ESTORIE
Espresso di Louang Phabang
Published
6 years agoon
By
philipsmarx25 Januari 2019
Oleh: Andre Barahamin
Louang Phabang adalah masa lalu yang tertimbun di bawah kegilaan turisme.
KESAN PERTAMA ketika tiba di kota ini adalah kegilaan turisme dan euforia yang sulit saya pahami dari para pelancong kulit putih mengenai mistisme Timur.
Louang Phabang yang terletak di tepi sungai Mekong adalah tempat di mana cerita mengenai masa-masa imperium dikenang. Diawetkan melalui berbagai penanda infrastruktur yang dibangun oleh para budak dan pekerja kasar rendahan namun selalu dicatat atas nama para raja. Kita akan dengan mudah menemukan kuil-kuil Buddha di seantero kota. Itu mengapa setiap sore, ada ratusan biksu yang hilir mudik mengumpulkan persembahan dari orang-orang yang berharap berkah.
Kota ini adalah ibukota Kerajaan Louang Phabang sebelum beralih menjadi ibukota Kerajaan Laos ketika Pangeran Petxarat mendeklarasikan kemerdekaan pada 27 Agustus 1945. Sebelum akhirnya perang sipil yang dipuncaki dengan berkuasanya Pathet Lao di tahun 1975 diikuti dengan pemindahan ibukota ke Vientiane pasca-kemenangan itu.
Louang Phabang adalah saksi bagaimana Prancis, Thailand, Jepang dan Cina pernah menduduki dan menjajah Laos.
Juga sebagai penanda bagaimana pariwisata dapat menyelamatkan orang-orang dari kemelaratan dan bencana kemiskinan ketika blokade ekonomi berlangsung sementara dukungan dari mitra internasional semakin berkurang karena perubahan peta politik internasional. Kota ini juga menjadi marka tentang cerita kelam tentang bagaimana intervensi militer Amerika Serikat di era Perang Dingin. Bagaimana Paman Sam atas nama demokrasi membangun basis pertahanan serta melatih dan mengongkosi orang-orang Hmong dalam kampanye anti-komunis mereka.
Orang-orang Hmong adalah satu dari sekian etnis minoritas yang mendiami kawasan pegunungan di bagian utara Laos. Selain di Laos, populasi mereka dalam jumlah signifikan juga berada di Vietnam.
Di Laos, orang-orang Hmong mayoritas mendiami bagian utara dan timur laut di mana Louang Phabang adalah kota utamanya. Kota ini juga menjadi saksi bagaimana konflik antara milisi Hmong dan Pathet Lao terus berlangsung bahkan setelah perang sipil yang berlangsung lebih dari dua dekade usai. Perang yang diawali oleh sentimen Perang Dingin, bahkan terus berlangsung ketika komunisme telah resmi memenangkan perang.
Di dunia luar, Amerika Serikat dan negara sekutu mereka di Eropa terus menuduh bahwa pemerintahan komunis Laos dengan dukungan penuh tentara Vietnam telah melakukan genosida terhadap orang-orang Hmong. Klaim ini juga terus diulang oleh Pemerintahan Laos di Pengasingan (Royal Lao Government in Exile). Menurut mereka, korban tewas diperkirakan mencapai hingga seratus ribu orang. Jumlah ini adalah seperempat dari total populasi orang Hmong di bagian utara negeri ini. Belum lagi menyoal banyaknya etnis Hmong yang menjadi pelarian politik dan pengungsi. Sejak dari kemenangan Pathet Lao di tahun 1975 hingga tahun 1996, Amerika Serikat menampung lebih dari seratus ribu pengungsi Hmong yang dahulu bermukim di kamp-kamp penampungan di Thailand.
Chia Youyee Vang dalam “Hmong Anti-Communism at Home and Abroad”, terbit sebagai bab khusus dalam Anti-Communist Minorities in the US: Political Activism of Ethnic Refugees (2009), menulis bahwa insurgensi orang-orang Hmong tidak bisa dilepaskan dari peran aktif Biro Intelejen Amerika Serikat (CIA) yang berupaya mencegah Laos jatuh ke tangan kelompok komunis. CIA tidak hanya menyediakan asupan senjata, tapi juga menyediakan pelatihan militer dan menjadi penasehat perang. Awalnya, mereka hanya mendidik orang-orang pilihan dan terkemuka dari latar belakang etnis Hmong yang memiliki sentimen anti-komunis. Kelompok elit terpilih ini kemudian ditempatkan sebagai pemimpin dan menjadi kontak CIA.
Salah satu tokoh utamanya adalah Vang Pao yang meninggal di tanah pelarian, California, pada 7 Januari 2011 ketika berumur 81 tahun.
Vang Pao adalah mantan kombatan semasa perang melawan okupasi Jepang di Laos saat Perang Dunia II. Di masa kampanye anti-komunisme di Laos yang berlangsung di dekade 1960-an hingga pertengahan dekade 1970-an, Vang Pao memimpin puluhan ribu kombatan yang mayoritas berasal dari etnis Hmong dan beberapa kelompok minoritas lain. Tugasnya adalah menghancurkan jalur logistik yang dibangun oleh Vietnam untuk pembebasan Vietnam selatan dan mendukung gerilya Pathet Lao. Insurgensi ini gagal dan Vang Pao kemudian terpaksa harus mengungsi ke Amerika Serikat di tahun 1975.
Hidup sebagai pelarian politik, Vang Pao dianggap oleh para pengungsi Hmong di Amerika Serikat sebagai pahlawan. Ia sosok yang dianggap berperan besar dalam membantu para pendatang Hmong yang berasal dari Laos membangun kembali hidup mereka di Amerika Serikat. Meski bagi pemerintah Laos, Vang Pao adalah ancaman.
Di tahun 2007, ia ditangkap oleh Biro Investigasi Federal (FBI) karena dituduh sedang merencanakan kudeta terhadap pemerintahan komunis Laos. Bersama sembilan orang lain, Vang Pao menjalani interogasi panjang meski akhirnya dibebaskan dengan jaminan. Butuh dua tahun agar tuduhan ini dicabut karena kurangnya bukti. Selain menjadi musuh negerinya sendiri, pihak Vietnam juga menuduh laki-laki ini sebagai dalang di balik upaya sekelompok orang untuk membangun kelompok perlawanan Hmong di sekitar Lao Cai dan Sa Pa.
Namun hal tersebut tidak bisa dijadikan pondasi untuk menggeneralisir bahwa semua orang Hmong adalah anti-komunis.
Di masa perjuangan kemerdekaan Laos, salah satu tokoh kunci dalam Front Pembebasan Laos (FPL) yang berdiri pada Agustus 1950 adalah Faidang Lobliayao. Ia dianggap salah satu bukti penerimaan orang Hmong terhadap doktrin komunisme. Lobliayao menduduki posisi strategis di dalam FPL.
Pembentukan FPL juga tidak lain merupakan langkah strategis dari para komunis Laos untuk melibatkan partisipasi aktif dari kelompok-kelompok minoritas. Salah satu alasannya adalah faktor geopolitik di mana basis-basis perlawanan Pathet Lao berada di wilayah-wilayah ulayat kelompok minoritas. Juga untuk mengurangi anggapan bahwa komunis Laos berada di bawah pengaruh Vietnam, mengingat para anggota awal Partai Komunis Indocina adalah mereka yang masih memiliki darah Vietnam atau menikah dengan orang Vietnam.
Itu sebabnya ketika Partai Revolusioner Rakyat Laos (PRRL) terbentuk pada 1955, hanya Kayson Phomvihane dan Nuhak Phumsavan yang memiliki “hubungan” dengan Vietnam. Jika Phomvihane berayahkan seorang imigran asal Vietnam, Phumsavan menikah dengan perempuan Vietnam. Sisanya, semua anggota Politbiro partai adalah orang Laos. Taktik ini mulai menampakkan hasil di pertengahan dekade 1960-an, ketika sentimen anti-Vietnam yang dimainkan sejak awal oleh Kerajaan Laos mulai meredup dan sebaliknya dukungan terhadap Pathet Lao semakin membesar.
Sentimen anti-Vietnam sejak awal menjadi kartu andalan pihak Kerajaan Laos. Mereka selalu menuduh dan memainkan sentimen negatif yang utamanya menyasar kelompok-kelompok minoritas di Louang Phabang dan sekitarnya. Bahwa Pathet Lao dan PRRL hanyalah sekedar boneka Vietnam dan sama sekali tidak sedang berjuang untuk Laos. Dalam propagandanya, Pathet Lao dituduh tidak lebih dari mitra penyeludup yang bekerja untuk mendistribusikan amunisi dan logistik pendukung lain dalam kampanye Vietnam Utara merebut Vietnam bagian selatan dari tangan Amerika Serikat dan loyalis mereka.
Tuduhan yang kurang tepat karena memiliki kesalahan mendasar.
Pandangan sempit semacam ini gagal melihat semangat internasionalisme dalam gerakan komunisme. Bahwa apa yang diperjuangkan oleh komunis Vietnam dan komunis Laos tidak jauh berbeda. Yaitu untuk mengusir Prancis dari Indocina dan membangun masyarakat sosialis. Sehingga solidaritas antar proletariat di tiap negara yang sedang mengobarkan perang terhadap kolonialisme adalah sebuah keharusan. Lagipula, untuk menghadapi Kerajaan Laos yang didukung Prancis, Amerika Serikat dan Thailand, Pathet Lao tentu harus mencari sekutu untuk memastikan kemenangan mereka.
Akar meletusnya insurgensi etnis Hmong menentang PRRL dan Pathet Lao sebenarnya dapat dilacak saat masa pendudukan Prancis. Kolonial Prancis berhasil mengorganisir sentimen orang-orang Hmong yang selama bertahun-tahun sebelum kedatangan penjajah, diperlakukan diskriminatif oleh orang-orang Louang Phabang. Untuk mendapatkan dukungan dari etnis Hmong dan kelompok minoritas lain yang mendiami pegunungan utara, Prancis mengkampanyekan “platform kesetaraan”. Itu mengapa banyak orang-orang Hmong yang menilai bahwa Prancis memperlakukan mereka sederajat atau bahkan lebih baik dari orang-orang Lao pendukung Kerajaan Louang Phabang yang menentang penjajahan.
Yang luput disadari, bahwa kesetaraan di depan penjajah hanya mungkin jika semua orang adalah budak. Sebab tidak ada budak yang lebih baik dari budak yang lain.
Dukungan Hmong terhadap Prancis memang sangat strategis di masa itu. Apalagi saat itu, cengkraman mereka sedang terancam di Vietnam bagian utara dengan menguatnya gerakan pembebasan nasional yang dikomandani Nguyen Sinh Cung. Memenangkan wilayah pegunungan utara Laos yang berbatasan dengan Vietnam dalam kacamata militer berarti adalah memenangkan pos pertahanan yang dapat digunakan untuk meredam gelombang komunisme yang datang dari utara.
Menurut Vatthana Pholsena dalam The early years of the Lao Revolution (1945-1949): Between history, myth and experience, diterbitkan oleh South East Asia Research (2006), hal tersebut menjadi alasan mengapa Pathet Lao menempatkan upaya untuk memenangkan dukungan etnis-etnis minoritas di Louang Phabang dan sekitarnya sebagai salah satu prioritas utama di masa-masa awal perjuangan pembebasan Laos. Terutama juga sebagai upaya untuk memuluskan jalur transportasi senjata dan tentara serta logistik perang semasa pembebasan Vietnam bagian selatan. Di kemudian hari, perlintasan logistik di pegunungan utara ini dikenal sebagai “jalur Ho Chi Minh”. Ini adalah jalur legendaris karena memainkan peran penting dalam mendukung suksesnya pengambilalihan Sai Gon dan merontokkan kolonialisme Prancis dan Amerika Serikat di Vietnam selatan.
Louang Phabang dan orang-orang Hmong memang mengalami periode yang sulit semasa periode perang sipil yang berlangsung dari 1953 hingga 1975.
Diawali dengan serangan Tentara Rakyat Vietnam (TRV) pada April 1953 ke daerah bagian timur laut yang tak jauh dari Louang Phabang. Sekitar 40.000 pasukan di bawah pimpinan Jendral Vo Nguyen Giap membuka jalan bagi 2.000 tentara Pathet yang dipimpin oleh Keyson Souphanouvong. Tujuannya tidak lain adalah untuk membebaskan Louang Phabang dari cengkraman Prancis sekaligus mengamankan Plain of Jars. Meskipun sebenarnya, deklarasi perang resmi dari Pathet Lao terhadap Kerajaan Laos baru diumumkan pada 9 November tahun itu, sekaligus menandai dimulainya Perang Kedua Indocina.
Kerajaan Laos saat itu berkekuatan sekitar 10.000 tentara reguler ditambah 3.000 pasukan Prancis.
Setelah upaya pertama gagal karena faktor cuaca dan solidnya pertahanan udara Prancis, TRV dan Pathet Lao kembali melakukan dua percobaan militer pada Januari 1954 untuk mengambil alih Thakhek dan Louang Phabang. Kali ini, TRV dan Pathet Lao berhasil mengalahkan Prancis dan pasukan Kerajaan Laos di Dien Bien Phu. Akibat langsungnya adalah kendornya pertahanan Louang Phabang yang memaksa mereka mundur. Vang Pao muda adalah salah satu orang yang terpaksa ikut mengungsi karena kekalahan di Dien Bien Phu yang sekaligus menandai berakhirnya Perang Indocina Pertama.
Kekalahan itu berhasil memaksa Prancis untuk melakukan perundingan dengan Pathet Lao. Pakta perdamaian ini ditandatangani pada 20 Juli, sekaligus menjadi marka berakhirnya kekuasaan kolonialisme Prancis di Laos. Pada bulan September, Vietnam Utara membentuk milisi pendukung Pathet Lao yang terdiri dari tentara-tentara komunis dalam TRV yang ditugaskan untuk berperang dengan kamerad Laos mereka. Basis militer mereka mengambil tempat di Ban Nameo yang berada di timur laut, tak jauh dari Louang Phabang.
Perjanjian 20 Juli 1954 dan penarikan mundur kekuataan militer Prancis per 1 Agustus tahun itu, berujung pada pengumuman kemerdekaan penuh negara-negara koloni mereka di Indocina, seperti Vietnam Utara, Vietnam Selatan, Kamboja dan tentu saja Laos. Meskipun resmi menarik diri secara politik, Prancis tetap mempertahankan dua basis militer mereka di Laos dengan alasan sebagai penasehat dan pendamping bagi militer Kerajaan Laos yang masih seumur jagung. Atas saran dari Prancis, di tahun 1955, pasukan Kerajaan Laos melakukan mobilisasi menuju Sam Neua dan Phong Saly. Tindakan ini memicu kemarahan Pathet Lao yang berujung pada keputusan kelompok komunis untuk memboikot pemilu di tahun tersebut. Alasan lain adalah kecurigaan bahwa sistem pemilu dengan sengaja dimanipulasi demi melanggengkan Souvanna Phouma di kursi Perdana Menteri.
Ketidakikutsertaan Pathet Lao dalam Pemilu 1955 membuka jalan lebar bagi Phouma. Pada 21 Maret 1956, ia resmi menjabat kembali sebagai Perdana Menteri sekaligus mengumumkan rencana untuk melakukan gencatan senjata dengan kelompok komunis. Phouma juga mengajak agar para komunis bergabung dalam pemerintahan dan mengintegrasikan basis-basis mereka ke dalam tata administrasi Kerajaan Laos. Usul soal integrasi diterima oleh Pathet Lao, tapi mereka menolak menyerahkan kekuasaan di daerah-derah dan menuntut hak untuk dapat menjalankan pemerintahan.
Perbedaan ini memicu ketegangan militer.
Di bulan Maret 1957, Tentara Kerajaan Laos dengan bantuan Prancis dan Amerika Serikat secara diam-diam mulai mempersenjatai para gerilyawan Hmong. Tujuannya agar ketika terjadi perang sipil yang diprediksi akan meletus dalam waktu dekat, Tentara Kerajaan Laos akan mendapatkan dukungan dari kelompok-kelompok etnis minoritas. Sementara di sisi lain, Pathet Lao juga tidak tinggal diam dan mulai melakukan kampanye militer untuk membentuk sembilan batalyon pasukan. Prajurit-prajurit terbaik dari para rekrutan baru ini lalu dikirim untuk belajar dan mengikuti pelatihan di Vietnam Utara.
Namun pada November 1957, di tengah semua ketegangan dan saling curiga, sebuah pemerintahan koalisi berhasil dibentuk. Pathet Lao juga ikut bergabung di dalamnya. Pemerintahan koalisi ini kemudian menjadwalkan perhelatan pemilu di tahun sesudahnya.
Pemilu 1957 adalah pemilihan pertama yang diikuti oleh Pathet Lao dan kelompok komunis lain. Dengan slogan “satu suara ke kanan, satu suara ke kiri, demi mencegah perang sipil.
Hasil rekapitulasi pemilu setahun sesudahnya menunjukkan bahwa kelompok komunis berhasil mendapatkan dukungan signifikan. Sekitar sepertiga dari total pemilih berhasil diraup Pathet Lao dan koalisi. Dari 13 dari 21 kursi yang diperebutkan pada Pemilu 1957 berhasil diamankan. Total, mereka berhasil mengamankan 16 dari 59 posisi di Majelis Nasional. Simpatisan komunis lain yang berkompetisi melalui jalur independen juga berhasil meraup 10 kursi. Jumlah tersebut lebih dari cukup untuk menggagalkan upaya Souvanna untuk membentuk pemerintahan koalisi yang mensyaratkan minimal 40 kursi di Majelis Nasional.
Sikap oposisi dari Pathet Lao dan kelompok pendukungnya membuat berang Amerika Serikat. Ujungnya adalah keputusan untuk memboikot bantuan yang diberikan selama ini. Penghentian bantuan juga dimaksudkan untuk mencegah devaluasi Kip, mata uang nasional Laos. Namun Amerika Serikat sebenarnya menutup mata terhadap fakta bahwa bantuan mereka selama itu dikorupsi oleh para pejabat yang mengatasnamakan koalisi. Belum lagi menyoal bungkamnya Paman Sam terhadap keputusan Majelis Nasional untuk memberikan kekuasaan secara ilegal kepada Phuy Xananikon dan menunjuknya sebagai Perdana Menteri di bulan Agustus. Hal ini disebabkan karena Amerika Serikat mendapatkan keuntungan langsung dari pengangkatan Xananikon. Ia mengangkat tujuh orang pro-AS sebagai anggota Komite Pertahanan dan Perlindungan Aset-aset Nasional yang bukan merupakan anggota Majelis Nasional. Hal ini melanggar regulasi karena mensyaratkan para pejabat Komite Pertahanan dan Perlindungan Aset-aset Nasional seharusnya diangkat dari antara anggota Majelis Nasional yang dipilih melalui pemilu.
Pada Mei 1959, rencana mengintegrasikan 1.500 pasukan Pathet Lao ke dalam Pasukan Kerajaan Laos menemui titik buntu. Hal ini disebabkan oleh intervensi Amerika Serikat yang mengancam akan menghentikan bantuan mereka jika hal tersebut dipaksakan. Intervensi tersebut dijawab oleh Souphanouvong dengan memerintahkan kombatan Pathet Lao untuk menolak penggabungan. Sekitar dua batalyon Pathet Lao kemudian memasuki hutan sebagai sinyal akan dimulainya perang gerilya rakyat. Pada 28 Juli, bersama dengan TPRV, Pathet Lao mulai menyerang daerah-daerah yang dikuasai Pasukan Kerajaan Laos di sepanjang perbatasan Laos-Vietnam. Daerah-daerah ini sebagian besar adalah wilayah yang dihuni etnis-etnis minoritas.
Serangan-serangan ini sukses karena keunggulan strategi perang dan penguasaan medan gerilya meski kelompok komunis kalah secara kuantitas.
Aksi militer Pathet Lao membuat Xananikon akhirnya digantikan oleh Tiao Samsanith, seorang pendukung Amerika Serikat. Namun tidak lama berselang, tepatnya pada 9 Agustus 1960, Kapten Kong Le dan pasukan khususnya sukses melancarkan kudeta. Mereka berhasil mengambil alih Vientiane saat Perdana Menteri bersama para pejabat utama pemerintahan dan perwira tinggi militer sedang mengikuti pertemuan di Louang Phabang. Kong Le menegaskan bahwa kudeta tersebut untuk mengakhiri pertikaian politik di dalam negeri, memberantas korupsi bantuan luar negeri dan mengakhiri intervensi asing di Laos.
Kudeta tersebut membuat CIA segera merumuskan rencana untuk melakukan kudeta balasan. Sosok yang didorong adalah Jendral Phoumi Nosavan, yang merupakan saudara sepupu Perdana Menteri Thailand saat itu, Sari Thanarat. Operasi ini dinamakan Kaw Taw. Operasi rahasia ini untuk mengimbangi dukungan resmi Amerika Serikat terhadap rezim Samsanith yang juga didukung oleh Prancis dan Inggris.
Pada 13 Desember 1960, Jendral Nosavan memulai kampanye tiga hari pengeboman Vientiane untuk mengakhiri kekuasaan Kong Le. Aksi militer tersebut berhasil memaksa Kong Le untuk mundur ke arah timur laut Laos, di sekitar Louang Phabang. Sukses Nosavan memukul mundur Kong Le juga menjadi alasan di balik keputusan Kong Le dan para pengikutnya untuk membangun aliansi dengan Pathet Lao. Sikap ini diumumkan secara resmi pada 23 Desember tahun itu.
Perang antara kelompok komunis melawan Tentara Kerajaan Laos mulai meletus pada 1 Januari 1961. Sekitar 9.000 pasukan Tentara Kerajaan Laos berhasil dipukul mundur kombatan gabungan Pathet Lao, pengikut Kong Le dan TPRV. Vietnam sendiri mengirimkan satu brigade berkekuatan penuh untuk membantu Pathet Lo. Sementara Tentara Kerajaan Laos mendapatkan dukungan dari sekitar 7.000 gerilyawan Hmong yang dilatih oleh Amerika Serikat.
Meski begitu, tanda-tanda kekalahan Kerajaan Laos yang didukung Amerika Serikat dan Eropa sudah mulai tampak di tahun itu. Salah satu marka utamanya adalah ketika 3.000 Tentara Kerajaan Laos memilih meletakkan senjata dan melarikan diri ketimbang menghadapi pertempuran dengan para komunis di luar kota Louang Phabang. Meninggalkan para gerilyawan anti-komunis Hmong sebagai satu-satunya kekuatan yang tersisa.
Di awal Juni, Vang Pao yang terdesak di Ban Padong terpaksa menarik mundur pasukannnya ke arah Long Tieng.
Ia kemudian, dengan bantuan CIA dan Thailand, mulai kembali menata kekuatannya dengan merekrut lebih banyak lagi orang-orang Hmong dan etnis minoritas lain untuk bergabung dalam kampanye militer anti-komunis mereka. Hanya dalam jangka waktu setahun, sekitar 9.000 orang berhasil direkrut. Mayoritas berlatar belakang Hmong dan sebagian lagi berasal dari etnis Yao atau Theung. Mereka diharuskan menjalani delapan minggu pelatihan dan beberapa bulan pendidikan lapangan yang mencakup operasi-operasi gerilya penyergapan. Mereka mendapatkan asupan senjata dari Amerika Serikat yang diseludupkan melalui udara dari perbatasan Thailand. Beberapa kompi dari kelompok ini bahkan dikirim ke Hua Hin, Thailand, untuk menjalani pelatihan lanjutan. Para kombatan anti-komunis baru ini kemudian dipecah ke dalam grup yang lebih kecil yang maksimal beranggotakan 100 orang. Kelompok-kelompok ini dikenal dengan nama Unit-unit Khusus Gerilya.
Mereka kemudian bertugas menyerang jalur logistik darat yang digunakan oleh TPRV untuk mendukung Pathet Lao yang berada di perbatasan kedua negara. Juga untuk menyerang pos-pos pertahanan pasukan komunis yang ditugaskan di wilayah-wilayah yang telah dibebaskan dari kekuasaan Tentara Kerajaan Laos. Kombatan-kombatan Hmong dan etnis minoritas ini bertempur dengan gagah berani meski sekutu utama mereka, yakni Tentara Kerajaan Laos justru dapat dengan mudah dipukul mundur oleh Pathet Laos.
Sayangnya, hal ini memiliki dampak buruk bagi komunitas-komunitas etnis minoritas di kantong-kantong pendudukan kelompok komunis. Sepanjang 1963-1965 saja, diperkirakan sekitar 15.000 orang Hmong menjadi korban perang. Terutama adalah perempuan dan anak-anak, yang memiliki relasi keluarga dengan para kombatan anti-komunis.
Setelah kemenangan Pathet Lao di tahun 1975, masa sulit kombatan-kombatan anti-komunis Hmong tidak langsung berakhir. Mereka diharuskan menghadapi akibat atas keberpihakan mereka kepada Amerika Serikat dan penentangan terhadap komunisme. Yang luput diprediksi gerilyawan kebanyakan adalah fakta bahwa Paman Sam sebagai sekutu tidak pernah mempersiapkan diri akan konsekuensi ini. Bahwa yang termasuk dalam daftar untuk diungsikan adalah mereka yang menjadi tokoh-tokoh kunci perlawanan terhadap Pathet Lao.
Itu mengapa, di akhir petualangan dan intervensi politik tersebut hanya satu agen CIA bernama Jerry Daniels dan satu pesawat yang tersisa. Misi utama Daniels adalah menyelamatkan Jendral Vang Pao dan keluarganya. Juga 3000 orang lain beserta keluarga mereka yang dianggap berada dalam daftar atas buruan Pathet Lao. Mereka diburu waktu setelah Pathet Lao mengumumkan rencana untuk mengadili para loyalis anti-komunis melalui koran partai pada 9 Mei 1975.
Skenarionya pelarian ini akan dimulai dari Long Tien menuju Thailand, sekutu loyal Amerika Serikat di Asia Tenggara. Dari Bangkok, rencana evakuasi ini dikomandani Brigadir Jendral Heinie Aderhold yang mengirimkan tiga pesawat lain untuk membantu Daniels. Pada 13 Mei, evakuasi mulai dilakukan. Setiap hari, tiap pesawat akan melakukan empat kali penerbangan dengan mengangkut sekitar 65 orang tiap kali berangkat. Dua kali lipat dari jumlah penumpang maksimal menurut aturan keselamatan penerbangan. Tujuannya adalah Udon Thani.
Namun hal tersebut tidak mencegah puluhan ribu orang-orang Hmong lain untuk berkumpul di Long Tien, seperti punguk merindukan bulan.
Kepanikan massal, ketidakjelasan informasi serta rasa waswas akan balas dendam Pathet Lao membuat situasi di Long Tien memburuk. Para kombatan anti-komunis Hmong yang bertempur di garis depan merasa dikhianati oleh Vang Pao dan CIA. Frustasi inilah yang mendorong sekitar 40.000 orang berjalan kaki menyusuri hutan dengan kondisi buruk, lalu menyeberang sungai Mekong yang penuh bahaya menuju Thailand. Tujuan mereka adalah kamp-kamp pengungsian yang didirikan oleh Thailand dengan dukungan pendanaan dari Amerika Serikat. Sepanjang perjalanan, banyak yang meninggal karena kelaparan, sakit penyakit atau tenggelam di sungai Mekong.
Vang Pao sendiri berhasil melarikan diri ke Montana, Amerika Serikat. Sebelum akhirnya terpaksa kembali ke Thailand sebagai bentuk pertanggungjawaban terhadap para pengungsi Hmong.
Sebagian besar dari mereka yang menjalani masa sulit di pengungsian Thailand kemudian berhasil mendapatkan suaka di Amerika Serikat, Kanada, atau Prancis. Hingga tahun 1982, diperkirakan ada sekitar 60.000 orang-orang Hmong dan etnis minoritas lain yang meninggalkan bagian utara Laos dan menjadi warga negara di Amerika Serikat. Belum terhitung ribuan lain yang kini berada di Eropa, enggan kembali ke Laos dan mungkin kini sedang menyesap espresso di kedai-kedai kopi yang bertebaran di sudut-sudut metropolitan benua biru.
Itu mengapa sembari mengingat masa lalu kota ini, saya memesan segelas espresso sebagai kawan menghabiskan waktu. Menunggu waktu berlalu sembari berleha-leha di Louang Phabang. Kota ini bagi saya adalah representasi bagaimana kehidupan urban adalah ambiguitas yang dirayakan dengan congkak. Persis seperti masa lampau Louang Phabang dan komunisme yang kini tenggelam di balik brosur turisme dan keriuhan turis-turis berkulit pucat dari negeri-negeri beku di utara.(*)
Editor: Denni Pinontoan