Connect with us

OPINI

Ekonomi Masyarakat Adat: Praktek dan Inisiatif Menawarkan Jalan Keluar

Published

on

2 Oktober 2019


Oleh: Andre Barahamin
Jurnalis dan Peneliti lepas


 

 

 

 


 

NARASI PERAMPASAN WILAYAH adat dan pengusiran atau pelarangan masyarakat adat yang dilakukan negara dan korporasi, salah satunya didasarkan pada argumentasi ideologis – yang tulang punggungnya adalah politik diskriminasi dan fasisme ekologi – bahwa masyarakat adat tidak memiliki kemampuan untuk memaksimalkan potensi ekonomi. Itu mengapa perusahaan (atau yang disebut investasi) diberikan mandat oleh negara untuk memanfaatkan potensi sumber daya alam di sebuah wilayah. Paradigma pembangunan tersebut hingga kini masih bertahan dan berkutat pada pandangan bahwa peningkatan pendapatan masyarakat, pendapatan asli daerah, pajak dan devisa serta pembukaan lapangan pekerjaan, hanya dimungkinkan jika ada investasi.

Akibat langsung dari paradigma ketergantungan terhadap investasi tersebut adalah pemberian izin-izin kepada perusahaan untuk merangsek ke dalam wilayah adat dan menghancurkan hutan. Kita menyaksikan bagaimana misalnya, dalam dua dekade terakhir deforestasi terjadi secara masif di Indonesia. Hutan alam digantikan oleh perkebunan sawit, tebu, dan kayu tanaman industri.

Pembangunan ekonomi dan sosial-budaya Indonesia tidak bisa lepas dari aspek sumber daya alam dan lingkungan hidup baik di darat maupun di laut. Bagi masyarakat adat yang tinggal di seluruh wilayah Nusantara, seluruh aspek kehidupan ekonomi, sosial, budaya dan spiritual – baik emosional maupun fungsional – tergantung pada seluruh sumber daya alam dan jasa lingkungan yang tersedia di sekitarnya.

Bagi masyarakat adat, hutan dan laut adalah sumber kehidupan. Ia menyediakan segala kebutuhan mendasar dari mulai beraneka makanan, air, obat-obatan, dan lain sebagainya yang secara hakiki memiliki nilai ekonomi sangat tinggi. Hutan dan laut juga merupakan pusat perputaran kegiatan sosial, budaya, dan spiritual masyarakat adat yang secara hakiki terkait dengan upaya pemeliharaan alam yang tidak sekedar memberikan produk konsumsi konkrit seperti pangan, tetapi juga jasa ekosistem yang menjadi pra-kondisi yang memungkin proses produksi terjadi. Meski begitu, hanya sebagian kecil dari nilai kegiatan ekonomi langsung dan nilai jasa ekosistem tersebut yang tampil dalam statistik resmi pemerintah terkait indikator ekonomi dan kemajuannya.

Pesatnya pembangunan ekonomi, meningkatnya tantangan terkait perubahan iklim, ledakan populasi, meningkatnya tekanan komersialisasi atas sumber daya alam lahan, hutan, dan laut, keseluruhannya mendorong terjadinya penyusutan sumber daya alam dan degradasi lingkungan. Segala risiko dan dampak tentu dirasakan langsung dan lebih awal oleh masyarakat adat yang kehidupannya bergantung pada sumber daya alam. Meningkatnya tekanan komersialisasi sumber daya alam – misalnya hutan – atas nama investasi untuk pembangunan dan pertumbuhan, sering berujung pada peminggiran atau marginalisasi dan bahkan pengusiran (displacement) masyarakat adat dari wilayahnya sendiri, lanskap leluhurnya yang telah dimiliki dan dikelola turun temurun.

Hal tersebut secara langsung berakibat pada peminggiran dan pengingkaran hak masyarakat dan akses atas wilayahnya. Kekayaan ekonomi riil (real economic wealth) masyarakat adat justru disingkirkan oleh upaya yang mengatasnamakan pembangunan dan pertumbuhan kesejahteraan (income and wealth). Demi menumbuhkan pendapatan per kapita sebagai bagian dari ukuran kemajuan pembangunan manusia melalui berbagai investasi, tanpa disadari upaya pemerintah beresiko menurunkan pendapatan riil per kapita masyarakat adat yang terkena dampak pembangunan tersebut.

Kebijakan pembangunan seperti di atas terjadi akibat kurangnya pemahaman para pembuat kebijakan, legislator, dan perencana pembangunan di pusat maupun di daerah, tentang kehidupan ekonomi masyarakat dalam hal produksi, konsumsi dan ketergantungan kegiatan dan keseluruhan kehidupan ekonomi tersebut pada sumber daya alam dan jasa ekosistem. Para pembuat kebijakan juga kurang memahami adanya pilihan‐pilihan ekonomi yang tersedia di lingkungan tempat masyarakat itu hidup, sehingga melihat seolah-olah investasi korporasi besar menjadi satu-satunya pilihan jalan untuk mensejahterakan masyarakat. Lebih memprihatinkan lagi, demi investasi demikian, masyarakat adat sering diposisikan sebagai penghambat pembangunan.

Situasi ketidakpahaman pembuat kebijakan dan legislator, diduga menjadi faktor yang menghambat upaya proses pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat. Hal ini terlihat jelas dengan mengambangnya nasib lanjut dari proses pengesahan Rancangan Undang-undang (RUU) Masyarakat Adat, yang tidak lain merupakan bentuk implikasi dari kurangnya pemahaman tersebut.

Ini sebabnya, upaya meningkatkan literasi ekonomi para pihak terhadap kehidupan ekonomi masyarakat adat dan nilai-nilai yang dihasilkan, terutama mereka yang berada di posisi sebagai penentu kebijakan, menjadi sangat diperlukan. Upaya politik edukasi secara ekonomi ini diperlukan dalam jangka pendek untuk mewujudkan legalitas pengakuan dan perlindungan masyarakat adat dan hak-hak ekonominya sebagai bagian basis pengelolaan sumber daya alam dan ekosistem untuk pembangunan ekonomi yang berkelanjutan dan berkeadilan.

 

Valuasi Ekonomi: Masyarakat Adat Merumuskan Solusi

Riset valuasi ekonomi yang dilakukan oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) di enam komunitas, membuktikan narasi yang disebut di paragraf pembuka menjadi bermasalah dan tidak tepat. Riset tersebut menyodorkan angka yang menjadi basis untuk meruntuhkan cara pandang diskriminatif negara terkait manajemen hutan dan wilayah adat.

Studi kolaboratif antara AMAN dan para pakar ekonomi dari beberapa universitas negeri ini memaparkan bagaimana masyarakat adat jauh lebih efektif, efisien dan strategis dalam memanfaatkan sumber daya alam. Selain lebih menguntungkan secara ekonomi, pengelolaan oleh masyarakat adat juga terbukti lebih berkelanjutan secara ekologis dan lebih distributif dalam serapan kesejahteraan. Bahwa inisiatif dan praktik pemanfaatan wilayah dan sumber daya alam oleh komunitas-komunitas adat, jauh lebih solid dan praktis untuk diterapkan dan diduplikasi di wilayah-wilayah lain. Tentunya dengan penyesuaian dengan pertimbangan faktor geografis, kultural, sosial, dan ekologis. Beberapa inisiatif bahkan mungkin adalah praktik yang baru dalam formasi meski memiliki kemiripan secara esensi dengan komunitas-komunitas adat lain.

Infografis valuasi ekonomi di Komunitas Adat Seberuang, Sintang, Kalimantan Barat (Sumber: Aliansi Masyarakat Adat Nusantara)

Penelitian tersebut memberikan gambaran mengenai kehidupan keseharian masyarakat adat di masing-masing komunitas sebagai pintu masuk untuk dapat memahami kehidupan sosial budaya dan ekonominya dan coba menakar keragaannya (kinerja dan resiliensinya) melalui kerangka pemahaman atas sistem ekonomi lokal, valuasi ekonomi, dan kearifan lokal terkait jasa ekosistem dan kaitannya dengan sistem produksi. Dari keseluruhan hasil yang diperoleh, terhimpun sejumlah argumen yang dari perspektif ekonomi – khususnya – yang dapat merekonfirmasi, bahwa masyarakat adat di masing-masing wilayah memiliki keunggulan ekonomi yang nyata dan unik yang selama ini tidak masuk radar pemikiran serta pengetahuan praktis maupun filosofis banyak pihak, terutama para penentu kebijakan.

Dalam riset ini dipelajari gambaran kehidupan keseharian masyarakat adat di masing-masing komunitas, untuk dapat memahami kehidupan sosial budaya dan ekonominya dan coba menakar keragaannya (kinerja dan resiliensinya) melalui kerangka pemahaman atas sistem ekonomi lokal, valuasi ekonomi, dan kearifan lokal terkait jasa ekosistem dan kaitannya dengan sistem produksi.

Infografis valuasi ekonomi di Komunitas Adat Saureinu, Mentawai, Sumatera Barat (Sumber: Aliansi Masyarakat Adat Nusantara)

Tipologi lokasi studi pada umumnya terestrial. Hanya komunitas Moi Kelim (Sorong) yang memiliki wilayah pesisir yang relatif luas. Sementara komunitas Saureinu, meski berlokasi di pulau kecil di Indonesia, kegiatan ekonomi berorientasi ke pengolahan lahan karena letak pemukiman mereka agak jauh dari pantai. Mereka hanya menyeberang ke pulau kecil untuk mengolah tanaman cengkeh milik mereka. Sedangkan Moi Kelim di Malaumkarta, meski berkebun, tetap menjadikan sumberdaya alam laut dan mangrove sebagai sumber mata pencaharian mereka.

Saat penelitian tersebut dilakukan, keseluruhan wilayah adat yang menjadi lokus studi telah memperoleh basis pengakuan dan perlindungan legal, umumnya melalui peraturan daerah kabupaten masing-masing. Beberapa wilayah adat lain bahkan telah memiliki legalitas dalam bentuk penetapan hutan adatnya (Kasepuhan Karang dan Kajang). Beberapa yang lain, sekalipun telah memiliki peraturan daerah sejenis, namun hasil studi menangkap indikasi kuat, bahwa pada tataran implementasi masih belum konkrit. Artinya belum cukup tersedia program dan kebijakan yang memadai yang khusus ditujukan untuk masyarakat adat sebagai kelanjutan dari peraturan daerah yang dikeluarkan.

Sebagian besar wilayah masyarakat adat yang diteliti memiliki tingkat pendidikan rendah hingga sedang. Di beberapa wilayah seperti Kajang, tingkat pendidikan cukup mengkhawatirkan: lebih dari 80% tidak pernah atau tidak lulus SD. Walaupun begitu, seperti juga tren nasional, tingkat pendidikan di wilayah masyarakat adat juga semakin meningkat. Percepatan peningkatan kualitas pendidikan salah satunya ditentukan oleh progresifitas lembaga adat dalam mengakomodir nilai modern dan dukungan pemerintah melalui perangkatnya untuk memberikan sarana dan prasarana pendidikan yang cukup dan baik.

Infografis valuasi ekonomi di Komunitas Adat Kajang, Bulukumba, Sulawesi Selatan (Sumber: Aliansi Masyarakat Adat Nusantara)

Sebagian besar masyarakat adat di lokasi studi menggantungkan hidupnya pada pertanian dan perkebunan. Pertanian pada umumnya dilakukan untuk kehidupan subsisten dan perkebunan sebagai cash crops (tanaman yang menghasilkan uang). Di beberapa wilayah yang mempunyai pesisir seperti Moi Kelim dan Saureinu, pertanian dan perkebunan tetap lebih dominan daripada perikanan. Dari aktifitas ini dapat disimpulkan bahwa sebagian besar masyarakat adat adalah petani. Selain petani pemilik lahan, terdapat pula petani penggarap yang mendapatkan penghasilan berupa bagi hasil panen atau upah. Petani penggarap merupakan kelompok yang rentan karena kepemilikan aset produktif yang minim.

Di hampir seluruh wilayah masyarakat adat, terdapat penduduk yang bekerja di luar wilayah adat. Di beberapa daerah seperti Kajang, jumlahnya cukup dominan. Begitu pun di Kasepuhan Karang, masyarakat yang bekerja di luar kebanyakan kaum muda. Hal ini terkait juga dengan semakin tingginya tingkat pendidikan. Kebanyakan dari mereka yang keluar wilayah masyarakat adat bekerja sebagai buruh swasta. Hal ini perlu menjadi perhatian penting terutama dalam kaitannya dengan peningkatan nilai tambah yang bisa dihasilkan oleh wilayah masyarakat adat.

Dalam struktur masyarakat adat, terdapat lembaga adat yang mengatur kehidupan masyarakat adat sesuai nilai adat termasuk di dalamnya mengatur pemanfaatan sumber daya alam di wilayah adat. Selain perangkat adat, terdapat pula perangkat pemerintah seperti perangkat desa dan kecamatan yang juga secara beririsan mengatur beberapa segi kehidupan masyarakat adat sebagai perpanjangan tangan negara. Di lokasi studi, terdapat fenomena yang berbeda dimana terdapat perangkat adat yang sinergi dengan perangkat pemerintah, dan sebaliknya. Pada umumnya perangkat adat yang bisa bersinergi dengan perangkat negara adalah wilayah adat yang tokoh adatnya turut menjadi perangkat pemerintah.

Sebelum dilakukan valuasi ekonomi, dilakukan elaborasi terhadap beberapa hal di masing-masing wilayah masyarakat adat, antara lain mengenai status pengakuan legal atas masing-masing wilayah adat, soal tenurial dan tataguna lahan yang ada dan berlaku disana, terkait identifikasi produk sumber daya alam dan jasa lingkungan, tentang budaya dan kearifan lokal, serta sejumlah situasi yang menjadi tantangan dan sekaligus peluang. Semua informasi ini menjadi landasan perhitungan valuasi dan memperkaya analisis valuasi ekonomi atas produk dan jasa sumber daya alam di masing-masing wilayah masyarakat adat.

Infografis valuasi ekonomi di Komunitas Adat Kaluppini, Enrekang, Sulawesi Selatan (Sumber: Aliansi Masyarakat Adat Nusantara)

Valuasi ekonomi yang digunakan dalam kajian ini dimaksudkan untuk memvisualisasi dengan menggunakan pendekatan kuantitatif atau menghitung proxy nilai ekonomi di masing-masing wilayah masyarakat adat. Hal tersebut dimungkinkan setelah diperoleh gambaran model ekonomi masing-masing komunitas adat yang menjadi lokasi penelitian. Gambaran mengenai model ekonomi dimulai dari mendaftar banyaknya macam manfaat sumberdaya alam dan jasa lingkungan dalam pengelolaan bentang darat (landscape) atau bentang laut (seascape) yang dirasakan langsung oleh masyarakat adat dalam realitas kegiatan keseharian mereka, yang dilanjutkan dengan macam manfaat utama yang diyakini menjadi motor penggerak ekonomi masyarakat adat.

Dari hasil pendataan ditemukan bermacam sumberdaya alam dan jasa lingkungan yang menjadi motor pengerak ekonomi. Macam manfaat yang ada kemudian dikelompokkan pada nilai manfaat langsung (direct use values) dan nilai manfaat tidak langsung (indirect use values) dalam struktur ideal nilai ekonomi total (total economic values). Hal ini dimungkinkan karena macam manfaat inilah yang mereka rasakan dekat dan lekat dalam kegiatan ekonomi keseharian mereka. Selain mengekspresikan pentingnya berbagai manfaat langsung, masyarakat adat juga sangat menyadari manfaat tidak langsung dari ekosistem. Pada beberapa diskusi bahkan terungkap bahwa mereka lebih mengutamakan nilai jasa lingkungan (khususnya keberadaan hutan secara bersinambung) daripada nilai manfaat langsung. Alasannya, nilai manfaat langsung apapun akan berkurang dan bahkan punah saat keberadaan hutan dan jasa lingkungan turunannya terganggu.

Infografis valuasi ekonomi di Komunitas Adat Moi Kelim, Sorong, Papua Barat (Sumber: Aliansi Masyarakat Adat Nusantara)

 

Langkah Lanjut Solusi: Ideal di Atas Kertas atau Praktis dalam Penerapan?

Pertanyaan yang paling sering muncul pasca dilakukannya riset-riset seperti ini adalah: seberapa mampu dan mungkinkah jika hasil penelitian dijadikan sebagai opsi jalan keluar?

Tentu bisa. Bahkan lebih dari itu. Riset AMAN di enam wilayah komunitas masyarakat adat yang berada lima provinsi: Sumatera Barat, Banten, Kalimantan Barat, Sulawesi Selatan (dua komunitas adat), dan Papua Barat, tidak bisa dipandang sebagai upaya sekedar untuk menyodorkan alternatif. Sebaliknya bagi saya, riset ini memiliki posisi strategis sebagai tawaran konkret atau jalan keluar dari problem mengenai pemberdayaan, pemanfaatan dan pengembangan model dan tata kelola ekonomi di komunitas-komunitas adat yang berada di Nusantara.

Dari keseluruhan hasil yang diperoleh, terhimpun sejumlah argumen yang dari perspektif ekonomi dapat merekonfirmasi, bahwa masyarakat adat di masing-masing wilayah memiliki keunggulan ekonomi yang praktis, unik dan berkelanjutan. Model pengelolaan dan praktek distribusi kesejahteraan yang selama ini kurang mendapatkan perhatian dari banyak pihak, terutama para penentu kebijakan. Riset ini berhasil menunjukkan mengenai signifikansi nilai ekonomi kegiatan masyarakat adat di enam wilayah studi dan membandingkannya secara langsung dengan ukuran kesejahteraan ekonomi yang digunakan pemerintah, terutama pendapatan (PDRB) per kapita dan upah minimum regional.

Infografis valuasi ekonomi di Komunitas Adat Kasepuhan Karang, Lebak, Banten (Sumber: Aliansi Masyarakat Adat Nusantara)

Menunjukkan potensi ekonomi yang terdapat di dalam wilayah adat tersebut sebagai basis pengembangan kegiatan ekonomi berkelanjutan untuk masa yang akan datang bagi masyarakat adat tersebut, dan tantangan serta kendala yang dihadapi masyarakat tersebut. Menunjukkan kepada pembuat kebijakan, legislator, dan perencana pembangunan, bahwa mengakui keberadaan hak-hak masyarakat adat dan hak-hak ekonominya, adalah sebuah pilihan yang logis berdasarkan argumen-argumen ekonomi tentang takaran kontribusi, kinerja dan resiliensi kehidupan ekonomi masyarakat adat. Pilihan itu sejalan dan mendukung rencana pemerintah meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara berkelanjutan dan berkeadilan, tanpa menimbulkan marginalisasi dan pengusiran.

Studi valuasi ekonomi tersebut menunjukkan bahwa percepatan untuk pengesahan RUU Masyarakat Adat menjadi sebuah kebutuhan, untuk melakukan justifikasi, imperati dan urgensi dalam kerangka memperkuat pengakuan hak ekonomi masyarakat adat. Secara ekonomi lahirnya UU tersebut akan menjadi insentif bagi produksi dan pemanfaatan berkelanjutan sumber daya alam masyarakat dalam jangka panjang, dan menjadi dasar bagi kebijakan keberpihakan pemerintah (affirmative policies) dalam memastikan keadilan kesempatan memperoleh penghasilan dan keutuhan sistem sosial di tingkat akar rumput.

Argumen-argumen yang dibangun melalui penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai bahan bagi upaya perbaikan literasi ke depan sekaligus menambah khasanah pengetahuan dan pikiran semua pihak, terutama otoritas penentu kebijakan, legislator dan perencana pembangunan – terutama dalam konteks penguatan dan pengakuan hak dan akses masyarakat adat atas kepastian wilayah dan hak kelola atas sumberdaya alam dan lingkungannya. Penelitian ini adalah jalan keluar terkait model pengelolaan daya ekonomi di komunitas-komunitas masyarakat adat yang memberikan teladan, peluang serta harapan tentang sistem pengelolaan sumber daya alam berbasis komunitas yang bersifat horizontal, distributif, partisipatif dan tentu saja: politis. (*)

 


Editor: Gratia Karundeng


 

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *