ECONEWS
Evenaar, Puake, Tak Disangke
Published
6 years agoon
By
philipsmarx31 Maret 2019
Oleh: Daniel Kaligis
Sampan laju dari hile’ sampai ke hulu. Ekor naga melingkar muara Sungai Sekayam, kepalanya di Pancur Aji, di tikung Sungai Kapuas.
BERLAYAR JAUH nun di sana, pulau-pulau bergunung-api di Samudra Atlantik, sebelah utara-barat lepas pantai Gabon. Sao Tome, dan Principe dieja nama salah satu negeri di Evenaar, dan negara terkecil di Afrika.
Ke sana menyusuri garis belah bumi, ke jazirah subur. Lokasi itu pernah jadi produsen gula terbesar dunia abad dua puluh. Kini kopi lebih populer ditanam di koloni Angola, Mozambik, Tanjung Verde.
Menyeberang kemari, mencari kisah Evenaar di tanah sendiri.
Dari koordinat 0°0′N 6°31′E di Ilhéu das Rolas, kita mendayung ke koordinat 0°0′N 109°9′E, Pontianak, Kalimantan. Di situ tinjau kita, sebab ‘katanya’, saban 31 Maret sejak 1928 ada ‘pesta’ di situ.
Tahun 1778, dari Batavia, Belanda tuju Pontianak. Kedatangan mereka dipimpin Willem Ardinpola. Belanda saat itu menempati daerah di seberang istana kesultanan, Tanah Seribu, dikenal sebagai Verkendepaal.
Tugu Khatulistiwa di Jalan Khatulistiwa
Tahun 1928 datang di Pontianak satu tim ekspedisi internasional dipimpin ahli geografi berkebangsaan Belanda untuk menentukan tonggak equator, dalam bahasa Belandanya disebut Evenaar. Tugu itu kemudian dua kali dipugar, yakni pada 1930 dan 1938, tonggak asli masih ada pada bagian dalam.
Tonggak Evenaar kemudian lebih dikenal sebagai Tugu Khatulistiwa. Medio 1990 – 1991 tugu dibikin permanen, sebuah bangunan pelindung berbentuk kubah diresmikan Gubernur Kalimantan Barat, Parjoko Suryo Kusomo, pada 21 September 1991.
Di sana diberi keterangan simbol berupa anak panah penunjuk utara – selatan, lintang 0°. Keterangan simbol berupa plat lingkaran yang bertuliskan Evenaar . Sedangkan plat di bawah arah panah tertulis 109° 20’0’’OlvGR, artinya garis khatulistiwa di Kota Pontianak bertepatan dengan 109° bujur timur 20 menit 00 detik Greenwich Mean Time.
Namun, rupanya tonggak yang ditandai tim ekspedisi internasional dipimpin ahli geografi Belanda, dan sudah menjadi bangunan permanen, setelah diteliti ulang oleh tim Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) pada Maret 2005, titik itu dikoreksi.
Tim BPPT menggunakan metode terestrial dan ekstraterestrial – global positioning system dan stake-out titik nol garis khatulistiwa. Hasil pengukuran menunjukkan, posisi tepat Tugu Khatulistiwa saat ini berada pada 0 derajat, 0 menit, 3,809 detik lintang utara; dan, 109°, 19 menit, 19,9 detik bujur timur.
Sementara, posisi 0°, 0 menit dan 0 detik ternyata melewati taman atau tepatnya 117 meter ke arah Sungai Kapuas dari arah tugu. Di tempat itulah diberi patok pipa PVC dan belahan garis barat – timur ditandai tali rafia.
Mengenai posisi yang tertera dalam tugu 0°, 0 menit dan 0 detik lintang, 109° 20 menit, 0 detik bujur timur, berdasarkan hasil pelacakan tim BPPT, titik itu terletak 1,2 kilometer dari Tugu Khatulistiwa, tepatnya di belakang sebuah rumah di Jl Sungai Selamat, kelurahan Siantan Hilir.
‘Pesta’ yang saya sebut terjadi pada koordinat 0°0′N 109°9′E saban tahun, adalah perayaan peristiwa kulminasi matahari. Peristiwa alam ketika matahari tepat berada pada titik equator, hingga menghilangkan bayangan benda. ‘Pesta’ menghasilkan gaya grafitasi yang kuat, membikin telur unggas boleh tegak berdiri. Kulminasi matahari terjadi setahun dua kali, yakni antara 21 – 23 Maret dan 21 – 23 September.
Kulminasi matahari disebut juga sebagai equinox. Antara equinox Maret dan September, latitud bagian utara bumi menuju matahari yang dikenal sebagai tropic of cancer, bagian bumi paling utara di mana matahari dapat berada tepat di atas kepala. bagian selatan bumi terjadi antara equinox september dan maret dinamakan tropic of capricorn.
Terkait ‘pesta’ tahun ini, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) memberikan edukasi keantariksaan bagi masyarakat dan wisawatan yang hadir dalam festival di Pontianak. Kulminasi matahari di kota Pontianak tahun ini terjadi pada pukul 11.50 WIB.
Puake, Kuntilanak dan Meriam Karbit
Pontianak punya cerita di mana sungai terpanjang Indonesia mengalir seribu seratus empat puluh tiga kilometer, Kapuas.
Pada situs pemerintah Pontianak, menyebut yang mana Kota Pontianak didirikan Syarif Abdurrahman Alkadrie pada Rabu, 23 Oktober 1771. Ia membuka hutan di persimpangan Sungai Landak, Sungai Kapuas Kecil, dan Sungai Kapuas Besar untuk mendirikan balai dan rumah. Tahun 1778, ia dikukuhkan jadi Sultan Pontianak.
Tafsir lain menyebut Pontianak diambil dari nama pohon punti, bermakna pohon tinggi.
Pontianak juga adalah gerbang Sungai Kapuas dan Sungai Landak, sehingga ada yang bilang nama Pontianak diambil dari kata itu, ‘pintu’ dan ‘anak’.
Saya lebih mengenal Kalimantan Barat dari cerita ayah. Di masa remaja, ayah pernah bermukim di sana. Dua cerita yang masih saya ingat persis adalah tentang sungai dan kuntilanak.
Ayah berkisah tentang Hakka, yakni kelompok Tionghoa Han terakhir bermigrasi ke selatan dari Tiongkok Utara secara bertahap sejak abad keempat dikarenakan bencana alam, perang, dan konflik, mereka juga datang ke pesisir Kapuas yang kala itu disebut Khun Tien.
Sungai Kapuas berhulu di Putussibau, terhampar membelah Kalimantan Barat, menusur Sintang, Sekadau, Sanggau, dan Pontianak. Ingatan tentang sungai selalu dekat, sebab ayah yang mengajari saya berenang, dia memberi banyak pengetahuan bagaimana mengenali arus air, mengajari saya mengidentifikasi jenis ikan, cara-cara menangkap ikan dengan berbagai alat tradisional. Dia juga berkisah tentang tingkah anak-anak di sepanjang Kapuas, cerita tentang penjual ikan.
Dari ayah juga saya mengenal istilah puake dan kuntilanak.
“Sekali waktu, hampir pagi, kami sementara jaga di pos, tiba-tiba ada bayangan putih di luar pagar. Ayah datangi bayangan itu, dan hendak memenggalnya dengan pedang, tetapi tangan dan pergelangan menjadi kaku. Untung saja teman yang di pos ikut dari belakang dan menarik ayah yang sudah tersugesti dan berada pada kondisi antara sadar dan tidak sadar.” Seperti itu ayah menggambarkan pengalamannya hendak memenggal kuntilanak.
Ini cerita yang sudah lama sekali. Masyarakat sekitar sungai mengenal puake adalah ular raksasa. Menurut tutur, ekor puake ada di muara Sekayam, kepalanya berada di Pancur Aji, di tikungan sungai Kapuas. Manakala air pasang di Pancur Aji, maka akan ada pusaran air besar karena si puake menggeliat di bawah air menyebabkan arus kian deras. “Torang sandiri nyanda pernah lia bagimana depe bentuk, maar orang-orang di sana tau puake penjaga sungai,” ujar ayah pada saya, ketika saya masih di sekolah dasar, bertahun silam.
Masyarakat mengenal puake sebagai penunggu sungai, hidup pada kerajaan gaib bawah air.
Sungai Kapuas terkenal dengan keragaman jenis ikannya. Borneo Channel menyebut ada tujuh ratus jenis ikan air tawar dengan sekitar dua belas jenis ikan langka dan empat puluh jenis lainnya terancam punah.
“Sungai Kapuas layaknya surga bagi para pemancing di samping jenis ikan yang banyak, di sungai ini masih banyak di huni ikan-ikan berukuran besar, seperti ikan tapah, snakehead, gurame, patin, dan lainnya,” demikian ditulis di Borneo Channel.
Di buku Borneos Wester Afdeling, V.J. Verth, menyebut, Belanda masuk Pontianak tahun 1773. Mereka datang dari Batavia.
V.J. Verth adalah sejarawan Belanda. Dia menulis tentang orang yang terkait dengan sejarah Pontianak, yakni Syarif Abdurrahman. Dikisahkan Syarif Abdurrahman adalah anak Syarif Hussein bin Ahmed Alqadrie dari Kerajaan Mempawah. Sekali waktu pergi merantau, dan di Banjarmasin, Syarif Abdurrahman menikah dengan adik Sultan Banjar Sunan Nata Alam dan dilantik sebagai pangeran.
Syarif Abdurrahman berhasil dalam perniagaan, mengumpulkan cukup modal mempersenjatai kapal pencalang dan perahu lancangnya, kemudian ia mulai melakukan perlawanan terhadap Belanda.
Dengan bantuan Sultan Pasir, Syarif Abdurrahman kemudian berhasil membajak kapal Belanda di dekat Bangka, juga kapal Inggris dan Prancis di Pelabuhan Pasir.
Syarif Abdurrahman menjadi kaya. Ia mendirikan pemukiman di sebuah pulau di Sungai Kapuas. Ia menemukan percabangan Sungai Landak dan kemudian mengembangkan daerah itu menjadi pusat perdagangan yang makmur. Wilayah inilah yang kini bernama Pontianak.
Kapuas adalah juga jalan para perompak.
Pontianak terkenal dengan mitos hantu perempuan, kuntilanak. Katanya, dari kuntilanak itu juga nama Pontianak diambil. Entahlah!
Sungai menghanyutkan berbagai materi dari hulu, membentuk delta. Hantu-hantu bersarang di hutan, berkeriap dari rimba menempati delta dan sudut-sudut sunyi. Perompak juga bersembunyi di sana, di hutan, di delta.
Adakah kuntilanak? Perompak menyerang tidak ditulis, hanya ada dalam tutur bahwa mereka menakut-nakuti warga dengan manipulasi suara aneh.
Syarif Abdurrahman dianggap berjasa mengusir perompak. Masyarakat memperingati itu dengan festival meriam karbit. Di masa lalu Syarif Abdurrahman melakukan hal sama, ketika mengusir perompak dalam kegiatan dia membuka lahan Sungai Kapuas, meriam ditembakan.
Tak Disangke
Kesultanan Banjar menyebutnya Sungai Kapuas sebagai Batang Lawai, mengacu pada nama daerah Lawie atau Lawai, sekarang adalah wilayah Melawi. Aliran dari kabupaten Melawi hingga muaranya di sekitar kota Pontianak disebut Batang Lawai.
Sungai Kapuas punye cerite, katanya. Lagu rakyat dicipta Paul Putra Frederick dan Yan. G, Aek Kapuas: Hei sampan laju | Sampan laju dari ilir sampai ke hulu | Sungai Kapuas | Sunggoh panjang dari dolo’ membelah kote | Hei tak disangke | Tak disangke dolo’ utan menjadi kote.
Tembang menjadi cerita lara, hei perahu yang melaju, perahu melaju dari hilir hingga hulu Sungai Kapuas. Sungguh panjang dari dulu membelah kota, hei tidak disangka, tidak disangka dulu hutan menjadi kota.
Apalah berita, Sungai Kapuas telah tercemar logam berat dan berbagai jenis bahan kimia, akibat aktivitas penambangan emas dan perak di bagian tengah sungai. Sungai Kapuas dari dulu sudah jadi area pertambangan emas, dan aktivitas itu masih berlangsung sampai sekarang.
Penelitian yang dilakukan Fakultas MIPA Universitas Tanjungpura, Pontianak, pertengahan 2008 di hulu Sungai Kapuas, di Kabupaten Sintang dan Sekadau, menemukan bahwa secara kimiawi dan biologis, sungai sudah tercemar.
“Dekan Fakultas MIPA Universitas Tanjungpura Thamrin Usman mengungkapkan, hasil penelitian di Sekadau menemukan kandungan merkuri (Hg) mencapai 0,2 parts per billion, dua kali lipat di atas ambang batas normal. Penelitian di Kabupaten Sintang menemukan kandungan Hg hingga 0,4 parts per billion. Dia yakin, pencemaran seperti itu di hulu pasti berdampak ke hilir,” demikian ditulis Kompas, 17 September 2008.
April tahun lalu, barisan pendemo berjejal di depan gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kapuas Hulu, mereka mendakwa perlakuan aparat yang menangkap kawan penambang dan menyita alat-alat yang mereka gunakan untuk aktivitas bertambang.
Antara kebutuhan hidup, harapan beroleh uang lebih besar dan cepat. Hutan dan alam jadi sasaran.
Nelayan dan penangkap ikan tradisional ada di Sungai Kapuas. Sungai Kapuas tetap jadi urat nadi bagi kehidupan masyarakat, terutama bagi orang-orang Dayak dan orang-orang Melayu di sepanjang aliran sungai.
Sungai Kapuas adalah juga sarana transportasi murah. Sungai ini menghubungkan daerah satu ke daerah lain, dari pesisir Kalimantan Barat sampai ke daerah pedalaman Putussibau di hulu.
Bagaimana kondisi hutan dan alam di Pontianak dan Kalimantan Barat? Pada dua tahun silam, penyelenggara kuasa Kalimantan Barat menyatakan bahwa mereka sedang menertibkan pengguna kawasan hutan dan meningkatkan pemanfaatan kawasan hutan, mengupayakan daya dukung daerah aliran sungai dan produktivitas lahan krisis di dalam dan di luar kawasan hutan.
Perkara lama dan masih tetap berlangsung sampai hari ini. Mari kita sorot!
Perwakilan Lembaga Swadaya Masyarakat di Kalimantan Barat sudah pernah mendesak pemerintah untuk bertindak tegas atas alih fungsi hutan oleh sejumlah perusahaan, karena pengalihan itu selain illegal, juga telah menimbulkan banyak persoalan di masyarakat.
Medio 2011, Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Kalimantan Barat, mendiang Surjani Alloy menunding rencana perubahan kawasan hutan di Kalimantan Barat sebagai kepentingan para penguasa dan pengusaha sawit dan tambang.
“Masyarakat di pedalaman akan makin tersingkir dari tanahnya sendiri. Lihat saja Kalimantan Barat sekarang, hampir semua kabupaten dan kota tenggelam banjir,” tulis wartawan Tempo, Harry Daya, pada 16 Februari 2011.
Kajian media dan data dari Kementerian Kehutanan, menyangkut lahan dan sumberdaya hutan terkait kerusakan lingkungan komulatif selama berlangsungnya otonomi daerah, di empat provinsi di Kalimantan diperkirakan terjadi kerugian senilai 241 triliun rupiah akibat pembabatan hutan.
Pada 2014, Koalisi Masyarakat Sipil Kalimantan Barat, diwakili Anton P. Widjaya – Walhi Kalimantan Barat, Joko Waluyo – Sampan Kalimantan, Matheus Pilin – Perkumpulan Pancur Kasih, S. Masiun – AMAN Kalimantan Barat, Hermayani – WWF Regional Kalimantan, dan M. Lutharif – Kontak Rakyat Borneo, kepada presiden menyampaikan kondisi Kalimantan Barat saat itu banyak ekspansi investasi industri skala besar berbasis hutan dan lahan. “Dari 14,6 juta hektar luas provinsi, ada 98 persen telah dibebani izin investasi,” demikian diberitakan Aseanty Pahlevi, penulis Mongabay.
Walau hutan tinggal sekian persen dari luas wilayah itu, mari kita coba disinggung tentang alih fungsi lahan dan pembakaran lahan karena tergoda ‘uang hasil sawit’. Padahal sebagaimana kita tahu bahwa karakter tanaman sawit monokultur. Dapat dipastikan alih fungsi hutan ke perkebunan sawit akan menghancurkan fungsi hutan dengan keragaman yang ada pada area yang sebelumnya adalah hutan dengan segala fungsi ekologis, sosial, budaya, ekonomi, dan lingkungan.
Bahwa memang iming-iming perkebunan sawit cukup menggiurkan. ‘Katanya’ untuk meningkatkan pembangunan daerah, dalam hal ini peningkatan pendapatan per kapita. Ada akses jalan dari perkebunan ke pusat kota yang dapat dimanfaatkan warga.
Walau, sudah pasti iming-iming itu ada bantahannya. Sawit bahkan ‘terdengar’ masuk dalam materi kampanye sebagai ‘potensi negara’. Data luas lahan sawit Kalimantan Barat pada tahun 2016 mencapai 1.312.517 hektar, yakni enam puluh empat persen dari total lahan yang ada, dari total area perkebunan seluas 2.050.152 hektar.
“Tahun 2014 total produksi CPO sudah mencapai 1.174.499 ton,” tulis OKEZONE.
Hutan terus digerus. Deutsche Welle, menulis berita miris, ‘Kalimantan Bakal Kehilangan 75 Persen Hutan Pada 2020’. Ini prediksi yang dirilis dari laporan tahunan World Wildlife Fund karena tingginya laju deforestasi. Situasi lingkungan di kalimantan itu dipublikasikan WWF Indonesia dan Malaysia.
“Dari sekitar 74 juta hektar hutan yang dimiliki Kalimantan, hanya 71 persen yang tersisa pada 2005. Sementara jumlahnya pada 2015 menyusut menjadi 55 persen. Jika laju penebangan hutan tidak berubah, Kalimantan diyakini akan kehilangan 6 juta hektar hutan hingga 2020, artinya hanya kurang dari sepertiga luas hutan yang tersisa,” seperti itu tertulis pada situs Deutsche Welle.
Februari tahun silam Fathurahman, di Banjarmasin Post menulis dampak pembalakan hutan di Kapuas. “Aksi perambahan kawasan hutan lindung di Sei Mentangai Kapuas Hulu, terus berlangsung. Yayasan Borneo Orangutan Survival yang selama ini menjaga kawasan tersebut, tidak berdaya ketika melihat ratusan orangutan berhamburan ke kebun warga.”
Diperkirakan ada sekitar tiga ribu ekor orangutan, penghuni Sei Mentangai Kapuas Hulu, terancam habitatnya karena pembalakan di sana.
Puake: Menjaga Peran dan Ingatan
Banyak cerita, boleh jadi tak sempat diramu sebagai kata untuk Pontianak. Ada yang hanyat, sisanya lapisan tanah gambut bekas endapan lumpur Sungai Kapuas masih seperti itu hingga hari ini.
Orang yang pergi ke titik Evenaar jangan-jangan hanya ingat siang dan malam yang terbagi secara rata walau tak pernah sama waktu yang kita gunakan. Mungkin masih tersisa bubur pedas, chai kwe, hekeng, hu ju, ie, ikan asam pedas, kaloci, keladi, kengci, kwetiau, ki cang, dan semua yang khas dari Kapuas.
Di sana lapisan tanah liat baru dicapai pada kedalaman 2,4 meter dari permukaan laut. Kota Pontianak termasuk beriklim tropis dengan suhu tinggi. Di sana juga soal hutan dan pertambangan jadi menggiurkan.
Disebut yang mana Pontianak dan Kalimantan Barat punya potensi pertambangan sangat luar biasa. Di sana ada bauksit, uranium yang belum dieksploitasi, ada jenis tambang yang lain dan belum dikelola maksimal.
Hutan sebagai sumberdaya alam kaya keanekaragaman membuat manusia memperebutkannya. Tak hanya para pengusaha, tetapi juga oleh penyelenggara kuasa negara.
Hal ini dibuktikan dengan tidak harmonis, dan tidak sinkronnya hukum dan kebijakan yang berlangsung pada tataran implementasi. Berikut tumpeng tindih perundang-undangan dan peta kebijakan tentang perkebunan, kehutanan, lingkungan, tata ruang, termasuk di dalamnya soal otonomi daerah yang lebih bernuansa sebagai ajang perebutan otoritas.
Penyelenggara kuasa mendua-hati dalam kebijakan, demikian pula dalan melakukan perlindungan, perencanaan, pengelolaan, pengawasan, penegakan hukum, dan pemulihan lokasi-lokasi kritis dan sisa-sisa bencana karena keteledoran tingkah manusia merampasi alam lingkungannya.
Masihkah ‘puake’ menjadi adab yang dijaga, mengawal sungai, menjaga lingkungan, dan menjaga ingatan pada sumberdaya yang harus terus dipelihara supaya bermanfaat bagi anak cucu kelak?
Atau biar saja? Kita nyanyikan tembang yang sudah meremang sebagai cerita lara, hei perahu yang melaju, perahu melaju dari hilir hingga hulu Sungai Kapuas. Sungguh panjang dari dulu membelah kota, hei tidak disangka, tidak disangka dulu hutan menjadi kota.
Strategi membangun hutan dan sumberdaya berkelanjutan dan berkeadilan untuk menjamin kelestarian sumberdaya yang ada di dalamnya, serta menunjang masyarakat yang ada di sekitarnya, masih wacana yang enggan ditindaklanjuti regulasi yang ketat dan dikawal oleh semua pihak yang ada di wilayah itu.
Interupsi kali ini adalah agar hutan dipulihkan, dan sungai selalu dijaga keberlanjutanya, agar alirnya masih membasah bumi, membasah jiwa gersang.
Pada koordinat 0°0′N 109°9′E dan sekitarnya yang sekian lama menyejarah, orang-orang datang dan pergi, menjadi ingatan bagi Indonesia di titik Evenaar, Pontianak mestinya terus ada dalam benak untuk perilaku yang tak semata enak. (*)