambahnya.

Dresden memiliki sekitar 13.000 monumen budaya yang terdaftar resmi.

“Florence di sungai Elbe, begitu orang-orang menyapa kota ini, sebab rupanya kecantikan Dresden hanya bisa dibandingkan dengan kota Florence di Italia”, Christofel menggambarkan.

“Kecantikan macam ini seolah karya imajiner yang biasanya hanya terbaca dalam dongeng-dongeng klasik”.

“Sayang… Kisah Dresden dalam sejarah tak secantik halusnya ukiran pualam dinding-dindingnya”.

Pada penghujung Perang Dunia kedua, Dresden adalah salah satu dari sebagian kecil kota-kota di Eropa yang belum terjamah langsung oleh kejamnya perang. Sebabnya, karena kota ini adalah sebuah sebuah kota yang tak memiliki konsentrasi personil militer, tanpa industri militer, sehingga dianggap tanpa target militer. Ia hanya dipenuhi bangunan-bangunan antik, museum, taman, rumah opera, dan tempat-tempat indah lainnya.

Di bawah hukum internasional, Dresden dikategorikan sebagai ‘kota terbuka’ yang seharusnya tidak untuk diserang. Memang, kota ini selalu terlepas dari pemboman pihak Sekutu. Pesawat-pesawat pembom selalu melewatinya dalam perjalanan membom kota-kota lain yang lebih strategis.

Namun pada suatu malam yang naas tanggal 13 Februari 1945 pesawat-pesawat itu tidak hanya numpang lewat lagi. Gabungan Angkatan Udara Amerika Serikat dan Inggris menjatuhkan bom-bom berkekuatan tinggi, yang dengan cepat mulai membakar kota. Dresden ditelan badai api yang membakar semuanya, segalanya. Tanpa terkecuali.

Kota Dresden yang hancur pasca pemboman. (Foto: Wikipedia)

 

Dresden hancur. Orang-orangnnya menderita. Kota secantik dongeng ini dengan segera menjadi kota mati. Tapi, rupanya hanya oleh dongenglah kisah kehancurannya bisa sempurna dalam pengisahan.

“Dresden, bukan kebetulan, adalah latar dari salah satu novel terbaik yang pernah ditulis di muka bumi: Slaughterhouse-Five karya Kurt Vonnegut,” ujar Christofel.

“Hanya novel inilah yang bisa menggambarkan dengan lengkap apa yang dialami oleh kota ini pada malam-malam pemboman itu”, jelas pria lajang yang berlatar pendidikan sastra ini.

Vonnegut adalah salah seorang dari sejumlah kecil yang selamat dari tragedy Dresden.

“Pengalaman buruk akan sangat sulit untuk dituliskan dengan jujur,”  Vonnegut berkata pada sebuah wawancara.

“Ribuan halaman sudah saya tulis, namun akhirnya berakhir di tong sampah”, tambahnya. Novel ini akhirnya menyita waktu 25 tahun dari kehidupan kepengarangannya.

Ada sejumlah novel lain yang ditulisnya sementara menyelesaikan novel ini. Namun, novel-novel tersebut semuanya akan bersumber dan mengarah kepada Slaughterhouse-Five. Novel ini merupakan beban moralnya yang terberat, yang telah “menyiksa” Vonnegut sedemikian lamanya sebelum kemudian berhasil “dimuntahkannya”. Novel ini, baik menurut penggemarnya ataupun para kritikus serta Vonnegut sendiri, ialah Slaughterhouse-Five.

Slautherhouse-Five sendiri sebenarnya adalah novel yang pendek, hanya setebal 216 halaman. Tetapi kisah dalam novel ini sebenarnya adalah adaptasi pengalaman pribadi Vonnegut ketika ia terjun dalam kancah Perang Dunia Kedua sebagai seorang serdadu Amerika Serikat.

Suatu hari, Vonnegut mengirim surat kepada ayahnya.  Katanya, “Bayonet ternyata tidak terlalu bermanfaat ketika melawan tank”.

Meski menerima pelatihan Alteleri, sebagai penembak senapan howitzer 240 milimeter, Vonnegut akhirnya ditugaskan sebagai seorang “Battalion Scout”, semacam intel pada pasukannya, Divisi Infantri ke-106. Vonnegut diterjunkan ke Eropa beberapa waktu sebelum Jerman melakukan serangan terakhir. Dalam sejarah, serangan itu dinamai Battle of Bulge.

Vonnegut kemudian kehilangan kontak dengan induk pasukannya dan terkatung-katung di Luxemburg selama kurang lebih delapan hari sebelum ditawan oleh musuh. Dia dan sekitar seratus tawanan perang kebangsaan Amerika lainnya kemudian dikirim ke Dresden dalam gerbong kereta api untuk kemudian dikerjapaksakan pada sebuah pabrik.

Peristiwa latar yang realistik, dalam hal ini pemboman kota Dresden, serta jalan cerita yang diambil dari perjalanan hidup Vonnegut sendiri, menambahkan unsur faktual. Sebagai ‘pasifis’, atau seorang yang menentang perang dalam bentuk apapun, Vonnegut memasukkan pesan-pesan anti perang dalam karyanya.

Jadi, novel ini ialah gabungan antara fiksi ilmiah yang historis serta pesan-pesan moral yang begitu bijak dan dalam.

Novel Slaughterhouse-Five karya Kurt Vonnegut

 Slaughterhouse-Five adalah kisah tentang kekejaman perang. Ia memberikan pembaca gambaran berbagai akibat perang, yang kesemuanya bermuara pada penderitaan. Karya ini menggambarkan kehancuran secara fisis dan psikologis yang diakibatkan oleh kekerasan dalam perang. Kehancuran-kehancuran seperti ini akan mempengaruhi apa saja dan siapa saja yang terlibat dalam kekerasan perang tersebut.

Ketika ditanya jauh hari kemudian tentang apa yang terjadi di Dresden, Vonnegut menggambarkan dengan lirih: “Kami berlindung dari bom di bawah kompleks bangunan rumah jagal hewan yang dinamakan Schlachthof fünf – Slaughterhouse-Five”.

“Ada badai api di luar sana. Dresden menjadi laksana bola api raksasa. Nyala api memakan segala sesuatu yang hidup, semuanya terbakar api neraka. Benar-benar semua orang di kota itu seharusnya sudah mati”. Benar, di Dresden kala itu, 25.000 orang menemui ajal sebelum pagi tiba.

Usai pemboman, mereka yang selamat menemukan pemandangan yang tak pernah mereka bayangkan. “Banyak yang hangus terbakar, remuk tertimpa bangunan atau tercekik sampai mati karena kehabisan oksigen”, kata Vonnegut.

“Kami ditugaskan mencari korban-korban dalam reruntuhan. Mayat-mayat wanita, pria, anak-anak dan orang tua, diangkut ke tengah kota untuk diperabukan dalam api unggun raksasa. Sementara itu kami dilempari batu dan dimaki-maki oleh orang-orang yang kami lewati”, tutupnya dengan suara tercekat.

Slaughterhouse-Five ditulis Vonnegut berdasarkan pengalamannya ini. Walau kemudian dia memasukkan unsur-unsur yang juga benar-benar fiksi, tetap saja novel ini memuat serangkaian kejadian yang telah terekam dalam buku sejarah. Bahkan mungkin novel ini sebenarnya adalah buku sejarah yang di bumbui fiksi. “Nama-nama tokohnya saja yang telah saya ganti” kata Vonnegut.

Nama-nama mungkin dapat diganti, tetapi latar sama sekali tidak dirubah Vonnegut. Perang ialah latar utama cerita ini. Keadaan kacau-balau, penuh kehancuran dan pembantaian yang disebabkan oleh konflik bersenjata dalam masyarakat merupakan titik berangkat karya ini. Perang Dunia Kedua, sebuah perang yang oleh Vonnegut menyebutnya, “usaha bunuh diri peradaban manusia yang ke dua.” Ini latar yang dipilih Vonnegut  untuk novel ini.

Perang Dunia Kedua terjadi oleh serangkaian sebab yang kompleks. Beberapa di antaranya akibat beban-beban lama yang masih tersisa dari Perang Dunia Pertama yang ternyata masih membekas. Tetapi pemicu yang paling nyata ialah konflik-konflik antar negara yang telah mengesampingkan tata krama dalam pergaulan antar negara, dan ketidakpedulian akan perdamaian dan kemanusiaan. Negara-negara yang besar dan kuat menyerang negara tetangganya yang lemah dengan sesukanya.

Secara resmi, Perang Dunia Kedua dikatakan meletus pada saat Jerman di bawah kekuasaan Adolf Hitler menyerang Polandia, yang kebetulan memiliki perjanjian bersama Inggris, Prancis, dan beberapa negara lain yang disebut Allied Nations atau Sekutu yang menyebutkan bahwa jika Polandia diserang, kedua negara sahabatnya itu akan membantu. Ketika Inggris dan Perancis menyatakan perang melawan Jerman, dalam pada saat itulah seluruh Eropa kembali terlibat perang besar.

Di bagian lain bola bumi, pada tanggal 7 Desember 1941, pangkalan Amerika Serikat di kepulauan Hawaii yang bernama Pearl Harbor dibom pasukan Jepang yang ingin menguasai Asia. Amerika Serikat langsung mengangkat panji perangnya melawan Jepang. Karena Jepang juga memiliki perjanjian dengan Jerman dan Italia yang disebut Axis Treaty atau Perjanjian Negara-Negara Poros, maka Amerika Serikatpun dinyatakan sebagai musuh mereka. Maka terjadi sebuah perang dashyat dibumi ini, perang Eropa di sebelah barat dan Perang Pasifik di timur.

Jerman dengan cepat menguasai hampir seluruh Eropa dan bagian utara Afrika. Jepang menduduki hampir tiap jengkal tanah di Asia dan Pasifik. Tetapi, keadaan berubah seiring waktu. Negara-negara Poros mulai dapat dipukul mundur. Di Perang Pasifik, Jepang satu persatu menyerahkan tanah taklukannya dan mundur teratur. Di Perang Eropa, Jerman terdesak jauh mendekati wilayah perbatasan negaranya sendiri.

Pemboman Dresden merupakan bagian dari kampanye “Operation Thunderclap” yang salah satu maksudnya ialah untuk mempercepat akhir perang dengan cara meruntuhkan moral Jerman yang kemudian diharapkan akan membuat mereka kelelahan berperang dan mencari perdamaian. Pemboman yang memakan waktu sehari semalam ini melibatkan 1103 pesawat pembom dan lebih dari 3427 ton bom.

Api membakar 1600 hektar kota ini selama lebih dari seminggu.

“Dresden dibelah dua oleh sungai Elbe. Ketika saya berkunjung, bagian selatan Dresden nampak masih sangat klasik, banyak bangunan-bangunan dengan desain tua. Makanya disebut Altstadt – Kota Tua”, terang Christofel.

“Rupanya Kota Tua ini dibangun kembali intensif sesudah perang dunia kedua dan masih dengan desain artistik klasik. Ini pasti bukan bangunan-bangunan asli dari pra-perang dunia, karena Dresden praktis rata dengan tanah”, tandasnya.

Penyebab mengapa korban jatuh begitu besar dalam pemboman ini ialah gabungan dari beberapa keadaan yang benar-benar tidak memihak Dresden. Pada saat itu Dresden tidak memiliki persenjataan alteleri untuk menangkis serangan udara, sementara pangkalan udara Jerman yang berada di sekitar tidak dapat memberikan bantuan karena kurang tersedianya bahan bakar. Sialnya, cuaca yang biasanya begitu buruk menyelimuti Jerman, di malam pembantaian itu menjadi sangat cerah, sehingga pesawat-pesawan pembom dapat dengan mudah memuntahkan kemarahannya.

Tetapi penyebab utama kelihatannya ialah ketidaksiapan kota ini untuk menerima serangan mematikan sekaliber Operasi Thunderclap. Hanya ada satu bunker yang benar-benar memenuhi syarat sebagai perlindungan terhadap bom. Keadaan ini sangat ironis mengingat Dresden sedang dipenuhi pengungsi yang mengakibatkan penduduknya membengkak dari 630.000 menjadi lebih dari sejuta jiwa.

Dengan jumlah korban lebih dari 25.000, tragedi Dresden menjadi contoh kongkrit teror perang udara. Hal ini menjadi berita bagi pihak rakyat negara-negara sekutu sendiri yang menyatakan bahwa korban-korban perang terbesar di pihak negara-negara Poros  justru bukan dari pihak militer melainkan dari rakyat biasa.

Kejadian ini menjadi begitu mengerikan dan memalukan, sehingga media massa sempat diancam oleh pihak sekutu untuk tidak memberitakan hal ini. Tragedi Dresden sempat menjadi sebuah kejadian yang “Amat Rahasia” jauh sampai akhir tahun enampuluhan. Slaughterhouse-Five termasuk salah satu karya tertulis pertama yang membuka rahasia tragedi Dresden bagi publik.

Ketika diterbitkan pada tahun 1969 di Amerika Serikat, Slaughterhouse-Five merupakan novel yang diterbitkan di tengah situasi buruk yang mengkisahkan tentang pengalaman masa-masa yang buruk pula. Ketika novel ini dalam masa penyelesaian tahun 1968, rakyat Amerika menyaksikan tokoh-tokoh besar mereka tewas terbunuh.

Martin Luther King Jr., seorang pejuang persamaan hak Kulit Hitam tewas ditembak. Diikuti kemudian dengan penembakan presiden J.F. Kennedy yang sampai hari ini masih diselimuti misteri. Amerika juga sedang dilanda kerusuhan rasial besar yang menuntut persamaan hak hakiki antara Kulit Hitam dan Kulit Putih.

Sebuah revolusi besar lainnya juga sedang melanda Amerika, yaitu revolusi Generasi Muda yang menentang nilai-nilai lama yang dipercayai orang tua dan menentang penggunaan kekerasan dalam bentuk apapun. Salah satu ikon terbesar revolusi ini ialah membanjirnya setengah juta anak-anak muda Amerika di konser musik Woodstock yang kemudian menyebabkan gaya hidup “hippies” serta paham-paham pasifistik semacam “make love not war” menjadi begitu populer di kalangan anak muda.

Teknologi umat manusia juga sedang dilanda sebuah perkembangan besar. Pada tahun-tahun sebelumnya, Amerika dan Rusia terlibat perlombaan dalam penaklukan angkasa luar dengan diluncurkannya sejumlah roket. Amerika kemudian mencatat sejarah ketika pada tahun 1969 Neil Amstrong berhasil menjejakkan kakinya di bulan.

Tetapi hal yang paling relevan bagi penerbitan sebuah novel yang “anti perang” pada masa itu, ialah bahwa Amerika, sang pengusung panji Kapitalisme, sedang terlibat dalam sebuah konfrontasi politis dengan sebuah kekuatan besar Komunisme di bawah komando Uni Soviet yang dikenal dengan “Perang Dingin”.

Kedua negara adidaya ini terlibat perlombaan dominasi politis yang kemudian membawa mereka kepada perebutan wilayah secara tidak langsung. Sering kali konflik semacam ini berakhir dengan harus dibaginya sebuah wilayah kepada kedua kekuatan dengan paham yang berbeda. Contoh kongkritnya ialah pembagian Jerman Barat dan Jerman Timur, Korea Utara dan Korea Salatan.

Yang paling kontekstual bagi masa terbitnya Slaughterhouse-Five ialah konflik Vietnam Utara yang disokong oleh Soviet, dengan Vietnam selatan yang dibantu Amerika. Konflik ini dikenal dengan Perang Vietnam. Pada saat itu, Amerika sedang menghadapi sebuah perlawanan besar dan memusingkan dari pihak komunis Vietnam Utara, yang melancarkan serangan pada posisi-posisi Amerika di seluruh Vietnam.

Perlawanan yang disebut “Tet Offensive” ini menjadi titik balik yang nyata bagi perang ini. Walaupun di pihak Viet Cong jatuh banyak korban, perlawanan ini membuat Amerika lelah secara pisikologis. Kurang lebih lima puluh ribu jiwa tentara Amerika menjadi korban pada akhirnya.

Fakta-fakta tentang hal ini menghantam rakyat Amerika bersama dengan pemberitaan  pembantaian rakyat sipil Vietnam di sebuah desa yang bernama Mai Lai. Kasus ini hanya sebagian kecil dari korban keseluruhan yang mencapai jutaan orang Vietnam. Ini disusul  dengan terciptanya sebuah rekor di mana Amerika telah menjatuhkan bom di Vietnam lebih banyak dari yang telah dijatuhkan oleh seluruh kekuatan pada Perang Dunia Kedua.

Slaughterhouse-Five yang nota bene bercerita tentang tragedi pemboman Dresden, sedang ditulis dan siap terbit ketika Amerika sedang melaksanakan sebuah pemboman yang paling brutal sepanjang sejarah. Sebuah kebetulan yang ironis.

Walaupun Vonnegut sendiri pernah menganggap ini sebagai karya yang “gagal”, Slaughterhouse-Five mendapatkan sukses dimana-mana dengan segera. “Demam Vonnegut” melanda Amerika, terutama di kampus-kampus tempat aroma anti perang begitu tercium. Kritikus-kritikus literatur, bahkan yang belum pernah sebelumnya mengakui karya-karyanya, berlomba-lomba membedah karya-karya Vonnegut yang menyebabkan novel ini dicetak berulang-ulang.

Sejak penerbitan perdananya, Slaughterhouse-Five telah mengkokohkan diri sebagai karya yang kontroversial. Novel ini kerap digunakan dalam ruangan kelas di seluruh Amerika, tetapi juga sering dilarang oleh dewan-dewan sekolah, bahkan sampai ada yang sampai menyita dan membakarnya. Tetapi, Vonnegut dan Slaughterhouse-Five memang hadir pada masa yang tepat.

***

“Saya ingat betul, di Dresden saya makan siang di halaman depan Frauenkirche, sebuah bangunan gereja bergaya Barok yang sedang direnovasi. Memang beberapa lokasi masih nampak kegiatan-kegiatan renovasi, beberapa kompleks nampak tertutup dan belum bisa dikunjungi”, ujar Christofel tersenyum.

“Lokasinya lengang dan tenang. Tetapi kota Dresden memang nampaknya jauh dari keriuhan. Jarang terdengar kebisingan layaknya kota metropolitan. Aura kota ini mungkin hampir bisa disamakan dengan Tondano, bukan seperti Manado, apalagi Jakarta”, katanya.

Sebelum luluh lantak oleh ‘api neraka’ akibat perang, Dresden adalah kota yang ‘hidup’ dengan denyut peradaban. Selama abad ke-19, kota ini menjadi pusat ekonomi, termasuk produksi mobil, pemrosesan makanan, perbankan, dan pembuatan peralatan medis. Pada awal abad ke-20, Dresden terkenal karena produk kameranya dan pabrik-pabrik rokoknya. Kota ini adalah pusat seni modern Eropa hingga 1933.

Sejak penyatuan kembali Jerman, perkembangan demografis kota ini sangat tidak stabil. Kota ini tengah berjuang dengan problem migrasi dan suburbanisasi. Selama 1990-an populasi meningkat menjadi 480.000, dan kemudian menurun menjadi 452.827 pada tahun 1998. Antara tahun 2000 dan 2010, populasi tumbuh dengan cepat menjadi lebih dari 45.000 penduduk karena ekonomi yang stabil dan urbanisasi.

Bersama dengan Munich dan Potsdam, Dresden adalah salah satu dari sepuluh kota dengan pertumbuhan tercepat di Jerman. Dresden sebagai pusat kota utama telah berkembang jauh lebih cepat dan lebih konsisten daripada kebanyakan daerah lain di bekas Republik Demokratik Jerman, tetapi masih menghadapi banyak masalah sosial dan ekonomi yang berasal dari runtuhnya sistem sebelumnya, termasuk tingkat pengangguran yang tinggi.

Joseph R. Collin dalam bukunya American Anti-War Movements mengingatkan, “Perang berarti pembunuhan dan perusakan, sesederhana itu. Perang berarti kesengsaraan massal”.

Lewat kisah historis Dresden dalam Slaughterhouse-Five, Vonnegut bermaksud menyadarkan kita tentang akibat buruk perang terhadap umat manusia. Sebab kita sekarang masih tetap dikutuk oleh ‘dosa-dosa warisan’ kekerasan di sana-sini.

“Dresden memang sedang bangkit, tetapi melankolia itu masih ada, masih terasa seolah kisah dalam bait-bait puisi tentang kemarin yang tlah silam, ia seolah menderita luka yang tak mudah disembuhkan, bahkan oleh bergulirnya waktu sekalipun”, tutup Christofel. (*)


Editor: Denni Pinontoan


Komitmen dan misi kami adalah menghadirkan media dengan mutu jurnalisme yang baik. Menurut pendapat kami, salah satu syarat penting untuk mencapai hal itu adalah indepedensi.
Sejak awal, kami telah menetapkan bahwa KELUNG adalah media independen. Sebagai media independen, KELUNG hadir untuk melayani pembaca dengan laporan, artikel atau tulisan yang disajikan secara naratif, mendalam, lengkap dengan konteks. Kami mengajak anda untuk memasuki setiap gejala dan isu untuk menemukan informasi, inspirasi, makna dan pengetahuan.
KELUNG independen oleh karena kami sendiri yang menentukan tema atau isu untuk disajikan. KELUNG bebas dari intervensi penguasa atau pemilik modal. KELUNG independen dari intervensi ideologi agama atau ideologi apapun.
KELUNG independen, karena bebas berpihak kepada kelompok minoritas, kelompok marginal dan lemah secara akses suara ke publik. KELUNG juga akan terus berupaya mengembangkan diri, meningkatkan mutu isi dan penyajian.
Pembaca adalah kunci dari harapan kami ini. Dukungan pembaca berupa donasi, sangat berarti bagi kami dalam upaya pengembangan dan peningkatan mutu jurnalisme yang independen. Kami mengundang pembaca bersama-sama untuk mencapai komitmen dan misi kami ini.
Mari bantu KELUNG dengan cara berdonasi…. selengkapnya

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *