ESTORIE
Femmy Rorora, Dari Tondano ke Belanda
Published
6 years agoon
By
philipsmarx11 April 2019
Oleh: Denni Pinontoan
Perang telah membuat Femmy Rorora harus tersingkir dari tanah kelahirannya di Tondano, menjadi penyintas di masa perang, membesarkan anak-anak yang kelak di antara mereka ada yang menjadi penyanyi tersohor sejagad
PERANG membuat banyak orang harus tersingkir dari tanah kelahirannya. Seorang perempuan Minahasa, asal Tondano mengalami itu ketika Jepang menduduki Minahasa awal 1942. Dia adalah Femmy Rorora, ibunda Anneke Grönloh. Anneke adalah penyanyi Belanda tersohor berdarah Minahasa-Eropa.
Femmy menikah dengan Stephanus Bastiaan Grönloh. Stephanus adalah seorang tentara Belanda berpangkat Sersan Mayor. Ia lahir di Den Haag, Belanda pada 16 Januari 1919.
Ketika Jepang menduduki Minahasa, Stephanus adalah salah satu tentara Belanda yang ditawan oleh Jepang. Femmy dan anak mereka yang masih kecil, Anneke hidup di kamp tawanan sampai dibebaskan tahun 1949. Dari kamp tawanan di Fukuoka Jepang mereka pergi ke Belanda.
Femmy lahir di Tondano pada 12 September 1911. Ia dan Stephanus dikarunia dua orang anak perempuan, Anneke dan adiknya Femmy Tjula Grönloh yang lahir pada 8 Mar 1949 di Belanda (meninggal 23 Juni 2007 pada usia 58 tahun). Femmy Tjula juga adalah seorang penyanyi.
Di Belanda, Anneke menjadi penyanyi terkenal. Lagu-lagu yang dinyanyikannya, beberapa di antaranya berasal dari Minahasa, seperti “O Ina Ni Keke”, dan beberapa lagu berbahasa Melayu lainnya, seperti “Nina Bobo”. Anneke belajar lagu-lagu itu dari ibunya, Femmy, keke asal Tondano itu.
Pulang ke Kampung Kelahiran
Januari 1965, Femmy pulang ke Indonesia dan melanjutkan perjalanan ke kampung kelahirannya, Tondano. Sebelum ke Tondano, Femmy singgah di Jakarta.
Koran Het Vrije Volk edisi 19 Januari 1965 memberitakan, ketika di Jakarta Femmy sempat bertemu dan bahkan dijamu oleh Gubernur Jakarta, yang waktu itu dijabat oleh Henk Ngantung, juga seorang yang berasal dari Minahasa.
Ini adalah kedatangan pertama, sejak tahun 1949, ketika dia dan suaminya serta Anneke pergi ke Belanda. Ketika diwawancarai wartawan, Femmy menceritakan kesan-kesannya ketika pulang ke Tondano, kampung halamannya yang ia tinggalkan itu.
“Ya Tuhan, apa yang terjadi dengan Tondano? Masikah seperti dulu. Dulu ada rumah-rumah yang indah. Tapi semuanya menghilang setelah pemberontakan. Ada juga banyak kesedihan. Empat sepupu saya meninggal saat itu,” kata Femmy.
Ketika Femmy datang, pergolakan Permesta baru usai 3 tahun sebelumnya. Ada banyak yang berubah dibanding 20 tahun lalu, di saat dia masih remaja atau pemudi.
Pergolakan Permesta terjadi tahun 1958 sampai awal 1960-an. Perang saudara ini memporak-porandakan Minahasa.
“Saya pertama kali pergi ke saudari saya Stans. Dia sedang memotong bunga di taman,” tutur Femmy mengisahkan pengalamannya waktu pulang ke Tondano itu.
Ibu Femmy masih hidup, usianya 82 tahun waktu itu. Saudarinya, Stans lalu berkata kepada ibunya dengan suara yang gembira tapi dalam keterkejutan, “Ibu, Femmy ada di sini!”
Sang bunda tidak percaya. Dia tahu anaknya sedang berada di Belanda.
Lalu Femmy mendekati ibunya dan berbicara pelan dalam bahasa Tolour, “Ibu, aku benar-benar ada di sini.”
Mendengar suara itu, ibunya bahagia, lalu menangis terharu.Ini pertemuan dengan ibunya untuk pertama kali sejak 16 tahun dia berada di Belanda.
Femmy lalu berkata, “Jangan menangis, ayo tertawa.”
Lalu, perempuan tua itu berkata kepada Femmy, “Nak, kau sudah menjadi anak gemuk.”
Femmy hanya tersipu. Dialah yang paling gemuk di antara mereka semua.
Menyambut kedatangan Femmy, keluarga besarnya bikin pesta. Malam itu ramai orang-orang berkumpul di rumah ibunya. Mereka menyantap babi panggang sambil bercengkrama dan bacirita. Femmy menyebut nasi jaha, salah satu penganan khas Minahasa yang dibuat oleh keluarganya.
Puluhan orang berkumpul malam itu. Mereka bertanya kepada Femmy, “Bagaimana keadaan di Belanda? Apakah mereka punya kuda di sana? Haruskah kami memberi Anda beberapa kuda? “
“Itu tidak mungkin dimuat di pesawat” jawab Femmy
Mereka ingin tahu banyak hal tentang Belanda dari Femmy.
Kepada wartawan yang mewancarainya, Femmy berkata, keluarganya di Tondano, Minahasa punya banyak makanan. Pisang tumbuh di sepanjang jalan. Mereka memiliki beras, kelapa dan cengkeh, pala, dan apa saja.
“Mereka punya uang juga. Tetapi Anda tahu apa itu, sangat menyedihkan, mereka tidak dapat membeli apa pun untuk uang itu,” kata Femmy.
Tiga Minggu Femmy berada di Indonesia, termasuk di Tondano. Setelah itu kembali lagi ke Belanda. Di sana ia hidup di rumahnya.
Femmy juga berkisah, waktu dia pulang Tondano, kelurganya dan orang-orang lain, baik di Tondano, Rembokkem, Eris dan desa-desa lain, yang mendengar kemahsyuran Anneke, saling mengklaim tempat lahir anaknya itu. Masing-masing mengatakan, bahwa Anneke lahir di desa mereka.
“Tapi dia benar-benar orang Tondano. Aku mengatakan itu pada mereka,” kata Femmy.
Femmy berkata kepada wartawan, dia sangat mencintai kampung halamannya. Waktu itu dia berjanji untuk melakukan sesuatu bagi saudara-saudaranya di kampung halaman.
“Dengan apa yang telah saya lihat di Belanda, saya dapat membantu mereka,” katanya dengan antusias, “untuk membantu membangun rumah bambu besar untuk semua orang tua mereka.”
Anneke dan Ibunya
Anneke sendiri tidak sempat pulang ke Tondano waktu itu. Meskipun dia sangat ingin sekali melihat tanah kelahirannya itu.
“Sayangnya saya tidak dapat mengunjungi tempat kelahiran saya Tondano – di Celebes,” kata Anneke kepada wartawan Surat kabar De Waarheid yang merilisnya pada edisi 26 Februari 1965.
Anneke memang datang bersama ibunya. Tapi Anneke terutama datang karena tur bersama artis Belanda lainnya, yaitu Ruud dan Riem de Wolf. Tur ini dalam rangka juga untuk membuat hubungan Indonesia dan Belanda lebih baik.
Anneke dan rekan-rekannya itu bikin konser di Hotel Indonesia dan di aula Senayan. Sekira 15.000 orang telah menghadiri konser mereka. Pada 10 Januari Anneke harus ke London untuk konser lagi di sana.
Femmy sangat menyayangi kedua anaknya. Ketika hendak mau menikah, Femmy membuatkan Anneke gaun pengantin. Anneke menikan dengan W. W. van der Laan pada hari Sabtu, 29 Agustus 1964. Suaminya ini bekerja di Radio Veronica.
“Pasangan itu akan tinggal bersama ibu Anneke,” tulis De Volkskrant edisi 28 Juli 1964.
Anneke menikah pada usia 22. Pernikahan dilangsungkan di Amsterdam, kota tempat tinggal keluarganya.
“Aku ingin Anneke terlihat rapi. Bagaimanapun, dia hanya menikah sekali saja. Saya sebenarnya lebih suka Anneke berhenti bernyanyi setelah pernikahannya, tetapi dia pasti tidak setuju,” ujar Femmy.
Anneke juga melahirkan keduanya anaknya di rumah ibunya. Kedua putranya bernama Willem Sebastiaan dan Stephen.
Di masa tuanya Femmy tinggal di rumah jompo. Sejak saat itu rumahnya di Amsterdam kosong. Padahal di situ Anneke menyimpan koleksi kenangan pribadinya sebagai artis. Sesekali, adiknya Femmy Tjula yang datang menengok rumah itu.
Suatu hari di bulan Desember 1984, ketika adiknya pergi ke rumah ibunya, ia terkejut melihat bagian dalam rumah itu dalam keadaan terbongkar.
Anneke menjadi sangat bingung waktu itu. Semua kenangan pribadinya, cangkir, gaun, lembar memo, dan suvenir lainnya tiba-tiba menghilang dari rumah orangtuanya.
“Ibuku yang berusia 73 tahun baru-baru ini dirawat di rumah jompo. Adikku pergi ke rumahnya akhir-akhir ini di Amsterdam, Uiterwaardenstraat untuk melihat apakah ada barang lain yang harus dibawa ke ibuku. Dia terkejut melihat bahwa seluruh rumah telah terbalik dan banyak suvenir dari karier saya, yang semuanya disimpan dengan sangat hati-hati oleh ibu saya, telah diambil,” tutur Anneke kepada De Telegraaf yang merilisnya pada 17 Desember 1984.
Femmy tak pernah lagi pulang ke Tondano, Minahasa. Ia meninggal di Amstelveen, Belanda Utara pada 15 Maret 1989, di usia 77 tahun.(*)
Editor: Daniel Kaligis