CULTURAL
Ds. A. Z. R. Wenas: Kisah Pendeta “Juru Damai” dari Tanah Minahasa
Published
3 years agoon
30 September 2021
——————————————————————————————————————————————————
Oleh: Yonatan D. Kembuan
——————————————————————————————————————————————————
“Kita telah berbicara banyak tentang Asia Baru, Orde Baru, Kehidupan Baru, menghubungkan semua itu dengan perang. Tetapi sebagai orang Kristen kita harus mengingat bumi baru dan langit baru yang dilihat oleh St. Yohanes di Patmos… Sebagai orang Kristen kita harus mengingat peringatan Kristus di Golgota, tanah pengampunan dosa, tanah keselamatan seluruh dunia. Itulah yang membawa kita ke dunia baru.”
——————————————————————————————————————————————————
Hari ini, 87 tahun yang lalu berdiri Gereja Masehi Injili di Minahasa (GMIM), tepatnya pada 30 September 1934 di Gereja Sion Tomohon. GMIM merupakan salah satu gereja bagian mandiri dari Protestantsche Kerk in Nederlansche-Indie (PKNI) atau Gereja Protestan Indonesia (GPI), yang berdiri sejak masa pemerintahan Hindia Belanda. Sehingga dapat dikatakan secara resmi dari GPI, GMIM merupakan lembaga gereja Kristen Protestan yang tertua di kawasan Indonesia Timur.
Pemandirian GMIM dilatarbelakangi oleh bangkitnya gelombang kaum terpelajar di kalangan rohaniwan dan jemaat Kristen, dengan kesadaran melepaskan diri dari penjajahan pemerintahan kolonial Belanda. Hal ini diikuti dengan maraknya paham nasionalisme dalam perjuangan kemerdekaan serta konsekuensi dari kebijakan politik etis pemerintah Belanda.
Di Minahasa, perseteruan kaum rohaniawan antara lembaga Gereja dan lembaga pengijilan kian membara. Hirarki dalam jabatan gereja dan terjadinya segregasi atau pengelompokan di kalangan rohaniawan gereja, serta pembedaan tugas dan fungsi pendeta Belanda dengan pendeta pribumi, juga pendeta pribumi dengan guru jemaat. Di samping itu juga, ada faktor lain yakni, kesenjangan sosial dan upah kesejahteraan antara pendeta. Ada yang mendapatkan biaya hidup dari pemerintah, sementara guru penginjil atau guru jemaat tidak. Demikianlah perpecahan di dalam gereja tidak dapat dihindari. Satu tahun sebelum GMIM berdiri, Kerapatan Gereja Protestan Minahasa (KGPM) memproklamirkan berdirinya pada 29 Oktober 1933.
Dalam konteks tersebutlah lahirlah tokoh gereja tersohor pada masa itu, rohaniawan bernama Ds. Albertus Zacharias Roentoerambi Wenas. Pendeta berwatak tegas dan karismatik. Ia lahir di Tombatu pada 28 Oktober 1897, dari keluarga berlatarbelakang keluarga pejabat pemerintah. Istrinya adalah Martina Adriana Wenas-Mambu. Wenas adalah anak kedua dari empat bersaudara, dari pasangan Lodewijk Wenas dan Sarah Simban Rambi (sering disapa Sartje). Ayahnya bernama Lodewijk Wenas adalah seorang Hukum Kedua distrik Tombatu pada akhir abad 19. Menurut L. Lumunon, dalam Bulletin SAG Sulutteng (1969), Wenas muda, kendati disebut seorang anak sulung dalam keluarga tersebut, namun ia dipanggil “Adek” atau “De’” nama sayang yang diberikan keluarga padanya. Di usia yang masih belia, Wenas kecil bernasib malang. Ia tidak dapat menolak situasi sulit, saat harus kehilangan orang tuanya. Ayahnya meninggal dan ibunya menyusul kemudian.
Wenas muda kemudian diasuh sebagai anak oleh Kawilarang yang adalah Kepala Distrik, Hukum Besar Remboken. Istri Kawilarang memiliki hubungan darah dengan ayah Wenas yang bernama Griet Wenas. Wenas muda pun di bawa ke Remboken, tumbuh besar dan bersekolah di sana. Mereka mengasuh Wenas layaknya seorang anak kandung.
Keluarga Kawilarang-Wenas berharapan besar agar Wenas muda mendapatkan pendidikan yang layak dan dapat mengikuti karir orang tuanya di bidang pemerintahan. Namun, pertemuan Wenas muda dengan Ds. De Koning Direktur STOVIL (School Tot Opleinding voor Inlandsch Leraar) di Tomohon, merubah jalan hidupnya. Awalnya ia dipekerjakan sebagai tenaga administrasi dan tinggal di rumahnya De Koning.
De Koning menilai bahwa Wenas memiliki kemampuan dalam bidang agama. Sehingga berencana mengajak Wenas untuk sekolah pendeta di negeri Belanda. Hal ini langsung disetujui ibunya. Pada tahun 1915, Wenas berangkat ke Belanda dan menjadi siswa pada sekolah pendidikan pendeta (Nederlandshe Zending School) di Rotterdam kemudian pindah ke Oegstgeest tahun 1917.
Wenas muda kemudian menyelesaikan sekolah pendetanya pada tahun 1921, saat usia 24 tahun. Di tahun yang sama ia pulang ke Minahasa dan ditahbiskan menjadi Hulppredikant (Pendeta Penolong) Indische Kerk dan kemudian langsung ditempatkan awalnya di Kumelembuai sebagai Ketua Resort, selanjutnya di Airmadidi dan di Tondano. Pada tahun 1928, di usia Ds. Wenas yang ke 32 tahun, Ds. Wenas masuk ke Tomohon lalu menjadi Ketua Jemaat Gereja Sion Tomohon dan sekaligus sebagai Ketua Klasis Tomohon, serta menjadi Direktur STOVIL dari tahun 1928-1942.
Ds. Wenas tidak menyia-nyiakan harapan keluarga dan Ds. De Koning. Ia membuktikan potensi besar yang ada dalam dirinya sebagai seorang Pendeta. Sekalipun seorang pendeta pribumi (Indlansch Leraar), ia menganggap jika ia mampu untuk duduk dan berdiri setara dengan pendeta Belanda dalam pekerjaan Gerejawi.
Pada Rapat Besar PKNI tahun 1933 di Gereja Willem Batavia, Ds. Wenas berusaha meminta kejelasan pasti dan mengemukakan pendapatnya dalam pertemuan itu. Ds. Wenas menuntut agar Gereja di Minahasa dan Maluku, segera diberi kesempatan secara luas untuk mengurus urusan sendiri dan dalam membela kepentingan sendiri. Hal ini dibutuhkan demi kebaikan dan persatuan Gereja di dalam PKNI.
Demikianlah diputuskan dalam rapat tersebut, 12 orang sebagai Komite persiapan pemandirian GMIM dan 7 di antara mereka menjadi proto-Sinode. Salah satu dari Komite 12 dan Proto Sinode tersebut adalah Ds. Wenas, yang kemudian dipercayakan menjadi Ketua II Sinode GMIM (Wakil Ketua) saat GMIM dideklarasikan mandiri dari PKNI.
Seiring berjalannya waktu, selama kurun waktu 8 tahun GMIM mandiri, kepemimpinan GMIM masih didominasi oleh pendeta-pendeta Belanda. Pada tahun 1942, Jepang melakukan agresi militernya di wilayah Indonesia. Kehadiran Jepang turut merubah kondisi kepengurusan gereja saat itu. Bagi sejarawan Beatrix Lengkong dalam tesisnya (1987) berjudul “Gereja Masehi Injili Minahasa pada masa Pendudukan Jepang 1942-1945”, inilah merupakan periode baru bagi GMIM sepenuhnya berdiri sendiri, baik di bidang dana maupun tenaga. Tentara Jepang telah menawan para pemimpin gereja yang berkebangsaan Belanda, salah satunya adalah Ds. Dr. G. P. H. Locher sebagai Ketua Sinode. Ds. Wenas lalu menjabat sebagai Ketua Sinode GMIM. Demikianlah periode perdana bagi GMIM dipimpin oleh seorang pendeta berdarah asli Minahasa.
Sikap Gereja Protestan di Indonesia, baik pemimpin dan anggota jemaat terhadap Jepang yang membawa ideologinya itu ditanggapi berbeda dari beberapa tempat. Berbeda dengan Maluku yang mengalami banyak kesulitan, oleh karena pengaruh Belanda sangat kuat di sana, sehingga memilih untuk beroposisi dengan pemerintah Jepang. Itulah mengapa tindakan Jepang sangat keras di sana.
Sementara itu di Minahasa orang-orang lebih fleksibel dengan adanya aturan baru dari Jepang. Gereja di Minahasa lebih terbuka untuk membangun hubungan dengan pemerintah Jepang yang dipimpin oleh W. J. Rumambi, lulusan STT Jakarta dan yang kemudian menjadi sekretaris umum DGI pertama.
Th. Van den End, mencatat dalam tulisanya berjudul “1800-2005: A National Overview,” dalam A History of Christianity In Indonesia (diedit Jan S. Aritonang dan Karel Steenbrink, 2008), bahwa pada Maret 1943, Jepang meminta untuk diadakannya penghormatan di Manado kepada tentara yang meninggal dalam pertempuran perang. Dalam diskusi dengan pihak Jepang berkaitan dengan hal itu, pimpinan Gereja Minahasa yakni Ds. Wenas mengatakan;
“Kita telah berbicara banyak tentang Asia Baru, Orde Baru, Kehidupan Baru, menghubungkan semua itu dengan perang. Tetapi sebagai orang Kristen kita harus mengingat bumi baru dan langit baru yang dilihat oleh St. Yohanes di Patmos… Sebagai orang Kristen kita harus mengingat peringatan Kristus di Golgota, tanah pengampunan dosa, tanah keselamatan seluruh dunia. Itulah yang membawa kita ke dunia baru.”
Kepala Kantor Pusat Keagamaan di Manado yang adalah seorang Kristen Jepang mengakui dan sangat setuju dengan pernyataan Wenas itu. Namun walaupun demikian, B. Lengkong berpendapat bahwa rupanya orang-orang Kristen dan GMIM dalam menghadapi tantangan ideologi nasionalisme militerisme Jepang pada masa itu sangat lemah. Mereka cenderung berkompromi oleh karena semua orang diselimuti ketakutan terhadap ancaman Jepang, bilamana bersikap netral akan dipenggal kepalanya serta melawan pihak penguasa Jepang. Lengkong menambahkan jika hal ini kemungkinan oleh karena belum ada dasar-dasar teologis yang digumuli secara serius antara hubungan gereja dan negara.
Tentu GMIM menghadapi situasi sulit saat itu, komunikasi terputus dengan Kerkbestuur Indische Kerk di Batavia dan pusat lembaga penginjilan Nedelansche Zendeling Genootschaap (NZG) di Belanda. Ada kendala soal dana, namun tidak memudarkan semangat Ds. Wenas memimpin GMIM. Berbagai upaya dilakukan sekalipun bantuan dari jemaat tidak mencukupi.
A. F. Parengkuan mencatat dalam tulisannya, “Gereja Masehi Injili di Minahasa; Gereja bagian Mandiri Gereja Protestan di Indonesia,” (Sejarah Gereja Protestan di Indonesia (27 Februari 1605 – 27 Februari 2005) 400 tahun GPI, 2005), bahwa setelah Jepang kemudian menyerah kepada sekutu barulah hubungan dengan Indische Kerk yang sebelumnya putus dibangun kembali. Sebelumnya Sidang Sinode bulan Oktober 1945, telah memilih kembali Ds. Wenas sebagai Ketua Sinode GMIM. Para Pendeta kemudian menerima gaji yang dibayarkan oleh pemerintah Indonesia yang dialihkan dari pemerintah Hindia-Belanda. Pada tahun 1950, dampak dari Konferensi Meja Bundar setahun sebelumnya, subsidi keuangan dari pemerintah berakhir, saat itu kebijakan pemerintah memutus kembali hubungan antara gereja dengan negara. Konsekuensinya GMIM harus mengembangkan diri dalam kemandiriannya.
Memang melalui Ds. Wenas di masa revolusi kemerdekan Indonesia 1945-1949, GMIM mulai mempersiapkan diri dalam memperkuat dan mempertahankan kemerdekaannya sebagai gereja yang mandiri, dengan memprotes Indische Kerk di Batavia yang berkeinginan untuk kembali mencalonkan orang Belanda untuk menjadi ketua sinode GMIM. Tahun 1948, GMIM berpartisipasi dalam pertemuan federal Sinode Indische Kerk di Bogor, tapi tidak berharap hanya dianggap sebagai salah satu wilayah dari gereja itu. Ketua Sinode GMIM Ds. Wenas sangat blak-blakan dalam hal ini. Ia menyampaikan kritikannya dalam forum tersebut. Ds. Wenas menentang keberadaan Gereja yang monolitik dengan karakter sentralistik. Ia menganggap bahwa hal tersebut bertentangan dengan jemaat lokal sebagai inti dari gereja. Ia menggugat pandangan yang terkadang menyudutkan ia secara pribadi oleh karena tundingan bahwa GMIM adalah Gereja miliknya.
GMIM di masa itu tentunya selalu dikaitkan terus dengan Ds. Wenas. Jika ditanyakan bagaimana peran GMIM dalam kondisi sosial saat itu, maka representasi dari peran GMIM itu ada pada Ds. Wenas. Tuduhan GPI kepada Ds. Wenas, barangkali yang kemudian jadi salah satu alasan penolakan namanya dicalonkan sebagai Ketua Sinode selanjutnya. Sejak periode ini 1945-1949, GMIM tidak membuat suatu pilihan politis dalam memandang masa depan bangsa Indonesia, apakah antara kemungkinan dari sebuah negara kesatuan yang kuat atau negara federal di Indonesia Timur bisa lebih bebas, dengan sebuah kekuatan kuat dan besar dari populasi Kristen. Gereja tidak mengambil posisi tegas akan hal itu, sama seperti itu juga GMIM kemudian menghindari keputusan politiknya. GMIM sudah tidak lagi mengambil bagian dan berbicara banyak dalam posisi politik hingga di masa kepemimpinan Soeharto.
Apalagi menurut P. W. Sambow (Bulletin SAG, 1969), saat Ds. Wenas di zaman Soekarno yang menunjuknya sebagai Dewan Pertimbangan Agung (DPA-RI), namun kemudian ditolak Ds. Wenas, oleh karena kecintaanya pada pekerjaan pelayanannya dan kecintaannya kepada tanah Minahasa.
Sidang Sinode GMIM pada 26 Juni 1951, Ds. Wenas meminta supaya jabatan Ketua Sinode dipercayakan pada orang lain dan ia supaya tidak dicalonkan lagi. Sehingga Ds. M. Sondakh yang kemudian terpilih menjadi ketua dan Ds. Wenas sebagai wakil ketua. Ia kemudian memanfaatkan waktunya untuk memberikan perhatian pada usaha diakonal sosial GMIM yang telah dibangunnya pada masa Jepang, seperti Rumah Pengasihan Anak Yatim Piatu dan usaha kesehatan Rumah Sakit GMIM di Tomohon.
Lalu datanglah pada periode di luar perkiraan banyak orang di Minahasa. Terjadilah agresi militer Perjuangan Semesta (Permesta) antara tahun 1957-1961 di Sulawesi, secara khusus di Minahasa. Periode yang menurut W. Langi adalah periode sial dan malang, genting dan berbahaya. Inilah saat Ketua Sinode GMIM Ds. Wenas, Badan Pekerja Sinode, anggotanya dan para jemaat diuji kembali.
Padahal sebelumnya Ds. Wenas baru saja kembali terpilih sebagai Ketua Sinode GMIM, dalam Sidang Sinode pada Mei 1957 menggantikan Pendeta M. Sondakh. Gereja tidak dapat menghindar dari situasi ini. Ds. Wenas tidak tunggu diam. Memang terjadi pemblokiran jalan di mana-mana dari kedua pihak. Namun Ds. Wenas melakukan kunjungan-kunjungan walaupun secara terbatas kepada jemaat-jemaat. Di samping itu juga membuat surat-surat penggembalaan dan seruan kepada masyarakat umum.
Kebijaksanaan seorang Ds. Wenas yang melihat keadaan yang makin memprihatikan membuat ia mengirimkan surat kepada Presiden tentang pergolakan Permesta pada 26 September 1959. Sebuah ungkapan hatinya mengenai keadaan Minahasa, memohonkan perdamaian dan inisiatif untuk memberikan dirinya dalam upaya penyelesaian pergolakan dan membantu pemerintah. Disusul langkah konkret lainnya dengan mengirimkan surat kepada Menteri Muda Pertanian RI pada 26 September 1959, tentang permohonan bantuan menanam sayuran; Surat kepada Kementerian Agama pada 26 September 1959, permohonan bantuan dana perbaikan gedung gereja dalam rangka HUT GMIM ke-25; Surat pada 15 Februari 1960 kepada tokoh masyarakat dan tokoh gereja Minahasa di Jakarta, tentang penyelesaian pergolakan di Minahasa.
Sebelumnya Ds. Wenas telah menyerukan suratnya melalui BPS GMIM sejak 12 Maret 1958, 4 April 1958, 28 Juni 1958 dst., yang disiarkan melalui Radio Permesta., seruan ini bermaskud agar tercapainya penyelesaian pergolakan tidak dengan jalan kekerasan, salah satu bagian isi surat seruan tersebut yang diucapkan Ds. Wenas adalah;
“Tinggalkanlah dan hentikanlah jalan kekerasan, melalui pemboman, perang saudara, antar kita dengan kita. hentikanlah pemuntahan peluru dan granat pada kota Manado dan kota-kota yang lain, yang telah menewaskan orang-orang yang tidak bersalah. Ganti penyelesaian persengketaan ini dengan kapal perang dan pesat pembom, dengan mengangkat perang dan serangan-serangan seru dan hebat. Kami desak kepada pemerintah akan mencari jalan lain guna penyelesaian untuk keutuhan Negara dan Bangsa kita.”
Segala upaya yang dilakukan Ds. Wenas dalam menjaga kewibawaan GMIM sebagai Gereja Tuhan di tengah dunia. Ia benar-benar memberi segenap hidupnya diamal baktikan bagi gereja dan negara, untuk misi-misi kemanusiaan dan perdamaian demi tercapainya suasana damai dan sejahtera. Tidak henti-hentinya berkomunikasi intens dengan pihak pemerintah pusat RI dan pihak Permesta. Doa dan harapannya terjawab. Ia menunaikan tugasnya sebagai Pendeta “Juru Damai” di tanah Minahasa.