CULTURAL
Dubai: Negeri yang Memadukan Kesalehan dan Gemerlap Duniawi
Published
5 years agoon
By
philipsmarx3 April 2019
Oleh Taufani
Dosen IAIN Manado, Alumni Sekolah Kebudayaan dan Kemanusiaan Ahmad Syafii Maarif
Di Dubai Anda dapat menikmati sebuah modernitas, sekaligus keagamaan yang kuat
BEBERAPA WAKTU lalu saya mendapat kesempatan berkunjung ke Dubai. Sebuah kota modern dengan keislaman yang tetap terpelihara.
Dubai adalah sebuah kota yang sangat futuristik di Timur Tengah tepatnya di negara Uni Emirat Arab. Menurut survei di tahun 2018, Dubai merupakan tujuan wisata favorit nomor 17 versi Tripadvisor dan juga kota dengan pengunjung mancanegara terbesar nomor 4 di dunia versi Mastercard dengan jumlah pengunjung sebesar 16,66 juta.
Kota ini dulunya dikelilingi gurun pasir. Sekarang kota ini telah bertransformasi menjadi Eropanya Timur Tengah.
Kota Dubai penuh dengan pencakar langit. Infrastrukturnya megah dan mentereng. Dubai memiliki gedung tertinggi di dunia bernama Burj Khalifa yang tingginya mencapai 828 meter. Ia bersebelahan dengan Dubai Mal yang merupakan mall terbesar di dunia. Di mal ini, terdapat aquarium dan juga air terjun buatan raksasa di dalamya. Di mal ini, kita akan melihat berbagai perawakan manusia, baik kulit putih, hitam, sawo matang, kuning langsat hingga yang bermata hitam, coklat, dan biru.
Mengapa Dubai bisa semakin maju dan menjadi perhatian dunia?
Agaknya, ini karena pemimpin Dubai telah menyadari bahwa kekayaan minyak yang negaranya miliki tidak bisa selalu diandalkan di masa depan sehingga perlu dilakukan diversifikasi ekonomi meliputi bidang perdagangan, real estate, finance, penguatan sektor pelayanan jasa, dan pariwisata.
Dubai adalah negeri Islam karena penduduknya mayoritas muslim. Meskipun mayoritas muslim, tetapi Dubai sangat terbuka dengan pendatang. Di kota ini, terdapat banyak ekspatriat kulit putih dan juga pekerja dari Filipina, India, Pakistan, Bangladesh, dll.
Masjid dengan mudah dapat kita temukan dimana-mana. Masjidnya megah-megah. Adzan rutin berkumandang melalui ‘toa’ (alat pengeras suara) dari masjid-mesjid di waktu salat tiba. Bahkan di pusat perbelanjaan dan hiburan seperti Dubai Mal, bunyi adzan terdengar dari balik ‘toa’mal tatkala waktu salat tiba.
Orang-orang yang berada di Dubai cenderung berpakaian sopan karena kultur Islam di dalamnya tidak memberi ruang yang cukup luas pada orang untuk berpakaian minim, kecuali di tempat tertentu seperti pantai. Di sejumlah ruang publik, kita akan menemukan orang-orang berpakaian shalwar kameez (perpaduan baju celana comprang yang bentuknya menyerupai pakaian khas Jamaah Tabligh) yang umumnya menjadi ciri khas orang Asia Selatan, seperti Pakistan, India, dan Bangladesh.
Shalwar kameez sendiri adalah pakaian tradisional di tiga negara tersebut. Populasi orang Pakistan, India, dan Bangladesh di Dubai memang jumlahnya cukup tinggi. Mereka banyak mengisi sektor perdagangan, konstruksi, jasa, dan juga pariwisata.
Saya juga sering menemukan perempuan dengan Abaya hitam dan biasanya dipadukan dengan burqa (benda mirip topeng yang dipasang di wajah yang menutupi dahi, pipi, dan bibir atas yang menyerupai bentuk paruh elang) dan juga dengan tambahan niqab, namun ada juga yang hanya menggunakan abaya dipadukan dengan shayla.
Lelaki Arab sering mengenakan kandora/thawb (baca: gamis) dipadukan dengan agal dan juga ghutrah/shemagh (baca:sorban) sebagaimana yang sering dipakai oleh para habaib, ustad, ulama, dan syekh di Indonesia. Kandora sebenarnya adalah pakaian tradisional bukan pakaian agamis sebagaimana yang sering disalahpahami orang Indonesia.
Di Dubai, kandora yang dipasangkan dengan agal dan ghutrah tidak hanya dipakai oleh orang Arab itu sendiri, melainkan juga dikenakan oleh para wisatawan mancanegara dari luar tanah Arab untuk diabadikan dalam foto sekaligus sebagai cara untuk menyatu dengan kultur di Dubai. Ketika saya ke toko emas, para pelayannya juga mengenakan kandora. Petugas imigrasi di bandara pun juga mengenakan kandora. Ketika saya dan adik saya berwisata ke padang pasir, beberapa sopir pemandu juga mengenakan kandora. Jadi, sebenarnya kandora itu tidak ada hubungannya dengan pakaian agama, itu murni pakaian tradisional orang Arab, sama seperti Batik di Indonesia.
Saya hanya menemukan orang dengan bikini (yang umumnya dipakai oleh para wisatawan/ ekspatriat kulit putih) di Pantai Jumeirah. Mengenakan bikini di pantai masih dianggap suatu kepantasan di Dubai. Tetapi mengenakannya di tempat lain seperti mal, kantor, atau pasar dianggap tidak pantas. Di pantai, sudah menjadi pemandangan umum orang yang berbikini berbaur dengan orang yang mengenakan abaya dan niqab, dua hal yang kedengarannya kontras.
Sebagai konsekuensi dari diversifikasi ekonomi Dubai, maka keterbukaan menjadi sesuatu yang tak terhindarkan. Saya terhenyak karena di dekat hotel tempat saya menginap, saya menemukan berbagai selebaran jasa pijat yang lengkap dengan gambar perempuan seksi dan menawarkan jasa perempuan dari India, Pakistan, Rusia, Turki, Vietnam, dan Filipina yang berserakan di jalan. Saya kurang yakin kalau itu adalah cuma jasa pijat biasa. Sepertinya itu jasa “happy ending massage”. Memang biasanya dunia pariwisata itu selalu identik dengan sun, sea, dan sex.
Yang menariknya lagi, di hampir seluruh tempat, barang impor mendominasi kota ini. Sangat sulit menemukan barang made in Dubai. Yang ada adalah barang Made in Bangladesh, Turkey, India, Maroko, Indonesia, dan juga China. Yang lucu adalah saya membeli boneka onta untuk anak dan ponakan saya tetapi ternyata made in China. “Sejak kapan ada onta di Cina?”, begitu pikirku.
Di negeriku, isu anti Cina sangat kuat digalakkan. Cina seakan-akan ibarat monster perusak, ia selalu diindentikkan dengan komunis dan komunis berarti anti agama dan Tuhan. Padahal di negara-negara Arab, produk Cina telah menguasai pasar. Apakah Cina akan mengkomuniskan negara Arab yang dikenal dengan negeri para Nabi?(*)
Editor Denni Pinontoan